Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the soledad domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/masvayco/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Trekking di Gunung Merapi - Rivai Hidayat

Trekking di Gunung Merapi

by Rivai Hidayat
Trekking Gunung Merapi

Pendakian di Gunung Merapi kali ini rasanya bakal berbeda dengan pendakian yang pernah aku lakukan. Jika biasanya aku akan mendirikan tenda di atas gunung, kali ini aku akan mendaki tanpa mendirikan tenda untuk bermalam. Pendakian dilakukan dengan cara trekking dari basecamp langsung menuju puncak gunung. Meskipun trekking di Gunung Merapi tidak membawa tenda, aku dan teman-temanku tetap mempersiapkan diri dan peralatan dengan baik. Pendakian ini akan aku lakukan bersama teman-temanku, yaitu Roesli, Reikha, Mas Danang, dan temanku yang berasal dari Jakarta, yaitu Uda Faiz.

Pukul 21:00, kami tiba di basecamp Selo yang terletak di kabupaten Boyolali. Dari beberapa jalur pendakian Gunung Merapi, jalur via Selo menjadi jalur favorit para pendaki. Perkenalanku dengan Gunung Merapi sudah dimulai ketika berada di bangku kelas 1 SMA. Saat itu siswa kelas 3 sedang melakukan persiapan ujian nasional, sehingga aku dan beberapa temanku diajak senior kelas 2 untuk mendaki gunung pada hari libur tersebut. Para senior ini merupakan anggota klub pecinta alam yang ada di sekolah kami. Dari para senior ini, ada salah satu senior yang aku kenal baik, yaitu Mas Yan Aditya. Selain dia seorang ketua klub pencinta alam, Mas Yan Aditya ini memiliki wajah yang mirip dengan aku. Jadi di klub kami sering dikira kakak beradik. Apalagi kelas kami berdekatan, jadi teman sekelasku juga mengira hal yang sama. Padahal kami tidak ada hubungan saudara. Hanya sebagai kakak dan adik kelas saja.

Sebelum mengurusi perijinan, kami menyempatkan diri untuk singgah di warung tenda yang ada di ada di sekitar basecamp. Malam itu aku memesan bebek goreng. Meski sudah makan malam di Semarang, makan kali ini juga berfungsi untuk menambah nutrisi dalam tubuh yang nantinya akan digunakan sebagai sumber tenaga ketika trekking di Gunung Merapi. Bebek goreng yang aku makan rasanya enak sekali. Teman-temanku juga sepakat bahwa bebek gorengnya sangat enak. Oleh sebab itu, kami tidak sungkan untuk menambah porsi nasi putih dan sambal.

Sebelum memulai trekking di Gunung Merapi, kami akan beristrihat sebentar di basecamp. Kemudian akan memulai trekking pada pukul 02:30 dinihari. Kawasan Selo bisa dibilang daerah yang strategis. Selain merupakan jalur pendakian Gunung Merapi, Selo juga memiliki jalur pendakian menuju Gunung Merbabu. Jika musim pendakian dan libur panjang, kawasan ini selalu dipenuhi oleh para pendaki yang akan mendaki ke Gunung Merapi atau Gunung Merbabu.
Baca Juga: Hunting Foto di Rawapening

Setelah persiapan selesai, tepat pukul 02:30 dinihari kami memulai perjalanan trekking di Gunung Merapi. Jalur yang kami lewati pertama adalah berupa jalan aspal menanjak dengan kemiringan 45o  yang berujung di sebuah gardu pandang yang digunakan untuk menikmati pemandangan Gunung Merbabu. Setelah itu kami akan memasuki jalan setapak berupa tanah yang berbatasan dengan kebun warga dan jurang. Kami jalan sesuai dengan ritme kami masing-masing. Mengatur ritme dan konsisten ketika trekking sangat berguna karena bisa mengurangi risiko cepat lelah ketika berjalan.

Jalur trekking di Gunung Merapi via Selo terlihat sangat jelas. Namun, tetap akan menemui jalur bercabang yang memiliki ujung yang sama. Saat itu udara terasa dingin dan angin berhembus kencang. Hal ini justru membuat kami untuk terus berjalan. Ketika tubuh bergerak, maka akan terjadi pembakaran di dalam tubuh yang berfungsi untuk mengurangi pengaruh dingin dari lingkungan sekitar. Seiring perjalanan berlangsung, kami terbagi menjadi dua grup. Grup pertama berisi aku, Reikha, dan Roesli. Sedangkan grup kedua berisi Uda Faiz yang ditemani oleh Mas Danang.

