Sebuah gapura kota menjadi penanda bahwa kami telah memasuki Kota Tebing Tinggi. Letaknya tidak jauh dari pintu keluar jalan tol. Memasuki area kota arus jalan raya terlihat ramai dengan kendaraan bermotor. Warga tetap sibuk dengan segala aktivitasnya, meskipun sedang terjadi pandemi virus korona. Di sepanjang jalan banyak pedagang yang menjajakan makanan yang dimasak menggunakan bambu. Kami penasaran dengan apa yang mereka jual. Lantas mobil menepi di salah satu lapak seorang penjual.
Lemang, begitulah warga menyebut makanan ini. Panganan terbuat dari beras ketan yang dibungkus menggunakan daun pisang. Kemudian dimasak di dalam seruas bambu. Menurut ibuku, rasa dan bentuknya mirip seperti lemper. Lemper biasa diisi dengan abon atau daging, sedangkan lemang tidak diisi oleh apapun. Rasanya gurih dan cocok dimakan ketika masih hangat. Sepertinya lemang menjadi makanan khas di kota ini.
Kami merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang panjang. Pilihan yang tepat adalah beristirahat ketika tiba di penginapan. Kami memiliki waktu istirahat selama satu hari sebelum memulai acara yang telah direncanakan pada hari Kamis malam. Menurut rencana, kami akan berada di Kota Tebing Tinggi selama empat hari. Mulai dari hari Rabu hingga Sabtu.
Baca Juga: Lawatan ke Tebing Tinggi
Pada Kamis pagi aku berjalan kaki berkeliling daerah sekitar. Ini sudah jadi kebiasaanku ketika berada di luar kota atau tempat baru. Aku ingin melihat secara langsung aktivitas warga lokal. Pagi itu aku berjalan kaki menuju alun-alun kota. Aku singgah sebentar di kantor pos yang ada di seberang alun-alun untuk kirim beberapa kartu pos untuk teman-temanku yang berada di Pulau Jawa. Beberapa kartu pos berhasil diterima temanku dan beberapa lainnya tidak ada kabarnya.
Perjalanan berlanjut menuju area pasar yang sangat ramai. Tidak hanya pedagang, tapi juga ramai dengan pembeli. Deru mesin bentor–becak motor–tampak hilir mudik di jalan. Moda transportasi ini memang jadi raja jalanan di kota-kota Sumatera Utara dan Aceh. Berbagai jenis motor disulap menjadi bentor yang nyaman untuk mengangkut penumpang. Bentor ini termasuk angkutan resmi yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
Acara pada Kamis malam berlangsung dengan lancar. Tinggal acara akad dan resepsi pernikahan di hari Jumat. Kemudian pulang ke Semarang pada hari Sabtu. Siang tadi kami telah melakukan tes PCR untuk perjalanan pulang di hari Sabtu. Sesuai dengan aturan saat itu, setiap perjalanan penerbangan membutuhkan hasil negatif atau tidak terdeteksi pada tes PCR yang dilakukan dalam waktu 3×24 jam sebelum jadwal penerbangan.
Kami mendatangi beberapa rumah sakit dan klinik kesehatan, tetapi mereka tidak bisa menerbitkan hasil tes PCR dalam waktu satu atau dua hari. Rata-rata baru bisa menerbitkan hasil tes dengan jangka waktu tiga hari atau lebih. Bagi kami itu terlalu lama dan tidak sesuai dengan jadwal penerbangan kami. Akhirnya kami mencoba tes PCR di salah satu rumah sakit yang ada di Kabupaten Deli Serdang.
Begitu tiba di rumah sakit kami langsung diarahkan untuk menuju meja petugas yang ada di ruang IGD. Aku merasa aneh, karena tes PCR digabung dengan ruang IGD. Aku melihat beberapa pasien yang sedang merasa kesakitan. Banyak pasien yang sedang tertidur dengan selang oksigen dan selang infus. Rata-rata mereka sedang menunggu tersedianya kamar kosong di instalasi rawat inap. Kemudian ada pasien korban kecelakaan yang baru memasuki ruang IGD. Dokter jaga dan beberapa perawat langsung bergegas menangani pasien tersebut. Kondisi siang itu memang sangat tidak bersahabat dengan kami yang hanya ingin melakukan tes PCR.
