Setiap hari Minggu pagi biasanya aku isi dengan kegiatan olahraga. Entah itu bersepeda, lari, atau berjalan kaki. Itu merupakan agenda rutin di hari Minggu. Namun, tidak pada minggu pagi kali ini. Pagi itu aku memilih ikut teman-teman dari komunitas Hunting Pasar Semarang untuk berburu foto di Pasar Jatingaleh. Komunitas ini rutin mengadakan kegiatan hunting foto di pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Semarang.
Kegiatan berburu foto kali ini merupakan kegiatan pertama setelah vakum selama pandemi Covid-19. Sebetulnya di bulan Desember 2022 akan diadakan kegiatan serupa, tetapi gagal karena intensitas hujan sedang tinggi di bulan itu. Alasanku untuk ikut kegiatan ini adalah karena aku suka keliling pasar tradisional dan jarak lokasi Pasar Jatingaleh yang cukup dekat dengan rumahku. Selain itu, Pasar Jatingaleh juga memiliki bentuk bangunan yang unik dan cerita sejarah tersendiri.
Sejarah Pasar Jatingaleh
Menurut cerita, Jatingaleh itu terdiri dari dua suku kata. Jati yang berarti pohon jati, dan ngaleh yang berarti berpindah. Ini berdasarkan kisah Sunan Kalijaga yang saat itu mencari pohon jati yang akan digunakan sebagai tiang untuk Masjid Agung Demak. Di daerah itu, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang ketika ditebang bukannya roboh, tapi malah berpindah (ngaleh) tempat. Karena hal tersebut, akhirnya Sunan Kalijaga memberikan nama Jatingaleh.
Baca Juga: Pasar Peterongan dan Sekitarnya
Di masa kolonial daerah Jatingaleh berubah menjadi daerah perbatasan Kota Semarang dengan bagian selatan kota yang dibatasi dengan Bukit Gombel. Bahkan terdapat sebuah pos pemeriksaan. Tempat ini juga menjadi tempat persinggahan bagi para pendatang yang ingin memasuki Kota Semarang dari arah selatan. Biasanya mereka berasal dari Kabupaten Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta.
Pasar Jatingaleh dibangun oleh arsitek Belanda yang bernama Thomas Karsten sekitar tahun 1931. Pasar Jatingaleh memiliki ciri khas berupa tiang cendawan dan ventilasi di tengah bangunan. Ventilasi ini berfungsi sebagai sirkulasi udara dan penerangan alami. Pasar Jatingaleh menjadi pasar rintisan dengan konsep tiang cendawan yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten di Pasar Johar yang dibangun pada tahun 1936. Kelak pasar ini menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas di Pasar
Pagi itu kegiatan diikuti oleh tujuh orang. Semuanya laki-laki. Sebelum kegiatan dimulai, kami terlebih dahulu berdoa, perkenalan diri, dan mendengarkan beberapa arahan yang mesti kami perhatikan selama kegiatan berlangsung. Salah satunya adalah selalu meminta izin kepada orang yang akan dijadikan objek foto. Ini sebagai bentuk menghormati dan persetujuan kepada orang tersebut. Kami langsung berpencar menurut keinginan masing-masing. Tidak ada rute khusus ketika berkeliling Pasar Jatingaleh.
Baca Juga: Wajah Baru Kampung Melayu
Semuanya masuk melalui pintu utama. Aku sengaja berhenti lama untuk menikmati tiang cendawan, ventilasi, dan lorong bangunan pasar. Bangunan ini masih berdiri dengan kokoh dan melewati banyak zaman. Aku pun mulai berkeliling pasar. Para pedagang terlihat tidak terganggu dengan kehadiran kami yang berkeliling pasar sambil membawa kamera. Tanpa diberitahu, mereka tahu jika kami sedang memotret di Pasar Jatingaleh. Mungkin mereka sudah biasa melihat orang-orang yang memotret kegiatan di dalam Pasar Jatingaleh.
Para pedagang dengan ramah memberikan izin untuk dijadikan objek foto. Bahkan beberapa dari mereka malah meminta untuk dipotret. Salah seorang pedagang memintaku untuk memotretnya sambil memegang dua lembar uang Rp100.000. Seorang laki-laki usia sekitar 55 tahun ini juga berujar “Biar barang dagangan kami bisa laris dan ramai setiap hari, Mas.” Tentu saja aku dengan senang hati mengabulkan permintaan pedagang laki-laki tersebut.