Menjelang subuh, kami bertiga istirahat di shelter 3 untuk menunggu grup kedua dan sekaligus melaksanakan salat subuh. Sekitar 45 menit kemudian, Uda Faiz mulai terlihat tidak jauh dari pos. Dia terlihat sangat kelelahan. Hal ini terjadi karena dia memiliki penyakit asma yang mengakibatkan dia kesulitan untuk mengatur nafas selama trekking. Kami mempersilahkan Uda Faiz untuk beristirahat di shelter. Di shelter 3 ini kami juga menikmati pemandangan matahari terbit dengan pemandangan barisan pegunungan. Mulai dari Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prau di sebelah barat, dan siluet Gunung Lawu di sebelah timur.

Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Prau

Kami melanjutkan perjalanan menjadi satu grup lagi. Mas Danang mengajak kami untuk melewati jalur evakuasi. Bukan jalur yang biasa dilewati, tapi jalur yang selalu digunakan evakuasi pendaki yang mengalami kecelakaan ketika mendaki Gunung Merapi. Jalur ini lebih landai dibandingkan jalur yang biasa dilewati. Ini merupakan pengalaman pertamaku melewati jalur ini. Karena melalui jalur ini, kami akan langsung memotong ke pos 2 dan Pos Watu Gajah.

Pagi hari dan kami masih terlihat segar dan semangat

Sekitar pos 2 dan pos Watu Gajah ini merupakan area favorit pendaki untuk mendirikan tenda. Pagi itu banyak pendaki yang mendirikan tenda. Kami ditawari untuk singgah di tenda mereka. Sudah menjadi sebuah budaya dan kebiasaan bagi seorang pendaki menawari pendaki lain untuk singgah di tenda mereka. Biasanya mereka akan menyuguhkan minuman hangat dan cemilan. Tentu saja dilanjutkan dengan obrolan santai dan bersahaja dalam dekapan keakraban. Kami membalas salam dari mereka, tapi tidak singgah. Kami lebih memilih untuk beristirahat di Pasar Bubrah. Tempat terakhir sekaligus batas pendakian sebelum menuju puncak Gunung Merapi.

Akhirnya aku berada di Pos Pasar Bubrah. Di bawah sana terdapat banyak tenda pendaki yang mungkin emang berniat untuk mendaki ke puncak. Kondisi area Pasar Bubrah didominasi oleh batuan. Tidak ada perpohonan di area ini. Bukan tempat yang tepat untuk mendirikan tenda karena lokasi yang tidak datar, terbuka, rawan terkena badai, dan kondisi tanah yang sulit untuk dipasangi pasak tenda. Demi alasan keamanan dan keselamatan, pada saat itu badan PVMBG dan pengelola Taman Nasional Gunung Merapi menetapkan batas pendakian hanya sampai Pasar Bubrah. Peraturant tersebut masih berlaku hingga saat ini. Pendaki dilarang mendaki hingga ke puncak Gunung Merapi. Jika terjadi sebuah kecelakaan di pucak, maka pengelola tidak mau bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Pasar Bubrah dan Puncak Gunung Merapi

Jalur menuju puncak Gunung Merapi berupa pasir dan batuan. Ketika di pasir, kaki melangkah ke atas dan kemudian akan turun lagi. Sehingga butuh ketahanan dalam melangkah. Setelah melewati jalur pasir, pendaki akan disambut dengan jalur berbatuan. Mungkin terlihat lebih mudah. Namun, di sini pendaki mesti memastikan batu yang dipijak dalam kondisi kokoh. Jika salah pijak, batu akan runtuh dan meluncur ke bawah dan itu sangat berbahaya bagi pendaki yang berada di bawah.

Ketika mendekati puncak, bau belerang yang berasal dari kawah akan mulai menyapamu. Terkadang bau ini akan mengganggu pernafasanmu. Jika sudah sampai puncak, pendaki mesti berhati-hati. Puncak Gunung Merapi bukanlah tanah lapang, tapi berupa pinggir kawah. Sudah ada beberapa pendaki yang terjatuh ke kawah gunung. Puncak Gunung Merapi dikenal dengan sebutan Puncak Garuda. Namun, bentuk garuda tersebut telah hancur ketika erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 silam.

