Bagiku, Jalan Mataram di Kota Semarang itu seperti antara ada dan tiada. Ada karena terus hidup dalam keseharian masyarakat Kota Semarang, kemudian menjadi tiada karena tidak ada penanda nama jalan untuk Jalan Mataram. Sudah sejak lama nama Jalan Mataram diubah namanya menjadi Jalan M.T. Haryono. Namun, masih banyak masyarakat yang menyebut jalan ini dengan Jalan Mataram.
Sore itu kami berkumpul di halaman Gedung Perkumpulan Seni dan Budaya Sobokartti untuk mengikuti walking tour yang diadakan oleh Bersukaria dengan rute Jalan Mataram. Ini merupakan pengalaman walking tour pertamaku di tahun ini. Beberapa tahun yang lalu aku sering mengikuti walking tour ini dengan berbagai rute di Kota Semarang. Sore itu yang bertugas sebagai storyteller adalah Rifqy. Perjalanan kami di rute Jalan Mataram akan dimulai dari Gedung Kesenian Sobokartti.
Gedung Perkumpulan Seni dan Budaya Sobokartti termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh Pemerintah Kota Semarang. Gedung ini didirikan pada tanggal 5 Oktober 1929. Keberadaan Gedung Sobokartti tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Thomas Karsten sebagai arsiteknya dan Adipati Arya Mangkunegara VII yang berasal dari Pura Mangkunegaran. Gedung Sobokartti menjadi bangunan kedua yang dibangun oleh Thomas Karsten setelah Pura Mangkunegaran.
Kiprah Thomas Karsten tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kota Semarang di masa lampau. Thomas Karsten banyak merancang bangunan dan tata kota di Kota Semarang yang hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh. Salah satunya adalah Pasar Johar dan gedung Jiwasraya. Thomas Karsten dikenal memiliki perhatian dan ketertarikan dengan kebudayaan Jawa.
Baca Juga: Merekam Karnaval & Pawai Ogoh-Ogoh di Kota Semarang
Menurut Rifqy, berdirinya perkumpulan ini sebagai bentuk demokratisasi budaya yang ada di keraton yang selama ini tertutup atau hanya dinikmati oleh kalangan terbatas. Keraton mulai mendirikan lembaga-lembaga kebudayaan untuk mengenalkan kebudayaan Jawa kepada masyarakat umum. Perkumpulan Seni dan Budaya Sobokartti menjadi lembaga kebudayaan kedua yang didirikan.
Dari dalam gedung terdengar alunan suara gamelan. Terlihat beberapa orang sedang latihan untuk pementasan wayang kulit. Tidak hanya dalang, tetapi juga lengkap dengan para pemain alat musik dan sindennya. Gedung kesenian ini sering digunakan untuk berbagai pentas kesenian. Mulai dari wayang kulit, wayang orang, hingga pentas tari. Bahkan aku melihat anak-anak yang sedang bersiap untuk latihan menari. Lengkap dengan kostum dan tata riasnya.
Bentuk Gedung Kesenian Sobokartti ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Terdapat empat tiang yang terbuat dari kayu sebagai sokoguru bangunan dan memiliki atap tumpang yang menjadi ciri khas bangunan Jawa. Ruang persiapan bentuknya mengitari panggung utama. Sore itu banyak kursi kayu yang disediakan untuk penonton yang akan menonton pementasan wayang orang pada malam nanti.
Gedung ini memiliki jarak lantai dan atap yang sangat tinggi dan dilengkapi dengan banyak ventilasi yang berfungsi sebagai sirkulasi udara agar tetap sejuk. Hal ini biasa ditemui pada bangunan-bangunan yang berada di kota pesisir seperti Kota Semarang. Pemugaran di Gedung Sobokartti tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Panitia pemugaran harus melibatkan para akademisi karena gedung ini merupakan bangunan cagar budaya. Di masa penjajahan Jepang, gedung ini difungsikan sebagai gudang persenjataan.
Perjalanan kami berlanjut melewati sebuah gedung yang sudah tidak digunakan. Gedung yang bernama Gedung Semarang Exhibition Center dulunya merupakan gedung bekas swalayan Yogya. Meskipun namanya “Yogya”, swalayan ini ternyata pertama kali berdiri di Kota Bandung. Awalnya toko ini menjual batik, tetapi seiring berjalannya waktu toko ini menjual beraneka macam pakaian. Aku baru tahu jika swalayan Yogya pernah ada di Kota Semarang. Menurut cerita Rifqy, “Swalayan Yogya di Semarang sudah lama tutup dan hingga saat ini bangunan kosong dan tidak terawat.”
