“Jumat itu, di Hari Lebaran kedua 12 Desember 1969, sekitar 40 tahun lalu, kami sudah lengkap berkumpul sebelum pukul 06.00 pagi di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Karena tiba sesuai kesepakatan, kami berseloroh menyebut peristiwa itu sebagai “jam belanda” alias tepat waktu atau “op tijd”, bukan “jam karet” alias jam molor yang selalu kelewatan beberapa puluh menit dari kesepakatan waktu pertemuan. “Tepat waktu’ saat itu sungguh penting, mengingat rombongan tim pendakian ke gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru (3.676 mdpl), ini harus berangkat menumpang kereta api pukul 07.00 dari Gambir menuju Surabaya.“
Potongan kalimat di atas menjadi paragraf pembuka pada bagian pertama buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi karya Rudi Badil, dkk. Buku ini digagas oleh teman-teman Hok-Gie, yaitu Rudi Badil, Luki Sutrisno, dan Nessy Luntungan. Tidak hanya tulisan mereka bertiga, tapi juga teman-teman Hok-Gie ketika masa kuliah di Universitas Indonesia, rekan pergerakan mahasiswa, penulis, dan beberapa tokoh juga menuliskan pemikiran mereka tentang sosok Soe Hok-Gie.
Soe Hok-Gie dikenal sebagai seorang aktivis dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Hok-Gie yang lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1942 merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ayahnya bernama Soe Lie Pit yang merupakan seorang penulis. Hok-Gie juga dikenal sebagai seorang pendaki gunung.
Pada tahun 1964 Hok-Gie dan teman-temannya di Fakultas Sastra mendirikan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) yang diberi nama Pradjna Paramita. Didirikan ketika Herman Lantang menjadi Ketua Senat Mahasiswa FS-UI. Pertemanan Herman Lantang dan Hok-Gie berawal dari kegemaran yang sama, yaitu gemar mendaki gunung dan menikmati kehidupan di alam bebas.
Kemudian dalam perjalanannya, Mapala Pradjna Paramita berubah menjadi Mapala UI. Salah satu organisasi Mapala tertua di Indonesia. Di organisasi ini, Hok-Gie mendapatkan nomor keanggotaan 007, mirip dengan nomor James Bond dan nomor tahanan Pram. Sedangkan Herman Lantang mendapatkan nomor keanggotaan 016.
Dalam sejarahnya, Mapala UI lahir ketika politik kampus pada saat itu mulai tidak sehat. Hok-Gie akhirnya berinisiatif mengadakan acara nonton film dan naik gunung. Tujuannya tak lain agar tidak terjebak dalam politik kampus yang merusak hubungan pertemanan. Kegiatan mendaki gunung kemudian menjadi sebuah tradisi di FS-UI setelah Mapram yang diikuti oleh hampir semua mahasiswa. Menurut mereka bahwa mahasiswa sebagai putra-putri terbaik bangsa wajib belajar mencintai alam sehingga dapat mengenal alam dan bangsanya dengan baik.
Sebagai anggota Mapala, Hok-Gie pernah mendaki Gunung Gede, Gunung Salak, dan Gunung Pangrango di Jawa Barat, serta Gunung Merapi dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango menjadi tempat yang paling disukai Hok-Gie. Bahkan Hok-Gie pernah membuat sajak dan puisi tentang Lembah Mandalawangi.
Bagian 1: Antar Hok-Gie dan Idhan ke Atas
Bagian pertama di Buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi ditulis oleh Rudi Badil yang merupakan salah satu sahabat Soe Hok-Gie yang ikut dalam pendakian Gunung Semeru pada 12 Desember 1969. Mulai dari awal keberangkatan, proses pendakian, peristiwa meninggalnya Hok-Gie dan Idhan Lubis, proses pertolongan dari warga desa, hingga evakuasi kedua jenazah dari Malang menuju Jakarta.
