Kami mulai meninggalkan kawasan Kota Lama yang tampak ramai dengan hilir mudik panitia yang sedang menyiapkan sebuah acara untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kota Semarang ke-476 nanti malam. Sesuai rencana, sore ini Mas Ari mengajak kami untuk mengunjungi Kampung Melayu yang letaknya dekat dari kawasan Kota Lama.
Di ujung Jalan Merpati, kawasan Kota Lama kami melihat salah satu bangunan karya arsitek Thomas Karsten masih berdiri dengan kokoh. Thomas Karsten seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memiliki andil besar dalam perkembangan Kota Semarang di masa lalu. Gedung-gedung yang ia bangun selalu menyesuaikan dengan kondisi kota yang merupakan daerah pesisir. Kami mulai meninggalkan gedung tersebut dan berjalan kaki menyeberangi jalan raya menuju Kampung Sleko.
Di Kampung Sleko terdapat bekas menara syahbandar. Letaknya dekat dengan Kali Semarang yang menjadi lalu lintas pelayaran yang penting pada masa lalu. Menara yang merupakan dalam bangunan cagar budaya ini kondisinya rusak dan banyak bagian yang roboh. Saat ini menara sedang dalam proses pemugaran. Pada masa lalu menara ini berfungsi sebagai pengawas jalur pelayaran dan panduan bagi kapal-kapal yang berlabuh di Kota Semarang.
Kampung Sleko memang merupakan salah satu perkampungan padat yang berada di sekitar kawasan Kota Lama. Beberapa rumah warga memiliki bentuk yang cukup unik dan jadul. Terlihat beberapa warga sedang duduk santai di depan rumah. Tak lupa kami juga memberi salam untuk menghormati warga setempat. Di ujung gang Kampung Sleko berbatasan dengan rel kereta api.
Baca Juga: Singgah di Kampung Bustaman
Rel kereta api yang menghubungkan Stasiun Semarang Poncol dengan Stasiun Semarang Tawang ini pada awalnya tidak tersambung. Hal ini disebabkan karena kedua stasiun ini dimiliki oleh dua perusahaan kereta api yang berbeda. Stasiun Semarang Tawang dimiliki oleh Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Sedangkan Stasiun Poncol dimiliki oleh Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) merupakan perusahaan kereta api pertama yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan kereta api berpusat di Gedung Lawang Sewu. Jalur kereta api di kedua stasiun ini dihubungkan ketika masa penjajahan Jepang dengan tujuannya untuk memudahkan alur logistik untuk perang. Kedua perusahaan asing ini kemudian dinasionalisasi beberapa tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Kebetulan sore itu ada kereta api yang melintas menuju ke arah timur. Palang pintu secara perlahan turun dan kami mesti menunggu kereta api tersebut melintas. Tidak jauh dari rel kereta terlihat sebuah gedung tua milik Perusahaan Gas Negara (PGN). Di bagian atas gedung terdapat tulisan Anno 1897. Kata Anno merupakan bahasa Latin yang berarti ‘pada tahun’. Kemungkinan bangunan ini dibangun pada tahun 1897.
Menurut cerita masa Mas Ari, dulunya di tempat ini banyak tangki-tangki penampungan bahan bakar yang dikelola oleh PGN. Namun, kemudian tangki-tangki tersebut dipindah di daerah Pengapon. Salah satu alasannya adalah lokasi ini dekat dengan permukiman padat warga. Di dekat bangunan tadi terdapat beberapa bangunan yang kondisinya rusak. Beberapa masih bisa dihuni, tapi sebagian lagi dibiarkan kosong dengan kondisi dinding yang jebol.
Kami kagum melihat beberapa struktur bangunan tersebut. Kami bisa melihat dinding dibangun dengan sangat tebal dan susunan batu bata yang unik. Konon, batu bata seperti ini didatangkan dari Eropa. Pada saat itu teknologi dan kemampuan perusahaan di Hindia Belanda belum mampu membuat batu bata seperti itu. Tentu saja pembuatan bangunan seperti ini bakal menelan biaya yang mahal. Namun, hasilnya bangunan sangat kokoh dan bisa bertahan hingga ratusan tahun.
