Aku jarang sekali menentukan rute yang pasti ketika bersepeda di dalam kota. Biasanya rute baru terpikirkan ketika bersepeda. Terkadang rute yang sudah direncanakan malah bisa berubah sesuai dengan kondisi yang ada. Kali ini yang menjadi rencanaku pagi itu melewati tanjakan Jalan Sumbing dalam perjalanan pulang. Namun, aku selalu menyempatkan diri untuk singgah di kawasan Lapangan Pancasila, Simpang Lima ketika bersepeda di sekitar kota.
Setiap hari Minggu pagi di Jalan Pahlawan dan kawasan Lapangan Pancasila, Simpang Lima rutin diadakan kegiatan Hari Bebas Kendaraan atau Car Free Day (CFD). Warga selalu memenuhi kawasan ini dengan berbagai kegiatan. Mulai dari berjalan kaki, lari, bersepeda, senam, berjualan, bermain, hingga sekadar berkumpul dan bersantai.
Aku suka melihat orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing ketika CFD. Di Jalan Pahlawan aku melihat anak-anak muda yang mengajak warga, khususnya anak-anak untuk bermain dolanan jaman dulu. Anak-anak pun mencoba bermain dolanan jaman dulu. Mulai dari egrang, bakiak, hoolahoop, balap karung, hingga engklek. Dolanan-dolanan seperti ini memang sudah jarang dimainkan oleh anak-anak jaman sekarang. Gerakan anak-anak muda untuk terus mengenalkan dolanan jaman dulu memang patut untuk diapresiasi.
Para mahasiswa sering memanfaatkan kawasan CFD untuk mempromosikan kegiatan mereka. Mereka biasa menggunakan cara-cara yang unik, seperti berjalan kaki, bernyanyi bersama sambil membentangkan spanduk acara. Segala hal unik terus dilakukan agar menarik perhatian warga yang ada di CFD. Mereka berharap banyak warga yang tertarik untuk datang ke acara konser musik yang akan mereka adakan.
Pagi itu aku sudah mengelilingi Lapangan Pancasila sebanyak enam kali dengan laju kecepatan yang sedang. Tidak terburu-buru dan memilih menikmati setiap momen yang aku temui di pagi itu. Aku merasa cukup untuk berkeliling kawasan Lapangan Pancasila, Simpang Lima. Sudah saatnya untuk menyusuri jalan lainnya.
Baca Juga: Antara Kopi Giling dan Tanjakan Tanah Putih
Aku melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jalan A. Yani dan berbelok ke Jalan M.T. Haryono. Jalan panjang nan lurus ini tampak lebih sepi dibandingkan di hari-hari lainnya yang selalu ramai dengan aktivitas perniagaan warga. Beberapa mobil tampak terparkir di tepi jalan. Tidak jauh dari warung-warung tenda yang menjual makanan untuk sarapan.
Aku mengarahkan stang sepeda masuk ke gang Kampung Kulitan. Biasanya di sebelah gang ada ibu-ibu penjual susu yang menggelar dagangannya. Aku pernah membeli susu yang ia jajakan. Namun, pagi itu aku tidak melihat ibu-ibu tersebut. Mungkin saja belum tiba di Kampung Kulitan atau mungkin saja sedang tidak berjualan.
Memasuki Kampung Kulitan dengan laju yang pelan. Kampung terlihat sepi. Hanya ada terlihat dua orang bapak-bapak yang sedang duduk di pos ronda. Kampung Kulitan merupakan salah satu perkampungan tua yang ada di Kota Semarang. Pada masa lalu, kampung yang dikenal sebagai penghasil kerajinan berbahan kulit ini terkenal hingga ke Negara Belanda.
Aku mulai meninggalkan Kampung Kulitan dan berlanjut menyusuri Jalan Inspeksi yang ada di tepi Kali Semarang. Di jalan ini aku bertemu dengan Pak Adi yang seorang produsen kerupuk tahu. Perkenalan yang tidak disengaja ini diawali dengan ketertarikanku pada pompa air manual milik Pak Adi yang ada di depan rumahnya. Dari pompa air kemudian berlanjut dengan cerita-cerita tentang kerupuk tahu dan kehidupan Pak Adi.
Aku masih menyusuri Jalan Inspeksi dan tanpa sebuah rencana malah mengarahkan stang sepeda masuk ke Gang Buntu. Di gang ini aku berkenalan dengan Ibu Vera. Ibu Vera mempersilahkan aku untuk singgah di depan rumahnya. Saat itu, Ibu Vera sedang duduk santai di depan rumahnya. Beliau menerimaku dengan sangat baik. Selain itu, Ibu Vera juga dengan senang hati berbagi cerita dan pengalamannya.