Pendakian saat itu diikuti oleh Herman Lantang, Soe Hok-Gie, Maman, Wiwiek, Rudi Badil yang merupakan anggota Mapala Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI). Kemudian ada Aristides yang merupakan seorang wartawan, dan Idhan Lubis serta Freddy yang bukan termasuk mahasiswa UI. Dalam perjalanan menuju ke Surabaya menggunakan kereta api. Bukan di gerbong penumpang, tapi menumpang di dalam gerbong barang dengan waktu tempuh selama belasan jam.
Gunung Semeru (3676 mdpl) di Jawa Timur menjadi pendakian terakhir bagi Hok-Gie. Di sekitar puncak Gunung Semeru, Hok-Gie dan Idhan Lubis menghirup gas beracun dan akhirnya meninggal dunia. Hok-Gie meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di pangkuan sahabatnya, Herman Lantang. Tepat satu hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-27.
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis… Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang umur tua. Rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” Soe Hok-Gie (106)
Bagian 2: Kisah Soe dan Semeru
Bagian kedua buku ini mengambil judul Kisah Soe dan Semeru yang ditulis oleh beberapa penulis. Seperti John Maxxel yang bercerita tentang proses pemakaman Hok-Gie dan Idhan Lubis. John Maxxel yang merupakan seorang peneliti ini juga menulis tentang dinamika sosial yang terjadi di masyarakat pasca meninggalnya Hok-Gie. Kemudian ada ada Jimmy S. Harianto yang bercerita tentang proses penaburan abu jenazah Hok-Gie di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango.
Pada awalnya Hok-Gie dimakamkan di Menteng Pulo. Karena pertimbangan jarak, keluarga kemudian memindahkan jenazah Hok-Gie ke pemakaman Tanah Abang I. Area pemakaman Tanah Abang I mengalami pemindahan karena adanya pembangunan. Hal ini membuat keluarga memilih untuk mengkremasi jenazah Hok-Gie. Sisa abu Hok-Gie ditaburkan di lembah Mandalawangi yang ia kagumi semasa hidupnya. Hok-Gie ke Pangrango untuk Hilang, begitulah judul dari tulisan Jimmy S. Harianto.
Baca Juga: Berlabuh di Desa Tanjung
Sahabat Hok-Gie, Herman Lantang juga menuliskan pengalamannya dan (alm) Norman Edwin dalam menemukan arca kembar di Recopodo pada tahun 1984. Nama Recopodo memang merujuk pada keberadaan arca kembar yang berada di lokasi tersebut. Lokasi yang menjadi batas vegetasi dengan area bebatuan untuk menuju puncak Gunung Semeru. Dalam pencarian arca kembar tersebut, Herman Lantang dipandu oleh Pak Tumuri, salah satu sesepuh di Desa Ranu Pane.
Selain ketiga tulisan tersebut, ada sebuah puisi yang ditulis oleh Idhan Lubis sebelum peristiwa Gunung Semeru terjadi. Tepatnya pada suatu petang pada 8 Desember 1969. Idhan Lubis menulis sebuah sajak berjudul Djika Berpisah yang ditujukan kepada sahabatnya, Herman Lantang.
“Di sini kita bertemu, satu irama
di antara wajah-wajah perkasa
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tujuan esa puncak menjulang di sana.”
Bagian 3: Saksi-Saksi Rawamangun-Salemba
Di bagian ini berisi tulisan yang ditulis oleh teman-teman Hok-Gie semasa di kampus FS-UI. Baik sebagai seorang aktivis, maupun sebagai seorang pendaki gunung. Ada tulisan dari Luki Sutrisno, Nessy Luntungan, dan Kartika Sjahrir. Ketiga perempuan ini memiliki kedekatan tersendiri dengan Hok-Gie. Kedekatan itu bisa dilihat dalam berbagai kegiatan. Mulai dari mendaki gunung, menonton film, teater, kesenian, bernyanyi bersama, berdiskusi, hingga ketika Hok-Gie menjadi seorang pengajar.
