Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the soledad domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/masvayco/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Tinggal di Desa Benuis - Rivai Hidayat

Tinggal di Desa Benuis

by Rivai Hidayat

Guyuran hujan di bulan Januari tahun 2021 menjadi hal biasa yang aku temui selama berada di Desa Benuis. Hujan turun pada dini hari, kemudian kabut tipis menyelimuti desa di pagi hari. Suasana desa terlihat lebih hening dan syahdu. Udara segar mudah didapatkan di desa ini.

Pagi itu langit terlihat mendung. Jalanan masih basah sisa hujan tadi malam. Terlihat anak-anak sedang berjalan kaki hendak menuju ke sekolah. Pak Thomas, salah satu guru SMP, menyapaku yang sedang menikmati suasana pagi dari balkon lantai dua rumah Pak Amri. Kemudian ada Tegar, anak kedua Pak Amri, bergegas menyusul teman-temannya yang sudah melintas di depan rumahnya.

Seperti desa-desa lainnya, di Desa Benuis hanya ada satu sekolah setingkat SD dan SMP. Keduanya merupakan sekolah negeri. Sedangkan hanya terdapat satu sekolah tingkat SMA untuk setiap kecamatan. Pasca lulus SMP, mereka akan melanjutkan jenjang pendidikan di SMA yang terletak di Desa Gudang Hulu. Total seluruh siswa SD dan SMP di Desa Benuis tidaklah banyak. Tidak mencapai ratusan siswa. Bahkan di kelas Tegar, yang saat itu Kelas 3 SMP, hanya berjumlah lima orang. Begitu juga dengan siswa kelas 1 dan 2. Tidak lebih dari 20 orang siswa.

Anak SMP pulang sekolah

Tidak jauh dari sekolah SMP, tersedia bangunan yang bisa digunakan sebagai asrama bagi guru dan siswa. Sayangnya, kedua bangunan ini sudah lama tidak ditempati. Halaman depan dipenuhi dengan alang-alang setinggi lutut orang dewasa. Menurut Pak Amri, dahulu bangunan ini dibangun untuk tempat tinggal bagi para siswa dan guru yang rumahnya jauh dari sekolah. Sehingga mereka tidak perlu bolak-balik menempuh perjalanan jauh dari rumah menuju sekolah. Tidak hanya di Desa Benuis, di desa lainnya juga tersedia asrama siswa dan guru.
Baca Juga: Orang-Orang Desa Benuis

Suasana desa masih terlihat lengang. Sudah sekitar satu jam aku menikmati suasana pagi. Selama di Desa Benuis aku tinggal di rumah Pak Amri bersama istri dan anak bungsunya, Tegar. Sedangkan anak sulungnya, Arina, masih kuliah di salah satu kampus di Pontianak. Rumah ini terletak di Dusun Sawah dan tidak jauh dari kantor desa.

Rumah Pak Amri dibangun sekitar tahun 2009 dengan bentuk rumah panggung bertingkat yang menggunakan bahan utama kayu dan beratap seng. Meskipun Desa Benuis jauh dari pesisir sungai, sebagian besar rumah warga merupakan rumah panggung. Menurut cerita warga, kayu yang digunakan adalah jenis kayu tembelin. Kayu ini bisa bertahan hingga puluhan tahun dan anti rayap.

*****

Malam itu tidak banyak laporan yang aku kerjakan. Aku memutuskan turun ke ruang tengah dan bergabung dengan Pak Amri, istrinya, dan Tegar yang sedang menonton acara televisi. Untuk bisa menonton tayangan televisi, Pak Amri menggunakan pemancar parabola untuk menangkap sinyal. Meskipun begitu, tampilan layar masih belum jernih. Tapi ini tetap menjadi jadi sumber informasi dan hiburan bagi keluarga Pak Amri. Bu Amri pergi ke dapur untuk menyeduh kopi untuk kami. Kopi memang menjadi suguhan utama bagi warga desa. Aku lupa berapa gelas kopi yang aku sesap pada hari ini.

Pemandangan dari rumah Pak Amri

Sebelum adanya jalan penghubung antar desa, wilayah Desa Benuis masih dikelilingi perkebunan dan hutan. Tidak ada akses jalan. Warga yang ingin pergi keluar desa mesti berjalan kaki melalui jalan setapak melewati hutan. Perjalanan ini bergantung pada tujuannya. Jika menuju desa di pesisir sungai, perjalanan bisa menuju ke Desa Gudang Hilir dan dilanjutkan dengan naik perahu menyusuri sungai. Selepas lulus SMA, Pak Amri merantau ke Pontianak. Beberapa kali berpindah kerja di kabupaten lainnya. Namun, di Kota Pontianak inilah Pak Amri bertemu dengan istrinya. Istri Pak Amri berasal dari Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Baca Juga: Senja di Desa Mawan

Bu Amri sangat terkejut ketika pertama kali datang ke Desa Benuis. Dia tidak menyangka bahwa untuk menuju rumah suaminya, dia harus berjalan kaki lebih dari tiga jam melewati hutan. Bahkan Bu Amri sempat menangis ketika berjalan kaki di hutan. Mungkin bagi Pak Amri ini hal yang biasa. Namun, tidak bagi istrinya. Ini merupakan pengalaman pertamanya. Di awal pernikahannya, Bu Amri merasa tidak betah tinggal di Desa Benuis. Wilayah yang sepi, terisolasi, dan tidak ada hiburan menjadi permasalahan tersendiri baginya. Beberapa kali meminta pulang ke rumahnya. Ketika hamil Arina, Bu Amri pulang sejenak ke rumahnya.

