Pagi itu kami memutuskan untuk sarapan di Soto Seger Hj. Fatimah. Itu menjadi pilihan kami dari beberapa warung soto yang ada. Lokasinya berada di Jalan Bhayangkara, Kota Surakarta. Kami mulai meninggalkan Stasiun Purwosari dan menyusuri jalanan Kota Surakarta yang sudah ramai dengan kendaraan bermotor.
Aku ke Surakarta dalam rangka (kembali) berkumpul dengan teman-temanku. Kali ini semuanya bisa ikut. Termasuk Yudhi–temanku dari Palembang–yang sedang ada dinas luar kota di Jogja. Rencana awal ketemu di Jogja, tapi pada akhirnya kami sepakat untuk ketemu di Surakarta karena jaraknya lebih dekat dari Semarang.
Aku berangkat dari Semarang dengan mengendarai motor, sedangkan Girra dan Yudhi berangkat dari Jogja dengan menggunakan commuter line. Sementara itu, Prita yang tinggal di Surakarta tinggal menunggu kedatangan kami.
Aku memulai perjalanan dari Semarang pada pukul 07.15. Molor dari rencana awal. Beruntungnya pagi itu cuaca mendung dan berawan sehingga aku masih bisa merasakan sejuknya Kota Salatiga. Seperti biasa, aku memilih untuk melewati Pasar Raya, Salatiga dibandingkan melalui Jalan Lingkar Salatiga. Jalanan di sekitar pasar sudah ramai dengan warga yang berbelanja ke pasar. Aku juga melihat seorang anak laki-laki dan ayahnya yang sedang olahraga jalan kaki dan menenteng sebuah makanan untuk dibawa pulang.
Memasuki Kabupaten Boyolali suasana tambah lebih ramai. Di tepi jalan dekat Tugu Susu terlihat pedagang memenuhi bahu jalan. Mirip seperti pasar tiban di Minggu pagi. Kondisi ini membuat jalan utama ini tersendat. Pengguna jalan lainnya mesti bersabar dan berjalan sangat pelan. Selepas Kabupaten Boyolali cuaca berubah menjadi cerah. Aku memacu kendaraan agar segera tiba di Stasiun Purwosari, Surakarta.
Aku tiba terlebih dahulu di Stasiun Purwosari dibandingkan yang lainnya. Yudhi dan Girra mengalami keterlambatan commuter line. Sementara itu, Prita sedang di Stadion Manahan untuk olahraga terlebih dahulu. Tak berselang lama, Prita tiba di stasiun. Berselang 15 menit kemudian, Yudhi dan Girra juga tiba di Stasiun Purwosari. Setelah sekian lama, akhirnya kami bisa bertatap muka lagi. Biasanya kami saling sapa di media sosial.
Baca Juga: Nonton Wayang Orang Ngesti Pandowo
Suasana Soto Seger Hj. Fatimah pagi itu sangat ramai dengan pengunjung. Meskipun tempatnya luas, beberapa pengunjung belum mendapatkan tempat duduk. Termasuk kami yang baru datang. Aku dan Prita mencari tempat duduk, sedangkan Girra dan Yudhi bertugas memesan soto dan memilih lauk.
Sepertinya mereka berdua bersemangat untuk memilih lauk. Mereka kembali dengan bermacam-macam lauk, seperti sate paru, tempe mendoan, perkedel, sosis solo, dan tempe goreng. Empat mangkuk berukuran kecil berisi soto dan empat minuman tersaji di meja kami. Soto Seger Hj. Fatimah memiliki kuah yang gurih dan penuh dengan rempah. Bukan kuah bening seperti soto semarang.
Bisa dibilang kami cukup lama berada di tempat ini. Waktu mengobrol lebih lama dibandingkan dengan waktu ketika makan. Kami makan dengan cukup cepat dan lahap. Beruntungnya selalu ada tempat kosong ketika ada pembeli baru yang datang.Â
Topik obrolan kami pagi itu berkaitan kuliner. Seperti kebiasaan orang Palembang yang hampir tiap hari makan pempek. Seolah-olah itu sudah jadi makanan sehari-hari. Bahkan banyak orang Palembang yang sarapan dengan pempek. Menurut Yudhi, di tiap rumah orang Palembang biasanya tersedia cuko pempek. Bahkan cuko yang enak akan menambah kenikmatkan makan pempek.
Baca Juga: Istirahat Siang di Desa Sepakung
Kemudian Girra dan Yudhi yang terbiasa makan pecel menggunakan lontong. Bagi aku dan Prita, hal ini aneh karena pecel itu lebih cocok pakai nasi putih. Namun, bagi mereka berdua sambal kacang bakal lebih terasa ketika dipadukan dengan lontong. Bagi Yudhi sulit menemukan pecel di Palembang.
Perdebatan masih terus berlanjut. Kali ini tentang perbedaan nasi rawon dan garang asem antara di Semarang dan Pekalongan. Seperti yang diketahui bahwa rawon itu dimasak menggunakan keluak dan menghasilkan kuah yang berwarna coklat kehitam-hitaman. Namun, yang dimaksud rawon di Pekalongan sering disebut dengan garang asem. Sementara itu, garang asem di Semarang memiliki tampilan dan bahan yang digunakan berbeda dengan rawon. Bahkan terkadang garang asem dibungkus menggunakan daun pisang.
Cerita unik lainnya adalah ketika Yudhi pernah menemukan rawon yang kuahnya bening di sebuah kota di Jawa Timur. Tidak seperti rawon yang biasa ditemui dengan kuahnya yang berwarna coklat kehitam-hitaman. Yudhi merasa heran karena rawon yang dia pesan kuahnya bening mirip seperti soto. Menurut penjualnya, rawon di kota itu kuahnya memang bening.