Tulisan lainnya berasal dari A. Dahana yang merupakan teman Hok-Gie dalam pergerakan mahasiswa sebagai seorang aktivis. Bersama Hendro Budhidarmono, ketiganya menjadi triumvirate di dunia kemahasiswaan FS-UI pada tahun 1967–1969. Bahkan A. Dahana menjadi ketua panitia pemakaman jenazah Hok-Gie dan Idhan Lubis begitu tiba di Jakarta.
Bagian 4: Tulisan dari The Angry Young Men
Penulis di bagian ini tidak mengenal sosok Soe Hok-Gie secara langsung dan tidak memiliki perteman yang intim dengannya. Umumnya mereka mengenal Hok-Gie melalui buku Catatan Seorang Demonstran yang terbit pada tahun 1983. Sekitar 12 tahun setelah meninggalnya Hok-Gie dalam peristiwa Gunung Semeru. Tulisan-tulisan ini merupakan gambaran penulis tentang sosok Soe Hok-Gie.
Pada bagian ini, Riri Riza dan Nicholas Saputra menuliskan pemikirannya tentang sosok Hok-Gie. Keduanya yang merupakan sutradara dan pemeran Hok-Gie dalam film Gie yang dirilis tahun 2005. Mereka mengenal sosok Hok-Gie melalui riset mereka untuk film ini. Proses pengambilan gambar film Gie menghabiskan waktu 76 hari dengan lokasi yang tersebar di tiga kota utama, yaitu Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta.
Selain itu, Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango juga menjadi lokasi pengambilan gambar. Beberapa lokasi pengambilan gambar di Semarang dilakukan di kawasan Kota Lama dan Kampung Melayu. Film Gie menjadi film terbaik dalam Festival Film Indonesia dan Nicholas Saputra sebagai pemeran Soe Hok-Gie menjadi pemeran terbaik.
Bagian 5: Karangan dari Kamar Suram Bernyamuk
Bagian ini berisi beberapa tulisan yang pernah ditulis oleh Soe Hok-Gie. Baik tulisan yang pernah dimuat di media cetak, maupun tulisan yang tersimpan dalam bentuk catatan pribadinya. Dari kamar sempit bersinar lampu temaram itulah Hok-Gie selalu menulis catatan hariannya di atas buku tulis biasa, atau mengetik 100-an artikelnya dengan tembusan karbon di bawah kertas.
Dari beberapa tulisan yang ditampilkan, terdapat tulisan perjalanan yang berjudul Menaklukan Gunung Slamet. Di tulisan ini terdapat sebuah kutipan menarik tentang sebuah jiwa patriotisme dan pendakian gunung.
“Kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan di samping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi.” (Hal 432)
*****
Menurut Rudi Badil, menulis ulang rangkaian peristiwa Gunung Semeru yang terjadi 40 tahun silam bukanlah hal yang mudah. Tulisan tidak hanya kejadian yang berkaitan dengan meninggalnya Hok-Gie dan Idhan Lubis, tapi juga kejadian-kejadian yang menimpa pada anggota lainnya. Seperti cerita Aristides dan Wiwiek yang pergi ke Malang untuk mencari bantuan. Maman yang mengalami kecelakaan hingga dikira seperti orang kesurupan.
Baca Juga: Menyusuri Cerita Kopi di Desa Muncar
Selain itu, ada cerita tentang Herman Lantang yang menunggu bantuan dari warga desa di kawasan Jambangan, dan semua anggota terus berusaha untuk bertahan hidup tanpa adanya logistik yang memadai selama beberapa hari ketika berada di Gunung Semeru. Kisah pertolongan dan proses evakuasi jenazah dengan bantuan warga desa dari puncak gunung sampai ke desa. Kemudian sampai di Malang dan akhirnya jenazah bisa diterbangkan ke Jakarta juga diceritakan dalam buku ini.