Baca Juga: Bersepeda ke Stasiun Tanggung
Setelah proses pendaftaran selesai, petugas mengarahkan kami menuju sebuah ruangan untuk pengambilan sampel. Tidak butuh waktu lama untuk melakukan tes yang membutuhkan biaya sebesar Rp850.000/orang ini. Harga tidak jauh beda dengan di rumah sakit atau klinik kesehatan lainnya. Namun jika ditotal untuk empat orang, jumlah terhitung sangat besar. Bahkan seharga tiket pesawat Jakarta ke Bandara Kualanamu (Kabupaten Deli Serdang). Hasil tes akan diinformasikan pada hari Jumat siang melalui pesan singkat.
Di hari Jumat siang kami dikejutkan kabar dari rumah sakit yang menyatakan bahwa tes PCR kami hasilnya positif atau terdeteksi virus korona. Saat itu sedang dalam acara resepsi. Kami mencoba tenang dan mulai meninggalkan acara agar tidak menulari orang lain. Kami tidak menjelaskan tentang kondisi kami. Tujuannya agar tidak terjadi kepanikan pada warga dan tuan rumah sehingga mengganggu acara.
Selama di Kota Tebing Tinggi kami melihat banyak warga yang tidak mengenakan masker dan beraktivitas seperti biasanya. Tanpa ada jaga jarak. Seolah-olah tidak dalam keadaan pandemi virus korona. Di acara resepsi memang disediakan masker, tempat cuci tangan, sabun, dan cairan pembersih. Sedangkan kami terus mengenakan masker selama acara berlangsung. Namun, warga tetap terlihat abai. Acara resepsi tetap berlangsung hingga malam hari.
Selama berada di Kota Tebing Tinggi kami berada dalam kondisi yang sehat dan bugar. Tidak ada keluhan ataupun gejala yang mengarahkan ke infeksi virus. Kami merasa heran ketika dinyatakan terinfeksi virus korona. Setelah berembuk, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tes PCR di klinik yang ada di Bandara Kualanamu. Perjalanan panjang melalui jalan tol dengan pemandangan perkebunan kelapa sawit.
Seorang petugas keamanan mengarahkan kami untuk menuju sebuah sudut ruangan tempat tes PCR yang berada di lantai dua. Tempat tes ini milik salah satu klinik swasta yang khusus melayani tes PCR bagi penumpang di Bandara Kualanamu. Adik pertamaku yang melakukan pengambilan sampel. Kami sengaja hanya satu orang yang menjalani tes. Hal itu untuk membandingkan hasil tes yang dilakukan kemarin. Hasil tes akan keluar pada keesokan hari. Kami mesti mengeluarkan uang sebesar Rp800.000/orang untuk melakukan tes PCR di klinik ini.
Sore hari kami langsung pulang ke penginapan. Tidak kembali ke tempat acara resepsi. Kami memutuskan untuk pergi ke kafe yang ada di seberang penginapan. Aku memesan kopi, sedangkan ibuku memesan teh hangat yang ditambah batang serai dan beberapa camilan, salah satunya pisang goreng. Ibuku begitu suka dengan teh ini dan kebiasaan minum teh ini berlanjut hingga kami pulang ke Semarang. Pemesanan kami lakukan tanpa kontak langsung dan jaga jarak dengan pelayan. Malam itu kami berdiskusi tentang kemungkinan terburuk jika kami benar-benar terinfeksi virus dan terpaksa isolasi mandiri.
