Kabupaten Katingan, mungkin nama kabupaten ini terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah ini berjarak sekitar 84 km dari Kota Palangkaraya. Beberapa waktu yang lalu, Kota Palangkaraya muncul sebagai kota teratas sebagai opsi untuk lokasi pemindahan ibukota negara yang baru. Bahkan presiden pertama Indonesia, Bung Karno ingin memindahkan ibukota negara dari DKI Jakarta ke Kota Palangkarya. Kabupaten Katingan pun akan disiapkan sebagai kota pendukung ibukota negara yang baru. Namun, pada akhirnya Presiden Jokowi memilih Kabupaten Penajampaser Utara dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibukota negara yang baru.
Akhirnya roda pesawat berhasil mendarat dengan baik di landasan Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya. Penerbangan Jakarta-Palangkaraya pagi ini bisa dikatakan cukup lancar. Meskipun beberapa kali pesawat mengalami guncangan karena cuaca buruk. Bahkan seorang pramugari menyuruhku untuk segera keluar dari toilet dan kembali ke tempat duduk karena ada peringatan dari pilot pesawat. Sebelum pesawat mendarat, pesawat juga mengalami guncangan yang sempat membuatku terkejut. Ini merupakan pengalaman pertamaku datang ke Kalimantan. Aku sangat tertarik ketika diikutsertakan dalam pekerjaan ini. Ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan cerita dan pengalaman baru di salah satu pulau terbesar yang ada di negara ini.
Perjalanan menuju Katingan dilanjutkan menggunakan mobil yang telah disewa. Perjalanan selama 2 jam ini dimanfaatkan oleh teman-temanku untuk beristirahat. Oyaa, aku pergi ke Katingan dalam rangka sebuah pekerjaan dengan perkiraan waktu sekitar 14 hari. Katingan terletak di jalur trans Kalimantan Tengah yang menuju arah Kota Sampit. Dalam perjalanan terdapat beberapa polisi yang sedang mengadakan razia kendaraan bermotor. Melihat kegiatan tersebut, si sopir pun berujar, “Yaa beginilah kerjaan polisi di sini mas. Saking tidak banyak kerjaan, akhirnya mengadakan razia kendaraan bermotor. Beda sama Jawa yang selalu banyak kerjaan.”
Jalanan lintas Kalimantan yang kami lalui ini terbilang cukup lebar dan sepi. Hanya beberapa truk, mobil pribadi, dan motor terlihat melintas. Bus antar kota lebih banyak melintas pada siang dan sore hari. Di balik jalan yang lurus dan lebar ini ternyata tidak terlalu aman ketika dilewati. Di beberapa ruas jalan terdapat jalan bergelombang. Beberapa tahun pernah terjadi kecelakaan mobil yang memakan korban jiwa karena sopir kehilangan kendali setelah melewati jalan bergelombang di ruas jalan lintas Kalimantan ini.
Di sepanjang jalan terlihat beberapa rambu peringatan tentang kebakaran lahan. Jalan lintas Kalimantan ruas Palangkaraya-Katingan ini memang didominasi oleh lahan gambut. Satu hal yang unik dari jalan lintas Kalimantan ini adalah banyaknya toilet semi permanen yang berada di pinggir jalan. Lengkap dengan air untuk bersih-bersih dan saluran pembuangannya. Toilet semi permanen ini biasanya dibangun di atas saluran air yang berbatasan dengan lahan gambut. Cukup sederhana karena dibangun menggunakan kayu dan ditutupi menggunakan terpal. Toilet ini biasanya digunakan oleh para sopir truk yang melintasi jalur ini.
Pekerjaan pertamaku menyusuri beberapa ruas jalan yang telah dibagi untuk setiap tim. Aku dan kawanku menyusuri sebuah jalan yang mengarah ke dalam hutan lindung. Jalan yang masih berupa tanah ini merupakan jalan yang dibuka untuk akses ke perkebunan. Setelah jalan beberapa 400 meter, terdapat sebuah area perkebunan jagung dan buah naga milik warga. Menurut penuturan seorang warga, area ini sebetulnya merupakan area hutan lindung.
Sisa-sisa kebakaran yang terjadi beberapa bulan sebelumnya masih bisa dilihat. Batang-batang pohon yang tak utuh lagi dan berwarna hitam menjadi bukti kebakaran telah melanda area ini. Dalam sebuah perjalanan lain, kami juga menemukan banyaknya sisa-sisa penebangan pohon. Tapi aku tidak mengetahui itu sebuah penebangan legal atau ilegal. Jalur akses terbilang cukup lebar, namun terlihat sudah lama tidak dilewati. Banyak batang pohon yang berserakan menutupi akses jalan sehingga tidak bisa dilewati kendaraan, kecuali berjalan kaki melewati batang-batang tersebut. Dalam perjalanan tersebut, kami selalu membawa GPS untuk navigasi setiap jalur yang kami lewati.
