Buku Jalan Panjang untuk Pulang melengkapi ketiga buku Agustinus Wibowo yang telah terbit sebelumnya. Yaitu, Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Buku Jalan Panjang untuk Pulang adalah kumpulan cerita dan esai dari berbagai lokasi yang pernah disinggahi Agustinus, yang mengajak kita untuk mengalami berbagai dimensi perjalanan. Dari perjalanan fisik hingga perjalanan batin. Perjalanan melihat dunia luar hingga pulang ke dalam diri. Perjalanan pencarian hingga penemuan makna yang hakiki.
Bab 1: Lokasi, Lokasi, Lokasi
Salah satu cerita yang ada di Bab 1 ini berjudul Negara Orang Tua. Tulisan ini bercerita tentang perjalanan Agustinus menuju Gold Coast, Australia. Dalam perjalanan menuju Sydney, ia berkenalan dengan salah satu pelajar Indonesia yang bersekolah di Melbourne. Menurutnya, “Australia adalah negara orang tua. Setelah jam lima semua toko tutup dan sepi. Sama sekali tidak fun.”
Dalam pernerbangan menuju Gold Coast, Agustinus berkenalan dengan Kristina yang merupakan seorang pengajar di Universitas Wollongong. Kristina bercerita bahwa pramugari dan pramugara maskapai Qantas sering mengajak bergurau dengan penumpangnya. Seperti yang dialami Agustinus dalam penerbangan ini. Bagi Kristina, hal ini merupakan pelayanan yang tidak terlupakan dan ia sangat mengapresiasinya.
Kristina tahu maskapai penerbangan Indonesia mendapat penghargaan internasional untuk pelayanan terbaik, tetapi dia tidak yakin orang Australia akan mengapresiasi pelayanan seperti itu. Baginya, cara pramugara Qantas bergurau padaku adalah pelayanan yang tak akan terlupakan, karena humornya itu bersifat personal. Sedangkan di Thailand atau di Indonesia, para pramuniaga atau pramugari tersenyum dengan senyum cantik yang sama, dan memberikan senyum itu pada semua orang. Saking sempurnanya, saking cantiknya, saking universalnya, semua itu menjadi generik. Indah, tetapi tidak akan meninggalkan kesan. (Hal. 117)
Selain tulisan itu, pada bab ini Agustinus juga mengajak pembaca untuk mengenal para pemburu elang dari bangsa Kazakh yang dikenal dengan sebutan burkutchu. Bangsa Kazakh meletakkan identitasnya pada burung elang. Perburuan elang adalah gabungan kecintaan kepada alam, ketangguhan lelaki pengembara, kebanggaan suku bangsa padang rumput. Perburuan elang adalah seni dan tradisi turun-temurun yang di dalamnya juga terdapat semangat bertahan hidup dan keberanian menaklukkan tantangan.
Bab 2: Melintas Batas
Di Bab 2, Agustinus menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan permasalahan garis batas. Tulisan berjudul Tersekat Gunung dan Batas menjadi tulisan pembuka. Tulisan ini bercerita tentang batas wilayah negara-negara Asia Tengah. Seperti Afghanistan, Kazakhstan, Kirgizstan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Uzbekistan.
Kebanggaan Bangsa Tajik yang paling utama adalah dua kota agung yang namanya bersinar sejak zaman jalur sutra: Samarkand, dan Bukhara. Keduanya adalah bekas ibukota- dianggap sebagai negeri Tajik pertama- yang berdiri pada abad ke-9. Namun, kota tua Samarkand dan Bukhara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang berbahasa Tajik itu kini berada di wilayah Uzbekistan, dan semakin dikenal dunia sebagai ikon Uzbekistan- bukannya Tajikistan.