Dari obrolan itu, kami sepakat bahwa makan soto itu biasanya lebih mahal lauknya dibandingkan harga soto itu sendiri. Biasanya seseorang akan memakan minimal satu lauk untuk mendampingi soto. Mungkin tempe mendoan, sate, atau perkedel. Kebetulan Girra dan Yudhi memakan dua sate paru yang harganya Rp7.000/tusuk. Menurut mereka sate paru yang dijual enak karena digoreng kering dan tidak alot. Sementara itu, aku memakan dua tempe mendoan dan satu sosis solo.
Kami berada di Soto Seger Hj. Fatimah sekitar satu jam. Lebih lama ngobrolnya ketimbang makan soto. Sebetulnya pemilihan tempat ini melalui perdebatan yang cukup panjang karena soto yang pernah kami makan sebelumnya memiliki rasa yang biasa saja. Ada beberapa opsi lainnya. Salah satunya adalah Soto Gading yang cukup terkenal di Kota Surakarta.
Soto ini memang jadi langganan presiden dan beberapa pejabat lainnya. Selain itu, tempatnya terlalu kecil bagi kami yang kemungkinan bakal ngobrol lama. Akhirnya diputuskan di Soto Seger Hj. Fatimah karena aku ingin makan soto boyolali dan kebetulan tempatnya juga luas. Sesuai dengan apa yang kami harapkan.
Cerita dari Kota Surakarta
Soto Seger Hj. Fatimah
23 Juni 2024
14 comments
Aku pernah makan soto seger khas Boyolali mas..tapi kuahnya cenderung bening dan ringan rasanya tapi seger…iya betul banyak pilihan lauknya dan lebih mahal ujung”nya dari harga semangkuk sotonya wkwkk, gak apalah ….nah saya juga lebih demen pecel pake lontong ..atau soto pake lontong / kupat,gak tau kenapa
Segernya karena rempah-rempah di kuah soto.
Kalau aku masih tim makan pecel pakai nasi. Biasanya emang pakai nasi 😀
dari foto makanannya aja udah keliatan seger, apalagi rasanya, duh bikin ngiler, wkwkw
enak mas..mesti cobain kalau ke surakarta 😀
dulu waktu masih bocil, aku penasaran sama apa yang membuat kuah rawon jadi item, ternyata dari kluwek. Dan waktu itu pernah liat dirumah, terus nanya ke orang rumah mengenai keluwek
memang paling enak kalau janjian sama temen, di lokasi yang nggak biasa ya, sekalian sama refreshing gitu
dan aku pernah nemuin soto kalau ga salah, yang kuahnya bening encer. Awalnya aku bingung kenapa ada soto kayak gini, ternyata soto bening itu memang dari dulu begitu asal usulnya di kota yang aku kunjungi,. Inilah yang membuat indonesia kayak akan budaya
Kluwek memang jadi daya tarik tersendiri dari rawon. rawon tanpa kluwek berasa seperti yang kurang.
soto semarang termasuk soto dengan kuah yang bening. Sangat berbeda dengan soto yang ada di daerah boyolali dan sekitarnya.
Ini tuh soto langganan ku maaaas . Dari harga per porsi masih 5 RB hahahahah. Skr udh berapa ya? Aku selalu mampir tiap kali mudik solo . Ini Krn udh lama ga mudik aja. Kangen ih. Trus dulu namanya stok mbok Giyem, pecah kongsi, JD berubah. Tp aku mah suka yg cabang mas datangin itu
Dan yg aku suka Krn gorengannya enak2 . Walo LBH mahal, GPP deh.
Udah banyaaak bgt soto di solo yg aku cobain. Soto2 terkenal kayak soto gading, soto triwindu, ntah kenapa aku ga terlalu cocok. Mungkin Krn toppingnya ga banyak juga sih. Walopun kuahnya enak. JD ga worth it Ama Hrg. Makanya selalu balik ke soto h Fatimah ini.
ternyata selera kita sama mbak fannya. Beberapa kali coba soto boyolali memang selalu sesuai dengan selera. Pilihan lauknya juga banyak jadi bakal lebih berasa makan sotonya.
Kalau sudah jadi langganan presiden sih, sepertinya tidak perlu diragukan ya mas dari kualitas makanannya.
Solo sudah jadi salah satu destinasi idamanku, moga aja dalam waktu dekat aku bisa melipir kesana ya.
kalau perkara makanan balik lagi ke selera sih mas. Selera tiap orang tidak sama mas..hehhee
Semoga mas fajar bisa main ke solo bareng keluarga
Yg langganan presiden bukan yg hj Fatimah ini mas fajar. Tp yg triwindu dan gading. Cuma percaya deh, yg hj Fatimah lebiiiih enak . Yg ini jangan didatangin presiden, ntr jadi muahaaaal
Memang sih kalau sudah dikenal pejabat harganya bakal mahal. Di semarang juga ada beberapa tempat makan langganan presiden dan pejabat. Akhirnya tempat makan itu jadi mahal.
Dulu, pas masih stay di Solo, beberapa kali tim pengen ngajak makan di Soto Hj. Fatimah ini, tetapi selalu berakhir pindah tempat karena tempatnya pasti selalu rame.
Sebagai orang yang (sebenarnya) kurang suka dengan rasa soto, jadi penasaran juga sih sama rasa soto di Hj. Fatimah ini. Seenak apa rasanya sampai tempatnya selalu ramai dan jadi langganan presiden. Suatu saat emang harus nyoba sepertinya.
Selalu ramai mas jadi kalau datang sebaiknya cari jam yang biasa tidak ramai dengan pengunjung. Tidak ada salahnya untuk cicipi soto hj.fatimah mas. Semoga cocok dengan soto.