Pak Amri sedang memberi makan ikan arwana miliknya

Sekitar tahun 2004-2005 akses jalan penghubung antar desa mulai dibangun. Jalan ini menghubungkan beberapa desa yang berada di dua kecamatan. Termasuk Desa Benuis. Terbukanya akses jalan membuat pembangunan infrastruktur lainnya mulai berjalan. Seperti masuknya listrik dan pembangunan rumah-rumah di sepanjang jalan penghubung. Selain itu, pengiriman logistik berjalan dengan baik dan akhirnya perekonomian warga mulai tumbuh.

Para warga bisa berbelanja kebutuhan dan menjual hasil kebunnya di Pasar Selimbau. Hingga saat ini masih ada beberapa ruas jalan yang berupa jalan tanah. Jika turun hujan, jalan ini akan licin dan becek. Jalan tanah dan jalan rusak masih menjadi permasalahan tersendiri di wilayah Kecamatan Selimbau dan beberapa desa lainnya.

Para pedagang yang pulang dari pasar
Jalan penghubung di depan kantor desa

Obrolan malam itu berakhir ketika Pak Amri telah bersiap-siap untuk mengambil madu hutan di area perkebunan dan hutan bersama beberapa warga desa lainnya. Aku sempat diajak oleh Pak Amri. Sebetulnya aku sangat tertarik dengan ajakan itu. Namun, aku tidak bisa memenuhinya. Aku takut kalau keikutsertaanku malah merepotkan warga desa. Selain itu, nanti pekerjaanku malah terganggu.
Baca Juga: Orang-Orang Desa Mawan

Di area hutan dan perkebunan warga biasanya disiapkan tiang-tiang memanjang sebagai tempat lebah membangun sarangnya. Lebah-lebah ini merupakan lebah liar. Bukan lebah ternak. Kualitas madu hutan sangat dipengaruhi oleh kualitas nektar bunga yang dimakan oleh lebah. Jika bunga sedang bagus, maka kualitas madu akan bagus. Begitu juga dengan sebaliknya. Sekali panen madu hutan bisa menghasilkan beberapa liter madu. Madu hutan ini biasanya dikonsumsi sendiri. Jika hasilnya melimpah, madu hutan juga dijual dengan harga Rp120.000/liter. Biasanya Pak Amri baru kembali ke rumah pada dinihari. Ketika yang lainnya sudah tidur terlelap.

*****

“Mas, airnya mati. Jadi sementara kalau mau mandi bisa di sungai dulu.” Kata Bu Amri kepada kami yang baru tiba di rumah. Pipa saluran air milik desa mengalami kerusakan, Diperlukan perbaikan selama tiga hari. Air tidak dapat mengaliri seluruh bak penampungan milik warga. Tegar menemani kami menuju sungai yang berada tidak jauh dari rumah. Hanya perlu jalan kaki sekitar lima menit. Sore itu, banyak warga mandi di sungai. Khususnya anak-anak. Tidak hanya mandi, mereka juga bermain air. Selain untuk mandi, beberapa warga juga memanfaatkan sungai ini untuk mencuci. Tentu saja di bagian dekat pintu air.

Aku mulai melepas baju dan bersiap menceburkan tubuhku ke sungai. Mulai membasahi, dan berendam di sungai. Air sungai ini benar-benar menyegarkan. Beberapa kali aku menyelupkan kepalaku ke dalam air. Sengaja aku lakukan berkali-kali. Aku merasakan kesegaran air sungai mengalir di kepalaku. Tempat mandi ini merupakan sungai yang dibendung. Sehingga sekilas berbentuk seperti penampungan air yang mengalir. Bagian terdalam sungai sekitar 1.5 meter. Sungai mengalir dari mata air yang berada di perbukitan yang berada di bagian selatan Desa Benuis.

“Tidak lengkap datang ke Desa Benuis tanpa mandi di sungai.” Kelakar Bu Amri sambil tertawa ketika melihat kami tiba di rumah. Aku sangat senang bisa mendapatkan pengalaman berharga ini. Setelah dua minggu lalu mandi di Danau Mawan di Desa Mawan, kini bisa mandi di sungai yang ada di Desa Benuis.

Cerita Dari Kapuas
Desa Benuis, Januari 2021

You may also like

78 comments

Ina September 25, 2021 - 4:58 pm

Nggak bisa ngebayangin tinggal di desa yang terisolir seperti ini, untung saja akhirnya ada jalan penghubung antar desa.
Sehari paling banyak berapa gelas kopi mas? Minum kopi kayak minum air putih nih, banyak sekali.