Ketika buku ini mulai ditulis, Rudi Badil, dkk sudah berusia lebih dari 60 tahun. Banyak detail cerita dan kejadian yang terlupakan. Tak banyak cerita yang yang bisa dikulik dari para anggota pendakian saat itu. Bahkan pada tahun 1999, Freddy telah meninggal dunia. Beberapa foto dan catatan perjalanan milik Herman Lantang sangat membantu dalam menyusun rangkaian peristiwa Gunung Semeru yang menjadi kisah utama dalam buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi.
Frasa “Sekali Lagi” pada judul dimaksudkan buku ini bisa jadi pelengkap dan pendamping bagi buku dan cerita tentang Soe Hok-Gie yang telah beredar terlebih dahulu. Khususnya tentang meninggal Soe Hok-Gie dan Idhan Lubis pada peristiwa Gunung Semeru yang terjadi pada 16 Desember 1969 silam. Sekali Lagi buku yang berisi tentang Soe Hok-Gie.
Frasa “Buku, Pesta, dan Cinta” merupakan cerminan kehidupan mahasiswa UI pada masa itu. Mahasiswa yang menyukai aktivitas belajar, mahasiswa yang menghabiskan waktu bersenang-senang bersama teman-temannya, dan kehidupan mahasiswa yang tidak bisa dilepaskan dari menjalin hubungan romantis dengan lawan jenisnya. Frasa ini juga terdapat pada lagu Genderang UI versi pertama.
Sedangkan frasa “di Alam Bangsanya” menggambarkan tempatnya kaum pemuda berkelana dan mengembara, beraktivitas dan bergaul, sambil mengawasi dan menjaga imbangan plus minusnya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Soe Hok-Gie semasa hidupnya. Baik sebagai aktivis pergerakan, maupun sebagai pendaki gunung yang berkelana dari satu gunung ke gunung lainnya.
Soe Hok-Gie…Sekali Lagi
Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis: Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan (ed.)
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
XL + 512 hlm
Cetakan kedua: Januari 2010
ISBN-13: 978-979-91-0219-5
*****
Buku ini sangat cocok bagi mereka yang ingin mengenal lebih dekat dan sisi lain dari sosok Soe Hok-Gie semasa hidupnya. Cerita langsung dari teman-teman yang begitu dekat dengan Hok-Gie. Selama ini, banyak mengenal Hok-Gie melalui slogan-slogan patriotisme atau sajak-sajak romantis milik para pendaki gunung. Buku ini siap untuk mengajak pembaca tenggelam dalam pemikiran-pemikiran dari seorang aktivis pergerakan mahasiswa yang begitu dihormati oleh semua kalangan pada masanya.
*****
Halo Lia dan Cik Jane, akhirnya aku bisa ikutan #JanexLiaRC. Aku langsung teringat dengan buku ini ketika tahu tema bulan Februari adalah warna Merah/Pink. Maaf ya kalau tulisannya terlalu panjang dan mungkin ada malah ada spoiler-nya. Tapi aku merasa tidak ada sama sekali. Aku menikmati semua proses menulis tentang buku ini. Termasuk mengambil beberapa gambar untuk buku ini. Makasih ya Lia dan Cik Jane!!! Apakah aku akan ikut #JanexLiaRC lagi…? Entahlah, aku lihat temanya dulu, sambil menunggu pencerahan.
24 comments
Wow, bukunya lengkap mengulas tentang Soe Hoek Gie dan juga teman-teman nya pada saat pendakian ke gunung Semeru yang akhirnya menewaskan sang aktivis.
