Sendiri di Bengkulu

by Rivai Hidayat
Kota Bengkulu

Bengkulu

Pekerjaanku itu selalu dilakukan dalam bentuk sebuah tim. Namun, ada kalanya kami mesti bergerak sendiri-sendiri. Seperti yang aku alami ketika di Bengkulu dan Jambi pada tahun 2018 silam. Saat itu kami berangkat dengan jumlah sekitar 20 orang. Karena ada yang mesti dikerjakan, aku terpaksa berangkat terlebih dahulu dibandingkan teman yang lainnya. Pekerjaan dengan jalur Kota Bengkulu menuju Kuala Tungkal, Provinsi Jambi membuat kami mesti singgah di beberapa kota.

Setelah pekerjaan di Kota Bengkulu selesai, sebagian besar tim berkumpul di Kabupaten Kepahiang. Sedangkan aku disuruh langsung menuju Kabupaten Rejang Lebong atau yang lebih dikenal dengan Kota Curup. Kota ini terletak di jalur Bengkulu-Lubuklinggau. Tepatnya setelah Kabupaten Kepahiang. Pekerjaan di kota ini sangat membutuhkan perencanaan dan persiapan yang sangat matang. Bukan karena faktor teknis, tapi nonteknis.

Menurut cerita dari teman di Bengkulu, ada salah satu daerah di Kota Curup yang sering terjadi kejadian pembegalan. Kejadiannya bahkan pernah terjadi pada siang hingga sore hari. Itu tidak hanya sebuah cerita, salah satu temanku pernah melihat sendiri kejadian tersebut. Sebuah pengendara dibegal ketika melewati jalur tersebut. Bahkan beberapa kali aku melihat beberapa polisi melakukan patroli dengan membawa senjata lengkap dan rompi antipeluru. Saking rawannya, banyak pengendara tidak melanjutkan perjalanan melewati daerah tersebut jika waktu sudah pukul 16:00. Mereka memilih untuk menginap di Kota Lubuklinggau atau Kabupaten Kepahiang.

Rumah Bung Karno di Bengkulu

Saat itu hari sudah sore, terlalu rawan untuk melewati daerah tersebut. Akhirnya kami memilih untuk menginap di salah satu hotel di Lubuklinggau. Selain kami, terlihat beberapa mobil yang sengaja menginap. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Bengkulu pada keesokan harinya. Hari itu mungkin jadi salah satu hari tersial yang aku alami bersama temanku, Fauzi. Pada siang itu, kami mengalami aksi penodongan di daerah yang tidak jauh dari Kota Lubuklinggau.
Baca Juga: Desa di Ujung Pulau Sinabang

Saat itu kami sedang mengecek sebuah lokasi, tahu-tahu ada seorang pria menghampiri kami. Orang tersebut langsung meminta uang kepada kami dengan modus uang keamanan di daerah tersebut. Dengan berbekal bahasa daerah, akhirnya sopir yang mengantar kami berhasil bernegosiasi. Kami berada sekitar tiga meter di belakang sopir kami. Entah apa yang mereka bicarakan, Mereka berbicara menggunakan bahasa daerah yang tidak kami pahami. Akhirnya uang selembar Rp50.000, berhasil diterima orang tersebut. Orang tersebut pergi meninggalkan kami sambil mengucapkan terima kasih dan bilang akan menjamin keamanan kami selama di sana. Ah, omong kosong dengan menjamin keselamatan kami. Kami masih terdiam dengan kelakuan orang seperti itu. Fauzi memecah keheningan kami dan mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Kami seharusnya bersyukur karena kami dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Uang selembar Rp50.000 itu tidak seberapa dibandingkan keselamatan kami. Akhirnya kami meninggalkan daerah tersebut dan menandainya sebagai daerah yang rawan.

Dari Kabupaten Kepahiang, aku melanjutkan perjalanan menuju sebuah rumah di Kota Curup. Rumah ini kami kontrak untuk digunakan sebagai basecamp pekerjaan. Awalnya aku mengira rumahnya terletak di tengah kota. Ternyata rumah jauh dari kota. Aku ditinggal sendirian di rumah tersebut. Kota Curup merupakan kota yang terletak di dataran tinggi. Sangat dingin. Bahkan ketika pagi suhu di rumah yang aku tempati mencapai 19ºC.