Baca Juga: Jelajah Kampung Kulitan
Kami melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi jembatan yang berada di atas Kali Semarang. Kami akan menuju Masjid Menara. Masjid ini juga biasa dikenal dengan nama Masjid Layur. Hal ini dikarenakan lokasinya terletak di Jalan Layur. Masjid Menara dikenal memiliki cerita unik yang melekat pada masjid ini. Mulai dari sejarah masjid, bentuk dan fungsi bangunan, hingga tradisi yang masih berlaku di masjid ini.
Banyak versi sejarah yang menyebutkan tentang masjid ini. Beberapa orang menyebutkan bahwa masjid ini dulunya merupakan sebuah kantor pengawas pelayaran dan menara masjid berfungsi sebagai mercusuar. Versi lain masjid ini dibangun oleh orang Yaman yang memang difokuskan untuk tempat beribadah. Mas Ari menyebutkan bahwa pada zaman dahulu pintu masuk masjid juga bisa melalui Kali Semarang.
Perahu-perahu warga akan bersandar di masjid. Kemudian memasuki halaman utama masjid melalui tangga. Seperti halnya bangunan yang berada di daerah pesisir, bangunan Masjid Menara juga sudah mengalami amblas atau penurunan tanah. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan terlihat sebuah jendela yang sebagian bentuknya terkubur di dalam tanah. Penurunan tanah di sekitar Kampung Melayu sudah berlangsung sejak lama.
Selain itu, area salat untuk jamaah perempuan terpisah dari bangunan utama masjid. Luasnya hanya cukup untuk dua orang jamaah. Ruang salat utama masjid memang difokuskan untuk jamaah laki-laki ketimbang jamaah perempuan. Bentuk bangunan memiliki bentuk atap tumpang tiga. Mirip dengan bentuk masjid-masjid di Pulau Jawa pada masa itu. Menara masjid menjadi ikon dari masjid ini. Menara masjid ini beberapa kali menjadi latar dalam pengambilan gambar pada film Gie yang tayang pada tahun 2005 lalu.
Setiap bulan puasa Masjid Menara menyediakan takjil berupa kopi Arab untuk jamaah yang didominasi oleh jamaah laki-laki. Kopi ini terdiri dari kopi yang dicampur dengan tujuh rempah-rempah. Kopi ini hanya disediakan pada bulan Ramadan. Aku belum pernah menyesap kopi ini. Beberapa temanku menyukai keunikan pada kopi Arab ini. Masjid Menara menjadi ikon dan tidak terpisahkan dengan Kampung Melayu.
Beberapa bulan yang lalu Kampung Melayu telah selesai direvitalisasi oleh kementerian PUPR. Beberapa objek telah dibangun dan jalan diperbaiki menjadi lebih bagus, lebar, dan ramah untuk pejalan kaki. Trotoar yang disediakan sangat nyaman. Di sepanjang jalan ini kami bisa melihat bangunan-bangunan lawas yang masih berdiri dengan kokoh. Baik rumah-rumah khas Melayu dengan berbagai ornamen, maupun rumah etnis Tionghoa dengan ciri khas atap pelana kuda.
Di sekitar Masjid Menara terdapat beberapa kampung yang memiliki nama-nama unik. Seperti Kampung Plimbungan, Kampung Lengkong Kambing, Kampung Kali Cilik, Kampung Kranjangan Besar, Kampung Banjar, Kampung Lawang Gajah, dan Kampung Lengkong Sop.
Di ujung gapura Jalan Layur terdapat klenteng yang diberi nama Klenteng Kam Hok Bio. Klenteng ini milik pribadi, tapi warga lain boleh berkunjung dan beribadah di klenteng ini. Saat kami waktu sudah menjelang petang dan pintu klenteng sudah ditutup. Di dalam klenteng terdapat dua orang yang sedang melakukan sembahyang.
