Blusukan di Segitiga Emas Kota Semarang (Bagian 2- Habis)

Setelah mendengarkan berbagai penjelasan dari mas Dimas tentang Jalan Pemuda atau Jalan Bodjong, kami diajak untuk menyusuri kawasan Segitiga Emas yang kedua, yaitu Jalan Pandanaran. Jalan Pandaran dikenal sebagai kawasan pusat oleh-oleh Kota Semararang. Berbagai oleh-oleh khas Kota Semarang bisa ditemukan disini, mulai dari Bandeng Juwana, wingko babat, roti gandjel rel, lumpia,  hingga kaos Semarangan. Keberadaan kami di Jalan Pandanaran bukan untuk melihat atau membeli oleh-oleh yaa, namun untuk melihat kehidupan kaum urban yang ada di Jalan Pandanaran.
Belakang kita Gedung Lawang Sewu (sumber: @manicstreetwalkers)
Jalan Pandanaran
Lokasi pertama yang kita kunjungi adalah Rumah Susun (Rusun) Pekunden. Menurut informasi, rumah susun ini merupakan rusun pertama yang ada di Kota Semarang. Dibangun sekitar tahun 1980. Rusun ditempati oleh ratusan keluarga dan memiliki fasilitas seadanya. Rusun ini terletak di tengah kota dan berada tak jauh dari Balaikota Semarang. Mas Dimas juga mengajak kami untuk melihat salah satu rumah makan yang ada di Rusun Pekunden. Rumah makan tersebut bernama Rumah Makan Bang Jack. Bahkan  Bang Jack sendiri yang menyambut kedatangan kami.
Jika kalian pernah melintas di Jalan Pandanaran, kalian akan melihat sebuah apotek yang terletak di samping toko oleh-oleh yang terkenal di Kota Semarang. Apotek tersebut bernama Apotek Sputnik. Nama yang sangat asing dalam dunia farmasi dan apotek. Kata Sputnik merupakan nama satelit buatan Uni Soviet yang pertama diorbitkan. Di atas bangunan juga terdapat simbol-simbol antariksa. Namun, bangunan Apotek Sputnik telah digunakan untuk perluasan toko oleh-oleh tersebut.
Daerah Pekunden
Apotek Sputnik
Selain di sepanjang jalan, toko oleh-oleh juga bisa ditemukan di dalam gang di sekitar Jalan Pandanaran. Seperti gang-gang di daerah Pekunden. Di gang ini kami melihat beberapa usaha rumahan yang memproduksi wingko babat, lumpia dan oleh-oleh lainnya. Bahkan kami diajak melihat warung kopi tradisional Pekunden. Konsep warungnya sangat sederhana. Warung kopi juga berfungsi sebagai warung kelontong. Namun, terdapat beberapa meja dan kursi dibawah pohon yang rindang yang digunakan digunakan untuk menikmati secangkir kopi.
Di jalan Pandanaran terdapat Taman Pandanaran. Di Taman Pandanaran terdapat patung Warak Ngendog. Warak Ngendog merupakan hewan mitologi sebagai bentuk akulturasi budaya atau etnis yang ada di Kota Semarang. Yaitu etnis Tionghoa, Arab, dan Jawa. Selain itu, setiap menjelang bulan Ramadhan rutin diadakan festival Warak Ngendog yang dihadiri oleh Walikota Semarang.
Taman Pandanaran
Blusukan  etape 2 kawasan Jalan Pandanaran berakhir di Masjid Baiturrahman. Selain masjid, di Masjid Baiturrahman juga ada SD Hj. Isriati. Sekolah ini didirikan oleh Hj. Isriati. Beliau juga merupakan penggagas 10 Program Pokok PKK. Aku baru tahu kalo ternyata 10 Program Pokok PKK digagas oleh beliau. Oyaa, masjid Baiturrahman terletak tidak jauh dari Lapangan Pancasila atau yang lebih dikenal dengan nama Lapangan Simpang Lima. Presiden RI Pertama, Bung Karno pernah berpidato di Lapangan Pancasila setelah masa kemerdekaan. Kini, lapangan ini menjadi pusat kegiatan warga kota Semarang.
Jalan Gajahmada
Setelah blusukan  di jalan Pandanaran, saatnya kami melanjutkan blusukan  kami menuju Jalan Gajahmada. Sampai di Jalan Gajahmada hari sudah beranjak petang. Sehingga kami harus mempercepat langkah kaki kami. Seperti Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran, trotoar di Jalan Gajah Mada sangat layak untuk dilewati oleh pejalan kaki. Mesti berhati-hati kalau ada kendaraan yang akan masuk keluar area pertokoan di Jalan Gajah Mada. Tapi kami ga menyusuri trotoar Jalan Gajah Mada, karena kami akan blusukan  ke perkampungan yang ada di sekitar Jalan Gajah Mada.
Bangunan pertama yang kami lihat adalah Restoran Semarang. Kami hanya melihatnya dari luar. Ga masuk ke dalam. Restoran Semarang menyajikan kuliner khas Semarang dan kuliner peranakan Semarang. Jam buka restoran masih menganut manajemen Jawa kuno, yaitu restoran akan tutup pada siang hari untuk memberi waktu istirahat siang untuk semua karyawan dan akan buka lagi pada malam hari. Selama di Semarang, aku belum pernah makan di Restoran Semarang. Mungkin aja ada yang mau mengajak makan di sana, dengan senang hati akan aku iyakan, hikks
Rumah Tuan Klein (suber: @dimassuryoh)
Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju perkampungan yang ada di salah satu hotel yang ada di Kota Semarang. Kami diajak untuk keluar masuk gang-gang sempit yang ada. Kemudian mengamati setiap rumah-rumah kuno yang masih bertahan. Hingga akhirnya perjalanan kita terhenti di sebuh rumah besar yang sudah tak berpenghuni. Mas Dimas menjelaskan bahwa rumah besar ini merupakan rumah tuan tanah dari Belanda yang bernama Tuan Klein. Mas Dimas menambahkan bahwa luas tanahnya dibatasi gapura yang ada di ujung gang. Jaraknya rumah dengan gapura ada sekitar 300 meter. Perkampungan di sekitar rumah Tuan Klein bernama Kampung Kelengan, yang berasal dari nama Tuan Klein. Kalian bisa bayangkan betapa luas tanah milik Tuan Klein. Kalau pengen tahu, kalian bisa melihatnya di Jalan Kelengan (sekitar Jalan Depok) dan berjalan kaki menuju rumah Tuan Klein. Sebetulnya ada beberapa perkampungan di Kota Semarang  yang dulunya milik tuan tanah, baik dari Hindia Belanda maupun dari etnis Tionghoa.
Belakang kita adalah gang kampung Kelengan (sumber: @manicstreetwalkers)
Perjalanan blusukan  kawasan Segitiga Emas Kota Semarang berakhir di kampung Kelengan. Perjalanan yang singkat, namun kaya akan pengetahuan baru. Acara Walking Tour Segitiga Emas secara tidak langsung telah mengajarkan kepada kami, khususnya peserta dari kota Semarang, untuk lebih paham tentang sejarah Kota Semarang. Seringkali kita melupakan dan tidak paham dengan sejarah tentang kota kita sendiri. Ayo kita pelajari dan pahami tentang sejarah kota kita, dan kemudian kita ceritakan sejarah itu kepada orang-orang di sekitar kita. Agar kita tidak kehilangan identitas tentang kota kita.

Leave a Reply