[Ulasan] Yang Menyublim di Sela Hujan

by Rivai Hidayat
yang menyublim di sela hujan

Sekitar sebulan yang lalu aku kehilangan semangat untuk membaca buku. Sebuah buku catatan perjalanan terhenti di tengah halaman. Belum ada niat untuk menyelesaikannya. Di suatu sore aku melihat koleksi buku catatan perjalanan milik temanku yang tertata rapi di rak buku miliknya. Dari puluhan buku yang ada, pandanganku terpaku pada satu buku bersampul warna coklat dengan desain yang unik. Buku itu berjudul Yang Menyublim di Sela Hujan.

Naskah ini berisi tentang cerita yang disarikan dari catatan-catatan penulis selama menjalankan tugas di Kampung Mumugu Batas Batu, Kabupaten Asmat, Papua sebagai relawan guru. Penugasan ini diberikan kepada penulis dalam rangka mengawal program literasi terapan di Sokola Asmat. Dalam naskah ini diceritakan tentang pengalaman belajar mengajar bersama anak-anak murid Sokola Asmat di Mumugu Batas Batu, interaksi dengan murid-murid dan warga, permasalahan-permasalahan yang dialami selama penulis tinggal di lokasi penugasan, dan keseharian yang dijalani di Mumugu Batas Batu. Dan tak lupa cerita-cerita lucu, kocak, dan konyol penulis yang alami selama berinteraksi dengan anak-anak dan warga Mumugu Batas Batu.

*****

Fawaz melaksanakan program Literasi Terapan selama tujuh bulan. Mulai dari bulan Oktober 2013. Program Literasi Terapan merupakan lanjutan dari program Literasi Dasar yang telah dilaksanakan Sokola Asmat di Desa Mumugu Batas Batu pada pertengahan 2013 hingga 2014 yang diikuti oleh 94 orang.

UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengkomunikasikan, dan kemampuan berhitung melalui materi-materi tertulis dan variannya. Lebih lanjut, menurut UNESCO, literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi mencakup bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat, terkait pengetahuan, bahasa, dan budaya.

Sokola Asmat merupakan salah satu program yang ada di Sokola Institute. Lembaga ini didirikan oleh lima praktisi pendidikan dan fasilitator masyarakat pada tahun 2003. Sokola Institute mengembangkan metode dan pendekatan kontekstual serta peka budaya untuk membantu masyarakat adat mengatasi permasalahan yang ada dengan perubahan dan membela hak atas budaya dan tempat tinggal mereka.
Baca Juga: [Ulasan] Everything in Between

Selain Sokola Asmat, ada beberapa program yang dijalankan yang tersebar di berbagai daerah. Seperti Sokola Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Sokola Pesisir di Makassar, Sokola Kajang di Bulukumba, dan Sokola Kaki Gunung di Jember.

Buku Yang Menyublim di Sela Hujan terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berjudul Perjalanan Menuju Asmat. Bagian ini bercerita tentang perjalanan menuju Agats, Kabupaten Asmat. Seperti tertahan beberapa hari di Kabupaten Timika karena tidak ada jadwal kapal yang berangkat menuju Kabupaten Asmat, gagal berlayar menggunakan perahu karena kelebihan muatan, dan menyusuri Sungai Pomats dalam perjalanan menuju Desa Mumugu Batas Desa.

Bagian kedua berjudul Mumugu Batas Batu. Sesuai dengan judulnya, bagian ini berisi segala hal yang berhubungan dengan Desa Mumugu Batas Batu. Mulai dari sejarah desa, adat istiadat, budaya, kearifan lokal, hingga orang-orang yang banyak membantu dalam program Literasi Terapan. Salah satunya adalah Pastor Hendrik dari Keuskupan Agats.

Bagian ketiga berjudul Sokola Asmat. Bagian ini berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program. Mulai dari persiapan, proses belajar mengajar, hingga beberapa kali pindah tempat belajar karena suatu hal. Bahkan Fawaz juga menceritakan pengalamannya ketika terserang malaria. Rasa kesepian karena tinggal sendirian di rumah guru ketika kedua rekannya–Habibi dan Ansel–pulang ke kampung halaman mereka, yaitu di Makassar dan Jayapura.
Baca Juga: [Ulasan] Kelana: Perjalanan Darat dari Indonesia ke Afrika

Buku yang memiliki 313 halaman ini ditulis dengan bahasa yang “ringan” dan mudah dipahami. Namun, buku ini mampu memberikan pandangan baru tentang Papua, dunia pendidikan, dan makna pendidikan. Baik itu murid, pengajar, dan masyarakat. Selain itu, Fawaz juga bercerita tentang metode, pendekatan, dan tujuan dari seluruh proses belajar mengajar di Sokola Asmat.

Proses belajar mengajar tidak selamanya berjalan dengan mudah. Banyak hal sulit yang dihadapi. Mulai dari rasa kesepian tanpa seorang teman, perkelahian antar murid, tidak adanya sinyal telepon, hingga terserang penyakit malaria yang begitu parah. Fawaz begitu menyayangi muridnya dan orang-orang di Desa Mumugu Batas Batu.

Seperti kata Fawaz, “Saya kira, begitulah yang saya terapkan selama penugasan di lapangan. Di Mumugu Batas Batu, di Taman Nasional Bukit 12, Jambi, dan di tempat-tempat lain tempat saya pernah tugas. Saya harus berpihak. Dan keberpihakan saya jelas untuk anak-anak dan komunitas tempat anak-anak belajar bersama saya.”

