Perjalanan Dr. H.O.K. Tanzil ke negara-negara di Pasifik Selatan terinspirasi dari Menteri Luar Negeri RI saat itu, Prof. Dr. R. Mochtar Kusumaatmadja yang melakukan perjalanan muhibah ke negara-negara baru di daerah Pasifik Selatan yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 1983. Kemudian dari situlah Dr. Tanzil mengumpulkan pelbagai informasi yang berkaitan dengan negara-negara di Pasifik Selatan. Informasi telah dikumpulkan, termasuk rute perjalanan dan tiket murah ke negara tujuan. Namun, Dr. Tanzil menemui masalah lain, yaitu perusahaan-perusahaan penerbangan yang menjual tiket murah tersebut tidak mempunyai perwakilan di Jakarta.
Dr. Tanzil mendapatkan informasi tentang Polypass dari sebuah majalah yang dikirim dari Hongkong pada Juli 1983. Polypass merupakan tiket murah yang dikeluarkan oleh Polynesian Airlines seharga $ 999,- yang berlaku selama 30 hari. Dengan tiket Polypass Dr. Tanzil bisa mengunjungi semua kota di Pasifik Selatan yang disinggahi pesawat Polynesian Airlines dengan pusatnya di Apia, Samoa Barat dan kota-kota lainnya: Port Vila, Pago-Pago, Niue, Rarotonga, Papeete, Nadi, dan Tonga. Termasuk Kota Auckland dan Sydney yang merupakan tempat dimulai dan berakhirnya penerbangan.
Penumpang pemegang Polypass dapat terbang terbang sesuka hati ke tempat-tempat tersebut, tanpa pesan tempat terlebih dahulu dan mendapatkan prioritas. Konon, tiket dijual di seluruh dunia, kecuali di Selandia Baru. Anehnya agen biro perjalanan di Jakarta tidak mengetahui tentang adanya Polypass tersebut. Sebelum memulai perjalanan, Dr. Tanzil mengurus perpanjangan paspor dan visa terlebih dahulu. Biaya pengurusan paspor Rp50.000 dengan waktu selama satu minggu. Dr. Tanzil yang seorang penulis perjalanan mendapatkan keistimewaan dalam pengurusan paspor. Pengurusan paspor hanya membutuhkan waktu tiga hari dan persyaratan menjadi lebih sederhana.
Baca Juga: Jalan Panjang Untuk Pulang
Perjalanan Dr. Tanzil dimulai dari Singapura, dan Malaysia. Dari Malaysia kembali ke Singapura untuk melanjutkan perjalanan menuju Sydney. Di kota ini Dr. Tanzil mendapatkan Polypass milik Polynesia Airlines di sebuah kantor agen perjalanan. Kota Apia yang terletak di Samoa Barat akan menjadi tujuan pertama dalam penggunaan Polypass milik Polynesia Airlines. Dr. Tanzil dan istrinya berada di Apia, Samoa Barat selama satu hari. Kemudian melanjutkan penerbangan menuju Fiji.
“Dari sekian ratus penduduk (di Samoa Barat) yang terlalui sukar mencari orang kurus. Bahkan banyak yang gemuknya keterlaluan yang nampak pada orang-orang tua. Rupanya gemuk bagi penduduk Samoa menunjukkan kemakmuran.” (Hal. 41)
Filsafat orang Samoa menurut tradisi, menganut hidup santai dan bersahaja. Ia sudah merasa puas dengan milik yang sederhana. Ada pepatah mengatakan orang Samoa sudah merasa beruntung bila anak-anaknya sehat, istrinya manis, punya sebuah rumah, perahu, dan babi, sebuah pohon kelapa serta beberapa pohon pisang. Dia gemar upacara, olahraga, musik, menyanyi dan menari. Waktu terluang diisi dengan ngobrol dan minum bir.
“Yang paling menyenangkan para turis adalah anjuran untuk tidak memberi tip, yang bukan suatu kebiasaan dan tidak diharapkan bahkan dianggap melanggar adat. (Hal. 52)
Selama di kawasan negara-negara Pasifik Selatan, Dr. Tanzil dan istrinya mengunjungi negara Samoa Barat, Samoa Amerika, Fiji, Niue, Kepulauan Cook, Tonga, Nauru, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini. Perjalanan di setiap negara tidak berlangsung lama. Hanya satu hingga empat hari. Kecuali di Auckland, Selandia Baru yang menghabiskan waktu lima hari yang digunakan untuk bersantai dan istirahat di hotel.
“Dalam semua brosur untuk para wisatawan asing di Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia, selalu ditulis tentang tip yang tidak dianjurkan, sampai dilarang, karena dianggap sebagai penghinaan (Samoa). Setelah membacanya saja, sudah menimbulkan respect terhadap bangsa itu,apalagi setelah melihat kenyataannya. Biarpun sederhana, mereka mempunyai self-respect dan dihormati. (Hal. 74)
Ditolak Masuk di Negara Vanuatu
Perjalanan penggunaan Polypass dari Polynesia Airlines berakhir di negara Vanuatu pada tanggal 23 September 1983. Ketika tiba di pelabuhan udara Bauerfield, Kota Port Vila, Vanuatu. Dr. Tanzil dan istrinya dilarang memasuki negara oleh petugas imigrasi karena tidak memiliki visa. Dr. Tanzil mengira akan mendapatkan visa begitu tiba di Vanuatu. Republik Vanuatu tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Namun, petugas imigrasi tetap menolak mereka berdua untuk memasuki negara tersebut.