Sesekali aku memotret keadaan pasar. Tidak lupa aku meminta izin kepada pedagang untuk memotret mereka yang sedang beraktivitas. Perjalanan berkeliling membawaku hingga di belakang pasar. Kondisinya lebih sepi dibandingkan di bagian utama pasar. di ujung lorong terdapat dua kios penggilingan daging. Suara mesin penggiling daging ini sangat berisik. Suaranya mampu memekakan indera pendengaranku. Padahal aku sudah berada di luar kios.
Para pegawai tampak tidak terganggu dengan suara mesin tersebut. Mereka tetap melakukan aktivitas memasukan daging dan tepung ke dalam mesin. Di dinding tertulis Rp10.000/kg. Sepertinya itu adalah harga jasa penggilingan daging di kios ini. Daging giling merupakan bahan utama untuk pembuatan bakso.
Biasanya di Hari Raya Idul Adha permintaan untuk penggilingan daging akan meningkat. Masyarakat yang menerima daging kurban akan mengolahnya menjadi bakso. Mereka hanya perlu membawa daging yang sudah dibersihkan ke kios ini. Tukang giling sudah menyediakan bumbu dan tepung sesuai dengan yang dibutuhkan. Tepung dan bumbu ini diberi harga Rp17.000/kg.
Secara tidak sengaja aku melihat peserta lainnya sedang berjalan menuju bagian samping pasar. Di sana mereka sedang mengamati sebuah musala yang ada di sebelah pasar. Mereka sedang memotret sebuah kubah musala dengan langit biru yang menjadi latarnya. Tidak jauh dari musala terdapat sebuah warung makan. Tampak seorang perempuan paruh baya berkerudung sedang menyiapkan makanan.
Setelah aku amati ternyata beliau adalah tetanggaku yang tinggal beda gang dengan rumahku. Aku menyapa perempuan tersebut. Awalnya beliau lupa. Kemudian langsung mengingatnya ketika aku menyebutkan nama kedua orang tuaku. Beliau sudah lima bulan bekerja sebagai tukang masak di warung ini. Kami mengakhiri obrolan ketika ada seorang perempuan muda yang memesan makanan di warung tersebut.
Di dekat warung terdapat sebuah kios potong rambut yang bernama Potong Rambut Surabaya. Aku ingat semasa aku kecil bapakku sering mengajakku ke potong rambut ini. Hari itu kios potong rambut sedang tutup atau libur. Pintu kios tertutup rapat. Aku kembali memasuki area pasar. Aku masih berkeliling seorang diri. Langkahku terhenti ketika tiba di sebuah kios penjual bumbu dapur dan rempah-rempah. Kios ini dijaga oleh sepasang suami-istri. Aku lupa menanyakan nama mereka. Beliau berdua sudah berjualan bumbu dapur dan rempah-rempah lebih dari 30 tahun yang lalu.
Baca Juga: Singgah di Kampung Bustaman
Pada awalnya mereka berdua berjualan sembako, kemudian beralih ke bumbu dapur dan rempah-rempah. Semua bumbu dapur didapat dari pasokan petani yang berasal dari sekitar Kota Semarang. Seperti Salatiga, Kabupaten Semarang, dan Boyolali. Sudah sejak lama ibuku selalu beli bumbu dapur di tempat ini. Bahkan sejak aku masih berusia 3 tahun. Saat itu ibuku pergi ke puskesmas dan baliknya singgah di sini untuk beli bumbu dapur dan rempah-rempah untuk diolah menjadi jamu. Ibuku seperti sudah menjadi pelanggan setia kios bumbu dapur ini. Tak jarang mereka berdua memberikan tambahan bumbu untuk ibuku.
Selain menjual bumbu dapur, beliau juga bisa meracik bumbu dapur untuk aneka macam masakan. Seperti gulai, tengkleng, dan rendang. Pembeli hanya perlu memberitahu apa yang akan dimasak dan jumlah porsinya. Pembelian bumbu dapur akan meningkat ketika musim Hari Raya Idul Adha. Masa di mana orang-orang memiliki banyak stok daging untuk diolah.