Baca Juga: [Review] Soe Hok Gie…Sekali lagi
Kemudian ada tulisan berjudul Bendera Merah Putih di Garis Batas. Wilem Bab, seorang lelaki Papua yang menerima bendera merah putih dari sekitar 50 tentara Indonesia yang berpatroli. Kampung Digo, tempat Wilem tinggal, masih terletak dalam wilayah Indonesia berada di tengah hutan rimba perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Namun, Wilem merasa kampungnya berada di Papua Nugini. Kami tahu kalian orang Papua Nugini. Tapi, kalian tinggal di wilayah Indonesia. Bendera ini adalah keamanan kalian. (Hal 179)
Garis perbatasan di Papua yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 740 kilometer itu memisahkan menjadi dua wilayah. Indonesia di sebelah barat dan Papua Nugini di sebelah timur. Garis perbatasan itu sebenarnya adalah peninggalan dari negara-negara imperialis Barat, digambar oleh Inggris dan Belanda pada tahun 1985, dan kini diwarisi sebagai pembatas antar negara merdeka Indonesia dan Papua Nugini. Di alam nyata, garis ini sama sekali tidak terlihat, berada di tengah rimba lebat dan sulit dipercaya akal sehat.
Bendera itu terbentang di hadapan saya. Bendera merah putih yang masih baru tapi sudah lusuh, putihnya kelunturan merah. Selembar bendera yang sempat memberi Wilem begitu banyak harapan, tetapi kemudian pupus lagi. Toh impian memang tidak hanya bisa ditebus hanya dengan selembar bendera. (Hal 183)
Bab 3: Rumah di Sini dan di Sana
Dibandingkan bab lainnya, Bab 3 memiliki kumpulan tulisan yang paling banyak. Total ada 16 tulisan yang ditampilkan. Tulisan di bab ini lebih banyak bercerita tentang identitas orang-orang yang ditemui oleh Agustinus. Dalam bab ini, kita akan diajak berkenalan dengan orang-orang dari berbagai tempat. Mulai dari Cina, Indonesia, Belanda, Suriname, Afghanistan, Uzbekistan, India, dan Pakistan.
Memilih identitas itu sulit, saya lebih senang bebas tanpa harus memilih. Identitas itu bukan pakai kata ‘atau’, tetapi ‘dan’. Saya adalah Jawa, dan Belanda, dan Suriname.
Orang Jawa itu mudah melebur dan menyerap identitas lain, menyesuaikan diri dengan identitas lain. Ini sifat orang Jawa yang lentur, mudah dibentuk. Di satu sisi, ini menimbulkan harmoni. Tetapi di sisi lain, kita bisa dilang jatidiri. (Hal 252)
Salah satu cerita di bab ini berasal dari Mbah Sarijo dalam tulisan berjudul Imigran Jawa Terakhir di Suriname. Mbah Sarijo berusia 10 tahun saat pertama kali tiba di Suriname bersama bapaknya. Perjalanan panjang itu membawanya berpindah dari Bantul, Yogyakarta menuju Suriname. Di usia senjanya, Mbah Sarijo tidak ingin melihat Jawa lagi. “Tidak sama sekali. Sudah tidak ada lagi yang aku kenal di sana. Lagi pula, umurku sudah 96 tahun, badanku sudah tidak kuat,” kata Mbah Sarijo.
Mbah Sarijo memberikan dua rahasia umur panjangnya. Menurut Mbah Sarijo, “Manusia diciptakan Gusti itu buat apa? Bukan cuma buat sembahyang, tapi buat meluruskan dunia. Hidup itu jangan slowslow (malas-malasan), nanti darahmu dingin. Kalau darah dingin, kental, nanti penyakit mudah masuk, cepat mati.” Kemudian rahasia kedua adalah jangan ambil keuntungan dari orang lain. “Itu dosa, kualat. Anak muda sekarang banyak yang tidak mengerti dosa. Kalau dosamu banyak, badanmu lama-lama tidak akan kuat bawa, nanti kau cepat mati,” kata Mbah Sarijo.