Menyusuri Jalan Inspeksi ini memang memiliki sensasi tersendiri. Jalan ini berada di kawasan permukiman padat yang dilengkapi dengan gang-gang sempit. Berjalan kaki dan bersepeda adalah pilihan tepat untuk menyusuri ini. Jalannya terlalu sempit untuk dilewati mobil. Jalan ini ramai dengan segala kegiatan warga. Termasuk warga yang sedang berkumpul di depan rumahnya.
Setelah meninggalkan Jalan Inspeksi aku tiba di Jalan Agus Salim. Hari sudah beranjak siang. Matahari sudah meninggi. Akhirnya aku memilih untuk pulang. Aku menyusuri Jalan Pemuda dan berbelok ke Jalan Pandanaran. Dari jalan ini aku akan menuju ke Jalan Kyai Saleh dan akhirnya tiba di tanjakan Jalan Sumbing.
Tanjakan Jalan Sumbing
Kontur berupa jalan menanjak sudah menyapa sejak memasuki Jalan Sumbing dari arah Jalan Veteran. Sebelumnya aku pernah melewati tanjakan ini dengan sepeda. Namun, saat itu aku tidak kuat melewatinya dan akhirnya memilih untuk menuntun sepeda. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Tanjakan Jalan Sumbing dikenal memang memiliki tanjakan yang terjal. Tanjakan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pesepeda di Semarang.
Aku mulai memindahkan gir sepeda ke gir yang paling rendah. Gir rendah membuat kayuhan jadi enteng dan cocok untuk melewati tanjakan. Aku terus mengayuh dengan kecepatan yang stabil. Ini akan membuat otot kaki bekerja dengan konsisten, nyaman, dan tidak cepat lelah. Tidak lupa aku juga mengatur pernapasan agar tidak ngos-ngosan.
Baca Juga: Bersepeda Melintasi Kendal
Salah satu tantangan di Tanjakan Jalan Sumbing adalah terdapat jalan yang menikung dan menanjak. Ketika menikung mesti berhati-hati agar tidak kehilangan keseimbangan. Selain itu, banyak kendaraan bermotor yang melaju dengan kencang di jalan ini.
Tanjakan Jalan Sumbing akan berakhir di Pura Agung Giri Natha. Pura ini merupakan pusat ibadah dan kegiatan umat Hindu di Kota Semarang. Pura ini berada di puncak Jalan Sumbing. Aku beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan yang ada. Terlihat kompleks kantor Gubernur Jawa Tengah, Gedung Bank Indonesia, dan beberapa gedung bertingkat lainnya. Di kejauhan terlihat Laut Jawa dan kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
Di bawah Jalan Sumbing terlihat area permukiman warga dengan bukit-bukit tinggi di sekitarnya. Ini terlihat seperti sebuah lembah dan permukiman warga berada di tengah-tengahnya. Jalan Sumbing juga menjadi salah satu tempat yang bisa digunakan untuk menikmati pemandangan matahari terbit. Di malam hari terkadang banyak anak muda yang nongkrong untuk menikmati pemandangan Kota Semarang di malam hari.
Aku selalu kepikiran bahwa di balik tanjakan yang terjal terdapat sebuah pemandangan yang bagus. Tidak ada salahnya untuk berhenti sejenak sambil menikmati pemandangan yang ada setelah lelah melewati tanjakan. Otot kaki dan pernapasan perlu diberi istirahat setelah bekerja secara maksimal melewati tanjakan.
Dalam perjalanan pulang aku berpapasan dengan rombongan pesepeda. Kami saling sapa dan memberi semangat. Dalam perjalanan ini pula aku merasa beruntung karena mendapatkan banyak cerita dan pengalaman. Bertemu dan bertegur sapa dengan orang-orang hebat. Aku terus mengayuh pedal sepeda sambil berpikir rute-rute mana yang akan lalui dalam perjalanan bersepeda selanjutnya.
Cerita dari Sepeda
Tanjakan Jalan Sumbing
22 Oktober 2023
16 comments
Halo Mas Rivai… pripun kabare?? Long time no see
Ngeliat tulisan Simpang Lima asli bkin rindu sama Semarang makin mencuat2 . Udah jalan 3 tahun lebih sebelum Corona menyerang Bumi waktu terakhir aku ngunjungin Semarang buat ikut acara Tanam Manggrove mungkin udah banyak yg berubah kali ya..
Kangen sama Tahu Gimbalnya Semarang
Btw, seru mas baca cerita sepedahannya. Foto2nya juga ciamik… itu foto genteng rumah dari atas keren banget. Aku ngebayangin di print di kertas yg besar terus bawahnya dikasih tulisan quote of the day. Masukin figura, tempel didinding.. asli Cakep sih
Halo mas bayu. Kabar baik mas. Gimana kabarnya?