Setelah berunding, akhirnya hanya Uda Faiz yang memilih untuk mendaki hingga ke puncak. Kami mengawasinya dari Pasar Bubrah. Aku pernah mendaki hingga ke puncak Gunung Merapi pada tahun 2013. Sejak awal aku memang tidak berniat untuk mendaki ke puncak. Selain faktor keamanan dan keselamatan, aku hanya ingin menikmati perjalanan trekking di Gunung Merapi dan suasana Pasar Bubrah. Tidak untuk ke puncak Gunung Merapi. Puluhan tenda dengan berbagai merk dan warna memenuhi area Pasar Bubrah. Para pendaki tampak riuh dan tenggelam dalam obrolan mereka.
Baca Juga: Jalur Lintas Barat Aceh

Sambil menunggu Uda Faiz, pagi itu kami membuat minuman hangat dan memasak beberapa mie instan. Aku terus mengawasi Uda Faiz. Baju yang berwarna cerah memudahkan aku untuk mengenalinya meski melihat dari kejauhan. Terlihat puluhan pendaki juga mendaki ke puncak. Ada pula pendaki yang sedang menuruni jalur berpasir yang dipunggungan puncak. Terlihat ada pendaki yang terjatuh karena terpeleset hingga tergulung-gulung di jalur berpasir. Pendaki yang lain berusaha untuk menolongnya. Beruntung saja pendaki tersebut tidak mengalami luka yang serius.

Lebih dari satu jam menunggu, akhirnya Uda Faiz terlihat mendekat di tempat kami beristirahat. Dia bilang bahwa dia tidak sampai puncak. Menurutnya sudah terlalu siang untuk sampai puncak. Akhirnya dia memutuskan untuk turun ke Pasar Bubrah dan akan mendaki sampai puncak Gunung Merapi di lain waktu. Kami mempersilahkan dia untuk beristirahat dan kami menyiapkan makanan untuk dia sebagai asupan nutrisi untuk perjalanan turun nanti. Perjalanan turun gunung kami berlangsung lebih santai. Tidak terburu-buru. Bahkan kami sempat beristirahat lama di jalur pendakian.

Trekking Gunung Merapi

Bersantai di Jalur Pendakian

Sebuah kegiatan pendakian gunung memang penuh risiko. Namun, semua risiko tersebut bisa diminimalisasi melalui proses belajar dan berlatih tentang kegiatan alam terbuka. Selain itu, penggunaan peralatan yang sesuai standard sangat penting sebagai penunjang keamanan dan keselamatan selama pendakian. Jangan sekali-kali menggunakan sandal, meskipun itu sandal gunung untuk mendaki gunung. Pakailah sepatu gunung. Jika tidak punya sepatu gunung, bisa memakai sepatu olahraga.

Banyak yang bilang bahwa puncak gunung adalah sebuah tujuan dalam pendakian. Padahal tujuan utama sebuah pendakian adalah pulang dengan selamat dan berkumpul dengan orang-orang yang disayangi itu. Itu  jauh lebih penting daripada puncak gunung.

Gunung Merapi, 29 Mei 2016

You may also like

42 comments

PIPIT December 9, 2020 - 12:31 pm

Waktu kamu nulis tentang Pasar Bubrah, aku kirain pasar beneran loh. Sambil mikir, nggak deh, kan tadi ceritanya naik gunung, masak dekat puncak ada pasarnya? Dan baca sampai pertengahan terus ada fotonya baru yakin, kalau itu nama tempat, bukan pasar beneran.