Reply
Rivai Hidayat September 25, 2021 - 9:48 pm

Dulu aku juga membayangkan ketika belum ada jalan penghubung. Beberapa kali masuk area kebun dan hutan yang ada di desa. Jalan setapak terlihat jelas karena sering dilewati oleh warga. Berjalan kaki hingga mencapai batas persimpangan jalan menuju desa lainnya. Nanti tunggu di cerita selanjutnya.

Mungkin lebih dari 5x. Pagi sudah disuguhi. Sekitar jam 8 ngopi di kantor desa. Istirahat siang biasanya dbuatkan kopi. Dan malam hari bbrapa kali disuguhi kopi 😀

Reply
Endah April September 26, 2021 - 2:29 am

Desa-desa di Kalimantan kayak gini, ada padanannya nggak Mas Vay kalau di Jawa itu kayak di mana? Soalnya kapan hari lihat twit seorang anak Kalimantan yang ngetwit meme persepsi orang Jawa ke Kalimantan itu isinya hutan, padahal aslinya kalau kotanya ya kota kayak di Jawa.

Reply
Rivai Hidayat September 26, 2021 - 4:14 am

Kalau kota yang berkembang biasanya berada di ibukota provinsi dan kota-kota besar lainnya. Seperti pontianak, banjarmasin, balikpapan, samarinda, singkawang, dan palangkarya.

Kalau untuk kabupatennya biasanya keramaian biasanya fokus di pusat kota. Nah desa-desa kayak gini mirip dengan dengan desa-desa yang ada di kabupaten di jawa. Masih bisa ketemu perkebunan, dan persawahan. Tentu saja kondisinya tergantung dengan geografisnya.

Reply
Ikrom Zain September 26, 2021 - 4:02 am

wah keren mas pemandangannya
meski dengan segala keterbatasan tetapi kehidupan harus tetap berjalan
madu kalimantan memang terkenal khasiatnya
makanya harganya lumayan juga ya

jalannya masih seperti itu
semoga pembangunan bisa segera lebih baik lagi

Reply
Rivai Hidayat September 26, 2021 - 7:05 am

Bener sekali mas, kehidupan mesti tetap berjalan.
Madu-madu ini sering dikirim ke luar pulau juga mas.
Pembangunan jalan emang sdah direncanakan lama. Bulan mei lalu sedang perbaikan salah satu jembatannya.

Reply
Hicha Aquino September 26, 2021 - 8:18 am

Di kampungku di SumBar masih ada yang akses ke rumahnya pakai jalan setapak. Sekarang sudah agak lumayan, mulai banyak jalan yang diaspal. Waktu kecil, pas mudik malah belum ada listrik. Jadi tidur beramai-ramai sama sepupu2 di ruang tengah.

Btw, jadi gimana rasanya mandi di sungai, mas vay? Ketemu selendang bidadari yang hanyut tak? XD

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 5:19 am

Masih banyak daerah yang hanya bisa diakses dengan jalan setapak. Apalagi yang menuju rumah. Pembangunan emang belum merata mbak icha.
Rumah minang, ruangan tengahnya luas yaa mbak…? Sampai bisa buat tdur ramai-ramai..hehhehee

Suueegeer banget mbak icha. Betah mandi berlama-lama di sungai. Ga cuma bidadari, malah di sudut lain, terlihat nenek-nenek yang sedang mandi 😀

Reply
Just Awl September 26, 2021 - 11:58 am

Lihat gambar pemandangan dari rumah Pak Amri aja serasa kebawa sejuk suasananya, apalagi kalau ngerasain langsung ya Mandi-mandi di sungai gini jadi ingat teman-teman waktu studi etnografi di Baduy dulu, mas Rivai. Sebelum mandi kita sempet makan siang dulu di atas batu-batu yang besar. Makannya pake daun, adem banget rasanya kembali ke alam. Baru setelah itu pada nyebur main-main, deh. Nggak kebayang ya kalau sampe sekarang belum ada jalan penghubung ke Desa Benuis. Alhamdulillah sekarang infrastruktur sudah berjalan sebagaimana mestinya

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 5:35 am

Seru yaa, bisa belajar dan melihat langsung tradisi dan kebiasaan warga lokal. Makan di pinggir sungai, ditemani suara daun yang bergesekan, suara burung, dan gemericik air. Jadi merinding membayangkannya 😀

Harapannya semakin banyak infrastruktur yang dapat menjangkau berbagai daerah.

Reply
Febi September 26, 2021 - 4:55 pm

Penasaran sebetulnya sama obrolan Rivai sm keluarga Pak Amri pas di ruang tengah..
Pastinya banyak yang mereka ceritain, selain yang udah ditulis disini..
Biasanya kalo penduduk asli setempat, punya banyak cerita-cerita unik tentang tempat tinggalnya, dan suka berbagi soal itu..

Oia, semoga dari tulisan ini, ada org pemerintahan setempat yg baca ya, jadi jalan yg masih tanah atau rusak bisa segera diperbaiki..hehe.
Biar ngga ada masalah keselamatan..
Btw, kl penerangan jalannya gmn, Vai?..
Gpp, penasaran aja 🙂

Btw, nice sharing!