Bagi Agustinus, Mbah Sarijo adalah orang yang sangat realistis. Dia tidak terbenam dalam nostalgia, tidak mengejar surga utopia. Sebagai Muslim Jawa tradisional, Mbah Sarijo tetap mempertahankan bersalat dengan arah kiblat ke barat., seperti halnya kebiasaan nenek moyangnya di Negara Jawa—walaupun Mekkah terletak di timur Suriname. Baginya, Gusti ada di mana-mana, pada semua arah, hadap ke mana pun tidak masalah. Filosofinya tentang kematian adalah raga yang mati, tetapi sukma yang tak pernah mati. Surganya bukan kehidupan sesudah mati, tetapi tentang kehidupan nyata di hari ini.
Aku hidup bukan mencari surga. Aku sekarang ini sudah di surga. Aku mau makan apa, bisa makan. Aku mau main, bisa main. Aku sudah tidak punya kekhawatiran apa-apa. Ini yang namanya surga. Kamu mengerti? (Hal 263)
Bab 4: Pulang
Pulang menjadi judul untuk bab terakhir dalam buku ini. Terdiri dari empat tulisan yang bercerita tentang sebuah makna Pulang. Bab ini dibuka dengan tulisan dengan judul Matinya Agama Tua. Tulisan ini bercerita tentang meninggalnya seorang nenek di Toraja. Uniknya, mayat nenek ini didudukkan. Hal ini merupakan sebuah tradisi, karena tidak semua mayat boleh didudukkan.
Syaratnya yang meninggal merupakan anggota dari kasta tertinggi, keluarganya harus mampu untuk menggelar upacara besar, sedikitnya mengobarkan tujuh ekor kerbau. Syarat ketiga adalah yang paling sulit, yaitu almarhum haruslah masih pemeluk agama tua Toraja. Agama tua kini dikenal sebagai aluk to dolo– secara harfiah berarti agama orang dulu.
Baca Juga: Jejak Kaki di Desa Tanjung
Tulisan kedua di bab ini berjudul Seorang Pencari dan Napasnya. Tulisan ini bercerita tentang proses Agustinus Wibowo pulang dan menemukan dirinya kembali melalui proses meditasi. Agustinus merasa sudah banyak membaca tentang meditasi dan memahami filosofi ajaran Buddha. Seperti melepaskan semua keterikatan untuk mendapatkan kebahagian.
Saat itu Agustinus merasa tidak perlu meditasi. Karen, salah satu sahabat Agustinus memberikan pandangan lain terhadap sahabatnya itu. “Mengerti secara intelektual itu berbeda dengan mengalami sendiri. Kamu mesti coba meditasi ini. Nanti kamu akan bisa merasakan seluruh tubuhmu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kamu akan terkoneksi lagi dengan dirimu,” kata Karen. (Hal. 386)
Tulisan selanjutnya berjudul Melihatnya dari Sisi Berbeda. Tulisan ini berlatar tentang Katedral Norwich yang pada Agustus 2019 lalu memasang perosotan setinggi 16.7 meter di altar gereja. Tentu saja hal ini menjadi kontroversi di seluruh Inggris.
Bagi gereja, ini merupakan bagian dari promosi dan memperkenalkan pesan-pesan Tuhan kepada publik luas dengan cara berbeda. Namun, banyak yang menganggap bahwa pemasangan wahana taman bermain di dalam gereja itu telah menodai kesakralan rumah Tuhan, dan menjadikan Tuhan sekadar sebagai atraksi wisata. Lagi pula, ramainya pengunjung juga tidak bisa diartikan bahwa gereja berhasil menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada mereka.
