Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the soledad domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/masvayco/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Tinggal di Desa Jongkong Hulu - Rivai Hidayat

Tinggal di Desa Jongkong Hulu

by Rivai Hidayat

Keberadaanku di Desa Jongkong Hulu seperti bakal lebih lama dari rencana awal. Siang itu, salah seorang temanku mengalami cedera pada kakinya. Kakinya terkilir dan terjatuh ketika melewati galangan sawah. Saat itu, kakinya langsung dipijat oleh warga desa. Kakinya masih terasa sakit dan kesulitan untuk berjalan. Akhirnya diputuskan untuk beristirahat dan kembali ke rumah kontrakan yang ada di Desa Gudang Hilir.

Selain Pak Jais, aku juga berkenalan dengan Bang Daniel. Dia merupakan seorang pendatang dan tinggal di Dusun Resak. Dia berpindah ke Jongkong Hulu mengikuti istrinya yang merupakan warga Dusun Resak. Menurut cerita kepala dusun, lokasi Dusun Resak yang sekarang merupakan perpindahan dari lokasi yang lama. Lokasi lama jaraknya sekitar 1.5km dari jalan penghubung antar desa.

Aku lupa tahun berapa warga Dusun Resak pindah ke lokasi yang baru. Namun seingatku, sekitar tahun 2004/2005 jalan penghubung antar desa mulai diperlebar seperti sekarang. Lokasi lama dinilai terlalu jauh dari jalan utama. Sebelum adanya adanya akses jalan, warga dusun terbiasa berjalan kaki. Meskipun berpindah lokasi, warga dusun tetap mengurus ladang dan kebun milik mereka. Jalan menuju ke kebun masih berupa tanah merah. Terdapat beberapa jembatan kayu yang dipasang melintang untuk menyeberangi sungai.

Jembatan kayu di jalan ke perkebunan

Di setiap ladang atau kebun warga selalu ada pondok kayu yang berfungsi sebagai tempat beristirahat. Hanya sebuah pondok kayu sederhana tanpa dinding dan beratapkan seng. Biasanya di pondok tersebut terdapat beberapa piring, gelas, pisau, dan sendok. Terkadang warga juga meninggalkan panci, minyak goreng, garam, dan penyedap rasa di pondok. Siang itu aku, Bang Daniel, dan beberapa warga memilih beristirahat di pondok milik warga.
Baca Juga: Singgah di Desa Jongkong Hulu

Bang Daniel langsung menawari kami makan. Aku heran karena kami tidak membawa makanan apapun, kecuali biskuit yang tinggal beberapa biji. Bang Daniel langsung mengambil parang dan masuk ke kebun warga. Sedangkan Bang Ega mengambil air dengan botol air minum di sungai yang tidak jauh dari pondok.

Tak selang berapa lama, Bang Daniel kembali ke pondok dengan membawa singkong, nanas, cabe, dan dedaunan. Bahan-bahan itu dipotong dan dicampur di atas piring. Tidak lupa ditambah sedikit air, garam dan penyedap rasa. Semua diolah secara alami, tanpa dimasak.

Salah satu jalan tani di Desa Jongkong Hulu

Aku sempat merasa ragu ketika disuruh untuk mencicipinya. Bang Daniel dan warga lainnya memastikan kalau ini aman. Mereka terbiasa makan makanan seperti ini ketika berkebun. Akhirnya aku mencicipi makanan tersebut. Nanas menjadi pilihan pertamaku. Kemudian dilanjutkan dengan yang lainnya. Ternyata rasanya cukup enak. Mungkin karena efek dari penyedap rasa yang ditaburkan.

Pedasnya cabe dan manisnya nanas memenuhi rongga mulutku. Makan siang kala itu ditutup dengan minum air yang diambil dari sungai. Saat itu aku tidak khawatir jika nanti sakit perut. Makan di pondok ini memberikan kesan tersendiri bagiku selama Desa Jongkong Hulu.

Di suatu petang, Bang Daniel datang ke tempat kami dengan membawa beberapa biji singkong. Entah dari kebun milik siapa. Berbagi hasil kebun bagi warga Desa Jongkong Hulu adalah hal yang biasa. Bahkan beberapa orang tidak perlu meminta izin secara langsung. Izin bisa disampaikan pada keesokan harinya.
Baca Juga: Dusun Lidung

Singkong tersebut dikupas, dicuci, dan kemudian dipotong kecil-kecil. Sebelum dikukus, potongan singkong ditaburi dengan bumbu penyedap rasa. Setelah beberapa menit dikukus, potongan singkong digoreng. Singkong goreng dari kebun orang ini rasanya sangat enak. Bumbunya terasa meresap ke dalam. Walaupun hanya diberi penyedap rasa. Sepertinya penyedap rasa sudah menjadi bagian dari setiap masakan warga desa. Seperti halnya arak.