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 4:34 am

Benar sekali, obrolannya banyak banget. Termasuk tradisi dan kebiasaan yang ada di desa benuis. Seperti acara Gawe Dayak, kebiasaan untuk bermusyawarah, dll

Penerangan jalan belum ada. Jadi kalau berkendara di malam hari cuma mengandalkan penerangan dari motor. Jadi akan bertemu dengan gelap dan jalan rusak. Belum lagi kalau ada kabut, pengendara mesti lebih berhati-hati.

Makasih telah singgah di sini mbak febi 😀

Reply
Agus September 27, 2021 - 4:58 am

Jalan kaki tiga jam melewati hutan, tak heran Bu Amri pertama tidak betah ya. Untungnya sekarang sudah ada akses jalan. Selain itu mulai ada listrik dan prasarana lain biarpun jalannya belum di aspal atau beton ya.

Sekolah cuma lima murid satu kelas, mungkin karena penduduknya jarang ya. Kalo disini tahun ajaran baru di SD, murid kelas satu sampai 76 mas.

Reply
Agus October 18, 2021 - 10:43 am

Wah punya ku belum dibalas nih, balas sendiri ah.

Reply
Rivai Hidayat October 18, 2021 - 3:18 pm

Ternyata ketinggalan. Mohon maaf mas agus..hahahaha
Infrastruktur jalan menjadi hal yang sangat penting bagi desa-desa seperti desa benuis ini. Pergerakan logistik jadi lebih cepat dan terjangkau. Selain itu, anak-anak mudanya jadi lebih muda keluar desa untuk melanjutkan pendidikannya.

Jumlah murid ini tergantung tingkat kelahiran yang ada di desa benuis. Warga desa belum banyak. Sekitar 300an KK. Jadi usia anak sekolahnya juga belum banyak.

Reply
Lovelypink September 27, 2021 - 8:38 am

internet mati kemaren aja, ku sudah kalang kabut numpang wifian di rumah temen. Hmmm… apalagi ini yang sehari-harinya masi amat sangat terbatas yah. hahaha.. Tapi jadi keinget project kerjaan yang akan ada di sekitaran Kalimantan, waktu itu kelompok kami ga memasukkan pembangunan sekolah di sekitaran project, sampe akhirnya ada BOD yang mengingatkan bahwa perusahaan kita harus berkontribusi bagi desa disekitaran project. Semoga, banyak perusahaan yang bisa membangun sekolah di daerah-daerah pedalaman, biar pembangunan merata & anak-anak pun mendapatkan fasilitas pendidikan yang maksimal. thank you sharingnya mas.

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 6:08 pm

Dulu pernah meras begini. Akhirnya ga sibuk dengan sosial media. Pas disana susah cari sinyal, kalau mau internetan yaa mesti beli voucher..hahahaa

Desa yang di sekitar area perusahaan sawit sering mendapatkan csr dari perusahaan tersebut. Kayak perbaikan jalan, pembuatan sarana desa. Atau bisa juga warga menjadi buruh di perusahaan tersebut.

Makasih kak sudah singgah di sini 😀

Reply
RULY September 27, 2021 - 8:49 am

Wahh lagi lagi pengalaman yang sangat menarik Mas Vay, ngak kebayang jadi Bu Amri pas pertama kali, dalam hati pasti
“Ya Allohh apakah aku mampu menjalani hidup disini ?” Pak Amri Be Like “Welcome To My Life Honey, You’re the one & only”

Tapi tetap salut buat mereka.

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 6:02 pm

Pas mendengarkan ceritanya, aku juga memperhatikan ekspresi beliau berdua. Berasa terkenang sekali dengan apa yang terjadi dulu.

Reply
Mrs.kingdom17 September 27, 2021 - 10:17 am

Wahh kebayang seru bu Amri curhat awal2 dibawah pulang kampung ama pak Amri. Demi cinta akhirnya dijalani yak. Hahaha. Wahhh penasaran sama guru2 di sana yang ngajar beberapa anak. Meski harusnya jadi lebih fokus sih cuma pasti rada boring. Tp gpp anggap aja sekolah ekslusif. Btw, ini kenapa gak ada foto sungainya mas padahal hal wajib ini kalau tinggal di Kalimantan kan ya…hehehe

Reply
Rivai Hidayat September 27, 2021 - 6:04 pm

Total warga di sana belum banyak. Jadi usia anak sekolahnya juga masih sedikit. Apalagi tiap desa punya sekolah masing-masing. Jadi ga perlu numpang sekolah di desa lain. Kecuali tingkat SMA.

Foto pas mandi ada juga sih. Tapi sengaja ga dicantumkan..hahahaha

Reply
Dayu Anggoro September 28, 2021 - 1:20 am

Gils infrastrukturnya berarti masih minim yah, terbukti dengan ada beberapa jalan yg masih tanah. Semoga ke depannya pembangunan infrastruktur bisa menjangkau ke desa terpencil kaya di desa benuis ini. Ceritanya keren Masvay.