Dari penjelasanmu juga, udah ada peraturan kalau Pasar Bubrah bukan tempat untuk berkemah, tapi masih banyak gitu ya pendaki yang nekat bangun tenda di situ? Soalnya aku setuju sama pernyataan, tujuan mendaki yang sesungguhnya bukanlah puncak, tapi selamat sampai rumah dan bertemu orang-orang tercinta. Semoga orang-orang paham hal ini, karena kita nggak pernah tahu yang namanya kecelakaan dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi

Reply
Rivai Hidayat December 10, 2020 - 6:22 am

Tidak kok, pasar bubrah berupa kawasan. Dari dulu memang dikenal dengan nama itu. Aku tidak tahu asal usul nama tersebut..hehehehe
Sebelum pasar bubrah ada pos watu gajah. Tempat ini bagus sebagai tempat mendirikan tenda. Namun, lokasinya tidak luas. Sehingga sering dipenuhi oleh tenda pendaki. Kemungkinan pendaki yang mendirikan tenda di pasar bubrah itu tidak mendapatkan area untuk mendirikan tenda atau mereka ingin memangkas waktu dan jarak perjalanan ketika melakukan perjalanan ke puncak.
Seseorang tidak perlu berambisius untuk sampai puncak. Karena kita masih ada tanggung jawab untuk pulang.
Tiada perjalanan tanpa pulang.

Reply
Nasirullah Sitam December 9, 2020 - 1:48 pm

Aku dulu diajak mendaki Merapi oleh kawan pendaki (yang sekarang dia sukses jadi salah satu vlogger pendakiann), hanya saja kok waktu itu aku bilang belum siap heeee. Dia bilang, kalau memang belum siap yaudah, kudu begitu daripada ngikutin ego. Sekarang Merapi sedang ada hajat, semoga lekas berlalu

Reply
Rivai Hidayat December 10, 2020 - 6:09 am

kalau memang belum siap, mending ga usah aja mas. Naik gunung memang butuh persiapan yang matang. Asal jalan aja juga ga bagus 😀
“Merapi nduwe gawe”, Semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Reply
ina December 10, 2020 - 2:19 am

kalo sekarang masih ada keinginan untuk mendaki nggak mas?

aku sangat setuju sama kalimat terakhir, iya benar tujuan utama sebuah pendakian atau setiap kepergian adalah pulang ke rumah dengan selamat, berkumpul bersama keluarga. jadi teringat cerita yang sedang viral di fb, mendaki dan meninggalkan temannya seorang diri, terus ternyata temannya meninggal. innalillahi, langsung keinget gimana keluarganya nunggu dia pulang ya 🙁

waktu aku ke ijen sama teman2 beberapa waktu lalu, juga ada yang meninggal jatuh ke kawah itu dan digotong turun ke bawah, rasanya nyesek juga.

ps : mbak rei ulalaaaa banget. >_<

Reply
Rivai Hidayat December 10, 2020 - 9:00 am

masih ada niat buat angkat carrier lagi. mungkin yang dekat dengan semarang saja..hahhaa
sesama teman perjalanan itu seharusnya saling menjaga. Tapi hal pertama yang mesti diperhatikan ketika mendaki gunung adalah kita tahu tentang kondisi diri kita. Soalnya kalau itu sudah tahu, pasti kita aka nlebih siap dengan apa yang terjadi. Oyaa, tentu saja jangan lupa untuk terus belajar dan berlatih 😀
Melihat proses evakuasi itu memang sangat menyesakkan. Kalau bisa pilih, mungkin banyak orang memilih di tempat itu ketika kejadian terjadi.

Hehehe, pas itu ketika sedang suka naik gunung 😀

Reply
ina December 13, 2020 - 9:23 am

begitu tahu tentang kondisi diri sendiri maka enggak akan ada yang namanya pemaksaan ya. karena kita yang tahu batasnya, apakah kuat atau sudah, lanjutkan lain hari jangan dipaksa.

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 1:41 am

kalau sudah ga kuat dan waktu tidak memungkinkan, sebaiknya tidak perlu melanjutkan perjalanan. Mending istriahat atau pulang saja 😀

Reply
Bayu Kurniawan December 10, 2020 - 8:50 am

Halo Rivai.. salam kenal… hahaha
Punya banyak teman blogger ternyata enak juga yah… di tengah kondisi lagi pandemi kaya gini bisa tetap jalan2 via online.. wkwkwk

Saya belum pernah ke gunung merapi. Mas Uda Faiz hebat banget. Dia punya asma tapi masih mau buat usaha sampe puncak… karena sama2 punya asma. Saya tahu betul gimana rasanya atur nafas saat badan mulai kelelahan..