Warga yang sedang mengadu ayam mereka

“Mas Rivai tidak perlu khawatir kelaparan kalau sedang berada di kebun. Kalau mau, tinggal ambil aja yang ada.” Ucap Bang Daniel sambil menebas beberapa batang tebu.
Aku diberi beberapa ruas tebu untuk dimakan. Air tebu yang manis ini menjadi penawar dahaga di bawah teriknya matahari siang itu. Keakraban warga Desa Jongkong Hulu memang sering terlihat dalam aktivitas sehari-hari. Seperti berbagi makanan di pondok kebun dan berbagi arak untuk diminum bersama-sama.

Ketika istirahat siang, beberapa warga desa juga makan ramai-ramai di tempat tinggal kami. Mungkin ada sekitar delapan orang. Salah satu perangkat desa bertugas untuk memasak makanan. Begitu juga ketika malam hari. Pernah suatu sore kami ditawari menu ayam goreng. Namun, syaratnya kami yang mesti menyembelih ayamnya. Seluruh warga Jongkong Hulu beragama Kristen. Sehingga tidak mungkin jika mereka yang menyembelih ayam dan kami memakannya.

Tiang-tiang untuk mendapatkan sinyal internet

Seperti halnya Desa Benuis, sinyal telepon dan internet di Desa Jongkong Hulu juga sangat susah. Warga biasa menggunakan perangkat tambahan penangkap sinyal yang diletakkan di atas tiang setinggi belasan meter. Perangkat ini kemudian meneruskan sinyal ke  telepon genggam milik warga.

Hampir setiap rumah warga memiliki perangkat tersebut. Lokasi desa yang jauh dari pemancar memang menyulitkan sinyal telepon dan internet masuk ke desa ini. Sinyal yang bagus bisa ditemui ketika berada di bukit yang berada di perbatasan Desa Jongkong Hulu dengan Desa Mensusai.

Aku berada di Desa Jongkong Hulu kurang lebih sekitar 10 hari. Perjalanan yang awalnya tidak direncanakan malah menjadi memberikan kesan tersendiri. Aku sangat senang bisa diterima baik di Desa Jongkong Hulu. Memiliki kesempatan untuk mengenal dan hidup bersama warga desa dan menikmati suasana desa yang asri dan banyak pepohonan. Sungguh menyenangkan dan berkesan, tapi aku mesti melanjutkan perjalanan menuju desa selanjutnya.

You may also like

24 comments

Nasirullah Sitam December 6, 2021 - 3:45 am

Tiang-tiang antena itu mengingatkanku di Karimunjawa sebelum tahun 2010an. Kudu pakai antena biar dapat sinyal ahhahaha.
Mas. kayake menarik loh kalau dulu sempat merekam aktivitas di sana

Reply
Rivai Hidayat December 7, 2021 - 6:24 pm

Para pemburu sinyal. Kalau malam dimatikan agar baterai diisi ulang dulu..hahaha

Nah, sayangnya pas itu jarang banget bikin video. Motret jga ga banyak. Padahal.momen seperti itu belum tentu terjadi lagi..hiiks

Reply
Liii December 6, 2021 - 6:14 pm

Kali ini di beberapa bagian cerita Kak Rivai, aku merasa seperti sedang nonton show Jejak Si Gundul wkwkwk. Entah kenapa aku malah bacanya pakai nada Si Gundul dan kalimatnya cocok gitu dibawakan dengan nada seperti itu. Apakah ini pertanda bahwa Kak Rivai akan menjadi the next Si Gundul? Kayaknya cocok sih, apalagi Kakak suka berkeliling ke daerah-daerah pedalaman seperti ini kan wkwk

Reply
CREAMENO December 7, 2021 - 9:53 am

Nggak bisa membayangkan mas Vay gundul hahahaha, baiknya nggak usah dibayangkan, yah

Reply
Rivai Hidayat December 8, 2021 - 12:19 am

jangan salah mbak eno, sejak tahun 2015 tiap bulan desember atua akhir tahun aku selalu potong gundul. panjang rambut sekitar 4-5 mm. itu sebagai perayaan telah akhir tahun dan menyambut tahun baru…Kalau sekarang belum potong rambut sih. Mungkin nanti atau besok. 😀