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:12 am

Kayaknya tahun ini mulai dibangun lagi. Alhir juni lalu dapat kabar salah satu jembatan sudah diperbaiki. Tinggal jalannya aja.

Reply
Kartini September 28, 2021 - 2:55 am

Relate banget sama Bu Amri, yg lagi hamil pulang ke rumahnya. Aku aja yg kondisinya sama2 di kota yg sama, keadaannya sama, rasanya pengen pulang ke rmh Ibu terus hihi. Apalagi dengan kondisi di desa Benuis yaa.

Cerita2 ttg desa Benuis, kalo dijadiin satu bisa jadi film nih. Seru banget bacanya.

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:14 am

Mungkin sudah jadi kebiasaan bagi perempuan jika hamil merasa lebih baik di rumah sendiri bersana ibu kandungnya. Faskes di sana oaling dekat adalah puskesmas desa.

Makasih mbak kartini. Sayangnya dulu ga pake rekam video 😀

Reply
Liii September 28, 2021 - 8:32 am

Sekolah SMPnya berasa private . Tapi aku masih salut karena masih ada yang ingin bersekolah meskipun jarak tempuhnya jauh.
Nggak kebayang jalan kaki 3 jam menembus hutan, begitu terisolasinya desa ini pada waktu itu ya Kak . Bersyukur sekarang udah ada jalanan yang lebih layak, semoga segera bisa diaspal untuk akses jalannya
Kebayang segernya air di sungai sanaa, tapi yang ditakuti kalau lagi mandi di sungai adalah adanya yang ngambang-ngambang di permukaan air wkwk. Kak Rivai ketemu yang ngambang-ngambang nggak? *Pertanyaan random*

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:17 am

Teman sekolahku adalah teman mainku. Warga ga banyak, jadinya temannya masih teman yang sama. Saat sma mereka bakal ketemu dengan teman-teman dari desa lain.

Berjalan dalam hutan bisa jadi hal yang menyenangkan kok. Menghirup aroma hutan beserta isinya itu bikin ketagihan..hehehe

Gada yang ngambang-ngambang kak. Malah takutnya kalau ada buaya lewat. Untung saja di sana gada buaya..hahaha

Reply
Deny Oey September 30, 2021 - 3:18 pm

Setidaknya ada pengalaman berharga yg bisa diceritakan pada anak cucu kelak, cerita tentang hidup di desa dan mandi di sungai. Heheheh..

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:18 am

Bener sekali koh, pengalaman dan cerita kayak gini perlu dikenalkan ke anak-cucu. Biar mereka tahu bahwa wilayah indonesia itu luas dan sangat beragam.

Reply
Firdaus Soeroto October 1, 2021 - 6:02 pm

Menarik banget sih ini Mas Vay ceritanya! Pengalaman ini pasti seru banget nanti diceritain ke anak cucu ya. Btw, jadi ngebayangin kalo gak ada jalan penghubung antar desa mah ya meni riweuh euy hahah

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:20 am

Sudah jadi tradisi masyarakat dayak jika rumah mereka dekat dengan kebun dan hutan. Mereka memanfaatkannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Tapi dengan adanya jalan penghubung, membuat desa mengalami perkembangan perekonomian.

Reply
Iqbal October 1, 2021 - 10:32 pm

nah enak tuh mas kalau beli madu di tempat begitu, asli. Kalau di Jakarta bingung mana yang asli mana yg udah tercampur

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:24 am

Bener banget mas, jadinya bikin ragu untuk beli madu. Asal mau membuat tiang dan mencari sarangnya, rasanya cukup membantu untuk memanen madunya

Reply
mamak rempong October 2, 2021 - 5:07 am

I heart you Bu Amri hahahaha, dulu pertama kali dibawa tugas ke pedalaman…ya Tuhaaan…..kaget hahahha, biasa dengan hingar bingar kota, coffeshop, jajanan serba ada, jalanan aspal, tiba tiba harus melewati hutan, babi hutan mash keliaran bahkan sesekali ada gajah hahahhahaha, kemana mana naek sopek (perahu motor)

tapi jujur, sekarang merindukan hal hal seperti itu, kehidupan kota cukup melelahkan

terima kasih sharingnya, masvay masih disana kah?

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2021 - 11:27 am

Sudah pulang mbak nani. Sekitar bulan juni balik ke jawa 😀

Aku sangat suka ketika pertama kali tiba di sini. Suasana tenang dan udara segar. Jauh dari riuhnya kota dan media sosial.

Makasih mbak nani 😀

Reply
Beni October 2, 2021 - 1:05 pm

Desanya kelihatannya asri dan menyenangkan kalau tinggal di sana untuk beberapa hari. Aku suka tertarik kalau ada yang bahasa borneo. Semoga bisa ke sana nantinya. Aku ingat kalau dulu punya teman kuliah yang asalnya dari kalbar. dan dia bilang kalau di daerahnya ada desa yg kayak ini. dia chinese gitu,

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 3:53 pm

Bahasa borneo yang aku jumpai di sana adalah bahasa melayu kapuas hulu mas. Sebagian besar mirip dengan bahasa melayu. Kebetulan tempatku juga berada di kalbar.