Di sebelahnya ada Pasar Dargo. Pasar ini tampak sepi karena waktu sudah sore. Banyak pedagang yang sudah menutup kios, sedangkan beberapa pedagang lainnya masih berjualan di kiosnya. Di sudut pasar terdapat warung kopi dengan bapak-bapak yang sedang duduk santai, minum kopi, dan menghisap batang rokok. Mungkin pasar ini ramai ketika pagi hari. Selain di pasar, sepanjang Jalan Dargo juga dipenuhi dengan kios pedagang. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang sembako, dan juragan beras. Seorang juragan yang hanya menjual beras, tidak ada produk lain di kiosnya.
Kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki Gang Kampung Kembang Anom. Sebuah gapura dengan patung burung garuda menyambut setiap orang yang akan memasuki area perkampungan ini. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pernah membuat program permukiman warga pribumi. Hal ini sebagai cara pemerintah kolonial untuk menciptakan area permukiman yang tertata rapi, mencegah pembangunan rumah secara liar dan sembarang, dan permukiman kumuh. Beberapa rumah tersebut masih bisa ditemui di kampung-kampung yang ada di sekitar Jalan Mataram. Termasuk Kampung Kembang Anom.
Di Gebang Anom masih ada beberapa rumah dengan desain dan bentuk yang unik. Seperti rumah dengan atap yang miring, jendela kayu, dan beberapa ventilasi yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Selain itu, kami juga juga menemukan rumah etnis Tionghoa dengan ciri khas atap pelana kuda, dan rumah jengki dengan atap yang tidak simetris. Rumah jengki berkembang di Indonesia sekitar tahun 1950-an.
Baca Juga: Menyusuri Sisi Lain Kota Lama
Rumah jengki lahir sebagai bentuk dobrakan atau perlawanan pada bentuk simetris pada sebuah bangunan, khususnya bagian atap rumah. Di sekitar atap juga dilengkapi dengan beberapa lubang ventilasi yang berfungsi sebagai sirkulasi udara. Di Kota Semarang masih banyak bangunan yang memiliki bentuk rumah jengki.
Pada masa itu Pemerintah Hindia Belanda pernah mengadakan program kampongs verbetering, yaitu program perbaikan lingkungan kampung. Seperti pembangunan jalan, gang, selokan, dan pembangunan fasilitas mandi, kakus, dan sanitasi. Salah satu tujuannya adalah mengurangi kampung-kampung kumuh dan meningkatkan kualitas hidup warga.
Di ujung Kampung Gebang Anom terdapat sebuah rumah trafo. Rumah trafo ini merupakan peninggalan jaman kolonial. Pada masa itu belum ditemukan teknologi untuk melindungi perangkat listrik dari air. Perangkat listrik yang terkena air bisa mengakibatkan korslet atau hubungan arus pendek. Akhirnya dibangunlah rumah trafo sebagai tempat penyimpanan dan perlindungan trafo. Rumah trafo seperti ini bisa ditemukan di persimpangan jalan.
Ujung Gang Kampung Gebang Anom terhubung dengan Jalan Mataram. Jalan Mataram sendiri merupakan salah satu jalan penting di Semarang. Panjangnya sekitar 4 kilometer yang membentang dari persimpangan Jalan Tentara Pelajar dan Jalan Dr. Wahidin hingga Museum Kota Lama. Penggantian nama jalan menjadi Jalan M.T. Haryono merupakan bentuk penghormatan kepada salah satu Pahlawan Revolusi, yaitu Letjen M.T. Haryono.
Baca Juga: Bubur India di Masjid Jami Pekojan
Sesuai penjelasan Rifqy bahwa Jalan Mataram tidak bisa dilepaskan dari cerita Kerajaan Mataram Islam. Di masa ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Puger dan Amangkurat III. Amangkurat III merupakan anak dari Amangkurat II, sedangkan Pangeran Puger merupakan adik tiri dari Amangkurat II. Jadi perebutan kekuasaan ini melibatkan antara paman dan keponakannya. Dalam pemberontakan pertama, Pangeran Puger kalah dan melarikan diri ke arah utara, yaitu Semarang. Kedatangan Pangeran Puger disambut oleh pengikut setianya yang berada di Semarang.