Gunung pertama saya gunung ungaran. Itu awal saya ikut muncak. Dan yah seperti yg Rivai bilang. Udah menjadi sebuah budaya untuk pendaki lain menyapa pendaki yg lainnya.. itulah yg awal saya terheran2 pas muncak pertama kali.. karena orang2 terlihat sangat ramah.. awalnya saya pikir karena mereka orang Jawa yg notabenenya memang sudah ramah2.. tapi setelah ikut muncak di salah satu gunung banten. Ternyata suasananya sama… pendaki lain tetap nyapa kami.. heheh

Mantep banget fotonya… Bagus…

Reply
Rivai Hidayat December 10, 2020 - 11:49 pm

Salam kenal Mas Bayu 😀
Jalan-jalan virtual adalah jawaban ddari kita yang memilih tidak kemana-mana di masa pandemi seperti sekarang ini…wkwkwkwkk

Saat ini merapi sedang ditutup mas. Kata orang jawa, merapi sedang punya hajat.hehehe
Uda Faiz tahu kapasitasnya ketika mendaki gunung merapi. Sehingga dia bisa mengatur pernapasan menyesuaikan tubuhnya bekerja. Jadi yang paling penting kita mengenal kemampuan diri kita sendiri 😀

Beberapa kesempatan, kami malah pernah singgah untuk istirahat sejenak. Kemudian kami berbagi makanan dan minuman yang kami bawa. Kami pun terlibat obrolan yang sangat akrab. 😀
makasih mas bayu 😀

Reply
Ella Fitria December 11, 2020 - 12:14 am

waaaaaaw trekking ke gunung merapi nggak bawa tenda berarti fisik kalian sungguh kuaaadddddd buangettt mas, hhhh
meski ada teman yang memiliki riwayat asma ya, alhmdulillah sehat selamat.. btw aku belum pernah trekking ke merapi, kadang mendengar cerita pasar bubrah aja udah serem duluan, hhh
jd kepo sm Uda Faiz di puncak merapi tuh landscapenya seperti apa, ehehehe

Reply
Rivai Hidayat December 11, 2020 - 3:40 am

Yang benar kami tidak kuat, karena kalau bawa tenda tas kami jadi lebih berat. Berhubung ini trekking, tas kami hanya penuh dengan makanan dan kompor. Tidak ada perlengkapan tenda..wkwkwkkwk

Itu juga berkat proses mengenali kemampuan diri. Jadi bisa didapatkan ritme perjalanan yang sesuai dengan diri sendiri. Tiap orang memiliki ritme perjalanannya masing-masing.
kalau dari puncak, juga bakal keliatan gunung merbabu, dan barisan tenda yang ada di pasar bubrah 😀

Reply
Dedew December 11, 2020 - 2:13 am

Pemandangannya amazing banget ya Vai, bahagia bisa sampai puncak….

Reply
Rivai Hidayat December 11, 2020 - 3:11 am

Perjalanannya juga menyenangkan mbak 😀

Reply
Dinilint December 11, 2020 - 3:02 am

Woh awalnya kupikir ini cerita baru,, ternyata cerita nostalgia. Ingatanmu oke juga ya masih bisa nulis detail peristiwa sekitar 6 tahun yang lalu.
Btw, tulisan ini bikin aku kangen akan vibes naik gunung. Aku suka budaya para pendaki yang menganggap semua pendaki adalah saudara. Tiap papasan di gunung selalu bertegur sapa. Kalau bertemu pendaki lain yang butuh pertolongan pasti ditolong. Saling kasih semangat meski sama-sama kelelahan.
Yang paling nyebelin tapi paling ngangengin, kalau pas papasan dengan pendaki yang arah turun dan nanya, “Masih jauh mas?”,, pasti dibalas “Kurang dikit lagi sampe.”. Padahal aslinya ya masih jauh. Wkwkwkwk.