Aku pamit dan mengucapkan terima kasih kepada pasangan suami istri ini karena diizinkan untuk singgah dan mengobrol banyak hal tentang bumbu dapur dan rempah-rempah. Kemudian aku menyusul yang lainnya. Mereka sedang beristirahat di bagian belakang pasar. Tak berselang lama aku izin untuk pamit terlebih dahulu karena aku ada janji dengan temanku.
Keliling dan berburu cerita di Pasar Jatingaleh ini memberikan pengalaman tersendiri bagiku. Aku memang suka pergi ke pasar tradisional. Mungkin kalau ada kesempatan lain, aku bakal melakukan hal yang sama di pasar-pasar lainnya. Baik yang ada di Kota Semarang, maupun di kota lainnya.
Cerita dari Semarang
Pasar Jatingaleh
25 Juni 2023
38 comments
Pasar tradisional memang menyimpan banyak cerita mas. Dulu rumah saya di kompleks pasar sentral juga, jadi pemandangan seperti ini membawa kembali memori masa lalu. Hari-hari saya dihabiskan di pasar, petak umpet atau kejar kejaran dengan teman teman dan tetangga. Terima kasih reportasenya mas.
Seru juga mas cipu. Bisa menjalani masa kecil dan tumbuh di dekat pasar tradisional. Pasti itu bakal jadi pengalaman tersendiri yang akan selalu dikenang. 😀
Daerah saya juga ada beberapa pasar tradisional mas..sayangnya gak ke urus dan lumayan kotor, lembab dan gelap, bnyk kios yg tutup dan di biarkan terbuka dan gelap, dulu jadi salah satu pasar yg lumayan banyak pengunjungnya, bahkan berdampingan dengan bioskop, nama pasarnya pasar bawah, dan bioskop namanya sederhana ,mulai dari jaman ibu saya,sampai saya juga beberapa kali belanja ke pasar ini, lama”pasar sepi dan pedagang berkurang jauh…yg bikin malez krna kotor dan lembab itu mas.jadi sudah jarang juga mampir belanja di sana, kalo gak salah usia pasarnya mungkin sudah lumayan tua,50-60 th lebih sepertinya.
Banyak pasar tradisional yang memiliki kondisi serupa mbak heny. Belum bisa diperbaiki karena keterbatasan anggaran. Pasar tradisional yang bersih, rapi dan nyaman akan mendatangkan para pembeli dan pengunjung untuk mengunjungi pasar tradisional lagi. Semoga aja cepat untuk diperbaiki pasarnya mbak.
seru banget blusukan ke pasar dan motret aktivitas di dalamnya
apalagi kalau pasar itu berada di suatu bangunan tua yang sudah ada dari zaman penjajahan misalnya.
Lorong pasarnya termasuk megah ya mas Vay, kalau dibangun tahun 1931-an ini udah wahh
Bisa dibilang megah dan sangat ikonik. Pasa Johar lebih megah dari pasar ini. Aku belum menyempatkan diri untuk mengunjungi pasar johar lagi.
Seruuuuu mas Rivai . Aku jadi kebayang kalo bisa main ke pasar di Aceh, yg duli sering aku datangin.
Skr ini aku memang ga pernah ke pasar basah lagi, tapi memilih pakai personal shopper utk beliin barang2 dapur di pasar. Lebih Krn ga suka keramaian aja sih .
Tapi sbnrnya aku sukaaa aroma rempah di pasar, yg menjual bumbu2. Tapi benci yg bagian ikan dan hewan hahahahaha. Ga kuat becek dan aromanya .
Kebayang ini para penjualnya suka difoto. Mungkin kapan2 pake polaroid atau printer yg portable, size kecil itu mas, yg bisa diconnect ke hp. Abis dipotret, print langsung dan kasih ke penjualnya
Aku jadi kepikiran kalau pas keluar kota bisa dicoba untuk main ke pasar tradisionalnya 😀
Bagian becek dan bau memang jadi pemandangan tersendiri di bagian los ikan dan daging yaa mbak. Aku coba nikmati aja. Kadang malah lebih kasihan ketika daging dan ikan yang dijual masih sisa banyak.