Reply
Rivai Hidayat December 8, 2021 - 12:14 am

yang diajarkan jejak si gundul kita mesti bisa membaur dengan warga lokal. Dan itu memang terbukti memberikan kesan tersendiri dalam perjalanan. Tapi sayangnya aku bukan orang suka tampil di depan kamera. jadi sedikit susah. Tapi kalau suka ke daerah pedalaman yaa emang benar sih…hahhahaa

Reply
Dodo Nugraha January 2, 2022 - 7:47 am

Jangan-jangan, mas Rivai adalah tokoh di balik jejak si Gundul. Hahaha

Reply
Rivai Hidayat January 3, 2022 - 7:17 am

Kadang emang terinspirasi oleh si gundul mas dodo..hahahaa 😀

Reply
Phebie December 6, 2021 - 9:31 pm

Micin dan arak sudah jadi kebiasaan ya. Unik banget. Membayangkan ada di daerah itu mungkin jadi pengalaman menarik tersendiri. Paling enak memang kalau visit di desa-desa itu bisa ada pengalaman makan-makan yang fresh dari kebun langsung. Itu yang seru untuk dialami. Sejak Corona jarang masuk-masuk ke pedesaan lagi. Kind of miss it.

Reply
Rivai Hidayat December 8, 2021 - 12:16 am

hidup membaur dan mengikuti pola hidup warga lokal memberikan pengalaman tersendiri mbak phebs. Itu yang sangat aku rasakan sampai saat ini. Entah mereka percaya corona atau tidak, yang pasti warga selalu tampak sehat dan bugar.

Reply
CREAMENO December 7, 2021 - 9:58 am

Seru bingits mas, sesuatu yang nggak direncanakan namun membuahkan cerita menarik seperti di atas. By the way, teman mas Vay sudah sehat belum kakinya? 😀

Ngomong-ngomong, di sana paling banyak pakai provider apa, mas? Penasaran. Wk. Dan salut juga saya sama kebersamaan orang desa, seperti di rumah simbah saya, mau ambil apa tinggal ambil, bilang besok ke yang punya kebun pun nggak masalah. Mungkin karena mereka sudah seperti keluarga kali yaaah. Terus saya jadi ingin makan tebu dooong, omaygad sudah lama banget nggak makan tebu, terakhir jaman SD kayaknya. Dulu seingat saya pernah deh diajak makan tebu yang masih dalam bentuk batang gitu kalau nggak salah 😀 Yang mas Vay makan begitu juga bukan? Apa beda? *bisa jadi memori saya salah* Hahahaha.

Reply
Rivai Hidayat December 8, 2021 - 12:29 am

Sudah, selang beberapa hari dia balik ke semarang. Di semarang juga dipijat lagi dan sekarang sudah sembuh sepenuhnya.
Kebanyakan pakai provider si merah mbak eno. Sinyalnya lebih stabil dibandingkan si kuning. Rasa kekeluargaan di sana masih sangat tinggi. Jadi hal-hal seperti itu sudah jadi kebiasaan. Saling bantu dan peduli sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Bener banget mbak eno, makan tebu langsung dari batangnya. Kalau makan itu berasa melatih gigi..hahhahaa
Kalau jaman SD, berarti sudah lama sekali mbak eno. Ehm, mbak eno dan kesayangan ga kepikiran nyoba makan tebu langsung dari batangnya lagi..? Khan bisa bilang ke kesayangan kalau ini adalah cara makan yang sesuai dengan kearifan lokal….hahhahaha

Reply
ainun December 15, 2021 - 4:20 pm

tebu, dulu waktu kecil cukup sering menghisap air tebu ini, soalnya dulu masih tinggal di desa juga, jadi gampang dapetin tebunya
kalau sekarang di kota, yang ada es tebu, jadi sudah tinggal minum aja

bener yang dibilang mbak Eno, perjalanan yang nggak direncanakan biasanya mempunyai cerita yang lebih menarik dan bisa ketemu dengan orang-orang baru yang nggak bisa diprediksi sebelumnya

Reply
Rivai Hidayat December 28, 2021 - 2:56 am

ketika kecil aku juga sering makan tebu langsung dari batangnya. Ada kepuasan tersendiri ketika memakannya 😀
Itu yang sering aku lakukan, yaitu menimalisasi ekspektasi tentang apa saja yang bakal ditemui ketika melakukan perjalanan. Aku membiarkan semuanya mengalir begitu saja 😀

Reply
Roem Widianto December 13, 2021 - 1:21 pm

Warganya baik-baik dan suka berbagi ya, Mas Vai. Bahkan di pondok kayu di setiap ladangnya tersedia alat dapur sederhana supaya yang sedang butuh, bisa langsung pakai. The best deh warga Jongkong Hulu ini.