Mungkin Catherine benar. Kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan ingin berkomunikasi dengan umat-Nya. Mengapa kita harus membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang serius dan sunyi kalau Dia juga bisa begitu ceria dan jenaka? Mengapa membayangkan Tuhan hanya sebagai sosok yang tegas dan suka menghukum, kalau Dia juga bisa penuh kegembiraan dan warna warni bersahabat? (Hal 442)
Tulisan berjudul Laut menjadi tulisan terakhir di bab 4 dan di buku Jalan Panjang untuk Pulang. Tulisan ini bercerita tentang Agustinus, ayahnya, dan asal usul serta identitas yang ada pada diri mereka. Cerita pengalaman Agustinus yang diajak ayahnya untuk melihat Samudra Hindia mengawali tulisan ini. Laut, dari pantainya kamu mungkin akan melihat amukan badai dan ganasnya gelombang, mungkin malah tsunami. Tetapi ketika kamu lihat laut dari angkasa, laut adalah ketenangan yang tak terbatas. (Hal 459)
Dua kakek dan dua kakek buyut Agustinus lahir di Cina Selatan. Mereka berlayar menyeberangi lautan baru di abad ke-20 hingga akhirnya mendarat Jawa dan menetap di pesisir selatan pulau, yaitu Lumajang. Karena kampung Lumajang berhadapan dengan Laut Selatan, kota ini dikenal oleh orang-orang Cina sebagai Nanhaizhang, Aliran Laut Selatan.
Semua itu berasal dari hati, kalau kamu merasa minoritas, maka selamanya kamu adalah minoritas. Kalau kamu merasa dirimu adalah warga kelas dua, maka selamanya kamu adalah warga kelas dua. Dan kalau kamu merasa dirimu adalah korban, maka selamanya kamu adalah korban. (Hal 459)
*****
Ada dua hal yang selalu mengemuka dalam tulisan-tulisan Agustinus Wibowo. Yaitu, perjalanan dan kepulangan. Dalam sebagian besar tulisannya, dia membawa serta para pembacanya pada pencarian identitas berupa perjalanan untuk mencari makna rumah. Tempat-tempat yang dikunjungi Agustinus bukanlah tempat-tempat yang nyaman, tenang atau bahkan indah dalam kacamata tamasya. Tempat-tempat itu sering kali berada di perbatasan, di wilayah penuh konflik berlapis dengan masyarakat yang berupaya mencari atau mempertahankan identitas.
Membaca buku Jalan Panjang untuk Pulang membuat kita belajar dan berhenti sejenak untuk memahami makna kata pulang. Pulang menjadi bagian dalam setiap perjalanan. Seperti pulang ke rumah, pulang ke dalam diri sendiri, dan pulang sebagai makhluk Tuhan seutuhnya.
Jalan Panjang untuk Pulang
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kedua: Februari 2021
ISBN: 978-602-06-4758-6
24 comments
Akhirnya Kak Rivay duluan yang baca buku ini, bahkan jadi Kakak duluan yang menulis reviewnya hahahaha. Maaf ya, aku kelamaan wkwk
Kak Rivay mengulasnya bagus banget, detil banget per bab. Sebelumnya nggak ada bayangan sih buku Agustinus W. tuh seperti apa, aku pikir mirip buku Trinity gitu tapi kelihatannya ini versi lebih kalemnya yak xD
Terima kasih ya Kak udah ikutan JanexLiaRC!! Bulan depan ikut lagi yakk, jangan lupa wkwk
Sebetulnya nunggu punyamu, tapi rasanya daftar tunggu bukumu masih banyak..wkwkkwk
Banyak cerita unik dan bagus di tiap babnya. Tapi ga mungkin ditulis semua..hiiks
Aku malah belum pernah baca sampai selesai tulisan trinity. Kalau Agustinus biasa menulis menggunakan berbagai sudut padang. Informasi yang diceritakan lengkap..hehhee
Entah, nunggu tema bulan depan 😀
Terkesan dengan tulisan tentang Mbah Sarijo, pengungsi Jawa terakhir di Suriname. Sejak umur 10 tahun Mbah Sarijo sudah dibawa ke sana ya, berarti sudah 86 tahun karena umurnya sekarang 96 tahun.