Polaroid dan printer portable masih berasa mahal mbak. Belum lagi kertas yang dipakai harganya mahal. Jadi yaa kalau pakai mesti diirit-irit. ga bisa asal jepret dan cetak. Aku thu suka lihat konten foto orang, langsung cetak, dan memberikan foto tersebut ke orang tersebut..hehhee
3 tahun di semarang, belum pernah sekalipun ke sini. Ini tuh yg samping gerbang tol masuk jatingaleh bukan ya? Dari luar terlihat kecil tapi di dalamnya lumayan besar juga ya.
Bener banget. Dekat dengan gerbang tol.
Kalau dilihat sekilas pasar jatingaleh memang seperti pasar-pasar tradisional lainnya. Namun, ketika masuk bakal langsung disambut dengan tiang-tiang cendawan karya Thomas Karsten 😀
Mas vai, kayaknya lebih suka motret aktifitas saat di pasar ya, ketimbang fokus di ekspresi dari para pedagangnya..
Ya, gpp juga sih..hehe..
Kenapa lbh suka style ini ?..
Btw, tq infonya seperti mengajak para pembaca jalan2 virtual di semarang..
Iyaa lebih suka foto pedagang dengan segala aktivitasnya. Kadang main candid aja. Kalau fokus ekspresi pedagang lebih baik pakai lensa panjang. Ga bisa pakai lensa yang sekarang karena mesti mendekat. Ga enak kalau terlalu dekat nanti malah bikin pedagang atau orangnya ga nyaman.
Sama-sama. Semoga bisa singgah di semarang 😀
Bagus-bagus fotonya mas.. ini difoto pakai kamera apa ya?
Aku senang sebenarnya kalo motret berbagai hal yang luput dari kamera begini, tapi kadang malu aja gitu mau ngeluarin kamera. Ujung-ujungnya cuma jepret pake hape aja, biar ga terlalu mencolok, hehehe
kamera biasa mas. Emang lebih nyaman pakai kamera kalau motret seperti ini mas. Ga perlu malu mas, dimaksimalkan saja apa yang dimiliki mas. 😀
Aku takjub pas lihat tiang dan ventilasinya, bagus sekali untuk ukuran pasar eh ternyata peninggalan zaman Belanda. Dulu pas ke Semarang pernah mampir ke Bukit Gombel, kalau malam-malam cantik ya lihat lampu-lampu kota
di semarang terdapat beberapa pasar tradisional yang memiliki tiang seperti ini, yaitu Pasar Jatingaleh, Pasar Johar, dan Pasar Randusari. Tiang ini memang sangat ikonik di pasar tradisional di semarang. Dulu ada Pasar Bulu yang memiliki tiang yang sama. Tapi tiang itu dihilangkan ketika renovasi pasar.
Bukit gombel itu titik tertinggi untuk melihat kawasan kota semarang.
Sama mas Vay, saya juga suka blusukan ke pasar kalau ke kota yang baru dikunjungi… Biasanya ada aja barang dagangan yg unik. Atau setidaknya bakal dapat makanan menarik yang murah buat sarapan
Selain itu bisa melihat aktivitas dan berinteraksi dengan warga lokal.
Mas Vai mah selalu keren, sederhanya berkunjung Ke Pasar bisa dijadikan tulisan, dan selalu ada ilmu baru disana, seperti kata Jatingaleh tadi, jati yang dipindahkan.
Mantappp
Bisa dibilang beruntung mas ketemu teman-teman yang punya ketertarikan yang sama.
Banyak hal yang bisa dipelajari dalam sebuah perjalanan yaa mas.
Sejarah dari Pasar sangat menarik ya
Saya hampir tiap hari, ke pasar
denger penggilingan daging, telinga rasanya gimana gitu, ngilu
Pasar ini punya cerita sejarah yang panjang.
Aku tidak betah untuk berlama-lama di sekitar penggilingan daging.
Keren, Mas Vai. Hasil jepretannya bagus2. Syukur2 jika ada objeknya yang minta dibayar. He he ….
Makasih telah berkunjung.
Tentu saja ga perlu membayar. Lebih baik atas persetujuan seperti ini aja 😀
sukaaa sama foto2nya ! suasana pasarnya khas banget deh, jadi inget pasar legi di Ponorogo jaman dulu sebelum dibangun jadi lebih modern
Makasih mbak ayu 🙂
suasana pasar tradisional memang punya ciri kahs tersendiri. Kalau pasar legi ponorogo hanya buka di hari pasaran legi aja atau setiap hari buka seperti biasa?