Reply
Tuty Prihartiny October 2, 2021 - 2:02 pm

Tentang asrama guru dan siswa yang kini terbelengkai. Kalau menurut Mas Rivai, setelah tinggal bersama masyarakat benuis-perlu ndak asrama tersebut diadakan? Selain itu terimakasih ya sudah berbagi kisah.sosio culture dari ‘Desa ke Desa. Termasuk hal mandi di danau saat di Mawan. Lalu mandi di sungai saat di Benuis…berikutnya, kisah menarik apa lagi nih mas?

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 3:58 pm

Sebetulnya tergantung situasi. Kalau dulu murid bisa berasal dari desa lain. Namun berhubung kebanyakan murid berasal dari desa itu sendiri, akhirnya siswa memilih pulang ke rumah masing. Sedangkan untuk guru ada yang berasal dari desa lain. Berhubung ada akses jalan seperti sekarang, para guru memilih untuk pulang ke rumah dengan menggunakan kendaraan.

Jadi emang lebih baik untuk dirawat dengan baik. Agar suatu saat bisa digunakan lagi.

Kalau untuk cerita selanjutnya tentang pengalaman masuk ke hutan yang ada di desa benuis. Masih ada dua cerita tentang desa benuis kak 😀

Makasih telah singgah di sini 🙂

Reply
Retno Nur Fitri October 2, 2021 - 3:36 pm

Sempet nyoba rasa madu hutan nya gak mas? Rasanya gimana beda gak dari madu yang biasa diminum?

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:00 pm

Tampilannya lebih pekat dan ada rasa manis dan pahitnya. Sebetuknya tergantung dari nektar yg dihasilkan dari bunga yang dihisap lebah.

Reply
Oktanti Hapsari October 2, 2021 - 4:12 pm

Wah ide yang buat asrama itu sebenernya bagus ya, soalnya sering denger cerita juga kalau anak anak yang di desa, perjalanan tempuh menuju sekolahnya memang lumayan jauh. Masih kepikiran sih kenapa gak digunakan lagi. apakah ga ada yg manajement asrama, atau mungkin anak2 memang lebih nyaman pulang ke rumahnya meski jauh. Pengalaman mas vai berada di desa ke desa ini bener2 di luar perkiraan orang kota ya, stidaknya bacanya jadi turut merasakan pengalaman mas vai yang belum kita rasakan juga. kehabisan air dan harus mandi di sungai. kira2 ada batasan tertentu kaya badui ga ya yg ga mmperbolehkan mandi dengan sabun?

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:02 pm

Rata-rata muridnya berasal dari desa itu sendiri. Jadi lebih memungkinkan untuk pulang ke rumah. Kalau dari desa lain, biasanya bisa menggunakan asrama ini. Sedangkan para guru ada yang berasal dari desa lain. Mereka memilih untuk pulang ke rumah dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sejak adanya jalan penghubung, perjalanan jadi lebih mudah.

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:04 pm

Kalau penggunaan sabun masih dilakukan kok. Ga ada larangan penggunaan sabun dan lainnya.
Bersyukur sekali bisa mendapatkan pengalaman seperti ini. Khan banyak tempat yang ga kita ketahui, tapi bisa menawarkan hal-hal yang sangat menarik 😀

Reply
EkaRahmawatizone October 2, 2021 - 4:39 pm

Harusnya sekolah yang lokasinya jauh dari rumah punya asrama kayak yang sempat dimiliki sama desa benuis ya. Tapi sayang sudah tidak digunakan lagi bangunannya.

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:06 pm

Murid-murid sekolah tersebut rata-rata dari desa benuis. Jadi lebih nyaman untuk pulang ke rumah. Di tiap desa hampir semuanya punya asrama. Namun, emang sebagian besar tidak dimanfaatkan lagi.

Reply
elsalova October 2, 2021 - 4:41 pm

Aku membayangkan masa tua akan lebih indah di desa seperti ini. Ingin banget rasanya jadi kaya, biar bisa langsung tinggal di desa aja haha

btw masvay emang selalu pindah pindag dr satu desa ke desa lain?

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:09 pm

Ini impian banyak orang yang merantau di kota..hahahhaaa
Iyaa, saat itu ada 6 desa yang aku datangi. Semuanya menawarkan pengalaman dan ceritanya masing-masing. Baru dua desa yang aku ceritakan. Masih ada 4 desa yang sedang disusun ceritanya. Selain itu, ada beberapa cerita pendukung lainnya. Doakan semuanya bisa kelar ditulis…hahahaha 😀

Reply
Dian Restu Agustina October 3, 2021 - 3:39 am

Mas, kalau airnya mati 3 hari, mandi dan cuci bisa di sungai, kalau air minum didapat darimana..
Aku udah ga kebayang tenangnya tinggal di desa seperti desa Benuis ini. Ya ampun meski seperti terisolasi pas buat melarikan diri sejenak dari huru hara Jakarta , bakal adem jiwa raga

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:11 pm

Kebetulan kalau untuk air minum menggunakan air galon mbak dian. Ada beberapa warung yang menjual air galon atau air kemasan.