Baca Juga: Bersepeda ke Curug Lawe
Pembangunan papan nama Kampung Melayu, beberapa gazebo, dan patung berupa perahu juga menjadi bagian dari penataan kawasan Kampung Melayu. Kami juga bertemu dengan warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Melayu. Mereka sedang berusaha untuk menghidupkan kawasan ini agar banyak dikunjungi dan menjadi bagian dari destinasi wisata yang ada di Kota Semarang.
Sejak ratusan tahun silam, Kampung Melayu sudah menjadi tempat tinggal bagi orang-orang dari berbagai etnis. Mulai etnis Melayu, Tionghoa, Arab, Koja, hingga penduduk asli. Semuanya tinggal dan tumbuh bersama dalam kerukunan. Asimilasi budaya terjadi di Kampung Melayu selama ratusan tahun. Oleh sebab itu banyak bangunan Tionghoa dan Melayu bisa dengan mudah ditemui di Kampung Melayu.
Di lain kesempatan aku mengunjungi kawasan Kampung Melayu dengan bersepeda di hari Minggu pagi. Aku jadi memiliki banyak kesempatan untuk berkeliling lebih jauh di Kampung Melayu. Mulai melewati satu gang dan tembus di gang lainnya. Aku bisa melihat banyak aktivitas warga Kampung Melayu. Setiap hari Minggu beberapa lapak pedagang memadati jalanan Kampung Melayu. Jalan di Kampung Melayu sebagian besar menggunakan paving blok.
Sejak selesai direvitalisasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum, kini Kampung Melayu bagaikan seorang perempuan yang telah selesai bersolek. Kampung Melayu tampil dengan penampilan dan wajah baru. Wajah yang lebih segar dan nyaman bagi wisatawan dan tamu. Para tamu tidak hanya berkeliling atau menikmati suasana Kampung Melayu, tetapi juga belajar tentang bangunan-bangunan lawas, kerukunan, dan budaya dari berbagai etnis yang melebur menjadi satu di Kampung Melayu.
Cerita dari Semarang
Kampung Melayu
19 Mei 2023
20 comments
Liat judulnya saya kira kampung Melayu di Jakarta mas hehehe..ternyata Semarang toh.. unik juga ya nama” kampung nya…beraneka macam etnis dan melebur jadi satu..pastinya kalau datang ke sini bakalan betah liat suasananya.
Kampung melayu di jakarta memang lebih dikenal mbak heni. Kalau kampung melayu di semarang sedang dikembangkan untuk destinasi wisata. Kampung ini termasuk dalam kampung tua yang ada di kota semarang.
Bersyukur kita yang hidup zaman sekarag, memangun rumah tak perlu pesan bata
ke Eropah. Hehe ….
Terbayang betapa uniknya, kehidupan pada zamannya, mau masuk masjid naik perahu.
Masjid berada di tepi sungai. Jadi perahu bisa langsung bersandar di masjid.
wah menarik ini kota Semarang, saya paling banter lewatnya cuman tol dalam kotanya semarang saja…. ga pernah sampai menjelajah kotanya.
Seringnya begitu mas, banyak orang begitu saja melewatkan kota semarang. Padahal banyak cerita yang bisa ditemui di kota ini. Sekali-kali mas ichang mesti singgah di kota semarang.
Batu bata yang didatangkan dari eropa
wah sungguh luar biasa
pantas jika bangunnanya bisa awet
itu masjid kelihatan unik ya
Menara masjidnya pernah jadi latar di film gie (2005). Beberapa adegan juga diambil di kawasan kampung melayu dan kota lama.
Bangunan jaman dulu memang terkenal kokoh dan bisa bertahan hingga sekarang.
kalau di Semarang, kampung lawas dengan bangunan kuno seperti ini terlihat masih sedap dipandang dan malah jadi estetik kalau difoto oleh fotografer yang profesional. Kayak dijadiin lokasi foto prewedding misalnya.
kalau wisata kayak gini, kayak kebawa sama mesin waktu gitu, ngebayangin tahun segitu di jaman dulu udah termasuk wah banget model bangunannya
Salah satunya kawasan kota lama, semarang yang dahulunya pusat kegiatan bisnis dan perkantoran di semarang. Sekarang mudah menemukan pasangan-pasangan yang sedang foto prewedding di sana. Kampung-kampung lawas di semarang masih terawat dan dipertahankan hingga sekarang.