Rumah yang aku tempati baru jadi dan terbilang cukup besar. Terdapat dua kamar tidur dengan sebuah kebun di belakang rumah. Rumah ini dimiliki oleh seorang ibu dengan dua anak. Anak tertua seorang perempuan yang masih kelas 2 SMA. Setelah sore, suasana sekitar rumah sepi. Udara dingin mulai menemani malam. Lolongan anjing saling bersahutan meramaikan malam. Di beberapa ruangan yang tidak terpakai, lampu penerangan sengaja aku matikan. Termasuk kamar tidur. Sedangkan aku memilih untuk tidur di ruangan depan.
Baca Juga: Berlabuh di Pulau Sinabang

Saat itu tidak ada motor yang bisa aku pakai. Sehingga jika aku ingin ke pasar mencari keperluanku, aku mesti berjalan kaki selama 20-30 menit terlebih dahulu. Begitu juga dengan pulang ke rumah. Ada ojek, tapi aku malah menikmati berjalan kaki. Karena jarak yang terbilang jauh, akhirnya aku memesan makanan kepada pemilik kontrakan. Beliau dengan senang hati membantuku. Biasanya makanan diantar, atau kadang aku diajak untuk makan di rumahnya yang tidak jauh dari rumah yang aku tempati.

Selain itu, aku juga mulai kenal dengan anak pertamanya. Sebut saja namanya Dewi. Pada suatu sore aku mengajak Dewi tersebut untuk menemaniku pergi ke pasar dan berkeliling kota. Tentu saja dengan atas izin ibunya. Ada beberapa barang yang mesti aku beli. Bisa dibilang Dewi adalah perempuan yang cantik, pintar, pemalu, tapi enak diajak ngobrol. Sore itu, kami juga singgah di sebuah tempat makan. Kami ngobrol banyak hal, seperti tentang Jakarta, kegiatan yang sedang aku kerjakan, dan tentang sekolahnya. Dewi juga bercerita bahwa dia ingin menjadi seorang polwan.

Aku melewati tujuh hari di rumah ini dengan baik. Tidak ada gangguan sama sekali. Termasuk hal mistis. Kemudian temanku menyusul ke rumah tersebut. Setelah berdiskusi, ternyata ada perubahan rencana pekerjaan. Untuk pekerjaan di Kota Curup dan sekitarnya akan dikerjakan di bagian akhir. Setelah menata barang, akhirnya pamit untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Bengkulu untuk beberapa hari. Kemudian memulai perjalanan menuju Jambi.

 

Bengkulu-Sumsel-Jambi,
Juli-November 2018

You may also like

30 comments

Dodo Nugraha September 29, 2020 - 3:52 pm

Aku dari Palembang, rencana mau ke Bengkulu sama teman2. Yaa, tinggal rencana krn kondisi sedang begini. Belum memungkinkan

Dari Palembang, tidak terlalu sulit ke sana. Pertama naik kereta sampai ke Lubuk Linggau, kemudian naik travel. Bisa jg lebih simpel lagi, naik travel dari Palembang, ehehehe…

Reply
Rivai Hidayat September 30, 2020 - 1:24 am

Kalau nanti berangkat dari lubuklinggau, jangan lupa untuk menikmati udara dingin dan jalanan di liku 9 daerah kepahiang. Jalannya enak dan dikelilingi hutan. 😀

Reply
Lia The Dreamer September 29, 2020 - 5:28 pm

Haaaa, seram sekali di daerah sana selain banyak kejadian pembegalan juga ada kejadian pemalakkan! Seram untung kakak sedang bersama orang asli sana dan akhirnya hanya uang 50ribu yang melayang
Soal Dewi, aku pikir kelanjutannya ada adegan cinta-cintaan terus ujung-ujungnya diberi hashtag “fiksi” *suudzon* begini nih akibat keseringan kena tipu di blog teman-teman lain. Saat dimana udah baca ceritanya seru-seru, ternyata fiksi hiahaha.

Reply
Rivai Hidayat September 30, 2020 - 1:26 am

Jalur lintas sumatera memang terkenal keras mbak lia. Kejadian-kejadian seeprti itu memang masih sering terjadi 😀

Aah iyaa, mungkin critanya diputer ke cerita fiksi dulu yaa…hahhahhaha

Reply
Ina September 29, 2020 - 8:25 pm

Rada serem ya kalo dalam perjalanan dan mengalami penodongan2 kaya gitu, dengan kendala bahasa kadang kita bisa nggak memahami maksud orang tersebut.