Sejujurnya aku belum terlalu tahu tentang Soe Hoek Gie, mungkin karena dulu di pelajaran SD tidak ada kali ya, atau mungkin aku lupa
Pelajaran sejarah di sekolah tidak ada mas. Emang Hok-Gie terkenal dalam dunia pergerakan mahasiswa saat itu. Tentu saja juga para pendaki gunung di Indonesia.
ya Alloh menarik banget nih Mas Vai, mbul jadi sedikit banyak tahu garis besarnya. Terutama yang meninggal di pangkuan sahabatnya herman lantang dan ia meninggal bersama idhan lubis di gunung semeru dan sempat menemui kesulitan evakuasi. Tapi berkat sahabat sahabatnya akhirnya berhasil dibawa turun sampai proses pemakaman. Btw, nama nama orang jaman dulu memang keren keren ya mas vai…terbukti banyak yang jadi orang besar. Biasanya orang besar memang namanya keren heheh…Dan sang penulis sendiri sekarang sudah berusia 60 tahun…
aku dulu tahunya cuma sekilas pas shootingnya diperankan nicholas saputra thok…nah aku waktu itu tahunya baru sekedar aktivis politik di kampus ui nya…tapi ngga ngeh kalau ada part gunungnya juga. padahal tiap kali baca cerita tentang gunung aku selalu antusias…
Bener banget, idhan lubis itu keponakannya mochtar lubis. Salah satu tokoh wartawan indonesia. Rudi Badil selaku penggagas buku ini dan sahabatnya, aristides kattopo telah meninggal pada 2019 lalu. Kemudian Herman Lantang meninggal dunia pada maret 2021 lalu.
Di film emang fokus pada aktivitas pergerakannya pada masa itu. Namun, beebrapa scene yang berkaitan dengan pendakian gunung juga sangat menarik pengambilan gambarnya.
Makasih mbul telah singgah di sini 😀
Secara pribadi, aku tidak terlalu mengikuti perjalanan Gie, tapi tahu sedikit-sedikit tentang beliau. Bahkan di buku tulisan om Steve, beliau bercerita tentang Gie atapun om Don. Mereka adalah orang-orang hebat,
waah, om don hasman salah satu legenda pertualangan di indonesia. Di buku ini juga diceritakan sedikit tentang om Don Hasman yang mendaki gunung semeru yang dilakukan sebelum tim mapala UI melalui jalur yang berbeda. Pendakian tim mapala UI juga terinspirasi dari pendakian Om Don Hasman. Oyaa, Om Don Hasman juga merupakan anggota kehormatan mapala UI.
Mas Rivai, terima kasih sekali udah ikutan #JanexLiaRC bulan yang lalu! Nggak masalah banget kok tulisannya gimana, yang penting kita bisa merasakan pengalaman Mas Rivai saat membaca buku ini 😀
Aku sendiri nggak mengikuti perjalanan hidup Soe Hok-Gie, hanya sebatas tau beliau seorang aktivis keturunan Tionghoa. Ternyata di balik cerita perjuangan di zaman Orba, di sini diceritakan serunya hobi beliau naik gunung bareng teman-temannya, yaa. Btw, buku ini kelihatan udah lama banget, milik sendiri, Mas?
Bisa dibilang Soe Hok-Gie ikut hadir dalam masa peralihan dari orde lama menuju orde baru. Altivitas naik gunung jadi hobinya dan teman-temannya.
Iyaa, ini buku pribadi. Kayaknya tahun 2012 beli buku ini karena suka dan penasaran sama hok-gie.
Makasih sudah kemari dan ikut baca ceritanya. Jadi pengen ikutan lagi..hihihi
Mas Rivai bahas buku ini, jadi inget belum lanjutin Catatan Seorang Demonstran btw buku ini sama Catatan Seorang Demonstran (punyaku cetakan tahun 2015) sama-sama berwarna merah yaa..
Aku tertarik sama sosok Soe Hok Gie berkat filmnya yang dibintangi Nicholas Saputra itu sebenernya, tapi pas itu baru sekedar cari tahu sepintas aja tentang siapa Soe Hok Gie ini. Dan baru beli bukunya sekitar tahun 2015-2016an.. Suka sama tulisan-tulisannya. Terus sekarang malah tertarik sama buku ini juga jadinya wkwk..