Terkagum aku bacanya, mas rivai foto nya doank aja udh cerita banyak. Ditambah tulisannya yg gak sangka cukup sampe ke hati 🙂
Gak nyangka ad org nulis ttg pasar pke hati begini
Makasih mbak titi. Mungkin ini dipengaruhi lingkungan dan buku yang sering aku baca sehingga dapat gambaran lain dalam sebuah perjalanan 🙂
Unik dan menarik sekali kegiatannya. Seruuu. Bisa mengetahui sejarah juga cerita-cerita yang ada di dalam pasar dengan orang-orangnya pula. Hal yang aku sukai juga adalah tentang adanya perilaku meminta ijin untuk mengambil foto, betapa etika dan sopan santun itu masih ada serta dijunjung, suka sekali.
Banyak yang bilang kalau pasar itu jadi tempat favorit untuk berburu foto. Di sana banyak orang dengan segala kegiatannya. Memotret orang memang dibutuhkan sebuah konsen dan etika. Terima kasih sudah berkunjung.
Mantap bisa mengeksplore pasar-pasar tradisional di semarang. Sesekali boleh coba eksplore pasar tradisional di bagian Semarang Atas, seperti di Gunungpati atau Mijen, Mas wkwkwkwk
Pasar Gunungpati sepertinya menarik. Mungkin saja bisa ditemui hal-hal unik karena pasar itu berada di pinggir kota dan berbatasan dengan kabupaten lain. Nanti kapan-kapan dicoba 😀
ahahahha, aku baru ngeh loh arti nama Pasar Jatingaleh, ngaleh – ngalih, berpindah. maklum Jawa ku lebih ngoko yaa. Tapi Salut sih ya memang Sama kesantunan pedagang Dan malah mau juga bersuka Cita klo ada kunjungan Dan yang foto-foto. Pernah punya pengalaman mau foto2 di Pasar daerah serpong, uh udah dicegat Sama security duluan, kata nya nanti mengganggu.
Bahasa ngoko biasa digunakan untuk yang seumuran. Kalau krama biasanya digunakan untuk yang lebih tua atau dihormati. Kalau udah masuk pasar gini tidak jarang malah diajak ngobrol sama pedagang. Ya akhirnya suasana jadi cair dan akrab.
Mungkin pasarnya sudah modern mbak wulan…hehhehe. biasanya bisa disiasati dengan tidak sering menampakkan kamera ketika di pasar.
Waktu lihat fotonya ada tiang cendawan, saya langsung ingat Pasar Johar. Ternyata Mas Rivai sudah menceritakan setelahnya. Sayang ya Pasar Johar kebakaran dan diganti dengan bangunan sekarang.
Bener, saya juga pernah baca cerita ttg asal kata Jatingaleh seperti yang Mas Rivai tulis.
Saya belum pernah ke Pasar Jatingaleh. Dulu tiap kuliah lewat daerah ini dan rame pol. Sekarang masih rame apa enggak? Atau malah macet?
Saya juga suka dengan pasar tradisional karena ada interaksi yang ga bisa didapat di tempat belanja modern. Selalu suka mendengar cerita dari pedagang atau sesama pembeli. Interaksi yang singkat tapi bikin hati hangat.
Bangunan yang sekarang lebih bagus dan tertata. Saat ini pemkot sedang gencar-gencarnya untuk mempromosikan pasar johar agar ramai dikunjungi lagi.
Sekarang jalan di depan pasar jatingaleh lebih lancar karena adanya underpass jatingaleh. Kalau ramai paling kendaraan yang keluar dari pintu jatingaleh. Ramai karena ada penumpukan kendaraan yang keluar tol. Kalau jalan utamanya lancar.
Interaksi kayak gini yang ga didapatkan di sebuah pasar modern atau supermarket.
Tahun 2009/2010 pernah dua kali nginap di kantor teman dekat pasar Jatingaleh (di sisi sebelah jalan tol). Tidak tahu tentang tiang cendawan. Sekarang menyesal waktu itu tidak masuk pasar. 🙂
Kalau dilihat dari luar pasar jatingaleh seperti pasar-pasar tradisional lainnya mas. Jadi untuk lihat tiang cendawan mesti masuk ke dalam pasar.