Semarang sudah banyak berubah mas. Tiap bulan selalu ada acara di semarang.
Banyak warung tahu gimbal yang bisa dicoba mas 😀
Aku malah belum kepikiran untuk cetak foto-foto mas. Belum pede karena foto yang dihasilkan belum maksimal 😀
Liat pemandangan dari atas tanjakan sumbing asli bagus banget,apalagi kalo malam hari pasti lebih cantik lagi ada lampu”rumah penduduk,gerbang pura Agungnya di dalamnya sepertinya adem, kelihatan dari fotonya
Kalau malam sering ada anak muda yang nongkrong dan ngopi di sana. Di sekitar jalan sumbing juga banyak cafe, restoran, dan hotel yang menawarkan pemandangan kota di malam hari.
Seru sekali pengalaman bersepedanya. Melalui perkampungan lama warga, bertemu orang-orangnya yang ramah, dan menikmati keindahan semarang dari tanjakan Sumbing. Kalau memasuki rute perkotaan saya masih hafal jalan2nya karena pernah backpackeran beberapa hari di Semarang 😀
Tanjakan sumbing masih dekat dengan daerah semarang kota.
Bersepeda di area permukiman emang menawarkan pengalaman tersendiri.
Jadi kampung kulitan itu kemungkinan namanya dari nama desa penghasil kerajinan kulit ya dari zaman Belanda.
Bagus sih kalo ada yang mengenalkan mainan jaman dulu, soalnya sekarang jarang anak kecil yang tahu mainan seperti engrang, bakiak atau holahop
Mas Rivai memang mantap, tiap Minggu sepertinya tidak pernah absen olahraga sepeda. Kalo aku ntah kenapa malas, padahal kadang ponakan ngajakin.
Di kampungku lagi musim layang-layang mas agus. Jadi banyak anak-anak yang main layangan.
Yaa karena olahraga jadi cara untuk melepas stres mas. Selain itu bagus untuk kesehatan, dan kebugaran tubuh mas agus. Ayo mas agus mulai olahraga lagi!!
aku salfok sama template blognya, apa ada yang baru ya mas vay? aku kok lupa hehehe
kadang rencana tak seindah yang dibayangkan ya mas vay
hari ini kita udah mikir besok mau sepedaan ke arah mana, dan tiba tiba pas hari H suka ngerubah sendiri hahaha, aku sering kayak gini soalnya
Ga ada perubahan pada template. Masih sama seperti yang dulu.
Perubahan rencana kadang terasa lebih seru dan menyenangkan. Kita bakal menemui pengalaman yang tidak kita bayangkan sebelumnya.
Mantap mas Vay… gowes teruuuussss… tanjakan pun kalah 😀
Tapi ttp jaga kesehatan ya mas..
Siap mas. Ayo rajin olahraga!!
Kalo denger tanjakan, aku jadi ingat pas msh di Arun, Aceh. Soalnya komplek perumahannya kan dibangun di tempat yg dulunya gunung. Jadi konturnya naik turun banyak tanjakan tajam . Yg paling keinget, tanjakan turunan di Deket sekolah SD ku, curamnya astaghfirullah . Sampe pernah ada maling yg kabur lewat turunannya, pake motor, dan mungkin Krn ga memperkirakan kecuraman jalan, motornya terlalu kencang, akhirnya nyungsep di pipa gorong2 di bagian bawah nya. Mati sih orangnya …
Cuma anehnya, pas aku SD , bareng temen2 kok ya kuat bolak balik tanjakan turunan di komplek . Kalo skr mas, wassalam lah. Mending naik mobil hahahahaha.
Agak mirip Ama Semarang yg naik turun berbukit.
Tapi memang anak2′ itu terkadang LBH kuat sih ya drpd dewasa. Mungkin Krn stamina juga. Ditambah aku ga pernah naik sepeda lagi , jadi makin lemes kalo bayangin tanjakan
Menanjak memang melelahkan, tapi turunan membutuhkan fokus ekstra. Mesti lebih berhati-hati ketika meluncur di turunan.
Rasanya anak-anak ga kenal rasa takut dan lelah. Bawaannya pengen dicoba terus sampai puas. Tapi itu justru serunya di masa anak-anak..wkwkkw
Mas Rivai, Jalan Sumbing apakah yg di S.Parman itu bukan? Maaf, saya lupa2 ingat. Dan nggak tahu ada pura di Semarang. Mungkin krn saya kurang main di daerah situ kali ya. Heheheh.
betul. Jalan Sumbing itu dekat dari S.parman. Lebih tepatnya di pom bensin gajah mungkur. Pura itu udah lama banget. Mungkin memang jarang lewat sana.