Mendaki Bukit Tembalang

“Nis, besok aku main ke rumahmu ya!” ucapku pada Nisa. Salah satu teman yang aku kenal di komunitas. Aku mengenalnya lebih dari satu dekade yang lalu. Dua tahun yang lalu, dia dan suaminya pindah rumah di daerah Kecamatan Tembalang. Dekat dengan Bukit Tembalang.

Pagi itu aku tak lagi bingung tentang rute bersepeda. Sejak semalam aku sudah menentukan bahwa aku akan bersepeda ke arah rumah Nisa. Namun, dalam perjalanannya aku tidak langsung menuju ke rumahnya. Aku memutuskan untuk menuju ke kawasan Simpang Lima terlebih dahulu.

Banyak alasan mengapa mesti melewati kawasan Simpang Lima. Alasan pertama adalah untuk menambah jarak tempuh. Alasan lainnya adalah untuk bertemu dengan para pesepeda dan melihat suasana Car Free Day pagi itu. Kawasan Simpang Lima memang menjadi tempat berkumpulnya para pesepeda. Khususnya para pesepeda senior. Semangat mereka sering menginspirasiku untuk terus bersepeda.

Kawasan Simpang Lima pagi itu

Kawasan Simpang Lima pagi itu terlihat lebih ramai dibandingkan biasanya. Kebetulan pagi ini ada acara yang diadakan oleh Pemerintah Kota Semarang, yaitu peluncuran program pertanian dan ketahanan pangan. Seperti biasa, nama programnya berupa nama singkatan. Mungkin agar lebih mudah diingat.
Baca Juga: Pantai di Sekitar Mangkang

Pejabat teras kota ini memang sering membuat nama program dalam bentuk singkatan. Seolah-olah itu menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari setiap pembuatan program. Sudah banyak program pemerintah kota berupa singkatan. Selain itu, pejabat di kota ini juga terbiasa memberikan pantun dalam setiap sambutan.

Hal itu terdengar unik dan kreatif, walaupun seringkali rima di pantunnya terasa dipaksakan. Kadang aku berpikir bahwa membuat singkatan untuk nama program dan membuat pantun menjadi salah satu keahlian yang mesti dimiliki oleh pejabat di kota ini.

Setelah puas melihat keramaian kawasan Simpang Lima, aku memutuskan untuk menuju ke rumah Nisa dengan melewati Jalan Brigjen Sudiarto. Dulu jalan ini bernama Jalan Majapahit. Aku tidak tahu kapan persisnya jalan ini berubah nama dengan nama salah satu pahlawan revolusi ini. Kemungkinan besar berbarengan dengan perubahan nama Jalan Mataram menjadi Jalan Mayjen M.T. Haryono.

Sebelum melintasi Jalan Brigjen Sudiarto, aku mesti melintasi Jalan Brigjen Katamso terlebih dahulu. Ada satu hal unik yang ada di Jalan Brigjen Katamso, yaitu persimpangan Milo atau persimpangan antara Jalan Brigjen Katamso, Jalan dr. Cipto, dan Jalan Kompol Maksum.

Persimpangan Milo (difoto dari Jalan Kompol Maksum).

Nama Milo bukan berasal dari jenama minuman susu kemasan. Namun, berasal dari kata MULO yang merupakan singkatan dari Meer Ultgebreid Lager Onderwijs. Sebutan untuk sekolah tingkat menengah pertama pada zaman Hindia Belanda. Kini sekolah tersebut digunakan sebagai SMP Negeri 2 Semarang.

Aku tidak tahu apakah generasi sekarang masih menggunakan sebutan persimpangan Milo atau sebutan lain. Pemberian nama suatu tempat sering berhubungan dengan apa yang terkenal dengan tempat tersebut. Seperti halnya nama MULO yang dijadikan sebagai penanda tempat ini. Sebutan persimpangan Milo bukan sebutan resmi. Namun, sebutan ini telah lama hidup dalam masyarakat dan berhasil merawat ingatan sejarah serta identitas kota.

Jalan Brigjen Sudiarto membentang lurus hingga perbatasan dengan Kabupaten Demak. Jalan ini menjadi salah satu jalan terpanjang, terpenting, dan tersibuk di kota ini. Aku melintas di jalan ini dengan kecepatan sedang. Tidak ada niat untuk terburu-buru, meskipun arus lintas terpantau sangat lancar. Bersepeda melewati jalan datar dan lurus seperti ini sering menyebabkan kantuk dan terasa membosankan. Oleh sebab itu, mesti tetap fokus dan menikmati setiap kayuhan pedal.

