Hari ini adalah hari Minggu. Hari terakhir libur dan cuti bersama dalam rangka Hari Raya Iduladha. Total ada lima hari libur jika ditambah dengan hari Sabtu dan Minggu. Bisa dibilang cukup lama dibandingkan dengan hari libur dan cuti bersama lainnya. Pada awalnya aku tidak berencana untuk melakukan sebuah perjalanan. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti walking tour di hari Minggu sore. Pasar Peterongan menjadi salah satu lokasi yang akan dikunjungi dalam rute ini.
Tepat tengah malam, Surya–yang bertugas sebagai storyteller–memberikan informasi dan lokasi titik kumpul untuk kegiatan walking tour pada esok hari. Tentu saja kau merasa senang karena aku belum pernah sama sekali mengikuti rute ini. Ini akan menjadi pengalaman pertama mengikuti rute yang dianggap misterius ini.
Pukul 15.28 aku tiba di titik kumpul. Di sana sudah ada Surya dan empat peserta lainnya. Nama rutenya cukup unik, yaitu sebuah kode dari salah satu rute angkot yang ada di Kota Semarang. Aku pun tidak menyangka, meskipun aku sering melihat angkot dengan rute ini melintas dari selatan ke utara Kota Semarang atau sebaliknya. Kami mengawali walking tour sore itu dengan perkenalan terlebih dahulu
Lokasi yang pertama kami kunjungi adalah sebuah kantor pos yang berada di ujung Jalan Brigjen Katamso atau persimpangan Bangkong. Bangunan kantor pos yang dikenal dengan Kantor Pos Bangkong ini dibangun pada tahun 1953 dan merupakan bangunan cagar budaya. Kantor pos ini merupakan kantor perbantuan pertama yang dibangun di Kota Semarang. Sedangkan kantor pos pusat Kota Semarang berada di Kantor Pos Johar.
Baca Juga: Wajah Baru Kampung Melayu
Pada masa kolonial Hindia Belanda, pekerjaan menjadi pegawai kantor pos atau surat menyurat merupakan salah satu pekerjaan yang bergengsi. Salah satu alasannya adalah para pekerjanya mengenakan jas, kemeja, seragam, dan selalu terlihat rapi. Sebuah hal yang jarang ditemui pada masa itu. Kecuali bagi para orang-orang kulit putih bangsa Eropa.
Dari kantor pos kami mulai menuju ke arah perkampungan padat. Dalam perjalanan itu kami singgah di sebuah rumah tua yang tampak megah. Di dinding rumah tertulis Anno 1955, yang berarti rumah ini dibangung pada tahun 1955. Di dekat gerbang rumah terdapat empat kendi yang terbuat dari tanah liat yang berisi air minum.
Pada masa penjajahan, kendi-kendi seperti ini biasa diletakkan di depan rumah warga. Tujuannya sebagai pasokan sumber makanan dan minuman bagi para pejuang. Sampai saat ini siapa saja boleh meminum air dari kendi ini. Aku pun mencoba meminum air dari dalam kendi ini. Aku merasakan air terasa lebih segar dan aroma dari tanah liat juga tercium oleh indera penciuman.
Hujan mulai turun ketika kami memasuki sebuah gang kecil. Gang tersebut memang kecil sehingga mobil tidak bisa memasuki gang ini. Aku belum bisa menebak apa yang ada di dalam gang kecil ini. Kami terus melangkah dengan beratapkan payung yang melindungi kami dari guyuran air hujan. Surya menghentikan langkahnya dan aku mulai melihat sebuah bongpay dengan ukuran cukup besar lengkap dengan tulisan China dengan segala ornamennya.
Surya mulai bercerita seorang tuan tanah yang bernama Be Biauw Tjoan. Tidak hanya sebagai tuan tanah, Be Biauw Tjoan juga seorang birokrat, pemungut pajak, dan bisnis. Sebagian besar tanah di permukiman padat ini dahulunya adalah miliknya. Menurut penuturan Surya bahwa bongpay yang kami datangi ini merupakan kuburan kuda milik Be Biauw Tjoan.