Bangunan jaman dulu sudah terkenal sangat kokoh dan tahan lama.
Menyenangkan ya kalau bisa berkunjung ke suatu tempat dan belajar tentang sejarah tempat tersebut 🙂 Aku baru tau tentang Kampung Melayu di Semarang ini, lho. Terima kasih sudah berbagi.
Kampung melayu menjadi tempat berkumpul warga dari berbagai suku yang datang di masa lampau dengan segala cerita sejarah dan kearifan lokal yang mereka bawa.
saya kira awalnya kampung melayu di jakarta lho, ternyata di semarang juga ada kampung melayu juga. saya dulu sering ke semarang tapi baru tahu sekarang klo ada kampung melayu di semarang
Kebanyakan orang juga begitu, langsung mengira kalau kampung melayu itu hanya berada di jakarta. Di semarang ada kampung melayu, meskipun kurang populer dibandingkan dengan di jakarta yang selalu identik dengan terminal dan segala keruwetannya.
Waktu lihat foto yang ada jalan blok-blok beton saya jadi teringat Kota Lama. Ternyata lokasinya tak jauh dari sana. Berarti wisatawan bakal punya zona jelajah yang lebih luas. Ya, mudah-mudahan efek pariwisata bisa segera menjalar ke Kampung Melayu.
Omong-omong, saya baru tahu kalau menara masjid di film Gie itu lokasinya di Semarang. Selama ini saya kira adegan itu diambil di Jakarta. 😀 Terima kasih info trivialnya itu, Masvay. 😀
Perkembangan dan pembangunan kota semarang di masa lampau itu berpusat di kota lama dan sekitarnya. Di sekitar kota lama itu ada kampung kauman tempat alim ulama, pecinan tempat tinggal etnis tionghoa, pekojan tempat tinggal etnis koja dan gujarat, dan kampung melayu.
Banyak scenen film gie yang diambil di kampung melayu dan kota lama.
Ga jauh beda Ama beberapa kota tua di Malaysia, yg THN pembuatan gedung di ukir di bagian atasnya ya.. sayang bangunan skr ga dibuat seperti itu lagi
Pantesan ya mas, bangunan2 lama di eropa, kebanyakan kuat, dan usia juga udah ratusan tahun ❤️❤️. Ternyata batu yg dipakai memang berkualitas super. Sediiih banget kalo liat bangunan lama begitu, tapi di sia2in di sini. Salah satu yg bikin aku suka dengan eropa, Krn design bangunannya itu. Vintage ❤️
Kalau dipikir-pikir kualitas bangunan sekarang ga lebih dari bangunan jaman dulu yaa mbak. Aku malah kepikiran kalau hal bangunan masa lalu diterapkan seperti sekarang bakal membuat anggaran semakin membengkak mbak.
Suka banger lihat bangunan peninggalan masih berdiru dengan bagus. Meskipun banyak yang terbengkalai. Salah satu penyebabnya biaya perawatan yang cukup mahal. Sedangkan pemiliknya belum tentu memiliki dana untuk perawatan gedung.
Mas, jujur saya baca ini sambil membayangkan yang mana ya. Banyak daerah yg saya lupa. Huhuhu.
Saya cuma ingat Masjid Menara dan klenteng di Layur karena dulu kalau ngangkot pulang sekolah turunnya di Layur. Saya nunggu bapak di sekitar klenteng. Sebelah klenteng dulu apotek langganan bapak saya. Wah, klentengnya masih ada. Hebat. Tapi sayang bangunan ambles karena kalah sama jalan yang ditinggikan terus biar nggak banjir.
Senang melihat perkembangan kota Semarang yang semakin bagus.
Yang direvitalisasi itu jalan sepanjang dari rel kereta api ke arah masjid menara mbak dan arah kampung petek. Jadi jalan dan trotoarnya diperbaiki sehingga nyaman untuk jalan kaki. Daerah sana dulu sering banjir rob akhirnya mau ga mau mesti ditinggikan dan bangunan banyak yang amblas juga.