Yang Menyublim di Sela Hujan
Fawaz
EA Books
2018

You may also like

14 comments

Heni May 20, 2024 - 5:09 pm

Saya baru tau ada Sokola Asmat dan Sokola”lainnya , fokusnya memang di daerah pedalaman ya mas ?..enggak mudah menjadi guru / pendidik di tengah keterbatasan, tapi toh enggak menyurutkan semangat pak guru alias mas Fawji nya, kecintaannya pada dunia pendidikan, membawanya untuk lebih mengenal budaya, adat istiadat setempat dan sebagainya, justru membuatnya jadi terpanggil untuk mengabdikan hidupnya di sana walaupun dengan segala resikonya, kena penyakit malaria, transportasi yg gak mudah dan sebagainya, menghadapi persoalan kehidupan di pedalaman, tapi beliau justru tambah cinta.

Reply
Rivai Hidayat May 21, 2024 - 9:32 pm

Mereka fokus ke pendidikan masyarakat adat mbak henny.
Benar-benar ga mudah, mereka terus berjuang untuk berbagi ilmu dan pengetahuan dengan segala keterbatasan yang mereka hadapi di tempat mereka mengabdi.

Reply
Fajar Fathurrahman May 21, 2024 - 10:43 am

Saya selalu kagum mas, dengan orang-orang yang jadi relawan hingga pelosok papua sana.
Memang, negeri ini masih belum merata dari pendidikan maupun ekonomi. Saudara kita di sisi negeri sebelah sana, seringkali kesulitan mengakses pendidikan dan karir pekerjaan. Semoga ke depannya bvisa lebih baik lagi ya.

Btw, jadi inget program Indonesia Mengajar yang dicanangkan Mas Anies. Mirip-mirip juga ya.

Reply
Rivai Hidayat May 21, 2024 - 9:29 pm

Sama mas fajar. Aku juga salut sama para relawan yang mengabdikan diri untuk pendidikan di daerah pelosok indonesia. Mereka datang secara sukarela dan memberikan manfaat kepada daerah tempat merekan mengajar. Mereka perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi.

Bener banget. Hebatnya lagi program indonesia mengajar masih terus berjalan hingga sekarang.

Reply
Fajar Fathurrahman May 21, 2024 - 10:44 am

Saya selalu kagum mas, dengan orang-orang yang jadi relawan hingga pelosok papua sana.
Memang, negeri ini masih belum merata dari pendidikan maupun ekonomi. Saudara kita di sisi negeri sebelah sana, seringkali kesulitan mengakses pendidikan dan karir pekerjaan. Semoga ke depannya bvisa lebih baik lagi ya.

Btw, jadi inget program Indonesia Mengajar yang dicanangkan Mas Anies. Mirip-mirip juga ya.

Reply
Rivai Hidayat May 21, 2024 - 9:29 pm

Sama mas fajar. Aku juga salut sama para relawan yang mengabdikan diri untuk pendidikan di daerah pelosok indonesia. Mereka datang secara sukarela dan memberikan manfaat kepada daerah tempat merekan mengajar. Mereka perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi.

Program indonesia mengajar masih terus berjalan hingga sekarang.

Reply
Nasirullah Sitam May 21, 2024 - 12:55 pm

Di beberapa waktu ini, aku jarang baca buku. Padahal ada banyak buku yang belum terbaca. Kadang pengen bikin ulasan di blog, tapi kok masih mikir malas dll. hahahahahah

Reply
Rivai Hidayat May 21, 2024 - 9:27 pm

ayo mas sitam semangat untuk sering baca buku dan mengulasnya di blog.
Kalau aku masih bingung dengan format ulasannya seperti apa. Jadi ya mesti banyak latihan untuk hal ini.

Reply
Surya Adhi May 23, 2024 - 9:00 pm

buku yang menarik, jadi bisa menambah wawasan tentang pendidikan di Papua, saya jadi kepengen baca juga, semoga nanti ada kesempatan

Reply
Rivai Hidayat May 26, 2024 - 8:53 pm

Ayo mas surya, bukunya bagus kok.

Reply
fanny_dcatqueen May 27, 2024 - 12:02 pm

Guru2 di pedalaman ini yg paling cocok mendapat gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Aku yakin ga semua guru mau ditempatkan kesana. Apalagi tau sendiri budget yg dialokasikan juga gaji mereka. Salut. Tapi sedih juga.

Masih banyak yg ga mendapat pendidikan bagus di Indonesia. Sekalinya sekolah bagus, biayanya super duper mahal. Kecuali bisa masuk negeri. Berharap para guru2 pedalaman ini selalu kuat bertahan dan tetap memihak kepada murid2 di sana

Reply
Rivai Hidayat May 28, 2024 - 4:54 pm

Kisah guru-guru ini jarang terekspos secara luas. Ketika berada di kalimantan barat merasakan banget perbedaan pendidikan yang ada di indonesia. Bahkan ketemu dengan guru perantau yang datang dari NTT mengajar di sana dan akhirnya menetap di sana hingga sekarang. Mereka tetap semangat untuk mengajar para siswa.

Reply
Sibayukun May 27, 2024 - 12:46 pm

Waahhh jadi penasaran sama bukunya.. Udah aku masukin List buat dibeli.. hehe.
btw, entah kenapa abis baca ini aku jadi teringat 1 film Thailand judulnya The Teachers Diary kalau nggak salah… Berkisah soal guru yang ditempatin di Tengah Laut apa danau gtu kalau nggak salah, Aksesnya sulit, ada bagian dia ketemu Jenazah di air, terus sekolahnya di terjang badai.. Filmnya bagus, sedih, tapi kereenn.. Mas Rivai udah pernah nnton kah?

Reply
Rivai Hidayat May 28, 2024 - 5:20 pm

Liputan tentang guru-guru di pedalaman indonesia bisa ditemukan di youtube, bay. Aku beberapa kali menontonnya.
Aku pernah nonton film itu. Lucu dan bisa bikin terharu yang menonton.

Reply

Leave a Comment