Untung aja (orang jawa banget), ada sopir yang menjadi penengah ya.
Jadi, ada cerita yang berlanjut setelah kembali ke bengkulu lagi nggakk? Hehe

Reply
Rivai Hidayat September 30, 2020 - 1:37 am

Jalur lintas provinsi memang seperti itu. Penuh dengan kejutan 😀

Balik lagi ke bengkulu, tapi kondisinya baik-baik saja. 😀

Reply
Nasirullah Sitam September 30, 2020 - 12:39 am

Lubuklinggau ini dulunya salah satu tempat transmigrasi, sebagian masyarakatnya di sana dari Jawa dan sudah generasi ketiga atau kedua di sana. Kata kawan, di beberapa jalur memang rawan, jadi kalaupun ada bus atau mobil ingin melintas, mereka sengaja beriringan

Reply
Rivai Hidayat September 30, 2020 - 1:35 am

Aku baru tahu kalau daerah lubuklinggau termasuk daerah transmigrasi. Kondisi disana cukup maju dan berkembang.

Jalur lintas sumatera memang terkenal keras. Jadi jalan beriringan menjadi salah satu cara mencegah hal buruk terjadi.

Reply
Wisnu Tri September 30, 2020 - 6:19 am

Lha mas fauzi ke mana mas? Tak kira ngontrak rumah bakal diisi berdua. Malah ditinggal dewean. Ngeri juga ternyata, di daerah sana masih ada praktek pemalakan. Tapi setelah bayar 50ribu,alhamdulillah aman kan ya? Nggak diteror atau apa sama penduduk lokal.

Anak ibu kontrakan siap-siap diboyong ke Jawa ini, bau-baunya. Hahahaha.

Reply
Rivai Hidayat October 1, 2020 - 2:51 am

dia balik ke kepahiang karena bantu tim yang di sana.
setelah bayar uang keamanan, keadaan benar-benar aman. hahahhaaha
jadi lebih berhati-hati ketika melewati daerah itu lagi mas. Di beberapa ruas jalur sumatera hal seperti itu masih sering terjadi kok mas. Jadi kita mesti berhati-hati dan jaga diri.

tidak mas wisnu, dijadikan teman saja 😀

Reply
Rudi Chandra September 30, 2020 - 9:33 am

Sampe sekarang lintas Curup emang rawan sih Mas.
Saya aja yang baru dari sana juga diperingatin ama penduduk sekitar, apalagi rutenya emang sepi dan dikelilingi hutan. Rawan begal banget.

Reply
Rivai Hidayat October 1, 2020 - 2:55 am

kemarin kami juga mesti laporan ke koramil mas. Biar semuanya aman dan terkendali. Maklum khan kami orang pendatang.
Kalau sudah sore emang lebih baik tidak melanjutkan perjalanan melewati daerah sana. terlalu rawan untuk dilewati ketika malam hari.

Reply
Thessa September 30, 2020 - 2:29 pm

Serem juga ya mas, sampe beralasan untuk uang keamanan. Tp setuju sama Mas rivai, 50rb ga ada artinya dibandingkan keselamatan. Pada daerah2 lain aku malah pernh diceritain, ‘preman’ daerah situ bisa minta sampe jutaan kalau liat lg ada proyek gt. Tp mungkin tergantung proyeknya juga yaa..

Reply
Rivai Hidayat October 1, 2020 - 3:04 am

di beberapa ruas jalan lintas sumatera masih sering terjadi hal kayak gitu mbak thessa. Jadi mesti berhati-hati dan jaga diri. yang terpenting adalah keselamatan 😀

Reply
CREAMENO October 2, 2020 - 1:08 am

Dulu waktu kecil sering dengar nama Curup, sebab ayah saya sama seperti mas Rivai, suka pindah-pindah kota untuk proyek dari perusahaannya hehehehe. Terus dimasa itu, ayah cukup lama proyek di area Lampung, Bengkulu, Jambi dan Palembang, alhasil jalan lintas Sumatera sudah jadi makanan sehari-hari untuknya dan beliau kenal banyak polisi di sana hahahahaha.

Lucunya mobil ayah saya itu warnanya unik, nggak ada yang punya, dan itu ternyata membuat orang-orang menghapal mobil itu sebagai mobil polisi karena terlalu seringnya ditumpangi teman-teman ayah yang polisi di sana :)) thankfully, karena itu pula, ayah nggak pernah dikerjai orang atau dipalak orang dengan alasan uang keamanan. Dan saya pernah sekali ikut ayah ke mess proyeknya. Betul banget penjabaran mas Rivai, jalannya sepi plus banyak hutan. Kalau sudah malam, rasanya mencekam. Hhhhh.. mana jalannya berkelok kelok jadi setiap ada belokan, saya merasa deg-degan :/

Eniho, mas Rivai pasti takut banget waktu dipalak yah. Saya baca cerita mas jadi ikut membayangkan. Semoga para begal itu cepat tobat dan memilih jalan yang benar.