Pada masa itu sudah menjadi hal yang biasa ketika seorang keturunan Tionghoa membangun bongpay untuk menguburkan hewan kesayangannya atau sesuatu yang dianggap sangat penting dan dicintai oleh pemiliknya. Namanya mungkin kurang populer dibandingkan Oei Tiong Ham, tapi Be Biauw Tjoan juga memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan kota Semarang.
Menuju Pasar Peterongan
Sesekali hujan tampak mereda dan payung kami lipat kembali. Setelah melewati permukiman padat, Surya mengajak kami menuju ke Pasar Peterongan dengan melewati gang-gang kecil yang padat dengan permukiman dan aktivitas warga. Perjalanan menyusuri dari satu gang menuju gang lainnya selalu memberikan kesan tersendiri. Bahkan aku baru pertama kali melewati gang-gang ini. Meskipun aku sering melintas di jalan raya lokasi gang ini berada.
Pasar Peterongan dibangun pada tahun 1916. Lebih tua dibandingkan dengan Pasar Johar yang dibangun pada tahun 1936. Pasar Peterongan merupakan pasar pertama di Kota Semarang yang menggunakan konstruksi beton. Pembangunan Pasar Peterongan dikerjakan oleh de Hollandsche Beton Maatschappij (HBM). Pasar ini menjadi satu dari delapan pasar yang dikelola oleh Gemeente Semarang. Gemeente merupakan sebuah pemerintahan kotapraja. Pada tahun 1906, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Semarang sebagai gemeente atau kotapraja.
Sebuah pohon asam yang berukuran besar menjadi penanda Pasar Peterongan. Mungkin pohon ini usianya hampir sama dengan usia pasar ini. Pohon asam ini berhasil menjadi peneduh bagi warga yang beraktivitas di Pasar Peterongan. Terlihat beberapa laki-laki sedang duduk sambil menghisap sebatang rokok tak jauh dari pohon asam.
Banyak kios yang sudah tutup ketika kami memasuki area Pasar Peterongan. Hanya ada beberapa pedagang yang masih membuka kiosnya. Beberapa pedagang terlihat sedang sibuk membersihkan area kios milik mereka. Bentuk asli pasar ini masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Termasuk tangga yang mengarah ke lantai dua di bagian belakang pasar. Pada tahun 2017, Pasar Peterongan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Kami meninggalkan Pasar Peterongan melalui pintu belakang pasar. Pintu ini tersambung dengan sebuah jalan perkampungan yang dipenuhi dengan warung dan kios. Tidak hanya itu, banyak pedagang yang berjualan memenuhi tepi jalan. Sore itu jalan terlihat lebih lengang. Sedikit pedagang yang masih menggelar barang dagangannya. Jalan ini akan selalu ramai mulai pagi hingga siang hari.
Kampung Jomblang
Setelah meninggalkan Pasar Peterongan, Surya mengajak kami untuk memasuki gang sebuah perkampungan. Kawasan perkampungan ini dikenal dengan nama Kampung Jomblang. Tidak jauh dari gang masuk terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Jami Jomblang.
Masjid Jami Jomblang dikelola oleh Nahdlatul Ulama (NU). Masjid ini dibangun pada tahun 1933 atau sekitar tujuh tahun setelah berdirinya Nahdlatul Ulama. Di dinding depan masjid terlihat sebuah plakat yang menceritakan sejarah masjid dalam bahasa Jawa dan Arab Pegon.
Baca Juga: Singgah di Kampung Bustaman
Bentuk bangunan masjid masih mempertahankan bentuk aslinya. Mulai dari empat tiang utama masjid yang terbuat dari kayu jati, bentuk atap masjid yang menggunakan atap tumpang, lantai masjid, hingga ornamen yang ada di ventilasi masjid. Atap tumpang menjadi ciri khas pada masjid-masjid kuno di Jawa.
Menyusuri Kampung Jomblang memberikan kesan tersendiri bagiku. Aku masih bisa menemukan beberapa bentuk rumah kuno atau jadul di kampung ini. Beberapa di antaranya memiliki bentuk yang megah dan terawat dengan baik. Jalan di kampung juga tidak lebar. Hanya muat untuk satu mobil. Bahkan ada beberapa jalan kecil yang hanya muat untuk motor. Kampung Jomblang memang jadi salah kampung tua di Kota Semarang.