Saat itu Semarang sudah dikuasai oleh VOC, sesuai dengan perjanjian dengan Amangkurat II. Pihak VOC inilah yang akhirnya membantu Pangeran Puger untuk merebut tahta Kerajaan Mataram Islam dari Amangkurat III. Perebutan tahta berhasil dan Pangeran Puger dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I. Amangkurat III yang hidup dalam pelarian akhirnya menyerah dan diasingkan ke Sri Lanka. Kemudian jalan yang memiliki hubungan dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam ini dikenal dengan nama Jalan Mataram. Meskipun sekarang sudah berganti nama menjadi Jalan M.T. Haryono.
Jalan Mataram terbagi menjadi beberapa daerah dan masing-masing daerah memiliki keunikannya masing-masing, seperti daerah Pandean, Mlaten, dan Boebakan. Pada masa lalu di Jalan Mataram juga terdapat jalur trem yang menghubungkan Stasiun Bangkong menuju Stasiun Sentral Jurnatan.
Stasiun Sentral Jurnatan menjadi pusat dari semua jalur trem di Kota Semarang pada masa itu. Jalur trem ini juga menjadi inspirasi pemerintah kota untuk mengembangkan jalur BRT (Bus Rapid Transit) di Kota Semarang. Namun, Stasiun Sentral Jurnatan telah lama dibongkar dan kini menjadi area pertokoan dan bisnis.
Cerita dari Semarang
Jalan Mataram
26 Februari 2023
24 comments
Saya terpaku melihat foto gudung Sobokartti yang ternyata dibangun pada tahun 1929 ya Mas.
Saat ini kondisi gedung masih baik ya Mas? Dan masih diisi dengan kegiatan berkesenian di gedung itu rupanya.
Mungkin gedung tersebut masuk kedalam cagar budaya juga, dan tetap dipelihara sebagaimana aslinya.
Ah jadi pengen main ke Semarang nih Mas…
Salam,
Gedung sobokartti masuk dalam bangunan cahar budaya dan masih digunakan untuk kegiatan kesenian sampai sekarang. Kayak wayang, dan seni tari.
Renovasi gedung ini selalu melibatkan akademisi, arsitek, pemerhati sejarah, dan bangunan.
Kayaknya, sedikit orang yang paham beginian, kecuali orang tersebut memang fokus di heritage, mas. Menyenangkan masih tetap bisa tersampaikan meski aku pribadi sepertinya tidak tahu jalan-jalan tersebut
Bener banget mas sitam, cerita-cerita seperti ini ga banyak orang tahu.
Jalan mataram itu salah satu jalan penting di kota semarang mas
Aku belum pernah ke Semarang. Membaca ini jadi semakin ingin ke sana. Semoga ada kesempatan dan rejekinya. Amin amin.
Semoga kelak bisa datang dan berkeliling di kota semarang.
Kalau liat gedung Sobokartti itu seperti bangunan atau ciri rumah khas Jawa ( mesjid Demak agak mirip ga sih ), ya mas.. soalnya bentuk atapnya seperti itu,rumah mertua saya di Jatim juga masih seperti itu,…gedung atau bangunan seperti ini masih tertata degan baik sepatutnya memang jadi cagar budaya..btw duluu kalau saya ke Ambarawa tempat almarhum bapak banyak rumah”nya berbentuk kuno dengan jendela agak tinggi ..pokoknya beda gitu ga umum seperti rumah sekarang.
Atap masjid demak pakai model atap tumpang. Bentuk dasarnya mirip dengan gedung sobokartti. Gedung ini sudah termasuk dalam bangunan cagar budaya.
Beberapa rumah di pedesaan masih ada yang model joglo dengan atap seperti itu. Biasanya rumahnya lebar dan banyak pintubdan jendela.
Bangunan zaman kolonial patut di pelihara. Sayang kalau dibiarksn musnah. Di daerah kami dulu ada mesin penumbuk kopi peninggalan Belanda. Karena tidak dirawat, kini puingnya saja gak tersisa.
Rata-rata bangunan peninggalan masa kolonial hindia belanda sudah masuk dalam bangunan cagar budaya yg ditetapkan pemerintah kota.