Dan micin juga the best. Iya kan, mas? Nanas dan singkong jadi makin sedap dengan sentuhan micin. Hehehe.

Reply
Rivai Hidayat December 28, 2021 - 2:56 am

Semua makanan yang aku makan selama di sana tidak lepas dari bumbu masako. Yaa emang enak rasanya. Bikin nagih..hahhahaa

Reply
Fanny_dcatqueen December 19, 2021 - 1:58 pm

Ya ampuuun aku bayangin nenas di kasih bumbu2 aja LGS pengin mas, pasti enaaak sih. Anggab aja kayak rujak . Takjub pas baca airnya ambil di sungai. Berarti jernih dan bersih bgt kan yaaaa.

Makanan kampung begini, walo sangat sederhana, tapi aku yakin enak, Krn bahannya segar . Langsung metik. Dulu aku pas msih tinggal di Aceh, rumah di sana ada kebun gede. Dan tukang kebun keluargaku suka nanam buah dan sayur, termasuk ada tebu. Itu kali pertama sih aku menghisap tebu . Ga terlalu suka, Krn keras , tapi manisnya enak memang.

Reply
Rivai Hidayat December 28, 2021 - 3:09 am

Benar-benar enak mbak, walaupun cuma pakai bumbu penyedap. Diolah secara sederhana, tanpa dimasak. rata-rata warga untuk makan sayar biasanya memanfaatkan hasil kebun mereka sendiri. Jadi kalau butuh tinggal ambil di kebun aja 😀
Makan tebu emang melatih kekuatan gigi. Jadi yaa mesti sabar dan ditahan demi manisnya air gula yang keluar 😀

Reply
Ikrom December 23, 2021 - 2:47 am

baca setiap postingan Mas Vay rasanya syahdu banget
begitu asrinya susana desa di pedalaman kalimantan
aku juga termasuk yang agak takut kalau makan nanas mas
tapi karena enak ya sudah heheheh
yang jelas makan dari hasil kebun itu memang nikmat sekali
mungkin masih fresh kali ya Mas

Reply
Rivai Hidayat December 28, 2021 - 3:19 am

Nanas itu sangat enak, meskipun cara mengupasnya yang sedikit ribet. Cukup terbayar dengan rasanya…hahahhaa 😀
beberapa bahan makanan memang biasa diambil dari kebun mereka sendiri mas ikrom. 😀

Reply
Agus December 23, 2021 - 1:59 pm

Warga desa Jongkong Hulu ramah semua ya mas Vay. Teman yang keseleo langsung diurut.

Membayangkan ini kok rasanya seperti kehidupan masa lalu, akrab sesama warga desa. Kalo pengin singkong atau tebu tinggal ambil di ladang.

Cuma sinyal telepon rada susah, tapi bagus sih jadi orang tidak kecanduan internet kayak aku.

Reply
Rivai Hidayat December 28, 2021 - 3:22 am

Merasa betah selama tinggal di sana mas agus. Dijamu dengan baik dan dianggap seperti saudara sendiri. Tidak hanya singkong dan tebu, antar warga memang terbiasa untuk berbagi mas.
Beberapa rumah emang mengusahakan untuk mendapatkan sinyal. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja 😀

makasih mas agus 😀

Reply
Dodo Nugraha January 2, 2022 - 7:51 am

Mas, asyik juga yaaa bisa jalan2 masuk desa desa begini.
Membaca cerita mas rivai makan tebu, aku jadi kepengen makan tebu langsung seperti itu juga. Terakhir aku makan tebu langsung, kalo ga salah ketika SD. Dari kebun milik mbah ku heheh…

Kemudian, dari cerita ini bisa didapat bahwa toleransi warga di sana cukup tinggi ya. Terbukti bahwa mereka meminta rombongan Mas Rivai yg menyembelih ayamnya. Betull. Kalau mereka yang sembelih, dagingnya jadi tidak halal kan

Reply
Rivai Hidayat January 3, 2022 - 10:22 am

Tebu memang jadi kenangan masa kecil kita yaa mas. Makan tebu dari batangnya langsung emang beri pengalaman tersendiri 😀
benar sekali mas, itu bentuk toleransi yang ditemui secara nyata di sana.

Reply

Leave a Comment