Jika merujuk dari sejarah, dahulu di sekitar Kampung Jomblang terdapat halte trem uap. Halte diberi nama sesuai dengan nama kampung ini, yaitu Halte Jomblang. Trem uap ini memiliki rute Jomblang-Stasiun Jurnatan-Pasar Bulu. Rute ini membentang sepanjang Jalan M.T. Haryono menuju Stasiun Jurnatan yang menjadi stasiun sentral untuk trem uap. Sekitar tahun 1930-an, operasional trem uap dihentikan karena dinilai kurang efektif sebagai moda transportasi. Kereta trem uap tidak bisa melaju dengan kencang dan menghasilkan banyak polusi udara.
Hari beranjak malam dan hujan masih turun ketika kami menyelesaikan kegiatan walking tour sore ini. Sedari awal aku tidak berekspektasi tentang apa saja yang aku temui dalam rute ini. Tidak perlu berekspektasi merupakan hal yang tepat karena ternyata aku menemukan banyak hal dalam rute ini. Mulai dari bangunan kantor pos, cerita tentang Be Biauw Tjoan, Pasar Peterongan yang menjadi salah satu pasar tertua di Kota Semarang, hingga Kampung Jomblang yang jadi salah satu perkampungan tertua di Kota Semarang. Tentu saja dengan sensasi berjalan kaki dari satu gang menuju ke gang lainnya.
Cerita dari Semarang
Pasar Peterongan
2 Juli 2023
24 comments
Jadi kangan air kendi, walau ada bau bau tanah, tapi seger banget
hebat juga ya, ada pemakaman kuda. Benar-benar kaya untuk eranya
Itu pasar, usianya sangat tua sekali
Air dari kendi terasa lebih segar. Di masa lalu para tuan tanah sering memperlakukan hewan peliharaan secara istimewa.
Saya suka banget dengan postingan ini. Bener2 bisa jadi obat kangen Semarang dan tambah pengetahuan juga.
Btw angkotnya ‘dayatsu’ no.13 apa bukan ya? Hehehe, asal nebak.
Saya tahu pasar Peterongan karena temen saya banyak yg rumahnya di daerah Sompok. Sebelahnya masih ada Java Mall, nggak?
Waktu kuliah juga sering lewat sini. Dari Utara lewat kota lama ke Tembalang.
Mas, maju dikit arah ke Sompok ada es gempol enak. Sebelahnya bakso apa ya lupa. Baksonya besar, parkirnya luas. Sebelahnya ada gempol dan jamu jun.
Kalau dulu saya juga suka jajan Bakso Doa Ibu di Sompok. Sekarang nggak tahu baksonya masih ada apa enggak.
Saya penasaran sama Pasar Kambing dan daerah Mrican, Mas. Semoga berlanjut ya walking tournya ke daerah situ.
Btw terima kasih utk tulisan yg bagus ini.
Halo mbak pipit. Banyak postingan tentang semarang yang sudah aku posting. Beberapa lainnya sedang aku edit. Selamat menikmati tulisan tentang semarang mbak pipit 😀
Bukan mbak, angkot dayatsu-nya kode c.10 jurusan banyumanik-pasar johar. Banyak angkot yang melintas di jalan mt.haryono dan mengarah ke pasar johar. hanya orang semarang yang memanggil angkot dengan sebutan dayatsu..hahaaha
Aku tahu pasar peterongan karena dulu sering diajak ibuku ke swalayan ramai. Java mall masih ada. Kalau ke tembalang lewat sini lebih cepat sih. Jalannya tinggal lurus aja.
Kalau bakso yang dimaksud adalah bakso soun yaa aku tahu, tapi untuk es gempol dan jamu jun aku ga tahu. Mungkin masih ada, soalnya aku memperhatikan. Kalau bakso soun memang sering ramai. Bakso doa ibu di sompok juga masih ada kok. Emang bakso di sana terkenal.