Seperti kota lainnya di Kalimantan, Katingan juga memiliki sebuah sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Katingan. Di sekitar sungai terdapat banyak tambak milik warga. Terlihat beberapa warga sedang memancing dan anak-anak bermain air di sungai tersebut. Ikan-ikan khas perairan sungai sangat mudah ditemui di Katingan. Ikan-ikan ini menjadi menu yang selalu tersedia di hampir semua tempat makan. Di Pasar Kasongan Lama terdapat beberapa kios yang menjual ikan bakar. Berbagai jenis ikan sungai, seperti ikan patin dan ikan gabus. Karena penasaran aku pun membeli setengah ekor ikan patin dengan harga Rp30.000. Rasanya sangat lezat, meskipun tidak dimakan dengan nasi hangat dan sambal. Ukuran setengah ikan patin terbilang cukup besar. Aku tidak merasa rugi meski harus mengeluarkan uang sejumlah itu untuk membeli ikan patin bakar yang memiliki rasa yang lezat dan ukuran yang cukup besar.
Tika, seorang temanku yang tinggal di Kalimantan Timur pernah bilang, “Ke Kalimantan belum lengkap jika belum naik angkutan sungainya. Salah satunya ponton.” Awalnya aku bingung ponton itu seperti apa. Setelah melihatnya secara langsung, aku merasa ponton seperti getek. Getek yang diberi mesin. Tapi tenyata sangat berbeda, ponton dilengkapi dengan mesin dan kemudi. Selain itu, ponton yang aku tumpangi ini juga dilengkapi dengan sebuah toilet yang langsung terbuang ke sungai. Sebuah ponton ukuran besar bisa mengangkut sebuah mobil. Ponton yang aku tumpangi ini membawa kami menyeberangi Sungai Katingan menuju sebuah desa yang bernama Desa Tewang Baringin.
Ponton merupakan satu-satunya akses untuk menuju Desa Tewang Beringin. Desa Tewang Beringin terletak di pinggir Sungai Katingan. Mayoritas masyarakat memiliki mata pencarian dengan berkebun dan mencari ikan. Di desa ini hanya terdapat satu sekolah SD dan SMP yang dibangun dalam satu atap. Seorang warga bercerita bahwa di belakang rumah warga terdapat kebun durian. Durian yang dihasilkan sangat enak. Tapi saat ini belum memasuki musim berbuah. Sehingga aku tidak bisa membeli durian dari desa ini. Jika sedang panen raya, harga sebuah durian di sini harganya jadi sangat terjangkau, yaitu sekitar Rp5.000 hingga Rp10.000/buah.
Berbagai hal menarik aku temui selama berada di Desa Tewang Beringin. Salah satunya adalah beberapa warga yang menggunakan keba. Keba merupakan sebuah tas tradisional masyarakat Kalimantan yang terbuat dari anyaman kayu. Tas ini memiliki fungsi yang serba guna. Namun, biasanya digunakan untuk membawa hasil kebun. Keba menjadi inspirasi bagi sebuah produsen perlengkapan outdoor dalam negeri untuk membuat sebuah produk tas yang memiliki fungsi yang serba guna seperti keba. Bahkan produk tas tersebut bisa digunakan untuk membantu proses evakuasi dalam sebuah operasi SAR.
Dalam perjalanan menuju Desa Tewang Beringin aku melewati sebuah jalan yang sangat lebar yang belum di aspal. Saat itu cuaca cukup cerah. Jika hujan, mungkin jalan ini sangat sulit untuk dilewati. Mungkin jalan ini awalnya direncanakan dalam pembangunan infrastruktur untuk mendukung ibukota negara yang baru. Tapi ternyata ibukota tidak jadi pindah di Kalimantan Tengah.