Perjalanan berlanjut menuju Jalan Fatmawati. Tidak ada hal yang istimewa yang aku temui di jalan ini. Cuaca masih terpantau cerah dan arus lalu lintas lancar. Kemudian aku melintasi Jalan Kompol R. Sukamto atau yang lebih dikenal dengan nama daerah Sambiroto. Di jalan ini arus lalu lintas lebih lengang dibandingkan Jalan Fatmawati. Di beberapa titik terjadi kepadatan karena adanya warung dan kios penjual yang ramai dengan pembeli.
Baca Juga: Bersepeda ke Pantai Mangunharjo

Salah satu yang menarik dari daerah Sambiroto adalah keberadaan Perumahan Citra Grand. Perumahan yang terkenal dengan komedi putarnya ini selalu ramai dengan berbagai aktivitas olahraga oleh warga sekitar. Mulai dari senam, jalan kaki, hingga jogging. Kadang perumahan ini juga jadi jujugan para pesepeda. Aku menyempatkan diri untuk singgah sejenak di perumahan ini.

Komedi Putar di Perumahan Citra Grand.

Aku mulai melintasi jalan menanjak ketika menuju Perumahan Citra Grand. Perjalanan tidak lagi membosankan seperti ketika melewati jalan mendatar. Ketika menanjak, aku mesti lebih fokus untuk mengatur nafas dan ritme kayuhan. Kecepatan sangat pelan. Tidak ada rasa terburu-buru untuk segera sampai.

Setelah melewati tanjakan dengan susah payah, akhirnya aku tiba di gapura masuk menuju rumah Nisa. Aku arahkan stang sepeda menuju perkampungan tersebut. Aku berpikir bahwa tidak ada jalan tanjakan yang akan aku lewati lagi. Namun, ternyata aku salah karena jalan menanjak di sini lebih terjal dan panjang. Di wilayah Kecamatan Tembalang memiliki banyak area perbukitan sehingga jalan menanjak menjadi hal yang biasa di kecamatan ini. Salah satu yang terkenal adalah Bukit Tembalang.

Di sepanjang jalan terlihat warga sedang melakukan kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan kampung. Tidak hanya laki-laki, perempuan dan anak-anak pun ikut dalam kegiatan ini. Tak lupa aku menyapa sebagai bentuk rasa hormatku kepada warga kampung. Setelah melewati kampung ini, ada beberapa kompleks perumahan yang dibangun.

bukit tembalang
Tanah Lapang yang ada di Bukit Tembalang

Akhirnya aku tiba di rumah Nisa. Kompleks perumahannya masih dalam proses pembangunan. Namun, sudah ada puluhan unit rumah yang sudah ditempati oleh pemiliknya. Nisa dan suaminya menyambut kedatanganku.

Aku berada di rumah mereka sekitar satu jam. Mereka mengajakku untuk sarapan bersama dengan menu nasi goreng. Dika–suaminya Nisa merupakan seorang fotografer dan videografer. Oleh sebab itu, obrolan kami tidak jauh dari dokumentasi foto dan video, kamera, dan lensa.

Kemarin dia baru saja liputan sebuah acara. Bergegas dia masuk ke kamar untuk mengambil drone. Rencananya dia ingin mengosongkan daya baterai sebelum disimpan lagi. Ketika asyik menerbangkan drone, Dika malah mengajak kami ke Curug Lawe untuk menerbangkan drone di sana. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan ajakan dia. Namun, aku mesti pulang dengan bersepeda terlebih dahulu.

bukit tembalang
Jalan di Bukit Tembalang

Pada awalnya aku berencana untuk melewati jalur biasa, yaitu melewati daerah Sigar Bencah. Mereka malah menyarankan untuk melewati Bukit Tembalang. Jarak tempuhnya lebih dekat dibandingkan melewati jalur biasa. Letaknya tidak jauh dari rumah mereka, tetapi jalan yang dilalui masih berupa tanah dan berbatu. Dika menemaniku melintasi jalan tanah.
Baca Juga: Khojas dan Cerita Kota Semarang Lama

Jalan tanah ini memiliki kontur yang cukup landai dan aman untuk dilewati. Sepedaku tanpa kesulitan bisa melibas jalanan ini. Aku mulai berpisah dengan Dika ketika memasuki jalan berbatu. Tentu saja jalannya tidak rata dan berupa tanjakan terjal. Beruntungnya, sepanjang jalur tertutupi oleh lebatnya pepohonan. Mirip seperti sebuah kanopi. Terasa sangat teduh, meskipun di sekitarnya matahari terasa terik.

Kafe yang ada di dekat Bukit Tembalang

Selain perbukitan, di jalur ini juga terdapat sungai. Bahkan ada beberapa ekor kerbau yang sedang beristirahat di sekitar sungai. Di pertengahan jalan terdapat sebuah portal yang tertutup. Aku mesti turun dan kemudian mengangkat sepeda melewati portal tersebut. Sepertinya portal ini berfungsi agar kendaraan bermotor tidak melintas di jalan ini. Hal ini dikarenakan jalan ini belum layak untuk dilewati untuk umum.