Reply
Rivai Hidayat October 2, 2020 - 3:51 am

daerah curup itu dingin dan sejuk mbak eno. Suhunya pernah sampai belasan derajat celcius. Mungkin aku juga melewati jalan yang dilewati ayahnya mbak eno. Terutama jalur Bengkulu-Jambi..hehhehe
itu ayahnya kira-kira tahun berapa mbak eno…?

Jadi kalau ada proyek, lebih baik koordinasi dengan pihak keamanan (tentara-polisi) di sana. Tujuannya untuk keselamatan para pekerja. Hal yang biasa dalam dunia lapangan. Kemarin aku juga dapat pengawasan dari pihak keamanan…hehehhehe
Kalau mbak eno bilang jalan berkelok-kelok, mungkin yang dimaksud adalah jalan Liku 9 di daerah Kab. kepahiang. kanan-kiri jalan memang hutan, bagian dari taman nasional bukit barisan. Biasanya akan ditemani teriakan kera siamang dari dalam hutan. Jalanan sempit, kalau sore sering terjadi kabut. Sehingga kemagisan jalan semakin terasa.

Benar-benar takut sih mbak, tapi yaa sebisa mungkin untuk tetap bersikap tenang. 😀

Reply
Agus Warteg October 2, 2020 - 9:47 am

Serem juga ya kabupaten Kepahiang, pantesan kalo sudah sore banyak yang berhenti, dari pada lanjut nanti kena begal.

Eh ternyata tetap kena begal 50 ribu ya. Ikhlas kan ya kang, yang penting selamat. Disini juga ada kok, tiap bulan ada jatah keamanan 25 ribu. Setahun kan lumayan.

Reply
Rivai Hidayat October 6, 2020 - 11:08 am

kabupatennya ikut rejang lebong mas. hehhehe
Yang terpenting sih tetap keselamatan mas. Kalau duit bisa dicari lagi 😀
Jatah keamanan kalau ditotal emang sangat memberatkan yaa mas. Lumayan juga kalau ditotal dalam jangka waktu tertentu.

Reply
Hicha Aquino October 3, 2020 - 7:17 am

Pernah sekali ke Curup, terus iseng-iseng hiking di Bukit Kaba sama teman dan saudara-saudaranya. Pas waktu itu berkabut banget. Awalnya nyari jalan potong, malah muter2 di sekitaran hutan bambu. Daripada tambah tersesat akhirnya milih jalan yg biasa dipake. Ahamdulilah sampe juga ke puncak, tapi yang keliatan kabut putih doang. Karena keliatannya bakal tambah tebal kabutnya, akhirnya kami di puncak kayaknya cuma 10 menit dan langsung turun lagi.

Kerja ke daerah-daerah gitu seru juga, ya mas… tapi serem juga sih kalau sampai dipalakin gitu. Uang keselamatan yang kalau ga dikasih kitanya dibikin ga selamat sama yg malak, ya… :((

Reply
Rivai Hidayat October 6, 2020 - 1:01 pm

saat itu aku hanya lewat di bukit kaba. Tidak trekking ke sana. Padahal sudah diajakin sama teman yang asli bengkulu. Tapi tidak sempat karena sibuk dengan kerjaan. Alhasil cuma bisa berendam di pemandian air panas yang ada di sekitar bukit kaba.

Seru, kadang juga ketemu dengan hal yang seperti ini. Tapi dinikmati saja. Dari sana juga mendapatkan pengalaman yang berharga…hehhehe
Makasih mbak hicha 😀

Reply
morishige October 4, 2020 - 11:07 am

Wah, pasti berdebar-debar sekali waktu itu, Masvay. Tapi syukur penodongnya bisa pergi setelah dibayar 50rb.

Daerah selatan memang terkenal rawan, Masvay. Kalau Masvay perhatikan, bus-bus lintas Sumatera banyak yang pakai teralis di kaca depan. Itu supaya kaca nggak pecah kalau dilempar di daerah selatan. Saya belum pernah mengalami langsung kejadian mendebarkan seperti itu, tapi ada kawan-kawan yang nyawanya hampir melayang karena melintas kemalaman di jalan. Paling banter, saya baru mengalami melihat polisi datang dengan senjata lengkap ke rumah makan di antah berantah buat menangkap buronan. 😀 Kejadiannya cepat sekali saya sampai bengong. Hehehe.. 😀

Reply
Rivai Hidayat October 6, 2020 - 1:18 pm

bus lintas sumatera banyak yang pakai teralis di kaca depan. Beberapa kali aku menemukan bus seperti.
Jalur lintas sumatera memang punya kesan tersendiri. Jadi mesti berhati-hati ketika melintas. Biasanya banyak mobil yang melaju saling beriringan.