Kalo dipikir-pikir, memang orang jaman dahulu itu kadang umurnya panjang panjang ya mas, ternyata rahasianya jangan malas-malasan dan jangan ambil untung dari orang lain.
Lah, terus yang pedagang gimana ya.
Kalau sekarang sudah lebih dari 96 tahun mas. Tulisan bab ini ditulis beberapa tahun yang lalu.
Maksudnya jangan ambil untung itu adalah untung yang berlebihan mas. Jadi kalau berdagang yaa tetap bisa ambil keuntungan. Tapi ga boleh berlebihan sehingga memberatkan atau merugikan orang lain..hehehe
Oh maksudnya jangan ambil untung terlalu banyak ya mas. Misalnya nimbun minyak goreng saat murah 1 liter 14ribu, sekarang giliran mahal dijual seliter 25 ribu. Dikalikan berapa ratus kardus.. 😆
Nah ini mas agus. Banyak orang melakukan hal ini demi keuntungan pribadinya. Padahal hal itu sangat merugikan orang lain..huhuhuu
Aku baca ini wkatu awal-awal terbit, ikutan pre order. Pada dasarnya kembali ke rumah adalah tujuan. Meski waktu berproses butuh berbagai aral dan cerita.
Pas buku terbit dan preorder, aku sedang di luar jawa. Jadi kalau beli bakal tidak langsung dibaca. Jadi beli ketika sudah balik di semarang agar bisa langsung dibaca.
Proses pulang ini yang banyak mengandung cerita dan pengalaman
Mbah Sarijooo <3<3<3 Orang jaman dulu memang luar biasa, bener-bener kayak aktif setiap hari secara fisik, nggak kebanyakan diem. Aku suka dengerin nasihat orang-orang jaman dulu yang sudah berpengalaman kayak gini. Oh jadi Agustinus Wibowo ini udah punya empat buku, kalau menurut mas Vay buku paling bagus yang mana? Harus dibaca urut kah? Kayak kalau baca seri The Naked Traveler, aku suka urut bacanya. xD
Orang tua dulu selalu kerja keras dan aktif sehingga lupa dengan masalah-masalah mereka. Dulu pas simbah-simbahku masih ada, aku juga sering dengerin cerita dari beliau. Seru aja rasanya..hahahhaa
Bukunya bagus semua..jangan disuruh pilih yg mana. Soalnya tiap buku punya ceritanya masing-masing.
Bacanya ga urut ga masalah. Semuanya ga saling berkaitan secara langsung. Jadi masih ga masalah kalau bacanya lompat-lompat.
Ceritanya kayaknya panjang bgt ya mas, byk hal yg dibahas meski pada intinya pulang ke rumah adalan tujuannya.
Cerita tentang perjalanan, persinggahan, dan pulang yang dilihat dari berbagai sudut pandang. Ceritanya jadi semakin berisi dan bervariasi.
Aku sudah baca buku ini dan aku suka. Bagus banget bukunya! Agustinus Wibowo kalau menulis buku memang tidak pernah mengecewakan.
Keempat buku agustinus emang ga mengecewakan dan layak utk dibaca dan dikoleksi. Bahkan bisa banget untuk dibaca ulang
Duuuh baguuuuus mas . Serius pengen banget punya bukunya. Atau mau cari di ipusnas ah, semoga ada.