Baca Juga: Cerita dari Kapuas
Hari Sabtu, pukul 05.00 adikku menerima informasi hasil tes PCR dari klinik yang ada di Bandara Kualanamu. Hasilnya adalah negatif atau tidak terdeteksi adanya virus korona. Kami semua bersyukur dengan hasil itu. Pukul 09.00 kami pergi lagi ke klinik yang ada di Bandara Kualanamu untuk melakukan tes PCR. Berkali-kali melewati jalan tol membuat perjalanan tidak terasa begitu jauh. Walaupun waktu tempuhnya masih tetap sama, yaitu sekitar 2 jam perjalanan. Hasil tes akan diberitahukan pada sore hari.
Dalam rencana awal, seharusnya kami pulang ke Semarang pada hari Sabtu. Satu hari setelah acara akad dan resepsi pernikahan. Namun karena kejadian ini, kami gagal pulang di hari Sabtu dan mesti mengubah jadwal penerbangan. Jika hasil tes PCR negatif, maka kami akan pulang pada hari Minggu. Kami menambah satu hari di penginapan. Penginapan ini khusus keluarga dan merupakan penginapan syariah. Fasilitasnya lumayan lengkap, dan bersih dibandingkan beberapa penginapan yang ada di sekitar tempat acara. Lokasi penginapan masih dekat dengan tempat acara. Penginapan ini menghadap ke arah barat. Hampir setiap sore kami selalu disuguhi pemandangan matahari terbenam.
Sesuai dengan dugaan kami, hasil tes PCR kami hasilnya juga negatif atau tidak terdeteksi adanya virus korona. Di sore itu pula kami memesan tiket penerbangan pulang ke Semarang pada hari Minggu pagi. Kami merasa lega dan bersyukur bisa segera pulang ke Semarang. Selama dua hari ini kami merasa khawatir dengan kondisi kami. Takut jika kami terinfeksi virus korona dan harus isolasi mandiri di kota orang. Sebuah hal yang tidak pernah kami harapkan.
Cerita dari Tebing Tinggi
Agustus 2021
8 comments
Astagaaa, bisa repot kalau beneran terinfeksi dan harus isolasi di kota orang ya, mas Vay. Untung akhirnya negatif hasil tesnya. Pandemi kemarin itu memang serba membingungkan. Hadeuh semoga nggak pernah ada lagi yang seperti kemarin. Kalau ada pun semoga nggak parah dan semuanya aman terkendali.
SUdah memikirkan rencana jika terpaksa isolasi mandiri. Ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Bisa pulang ke semarang dengan kondisi baik dan sehat menjadi nikmat tersendiri saat itu.
Agustus 2021 ini lagi melejitnya Delta yang bikin semua makin berdebar, mas. Beruntung aman.
Saya sendiri dulu otg. Kalau pakai masker, memang banyak tempat yang abai ini, mas. Hampir di semua tempat
Bener mas sitam. Makanya sempat ragu dengan perjalanan ini. Apalagi ketika tiba di sana banyak warga yang tidak menggunakan masker
Hasil tes nya yg pertama koq ga jelas .apa ngasal yaa…biasanya kalo emng positif dan badan lagi gak fit kerasa sih gejalanya kyk ngilu”flu dan batuk..karena sy pernah juga ngalamin…tapi selama ikut protokol dan ngerasa badan fit ya mudah”an sih aman…gimana juga kesehatan itu penting banget..Krn sakit itu mihiil
Saat itu kepikiran terinfeksi tapi tanpa gejala apapun. Tapi tes kedua hasilnya negatif. Akhirnya bisa pulang ke semarang
Aku 2x positif tapi ya ga ada gejala samasekali mas . Itupun tes pcr ya Krn mama mertua meninggal karena COVID, jadi seluruh rumah wajib dites juga. Tapi kalo tesnya buat kebutuhan terbang, pasti panik Yaa kalo hasil pertama positif. Memang bagusnya diulangm walopun nyebelin banget Krn jadi bayar dobel .. untung aja skr bisa antigen.
Kalau aku baru terkena sekali. di bulan februari 2022. Itu tertular temanku, gejala parah hanya 1 hari. Kemudian bisa bugar lagi.
Iyaa mbak fanny, bayar dobel kemudian dikali empat. Akhirnya biaya perjalanan membengkak karena dua kali tes pcr, hiiks