Reply
Andy Eko October 5, 2020 - 8:15 am

Jalur lintas memang rawan mas, say terakhir ke bengkulu pada tahun 2016 tapi waktu itu belum ada yang namannya begal dan kondisi jalan waktu itu masih bagus tapi entah sekarang. Daripada bermasalah mending kasih aja uang mas dibanding kita mesti berdebat sama orang-orang gak jelas di jalanan.

Reply
Rivai Hidayat October 6, 2020 - 1:19 pm

mungkin lewat jalur yang beda mas. Tidak semua jalur berbahaya kok. Hanya di daerah tertentu saja. Lebih banyak yang aman untuk dilewati.
yang terpenting tetap waspada dan hati-hati 😀

Reply
Fanny_dcatqueen October 6, 2020 - 4:50 pm

Sayang kejadian2 begal dan bajing lompat gini masih banyak di lintas Sumatra ya :(. Itulah kenapa pak suami ga prnh mau mas aku ajak road trip Sumatra. Serem dia bilang. Jawa dia semangat, tp sumatr nolak. Mnding naik pesawat katanya.

Kalopun mau road trip dia maunya banyak yg ikut, jd convoy. Padahal aku pengen baangetttt bisa road trip Sumatra sampe ke Aceh :). Semoga aja bisa aman kedepannya dari hal2 begitu. Aku berharap banyak dr tol2 yg dibangun di Sumatra :). Mempersingkat waktu juga dan ga hrs lwt jalan yg serem

Reply
Rivai Hidayat October 7, 2020 - 1:33 pm

makanya 3x menyusuri jalur sumatera seringnya konvoi. Cuma pas itu sedang persiapan, jadi hanya berangkat dengan satu mobil.
Ada beberapa jalur yang memang masih rawan sih. Tapi jalur lintas sumatera menarik untuk dijelajahi. Jalur lintas sumatera itu punya topografi jalan yang unik mbak. Gunung, bukit, pantai semuanya ada. Jadi bakal memberikan kesan tersendiri 😀

Reply
Rahul Syarif October 11, 2020 - 10:37 am

Pungli dengan kedok uang parkir dan keamanan memang banyak. Sekali waktu saat pertama kali daftar kuliah, saya pernah kena juga. 20 rb melayang. Seharusnya bisa lebih sedikit dari itu, tapi pas saya tarik uang yang keluar malah lembaran 20 rb. Ha ha ha.

Saya sempat baca dua paragraf cerita sebelah, ternyata itu sambungan. Saya jadinya ke sini dulu. Pengen tau cerita awalnya.

Reply
Rivai Hidayat October 14, 2020 - 9:26 am

Uang keamanan adalah kata yang lebih halus untuk menggambarkan perilaku pungli mas 😀
ketika berada di lapangan, akhirnya hal itu menjadi terbiasa. Bukan karena kita mendukung, tapi lebih ke keamanan dan keselamatan personel.

terima kasih sudah berkunjung di sini mas rahul 🙂

Reply
ainun October 20, 2020 - 3:43 pm

mas vay kok aku jadi inget daerah Kuta Lombok ya, menurut cerita yang beredar kalau bisa setelah explore daerah kuta untuk balik ke kota Mataram, jangan terlalu sore, karena rawan juga. waktu pertama kesana untungnya ga sepedaan, jadi sewa mobil, jadi aku rasa cukup aman karena dengan driver orang lokal juga
sampe sekarang pun kalau aku ke Lombok lagi dan melewati daerah kuta, aku selalu was was.
kayaknya kalau solo traveling ke daerah curup sana nggak berani sendiri ya, atau kalaupun sendiri kudu extra banget waspadanya

Reply
Rivai Hidayat October 22, 2020 - 4:15 am

Beberapa daerah di lombok masih rawan. dulu sering dapat informasi tentang pembegalan di daerah sana. Jadi ga boleh sore atau kemalaman ketika lewat daerah sana.
Solo traveling pake bus lewati daerah curup aman kok kak. Pas itu aku lewati daerah curup pas sore hari dalam perjalanan Bengkulu-Padang 😀

Reply

Leave a Comment