Dulu aku cari buku catatan seorang demonstran, tapi stoknya banyak yang kosong. Akhirnya malah dapat buku ini..hehehe
Setelah baca ini, aku beberapa kali nonton filmnya. Pengen menggabungkan cerita di buku dan visual di filmnya. Beberapa nama pemerannya berbeda dengan nama-nama yang ada di buku. Kemudian juga dengerin lagu-lagu yang muncul dalam film tersebut…wkwkwk
Aku gak pernah baca buku Soe Hok Gie, cuma pernah nonton filmnya, itu pun karena Nicholas Saputra awalnya hehehe. Ternyata filmnya menarik, dan setelah baca review ini aku kok baru tahu ya kalau yang meninggal ada dua orang. Aku kira cuma Gie aja. Bulan ini ikutan lagi mas Vay hohoho mumpung temanya bebas.
Aku juga nonton filmnya dan baca bberapa artikel tentang gie. Jadi semakin tertarik. Akhirnya pas buku ini keluar aku cari sampai dapat. Dan benar saja, bukunya emang bagus. Beberapa lagu di filmnya juga sering aku dengarkan..hheehe
Iyaa nanti, aku pikirkan mau nulis apa..heheheh
Ya ampuuuun Soe Hok Gie meninggalnya Krn pendakian gunung toh. Kenapa selama ini aku mikirnya Krn sakit Yaa .. aku ga nonton filmnya, dan belum pernah juga baca bukunya. Tapi tau ttg tokoh ini, Krn dulu filmnya kan booming. Cuma belum tertarik utk nonton aja.
Aku suka mas cerita yg based on kisah nyata begini. Apalagi kalo dilengkapi gambar. Bacanya jadi ga bosen . Jadi pengen cari deh buku ebook nya.
FIlmnya sudah ada di netflix mbak fanny. Di film memang tidak dilihatkan peristiwa pendakian gunung semeru. Hanya ditampilkan sebuah informasi yang diterima oleh teman-temannya bahwa Hok-Gie meninggal dunia di semeru. Film gie lebih menonjolkan kegiatan Hok-Gie sebagai aktivis.
Setuju mbak fanny. Ketika baca buku ini aku jadi belajar tentang perjalanan waktu antara keberadaan Hok-Gie dengan peristiwa yang terjadi di negeri ini. Kemudian hubungan dengan orang-orang yang disebutkan dalam buku atau filmnya. Semuanya terasa saling terkait satu sama lainnya.
Wah, menarik ya Mas Rivai. Berarti Soe Hok Gie dulu bisa dibilang founder nya Mapala UI yaa..
Dulu pas sempat booming filmnya, aku juga belum nonton, jadi selama ini cuma tau kalau dia itu aktivis aja..
Btw, aku suka baca review Mas Rivai, detail dan bikin kita kebayang isi bukunya. Khusus buat non fiksi, aku malah seneng di spoilerin isinya.. Hehehe.. 😀
Bener mbak thesa, salah satu pendiri Mapala UI.
Filmnya ada di netflix mbak..hihihi
di film, peran hok-gie sebagai seorang aktivis memang lebih ditonjolkan ketimbang seorang pendaki gunung. Walaupun ada beberapa scene dengan latar gunung. yaitu lembah mandalawangi dan gunung pangrango.
Makasih mbak thessa, aku baru pertama kali review buku. Jadi aku tulis berdasarkan apa yang ingin aku ceritakan. Jadi sangat menikmati proses menulis review buku ini..:D
Ulasan yang menarik. Semoga bisa baca bukunya langsung..
Makasih Koh 😀
Soe Hok Gie.. Sang pendaki..
Nama yang sering aku dengar kita aktif di dunia aktivisme era mahasiwa.
sama mas jo, dulu pas kuliah juga sering baca tentang profilnya.
Secara pribadi, aku tidak terlalu mengikuti perjalanan Gie, tapi tahu sedikit-sedikit tentang beliau. terima kasih mas,
sama-sama kalau gitu
Alexander supertramp, pada tau kan?
kayaknya kalo mereka berteman bakalan cocok deh
sepertinya begitu mas