Reply
Rivai Hidayat December 11, 2020 - 3:37 am

empat tahun yang lalu kak. Sebetulnya tulisan lama, aku tulis ulang dan lengkapi ceritanya..hehhee
Yang pendakian 2014 sedang ditulis kak..hehehhee

Sebetulnya sama, aku juga sangat kangen naik gunung. Sudah lebih dari 2 tahun vakum dari naik gunung.hehehhe
Para pendaki sukanya bercanda, saking bercandanya sampai bilang kalau di puncak ada indomaret…hahahahha
itu 5 menit udah sampai pos 3. 2 jam kemudian belum tiba di pos 3..wkwkkwk

Reply
Thessa December 11, 2020 - 12:26 pm

Mas Rivai keren masih ingat lumaya detail pendakian bberapa tahun yg lalu yaaa.. Aku penasaran selama pandemi ini pendakian gini masi dibuka atau ga ya?
Aku semur2 blm pernah mendaki gunung. Blm ada minat juga buat ngedaki. Lbh suka pantai sebnrnya klo aku. Tp aku suka bgd denger cerita2 orng yg ngedaki. Krna memang yg utama bukan hanya ngelihat dr puncak, tp prosesnya yg mengajarkan banyak hal yaa…

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 3:07 am

hehee…beruntungnya masih bisa ingat mbak thesa..hehhee
Pas awal pandemi, banyak gunung yang tutup untuk pendakian. Kemudian menyesuaikan aturan pendakian, termasuk surat keterangan sehat dan pembatasan jumlah pendaki. Kalau merapi masih ditutup karena kondisinya sedang bergejolak.

Proses pendakian mengajarkan banyak hal, termasuk cara bertahan hidup, menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapi, dan masih banyak lagi.
Perjalanan di pantai juga sangat menyenangkan mbak. Bisa menikmati semilir angin laut dan berjemur..hahhaha

Reply
Fanny_dcatqueen December 11, 2020 - 4:07 pm

Penasaran kenapa dikasih nama pasar. Apa ada pasar di hari tertentu?

Kalo denger nama gunung Merapi, aku serem. Kmrn Oktober ikutan wisata Merapi, ngeliat gunungnya dr kejauhan, lgs keinget pas dia meletus dan makan banyak korban. Tapi takjub juga ngeliatnya, berasa banget ciptaan Tuhan sehebat apa…

Mungkin kalo gunung2 begini, aku g niat utk ndaki lah mas, apalagi naik sampe ke puncak wkwkwkwkw. Ngeri aja bayangin kawahnya :D. Cukup liat dr kejauhan hahahahah

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 3:16 am

tidak ada mbak, asal usulnya juga kurang tahu mbak fany. Tapi menurut cerita rakyat, di pasar bubrah juga sering digunakan untuk transaksi layaknya pasar oleh para penghuni di gunung merapi..hehhehehe

Bongkahan batu pas erupsi juga bisa ditemui ketika naik gunung via jalur selo mbak. Apalagi gunung merapi punya sejarah panjang dan cerita tersebut selalu menarik untuk didengarkan.

tidak semegerikan yang dibayangkan kok mbak. Kadang perjalanan pendakian itu adalah perjalanan yang menyenangkan bagi yang suka naik gunung..hahhaa

Reply
Justin Larissa December 13, 2020 - 4:01 pm

Wow 2016! Masih inget banget ceritanya, keren keren Mas Vay! Saya dulu kuliah di Jogja, dan nikah sama orang Jogja, sampai sekarang belum pernah sama sekali naik Merapi, cuman sampe Kalikuning doang wkwk. Closingnya setuju. Pulang dengan selamat itu yang utama 🙂

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 1:41 am

iyaa, cerita pas sering naik gunung 😀
Mungkin karena merapi dekat dengan jogja, akhirnya kepikiran besok-besok aja naik gunungnya. Eh, malah sampai sekarang malah lupa kalau belum pernah naik ke sana 😀

Reply
Lia The Dreamer December 15, 2020 - 12:24 pm

Aku setuju dengan kata Kak Thessa. Kak Rivai ingatannya kuat sekali. Memori 4 tahun lalu masih bisa diingat sebegitu detilnya, salut 😀
Ngomong-ngomong kalau trekking ke puncak gunung kayaknya seru sebab jadi banyak cerita dan pengalaman dari naik gunung, tapi kebayang juga lelahnya pas naik, aku sendiri nggak tahu bisa kuat atau nggak >..<
Kalau trekking ke puncak Merapi sendiri, tetap kena biaya naik nggak, Kak?