Kalau pasar kambing itu khan sejarahnya karena di sana dulu banyak yang berjualan kambing. Termasuk di trotoarnya dan gang-gang di sekitarnya. Sekarang sudah dilarang berjualan kambing di sana. Tapi masih ada sedikit warga yang berjualan di dalam gang. Makanya di sana dibangun patung kambing sebagai penanda kalau di sana dulu tempat berjualan kambing. kalau mrican aku belum dapat ceritanya mbak pipit.
oya mbak pipit, di daerah sompok itu dulunya merupakan daerah kamp interniran, yaitu kamp atau tempat tawanan perang yang dikhususkan untuk warga sipil.
Seru juga y mas ada walking tour, saya baru tau ini mas ada namanya walking tour. Serunya itu jalan2 sambil ada guide nya juga ya
btw itu bayar berapa ikut walking tour itu mas>
Aku sudah mengenal walking tour sejah tahun 2015/2016 mas. Walking tour ini jadi opsi untuk liburan dan belajar sejarah. Kalau jalur reguler seperti yang aku ikuti bayar tergantung pada peserta mas. Tidak ada patokan untuk nominalnya.
iya nih sepertinya mainnya saya kurang jauh kok baru tau walking tournya sekaramg.
seru sih ada guidenya juga
Tidak ada kata telat untuk mecoba hal baru mas rezky. Termasuk mencoba walking tour 😀
Bagus jug ya, jika tahun sebuah rumah itu dibangun. Biar tidak lupa
benar sekali, jadi pengingat kapan rumah tersebut dibangun.
Aku pernah tanya ke bapak-bapak di Bantul, kenapa jalan ini kok banyak pohon asam tiap kiri dan kanan, katanya memang dulu pohon asam dijadikan peneduh jalanan. Bisa jadi, pohon asam yang dekat pasar memang satu-satunya yang masih ada.
Pohon asem jawa memang cocok sebagai pohon peneduh. Sekitar pasar memang hanya ada satu pohon asam ini. Di sisi jalan sekitar pasar biasa digunakan tempat parkir kendaraan.
Wah, banyak ya tulisan Semarang di sini. Nanti saya baca2 ya. Beneran bisa ngobatin kangen Semarang. Tambah pengetahuan juga.
Lho nomer angkotnya ganti ya. Dulu dayatsu 13 jurusan Banyumanik-Johar lewatnya Peterongan. Bentuknya kijang dan warnanya oranye. Sekarang saya kurang tahu angkot di Semarang. Udah lama nggak naik angkot kalau pulkam.
Setelah saya gugling, baksonya namanya Shobat. Sebelahnya ada es gempol Wijoyo. Lokasinya di Lamper Sari. Saya sukanya makan bakso tapi minumnya es gempol. Kata pegawai baksonya gapapa bawa gempol ke situ hehehe.
Oalaah bakso DOI masih ada ya. Wow, hebat masih bertahan. Btw terima kasih Mas utk info ttg Sompok dan Pasar Kambing. Sayang ya udah sedikit yg jualan kambing di sana. Kalau temen saya rumahnya di Jalan Mangga, Nangka, Cinde. Dulu pulang sekolah naik dayatsu no.6 dari Gajah Mada. SMP saya di Kampung Kali. Panjang ya kalau ngomongin zaman dulu. Hehehe.
Lahir dan besar di semarang, tapi kadang kita tidak tahu cerita sejarah tentang semarang. Makanya aku sering ikut walking tour di semarang 😀
Tidak, kayaknya dari dulu kodenya C.10 untuk angkot banyumanik-johar. Kalau bentuk dan warna masih sama kak. Sekarang angkot kalah saing sama motor pribadi dan ojol. Jadi ga sebanyak dulu.
Lokasinya lamper sari yaa, kebetulan kemarin ga sampai sana. Mungkin sudah pernah lewati, tapi ga ngeh aja. Mungkin kapan-kapan mampir.
Yaa ga sayang juga sih mbak pipit. Soalnya sering bikin macet dan aromanya juga mengganggu warga yang melintas.