Ndak usah dibanyangin sih mbak. Cukup dinikmati aja. Nanti kita akan terbiasa dengan keadaan yang ada 😀

Reply
Diah Sally October 3, 2021 - 4:10 am

Aduh, Mas Fay kisah mandi di sungai mengingatkan sama kampung halamanku. Emang kurang afdol kalau ke desa atau dusun tapi belom nyemplung ke sungainya. Aduh segar banget yaa kan.

Mas Fay, sampai kapan di sana? Apa udah ga balik balik lagi ke Semarang?

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:13 pm

Kampung halamanmu di mana mbak diah..?
Air sungainya sangat menggoda untuk mandi dan berendam…hahahaba
Juni 2021 aku balik ke jawa. Sekitar 6 bulan berada di desa-desa tersebut.

Reply
Hallowulandari October 3, 2021 - 10:59 am

Wahhh ga kebayang gimana jalan kaki 3 jam pasti cape banget deh itu sampe nangis

Wahhh ga ada foto mandi di sungai nya. Kan penasaran
Sama sungainya

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:14 pm

Saat itu emang belum terbiasa dan tidak menyangka bakal melalui perjalanan seperti itu.

Foto pas mandi ada, belum dipublish. Bingung rasanya perlu dipublish atau nggak..hahaha

Reply
Anni NS October 3, 2021 - 2:19 pm

Membaca pendeskripsian tentang desa Benuis, rasanya begitu indah, digambarkan dengan menarik oleh mas Vay.
Mencoba tinggal dan merasakan kehidupan desa yang syahdu di Desa Benuis sepertinya menyenangkan juga memang ya. Pengalaman yang sungguh berharga mas Vay. Beruntung sekali pula bisa merasakan mandi di sungai, ahhh seru dan asyiknya…
Nice post, thanks for sharing⭐

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:16 pm

Seru dan bersyukur dapat kesempatan tinggal di sana. Tentu saja pengalaman seperti ini tidak bakal dilupakan.

Terima alsih telah singgah 😀

Reply
Antin Aprianti October 3, 2021 - 2:36 pm

Tinggal di desa seperti itu impian banget buat orang kota yang mulai jenuh sama hingar bingar, tapi kalau tinggal untuk waktu lama kayanya bakalan bosen juga ya, apalagi akses ke mana-mananya jauh

Ngebayangin duduk² di teras lantai dua rumah panggung sambil minum teh dan baca buku kayanya asik ya, apalagi udaranya masih bersih dan pemandangan sekitar juga pasti memanjakan mata

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:18 pm

Banyak yang akan mengira membosankan. Namun sifat dasar manusia yang selalu beradaptasi, sepertinya bakal bisa menipiskan rasa bosan yang ada.

Bener sekali, udara segar membuat pikiran menjadi lebih jernih.

Reply
Rara October 3, 2021 - 3:10 pm

Walau suka pergi ke tempat yang terisolasi, aku pribadi rasanya masih belum sanggup jika diminta/diajak untuk menetap selamanya di tempat terisolasi. Tetiba kebayang jadi Bu Amri ketika pertama kali setelah menikah, shock banget kali ya. Apa beliau pernah ada rasa menyesal mas? *jadi malah kepo ke Bu Amri

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:22 pm

Menetap selama beberapa waktu sudah cukup memeberikan pengalaman tersendiri. Ga perlu selamanya. Karena hal itu mesti melakukan banyak penyesuaian.

Tidak ada rasa menyesal sih. Sekarang bu amri juga aktif dalam kegiatan di ibu-ibu desa. Salah satunya sebagai penyuluh program keluarga berencana di desa benuis

Reply
Anni October 3, 2021 - 3:21 pm

Membaca pendeskripsian tentang desa Benuis, rasanya begitu indah, digambarkan dengan menarik oleh mas Vay.
Mencoba tinggal dan merasakan kehidupan desa yang syahdu di Desa Benuis sepertinya menyenangkan juga memang ya. Pengalaman yang sungguh berharga mas Vay. Beruntung sekali pula bisa merasakan mandi di sungai, ahhh seru dan asyiknya…
Nice post, thanks for sharing⭐

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:19 pm

Terima kasih telah singgah 😀

Reply
fanny_dcatqueen October 3, 2021 - 3:33 pm

Luar biasa pengalaman tinggal di desa pedalaman ini ya mas :). Salut sih aku… Krn aku yakin ga semua orang bisa kuat. Kayaknya bisa ngerti kenapa bu amri awal datang dulu sampe nangis.

Agak nyesek pas tau murid2 di sana sedikit banget :(. Tapi semoga aja mereka dan guru2nya semangat untuk belajar dan mengajar yaaa :).

Dan berharap listrik makin merata juga jalan aspal semakin banyak dibuat.

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:26 pm

Berasa seperti di acara-acara tv yang diberi kesempatan tinggal di rumah warga desa yaa mbak fanny…hahahha 😀

Tiap desa memiliki sekolah SD dan SMP…jadi jumlah murid tergantung banyak jumlah keluarga yang ada di desa. Di desa yang laim juga mengalami hal yang sama. Makanya untuk jalur SMA, mereka dapat besrsekolah di desa ibukota kecamatan dan belajar bersama dengan para siswa yang berasal dari desa lainnya.