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 3:28 am

Terima kasih mbak lia. aku sering memanfaatkan foto dan catatan kecil untuk mengingatnya. Jadi catatan ini juga membantu membuat ceritanya semakin detail sesuai pengalaman yang didapat…hheheehe

kalau lelah bisa diantisipasi dengan rutin olahraga mbak lia. Jadi sebelum naik gunung, sebaiknya olahraga terlebih dahulu. Jadi ketika mendaki, otot tidak terkejut dengan aktivitas yang dilakukan. Tentunya berdoa sebelum pendakian juga sangat penting 😀
Setiap naik gunung dikenakan biaya mbak. Biasanya dikenal dengan biaya simaksi (surat ijin memasuki kawasan konservasi). Untuk besaran tiap gunung berbeda-beda. Tergantung pengelolanya.

Reply
Rudi Chandra December 16, 2020 - 11:10 am

Setuju Mas, tujuan pendakian adalah pulang dengan selamat, jadi keselamatan tetap yang paling utama.

Btw, view dari jalur pendakiannya aja udah indah banget kok.

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 1:36 am

banyak orang yang mendaki gunung dan masih terobsesi dengan puncak gunung mas 😀
Pasar bubrah menjadi pemandangan yang paling ikonik di jalur pendakian gunung merapi 😀

Reply
Sudibjo December 16, 2020 - 2:27 pm

wow dimulai pada malam hari, udah pasti dingin banget menusuk tulang tuh suhunya

Reply
Rivai Hidayat December 17, 2020 - 12:50 am

kalau sudah jalan, biasanya badan malah lebih hangat mas. Itu karena ada pembakaran dalam tubuh. Ketika berhenti malah merasa dingin. jadi yaa mesti jalan terus agar badan tetap hangat

Reply
Rahul Syarif December 22, 2020 - 11:21 am

Bukan karena lupa, tapi cerita yang sudah lama, sudah agak malas untuk saya ceritakan kembali. Beruntung, foto-foto seperti yang mas Rivai bilang sangat membantu ingatan saya untuk lebih menginggat detil kejadian. Biasanya, saya juga membarengi dengan catatan kecil dihape. Berupa kejadian atau peristiwa yang cukup membekas.

Saya bukan pendaki, tapi saya cukup rindu untuk mendaki. Selama pandemi, saya sudah jarang dapat ajakan dan mengajak teman untuk mendaki. Jadi pengen lagi 🙁

Reply
Rivai Hidayat December 29, 2020 - 12:48 pm

kadang feel untuk menulis cerita lama memang beda mas. Kadang kita mesti membangkitkan momen dan setiap rasa dari cerita lama. Makanya aku jgua sering bawa buku kecil buat catat hal-hal unik yang aku dengar dan lihat mas 😀

Dulu masih sering naik gunung, tapi sekarang sudah sangat jarang. Kalau pandemi sudah berakhir, ayo nanjak lagi mas 😀

Reply
Hicha Aquino December 31, 2020 - 4:41 pm

Merapiii… kayaknya belum bisa bilang hobi naik gunung kalau belum pernah mendaki gunung ini, ya…
Pas balik ke sini udah ada niatan pengen mulai mendaki lagi. Pas kuliah nggak berkesempatan waktu maupun dana, pas udah kerja, baru sempat ke gunung Gede, beberapa bulan kemudian terdampar di negara orang. Wkwk.

Setahunan ini mungkin gunung-gunung juga lagi pengen istirahat dari para pendaki, kali ya, mas…

Reply
Rivai Hidayat January 2, 2021 - 3:18 am

Banyak pendaki yang selalu tertarik untuk mendaki gunung merapi mbak. Selain karena mitos, jalur pendakiannya juga sangat menantang 😀
aku malah belum pernah ke gunung gede mbak icha. Padahal beberapa temanku sudah pernah ke sana. Cukup penasaran dengan gunung gede..hehhee
Bisa dibilang begitu mbak. Selama pandemi, pengelola gunung menutup jalur pendakiannya. Beberapa membatasi jumlah pendaki.