Rute Bukit Tembalang sering digunakan untuk jalur trekking. Aku pun setuju dengan hal itu karena jalurnya jelas, teduh, memiliki tanjakan, dan tentu saja pemandangannya bagus. Hal inilah yang dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah kafe. Sebetulnya ini menarik perhatianku. Namun, aku tidak bisa singgah karena sudah ada janji dengan Nisa dan suaminya.

Bukit Tembalang akan tembus ke kawasan lapangan tembak milik TNI. Kawasan ini sering digunakan oleh warga untuk berbagai kegiatan. Dulu, aku pernah berkemah di kawasan ini. Seiring berjalannya waktu, kawasan ini terbilang ramai karena sering digunakan untuk kegiatan. Salah satunya untuk menikmati pemandangan matahari terbenam.

 

Cerita Dari Sepeda
Bukit Tembalang
8 Desember 2024

11 Comments

Add Yours →

Lama sekali daku tak bersua tulisan baru dari mas Vai, akhirnyaa… hahaha

Seperti biasa, tulisanmu mengalir sembari membawa cerita-cerita historis ya mas. Jadi banyak ilmu baru meski hanya sebuah perjalanan sederhana.

Oya, ndak cuma pantun yang sering kali dipaksakan orang pemerintahan. Akronim program kerjanya sering maksa. Contohnya ya sipepek itu. Kok isooo nama program asal disingkat gak dicek duluu

Iyaa mas fajar, akhirnya ada semangat buat ngeblog lagi. Kayak mas fajar yang selalu konsisten dan produktif dengan tulisan-tulisannya..hehhehe

Ketika melakukan perjalanan seperti ini, aku sering memikirkan banyak hal mas. Salah satunya jalan atau tempat yang aku lewati. Kadang aku merasa penasaran dengan apa yang aku temui dan lewati ketika perjalanan.

Ah iyaa, program Sipepek yang sempat ramai di kalangan netizen. Sungguh aneh dan ga dipikir dulu. Asal disetujui saja. Akhirnya jadi bahan ejekan di kalangan netizen indonesia..hhahaha

terlihat menyenangkan sekali perjalanannya dengan sepeda mas, dari cerita ini juga saya seperti bernostalgia dengan kenangan 2 tahun lalu selama merantau di semarang, terutama dengan jalan Fatmawati dan Majapahit yang dekat dengan kos dan juga kantor, ah iya dulu waktu pertama kali nyoba plesiran sendiri ke simpang lima pas car free day saya lihat banyak pesepeda yang berkumpul di sana, ternyata di sana memang tempat berkumpulnya para pesepeda di semarang ya, hehe

Waah, ternyata punya kenangan di kota semarang. Daerah sana memang selalu ramai yaa mas.
Terutama para pesepeda santai. Jam 7 biasanya juga masih bersantai dan berkumpul dengan yang lainnya…hehhee

Semarang itu memang konturnya perbukitan ya mas. Jalanan di sana naik turun. Aku yg biasa lewat naik mobil aja, kdg Amazed bayangin ini orang2 yg naik sepeda pada kuat2 banget lewatin tanjakan di sana . Krn beberapa memang curam kok.

Tapi kalo bisa ngelewatin yg jalan tanah, dengan banyak pepohonan kayak di atas, enaaak sih , berasa ngadem yaa

Kuat nanjak karena dipaksa keadaan. Banyak jalan tanjakan di kota semarang berasa ga pernah kehabisan untuk latihan tanjakan..ehehhehe
Kemarin kepikiran buat ngadem, tapi karena terburu-buru akhirnya langsung lanjut balik ke rumah.

Layout yang sekarang cuma sementara. Yang penting jalan dulu. Ada rencana buat ganti yang sesuai lagi. Kemarin error disebabkan themes yang dipakai. hiks

Ngebayanginnya saja, kaki saya sudah langsung cenat cenut… hahaha.. Maklum sudah lama pensiun gowes dan membaca dikau malah menambah jarak, kayaknya saya mah sudah pingsan duluan.

Kalau jalan kaki, saya lebih kuat, tetapi kalau harus sepedahan seperti Mas Vay mah, ga deh. Ga sanggup daripada pulang digotong.

Btw, foto-fotonya jadi bikin kangen Semarang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya kesana. May be, mudah-mudahan tahun ini dapat kesempatan untuk main ke sana lagi.

Terakhir, Apa kabar Mas Vay? Lama tak bersua

Leave a Reply