Sebagai penyuka buah durian, rasanya belum lengkap jika sedang tugas di lapangan tetapi belum makan durian lokal yang ada di kota tersebut. Memanfaatkan waktu kosong sebelum balik ke Jakarta, aku bersama teman-temanku memilih untuk berburu durian. Katingan juga terkenal sebagai penghasil dengan kualitas yang sangat bagus di Kalimantan Tengah. Bahkan terdapat Tugu Durian di dekat komplek kantor pemerintahan daerah. Rasa duriannya tidak hanya manis, namun juga ada rasa pahitnya. Meskipun belum memasuki musim panen, ada beberapa pedagang yang memiliki stok durian. Harganya masih cukup tinggi dibandingkan jika musim panen tiba. Namun, kualitas durian Katingan memang sangat enak. Aku pun tidak ragu untuk menghabiskan bagianku.
Selama di Katingan aku juga berjumpa dengan orang-orang perantauan dari Jawa. Seperti dari Jogja, Tulungagung, Kediri, dan Jombang. Aku lupa menanyakan nama mereka semua. Namun, kami selalu terlibat dalam sebuah obrolan yang menyenangkan. Seperti ketika ngobrol dengan seorang ibu-ibu yang berasal dari Jogja yang bercerita tentang alasannya merantau ke Katingan. Masalah dengan keluarga besar dan rekan bisnisnya membuat beliau memilih untuk meninggalkan Jogja dan tiba di Katingan.
Baca Juga: Situ Cileunca: Tempat Menikmati Pagi di Pangalengan
Pada hari pertama di Katingan aku membeli makanan untuk makan malam di sebuah warung makan yang dimiliki seorang bapak-bapak yang dibantu oleh istrinya. Pada saat itu aku memesan sekitar 20 bungkus makanan. Sambil menunggu makanan dimasak, kami menyempatkan diri untuk mengobrol. Masakan yang disediakan enak dan sangat bervariasi. Sejak saat itu aku beberapa kali datang ke warungnya. Saking dekatnya, beliau pernah memperbolehkan aku untuk membayar makanan yang aku makan pada lain waktu. Pada saat itu beliau tidak memiliki uang kembalian, jadi beliau tidak merasa keberatan.
Di hari pertama aku juga ketemu seorang penjual bakso keliling di depan rumah yang kami sewa. Dari logatnya, aku tahu jika dia berasal dari daerah Jawa Timur. Karena sama-sama berasal dari Jawa, akhirnya kami memilih menggunakan bahasa Jawa ketika ngobrol. Termasuk perjalanannya dari Kalimantan ke Jawa. Karena harga tiket yang lebih murah, dia sering menggunakan kapal laut ketika pulang ke Jawa. Bisa dibilang Kalimantan menjadi tujuan utama orang-orang perantauan dari Jawa.
Baca Juga: Bertualang di Perkebunan Teh Malabar
Katingan memang bukan sebuah kota tujuan wisatawan. Kota ini akan selalu dilewati jika kalian melakukan perjalanan darat melalui Namun, kota ini mampu memberikan cerita dan pengalaman seru dan baru bagiku. Bagiku, sebuah perjalanan akan benar-benar menjadi sebuah perjalanan ketika perjalanan itu mampu memberikan pengalaman baru yang bisa diceritakan.
Kabupaten Katingan 26 November 2019 – 9 Desember 2019
11 comments
Durian 5ribu
MAUUUUU!!!
Wah seru ya di Katingan. Banyak ceritanya.
untung, nggak ada cerita menyebalkan itu. Huft.
Jangan kebanyakan, nanti mabok durian.
cerita yang kemarin seru sih, menurutku. 😀
Yang harimau itu menyebalkan ya.
😀
Wow.. Masih ada angkutan seperti itu di Kalimantan. Mungkin nama “ponton” itu berasal dari bentuknya, ya, yang seperti ponton atau dermaga. Di Sumatera, menurut cerita kerabat yang sudah tua, angkutan-angkutan seperti ini tahun 70-80an masih ada. Tapi kayaknya jauh lebih besar, deh, soalnya yang diangkut bus-bus lintas Sumatera yang besar-besar. Dari Padang ke Jambi, bisa berkali-kali bus naik ini karena banyak banget sungai yang mesti dilewati.
wow…tahun segitu yaa?
Lama juga yaa mas. Apalagi tahun segitu masih belum ramai seperti sekarang
Iya, Mas. Sampai tahun 90-an di beberapa ruas jalan di Riau bus bahkan masih perlu menyeberang naik “pelayangan.” Mirip-mirip feri di Pontianak gitu. Cuma sekarang sudah banyak jembatan.
Pengen banget jalan-jalan ke Kalimantan
semoga suatu saat bisa ke kalimantan mbak 🙂
Di sana masih sesepi itu ya.
Sepi banget kak. Belum ada pusat keramaian yang dipenuhi dengan masyarakat. kecuali pasar tradisionalnya