Ehm. Smp kampung kali emang terkenal smp favorit sejak dulu yaa mbak pipit. Teman sma ku banyak yang dari smp tersebut. Rata-rata mereka yang ga bisa masuk sma 3 karena nilainya kurang…hehhehehe. Sekarang jalan gajah mada satu arah ke arah jalan pemuda. Jadi ga ada angkot yang melintas ke arah simpang lima 😀
Makasih sudah singgah mbak pipit 😀
Jadi ingat dulu di rumah nenekku masih mempertahankan kendi sebagai tempat penyimpanan air dan benar, airnya terasa sejuk dan lebih segar di tenggorokan. Sampai sekarang sepertinya belum ada tempat penyimpanan air yang bisa memberi sensasi yang sama seperti taruh di kendi.
Oiya, kalau aku lihat-lihat belakangan ini Kak Rivai sepertinya lebih aktif ikut walking tour, kegiatan ini dipatok harga tertentu atau bayar seikhlasnya atau Kak Rivai gabung dengan komunitas tertentu?
Nenekmu tinggal di mana lia? Beberapa rumah orang desa yang aku pernah aku temui masih menggunakan kendi untuk air minum. Segarnya air minum belum ada yang menggantikan.
Ga ada harga yang dipatok kak. Bayar sesuai dengan keinginan kita (pay as you want). Kadang ikut dengan teman sendiri, kadang ikut sebuah agen wisata. Kalau ini yang mengadakan agen wisata.
rindu Semarang, semoga nanti ada kesempatan kesana lagi 😀
Yaa semoga bisa ke semarang lagi kak 😀
Pagi mas Vai….ternyata masih ada kendi ya ,saya kira sudah enggak ada lagi ,kebetulan kalau mudik ke kampung mertua saya di dapurnya masih ada kendi kayak gini, air nya memang lebih adem dan seger.
Bongpay…baru ini saya denger kalau itu ternyata kuburan hewan, gak kebayang kuda yg segitu gede aja bisa di kuburkan…tapi bisa juga sih biar enggak bau, hanya unik saja ada nisannya segala hehehe…
Nah..betul mas…kalau berjalan itu jangan berekspetasi…justru dari situ kita bisa nemuin banyak pengalaman yang seru yang kadang di luar nalar kita
Masih banyak mbak heni. Di pasar tradisional masih banyak yang pakai kendi.
Maksudnya bukan itu mbak. Bongpay itu makam/kuburan orang china. Di masa itu ternyata bongpay juga digunakan untuk makam hewan peliharaan majikannya. Biasanya bongpay ukurannya besar dan banyak ornamennya.
Memang lebih baik begitu. Perlu direncanakan, tapi ga perlu berekspektasi tentang apa yang akan ditemui dalam perjalanan.
dari dulu yang jadi wishlist aku ikutan tour kayak gini, mengenal bangunan sejarah yang ada di kota tersebut, minimal Malang, dulu waktu tinggal di Malang malah jarang explore bangunan kunonya
Kendi aku masih merasakan zaman aku kecil dulu, dan airnya beneran mak nyess, sekarang udah mulai kegeser keberadaannya.
Terus zaman ceret juga tuh, yang motifnya warna hijau putih, kayaknya dimana-mana, hampir tiap rumah selalu punya
Ayolah ikut walking tour. Di malang ada kok. Bisa dicari di instagram 😀
AKu mengalami masa kendi, ceret, dan hingga saat ini berganti teko. Minum air dari kendi dan ceret ada sensasi tersendiri.
Berarti si owner masih rajin taro kendi berisi air stiap hari di depan ya mas?
Pas dengar kampung Jomblang aku langsung mikir, apa kampung ini banyak pohon Jomblang ? Buah yg bulet2 mirip anggur hitam itu loh, tp rasanya sepet. Paling enak di rujak. Di Aceh dulu banyak.
Cuma aku susah cari di Jawa atau Jakarta
masih rutin mbak fanny. Kemarin pas minum kondisi airnya juga bagus. bening dan bersih.
Kalau buah yang mbak fanny maksud itu namanya buah jamblang. Kalau di daerahku lebih dikenal dengan nama duwet. Dulu banyak, sekarang belum pernah lihat lagi.