Reply
Clara Kinasih October 3, 2021 - 3:49 pm

Ya Alloh, saya juga pasti nangis sih jadi Bu Amri yang harus menempuh 3 jam jalan kaki menembus hutan. Bisa membayangkan karena dulu waktu kecil diajak jalan kaki Mbah Putri “njagong” ke tetangga desa yang menurut anak kecil seumuranku dulu, itu juauh buanget. Tapi alhamdulillah yah sekarang sudah ada jalan yang menghubungkan antar desa disana. Kebayang banget kalau jalanan basah dan licin, saat melintasi jalan tersebut, para pengendara bergantian melewati jalan satu tersebut dan pemandangan yang tak aneh kalau disana itu bisa terjadi kemacetan di dalam hutan.

Reply
Rivai Hidayat October 3, 2021 - 4:29 pm

Begitu juga kalau mereka ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Lumayan menempuh perjalanan jauh.

Bener sekali!! jika banyak kendaraan bermotor, biasanya saling bergantian untuk jalan. Tisak sedikit kendaraan mengalami kesulitan ketika melintas jalan tersebut

Reply
Lenifey October 4, 2021 - 2:40 am

Ceritanya mas vai selalu ekstraordinary bagiku karena cerita perjalanannya selalu ke tempat yang terpencil. Buat sampai ke rumah kudu jalan 3 jam sih pantes ya gak betah. Haha. Tapi lama2 akhirnya terbiasa juga. Wah udah lama sih gak mandi di sungai gitu. Kayaknya sungai nya masih jernih ya mas. Soalnya mas vai bolak balik nyelupin kepala. Haha

Reply
Rivai Hidayat October 4, 2021 - 11:40 am

Yaa mungkin karena pengalaman pribadi dan ga biasa bagi sebagian besar orang ketike jalan.

Yaa emang karena belum terbiasa sih…makanya merasa belum betah. Kalau sdah terbiasa mungkin bakal baik-baik saja.

Iyaa serius seger banget. Berasa ngecharge isi kepala..hahaaha

Reply
Nasirullah Sitam October 4, 2021 - 4:15 am

Sekilas, kehidupan di desa ini mengingatkanku tahun-tahun 2014 ke bawah di Karimunjawa.
Nyaris sama, kudu pakai parabola kalau mau nonton tv, itupun siaran bola mesti diacak. Transportasi pakai mobil bak terbuka (tahun 2000an), dan suasananya. Tapi daerah seperti ini ikatan antar masyarakatnya sangat kuat

Reply
Rivai Hidayat October 4, 2021 - 11:41 am

Bener sekali. Warga desa sering ngumpul kalau ada informasi dari desa. Kemudian masih saling tolong-menolong

Reply
Ning! October 4, 2021 - 9:51 pm

Kayaknya nggak hanya Bu Amri yang nangis, aku pasti juga bakal nangis diajak jalan lebih dari 3 jam melewati hutan woy! 3 jam! Ini bukan liburan ke hutan, tapi ke rumah suaminya, ke tempat yang akan ditinggali secara permanen. Gilak!

Alhamdulillah ya sekarang sudah ada jalan penghubung. Tp aseli sih, keadaan terisolir gini tuh masih banyak di pedalaman-pedalaman Indonesia. Dan pemerintah harus memperhatikan, nggak cuma jawa aja yang dibangun. Harus merata, kasian banget mereka mau kemana-mana susah, berobat susah. Sedih.

Reply
Rivai Hidayat October 9, 2021 - 10:29 pm

Emang belum terbiasa dengan keadaan yang baru. Tubuh masih terbiasa dengan rutinitas yang ada. Jadi masih perlu penyesuaian diri.

Bener banget mbak ning. Segala fasilitas dan infrastruktur bisa dijangkau semua lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.

Reply
Dinilint October 8, 2021 - 5:34 am

Vay, bagian mandi di sungai kok nggak ada fotonyaa

Reply
Rivai Hidayat October 9, 2021 - 10:26 pm

Sengaja ga ditampilkan din 😀

Reply
Bayu13K October 20, 2021 - 10:12 pm

Seketika rindu kampung di Jawa. Masa kecilku disana soalnya. Dulu kampung disana belum terlalu canggih. Beda sama yg sekarang kondisinya sudah banyak yang berubah. Bahkan udaranya juga nggk sedingin dlu.

Aku baca ini kepengen banget punya momen duduk santai di balkon pagi2 smbil ngelihatin pemandangan sejuk begitu. Adem banget sumpah Mas lihatnya. Hahah.. ini pemandangan yg dulit didapatkan buat kita yg kerja di Kota.

Reply
Rivai Hidayat October 22, 2021 - 12:09 am

Aku manikmati suasana dengan duduk santai di balkon setiap pagi dan sore. Semuanya terasa tenang. Hembusan angin juga sangat terasa.

Aku lahir dan besar di semarang. Jarang menikmati suasana lingkungan yang seperti ini mas..:D

Reply