Nah, tapi biaya perawatan untuk bangunan ini tidak murah dan prosesnya mesti melalui perencanaan dan pengawasan yang melibatkan akademisi, pemerhati sejarah, dan bangunan. Tidak boleh asal-asalan.
Wah.. Semarang banyak sejarahnya ya mas, banyak gedung yang dibangun sejak masa penjajahan dan masa kerajaan. Dan ternyata dibalik kelamnya kisah penjajahan Belanda mereka juga membangun banyak fasilitas yang masih ada sampai sekarang…..
Semarang itu jadi salah kota terpenting pada masa kolonial belanda. Makanya mudah sekali menemukan bangunan sisa masa kolonial.
Fasilitas-fasilitas yang dibangun dengan tujuan untuk memudahkan kepentingan mereka di semarang.
Sebagai penikmat sejarah ini ciamik banget ✨ jadi tau semarang soalnya belum pernah ke sana salam kenal mas
Semoga kelak bisa ke semarang mas rizki
Salam kenal mas rizki
Rasanya jalan Mataram lebih senamh ingat berbanding nama barunya…best juga trvel bro
Nama Mataram lebih autentik dan memiliki sejarah yang panjang dibandingkan nama barunya.
Tapi seharusnya raja sah si amangkurat III bukan sih mas? Kan raja sebelumnya Amangkurat II ya? Biasa jatuh ke anak kan?
Baru tahu jl Mataram dah diganti. Yg aku inget jl Mataram itu banyak lumpia kan ya ? Soalnya kdg temen2 pada ngomong lumpia di jl Mataram .
Dari beberapa kota, Semarang buatku yg masih berasa banget kota lamanya. Mungkin Krn msh banyak peninggalan Belanda kali yaa.
Tadi aku sempet penasaran yg mana rumah jengki, akhirnya Googling. Oh jadi tau bentuk atapnya yg asimetris. Keren juga sih
Jadi yang seharusnya jadi amangkurat adalah saudaranya (Pangeran Singasari), tapi Raden Mas Amat tidak setuju dengan pilihan ayahnya (Amangkurat I). Akhirnya terjadi pemberontakan dan Raden Mas Amat jadi Amangkurat II. Setelah itu akhirnya terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Pemberontakan-pemberontakan ini akhirnya membuat mataram terpecah menjadi dua.
Nah itu, lumpia mataram yang cukup terkenal. Di sepanjang jalan mataram (skrang M.T. Haryono) banyak yang jual lumpia.
Semarang dulu jadi salah satu kota perdagangan yang penting di Hindia Belanda. Makanya banyak dibangun area perkantoran, pemerintahan, peribadatan, perniagaan, dll. Banyak gedung yang masih terjaga dengan baik.
Di Semarang rumah jengki masih banyak dengan bentuknya yang sangat unik dan mempertahankan keasliannya.
Wah justru saya belum pernah kesana
bangunannya nampak unik, tergolong lama juga usianya ya
swalayan jogya, saya perhatikan memang banyak yang sudah tutup ya
terimakasih atas sharing artikelnya
Beberapa bangunan masih bertahan hingga sekarang. Swalayan Yogya masih bisa ditemui di kota-kota lainnya.
Makasih sudah singgah mas
Wah ada walking tour di Semarang, layak dicoba nih mas. Saya penasaran mendengarkan detail detail bangunan seperti yang mas Rifqy ceritakan, pasti saya akan banyak tanya (dan dilirik dengan lirikan seribu jarum peserta lainnya hahahah). Saya juga penasaran dengan running tour di Bangkok, kita berlari sejauh 7 km dan berhenti di tempat tempat yang menarik.
di semarang ada beberapa yang jual jasa walking tour mas. Rutenya banyak dan sangat menarik untuk diikuti. Aku juga termasuk salah satu yang sering bertanya mas cipu. Sepertinya running tour di bangkok juga seru. Banyak hidden gems yang bisa ditemui 😀
Baca tulisan ini bikin aku kangen banget main ke Semarang. Pengin deh blusukan sambil belajar sejarah dan budaya di sana. Seru sekaliiii!
Semarang masih menyimpan banyak cerita sejarah dan area perkampungan yang cukup padat. Sangat cocok untuk rute blusukan mbak Sintia