Aku suka buku berbau traveling gini, tapi memang yg dibahas dari sisi human nya. Dan penasaran Ama tempwt2 yg memang bukan touristy gini. Itu perbatasan antara Papua dan Papua new Guinea, aku pengeeeen banget bisa kesana. Ga harus perbatasan juga sih, pokoknya pengen aja ke new Guinea. Tapi waktu itu cari rute maskapainya susaaah dan mahal. Aku pikir bakal ada penerbangan dari Papua, ternyata ga adaaaa. Aku harus transit ke singapur, trus Brunei, baru port Moresby. Harga tiketnya belasan juta yg murah. Mending aku kliling Eropa wkwkwkwkwkwk
Bacalah mbak fanny. Bagus dan layak baca kok. Apalagi untuk mbak fanny yang suka penasaran dan traveling..hehehe
Itu jadi kelebihan buku-buku agustinus. Tidak bercerita tentang tempat wisata, lebih banyak bercerita tentang orang-orang dan identitas yang melekat pada orang-orang yang dia temui dalam perjalanan.
Papua nugini dan port moresby juga dicritakan di buku ini mbak fanny. Tentu saja ceritanya akan membuat mbak fanny tercengang. “Lhah ternyata begini..” wkwkkwkk
“pulang sebagai makhluk Tuhan seutuhnya” wah ini yang bikin sedih banget mas :’
Makasih kak berkunjung ke sini
Keren banget penulisnya yaa, pak Agustinus ini. Tulisannya memberikan pelajaran berharga. Jadi penasaran isinya kayak gimana. Soalnya masih bingung aku kira satu bab terdiri dari satu cerita. Ternyata sepertinya tidak.
keempat buku Agustinus sering bercerita tentang perjalanan yang dilihat dari sisi yang berbeda. Sangat menarik untuk dibaca.
Di buku ini, satu bab terdiri dari beberapa cerita. Bab 4 memiliki jumlah cerita dibandingkan bab yang lainnya. Yaitu sebanyak empat cerita.
Sungguh tulisan yang menarik dan sepertinya ada banyak hal yang bisa menjadi bahan renungan saat membacanya.
Buku Agustinus emang sangat menarik untuk dibaca mas. Selalu memberikan gambaran lain dalam sebuah perjalanan. Sangat cocok bagi mereka yang suka melakukan perjalanan.
wowww..#sembahsungkem wkwkkw…buku yang mas vai selalu baca selalu keren keren…dan mbungkin agak berat bagi Mbul soalnya banyak bagian untuk kontemplasinya. Memaknai proses kehidupan dari segi kacamata pulang. Pulang dalam banyak makna dan interpretasi. Aku paling penasaran sama gaya humor awak maskapai Qantas yang bisa jadi ciri khas tersendiri dibanding pramugara pramugari maskapai negara lainnya. Lalu yang bagian Mbah Sarijo juga keren banget. Sehat sugeng di umur 96 tahun dengan sudah mengantongi kebijaksanaan dan ilmu ilmu kehidupan. Banyak pula memberikan wejangan agar kita generasi muda jangan bermalas-malasan karena bener banget tuh darah jadi dingin gampang kena penyakit dsb. Juga jangan ngambil keuntungan dari orang lain. Terus yang upacara prosesi di Toraja aku juga selalu amazed mas fai..baru aja kemarin aku liat youtube yang bahas rambu solok atau penjabaran agama kepercayaan di sana jaman itu di channelnya siapa ya aku lupa…local punya sih yang bahas aluk todolo…lalu jadi tahu bahwa lumajang kalau dari bagian negara China disebutnya Aliran Laut Selatan….Keren. Kalau essay tentang perjalanan memang selalu menarik untuk disimak. Jadi pengen baca juga dan melihat kemegahan-kemegahan lain dari negeri-negeri lainnya ^^
Heehehe…makasih mbul. Ga perlu sembah sungkem segala…hahhahaa 😀
Pas baca buku ini emang diajak banyak berpikir tentang makna pulang dan singgah. Banyak pergolakan ketika di setiap ceritanya. Ceritanya emang terdengar sederhana. Namun, memiliki makna yang begitu dalam. Ciri khas tulisan agustinus emang selalu mengajak pembacanya untuk berpikir dan merenung.
Ayo Mbul…mari kita baca cuku catatan perjalanan 😀