Reply
dodo nugraha January 4, 2021 - 8:27 am

Woaah, keren nih mas. Aku kalo mendaki belum pernah, suau saat pengen mencoba kapan-kapan.
Pernahnya cuma ke Bromo sih, apakah bromo termasuk mendaki juga kah? 😀

Reply
Rivai Hidayat January 4, 2021 - 9:45 am

Kalau rumah di palembang, bisa coba naik gunung dempo mas. Pemandangan gunung depo bagus mas 😀
Anggap saja pernah mas, khan gunung bromo juga termasuk gunung 😀

Reply
Aqmarina - The Spice To My Travel January 5, 2021 - 4:08 am

Halo Mas Rivai, salam kenal! 🙂
Waah menarik banget blognya, aku suka dengan gaya tulisan mas Rivai
Aku dulu sewaktu kuliah tinggal di Jogja selama 4 tahun, tapi belum pernah mendaki merapi.. mungkin karena dulu belum suka jalan-jalan di alam ya hihi
Seru banget membaca blogpost ini, aku jadi kepingin naik merapi dan merbabu juga. Semoga bisa mencoret bucket list untuk menaiki kedua gunung tersebut secepatnya ya 😀

Reply
Rivai Hidayat January 7, 2021 - 6:47 am

salam kenal mbak aqma 😀
Kalau mau naik merapi, bisa melalui basecamp selo, boyolali mbak aqma. Pastikan kondisi sehat dan siap sebelum naik gunung mbak 😀

Reply
ainun January 10, 2021 - 4:30 am

omaigodddd aku lama banget nggak trekking dengan jalur “wah” kayak gini
meskipun temen komunitas ada yang ke semeru tapi karena jadwal nggak cocok, auto batal trekking seperti ini
cita cita ke rinjani pun entah kapan akan terlaksana, padahal bulan lalu jalur pendakian udah dibuka, dannn baru dapet kabat kalau ditutup lagi

Reply
Rivai Hidayat January 16, 2021 - 11:19 am

Aku malah belum pernah ke semeru. Beberapa kali diajak, tapi selalu gagal. Dulu emang belum berjodoh..hiiks
Aku ke rinjani tahun 2014 mbak. Sangat seru, hanya saja kurang lama..huhuhu
Jalur pendakian rinjani sekarang sangat ketat. Bahkan ada ratusan pendaki yang di blacklist karena ketahuan melanggar aturan.
semoga mbak ainun bisa ke rinjani 😀

Reply
Febi February 15, 2021 - 11:17 am

Perasaan gue campur aduk waktu berhasil sampe di Pasar Bubrah..
Seneng karena bisa sampai kesana dengan selamat dan dibolehin ngerasain suasan di Pasar Bubrah yang katanya mistis itu tapi bagi gue duh dingin banget..hehe..
Ada perasaan sedikit kecewa karena rasanya pengen bandel naik sampe ke puncak tapi itu ngga mungkin karena selain bahaya, CP juga ngga kasih izin..
Ada yang maksa naik, langsung dikejar CP dan dijemput turun..
Gue paham kenapa kayak gitu karena tanggung jawab CP yang besar ya..hehe..

Menurut gue pribadi, Merapi mungkin bisa jadi ajang ngetes kontrol diri kali yah, hayoo mau bandel tetep naik atau menahan hasrat yang kelihatannya udah di depan mata 😀

Nice post!

Reply
Rivai Hidayat February 15, 2021 - 1:16 pm

Setuju, tanggung jawab CP itu berat. Mereka secara ga langsung juga bertanggung jawab terhadap keselamatan peserta. Jadi jangan bandel-bandel biar perjalanan tetap aman dan selamat..

Aku udah pernah sampai puncak merapi, tapi pas itu belum ramai larangan mendaki ke puncak. Sekarang sih udah gada niatan hingga sampai puncak. lebih menikmati suasana perjalanan saja…hehhehee

Reply
morishige March 30, 2021 - 4:35 pm

Merapi salah satu gunung favorit saya. Soalnya treknya nggak basa-basi, Mas. Nanjak terus sampai Bubrah. Paling bonus dikit di Selokopong. Pertama kali naik Merapi dulu 2007. Masih ada Kawah Mati, Puncak Garuda masih sisa setengah. 😀

Reply
Rivai Hidayat March 31, 2021 - 2:41 am

Aku pertama kali naik merapa tahun 2005. Jaman masih sma. Pas kelas 3 ujian, diajakn kakak kelas naik merapi. Di awal emang berasa karena langsung nanjak. Di puncak juga masih bisa lihat puncak garuda.

Merapi memang ga ingkar janji 😀

Reply

Leave a Comment