Rupanya Dr. Tanzil tidak kehabisan akal. Dr. Tanzil memperlihatkan empat buku karangannya dan tiket penerbangan menuju Nauru pada esok hari. Petugas kemudian menyadari bahwa Dr. Tanzil merupakan seorang penulis buku catatan perjalanan. Akhirnya petugas memberi cap pada paspor dan mengizinkan Dr. Tanzil dan istrinya memasuki Negara Vanuatu.
“Pada brosur dan papan pengumuman di pelabuhan tertulis beberapa nasihat untuk para tamu. Isinya menyatakan bahwa pemberian tip dan menawar adalah berlawanan dengan kebiasaan di Melanesia, karena itu diharap untuk tidak dilakukan di Republik Vanuatu.” (Hal. 154)
Negara Nauru, (Dahulu) Negara Kaya
Dari Vanuatu, Dr. Tanzil melanjutkan perjalanan menuju Negara Nauru dan tinggal selama empat hari sebelum melanjutkan menuju Kota Honiara, Kepulauan Solomon. Negara Nauru merupakan negara terkecil di Pasifik Selatan dengan luasnya hanya 21 km2 dan merupakan negara karang terbesar di dunia. Selain itu, negara itu merupakan negara penghasil fosfat terbesar di dunia. Fosfat di Negara Nauru berasal dari kotoran burung laut prasejarah yang menumpuk selama berabad-abad. Bahan pupuk tersebut digali dan diekspor sebagai hasil utama negara tersebut. Setiap tahun diekspor 2 juta ton fosfat.
“Bangsa Nauru adalah campuran Polinesia dan Melanesia. Namun, termasuk Bangsa Mikronesia. Sebenarnya ada Bahasa Nauru, tetapi bahasa resmi yang dipakai adalah Bahasa Inggris yang diajarkan sejak sekolah dasar.” (Hal. 160)
Pada awalnya pertambangan ini dikelola oleh perusahaan Inggris, Australia, dan Selandia baru. Namun, setelah merdeka tahun 1968, Pemerintah Nauru mengambil alih pengelolaan tambang dan setiap warganya mendapatkan hasil keuntungan dari pertambangan ini. Menurut perhitungan ahli, fosfat di Nauru akan habis digali pada kisaran tahun 2000.
Saat ini, Nauru menjadi salah satu negara termiskin di dunia dan hidup dari bantuan Australia. Pejabat yang korup dan salah urus pertambangan membuat negara ini kehilangan kekayaan alamnya. Bank sentral bangkrut, beberapa aset milik negara, seperti properti, dan pesawat terbang milik negara dijual ke Australia. Area bekas tambang menjadi masalah lingkungan paling serius di negara ini. Bahkan Nauru pernah dinyatakan sebagai negara tempat pencucian uang.
“Banyak orang gemuk yang menderita diabetes. Karena penghasilan besar membuat orang malas, bekerja asal saja. Ini tampak nyata pada pegawai hotel, sopir, dan petugas pelabuhan udara. Tidak tampak senyum, justru semua kelihatan acuh tak acuh, malas berbicara.” (Hal. 160)
Kepulauan Solomon, Bagian dari Perang Dunia II
Setelah Negara Nauru, Dr. Tanzil dan istrinya melanjutkan perjalanan menuju Kota Honiara, di Kepulauan Solomon. Kota Honiara merupakan ibukota dari Negara Kepulauan Solomon yang terletak di Pulau Guadalcanal. Pulau terbesar yang ada di Kepulauan Solomon. Dr. Tanzil dan istrinya akan berada di kota ini selama lima hari sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kota Port Moresby, di Papua Nugini.
“Berada lima hari di sebuah kota kecil seperti Honiara ini, di sebuah negara yang jalan daratnya terbatas kami anggap terlalu menjemukkan. Setiap kali keluar yang tampak hanya itu-itu juga. Istri saya mengisi waktu dengan membaca buku masakan, dan membuat resep baru. Sedangkan saya membuat catatan perjalanan.” (Hal. 169)
Kepulauan Solomon pada masa Perang Dunia II pernah menjadi medan pertempuran antara pihak Jepang melawan pihak Amerika Serikat. Pulau Guadalcanal, Red Beach, Bloody Ridge, Henderson Field, dan Plum Pudding Island menjadi tempat perjuangan seorang letnan muda yang bernama John F. Kennedy, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat yang terbunuh dalam usia muda.
“Di beberapa daerah masih berlaku shell money, uang berupa kerang. Pajak penjualan tidak ada. Hanya sewa hotel dikenakan pajak 3%, tanpa service charge. Bahkan sebagai anjuran pertama yang tercetak di brosur untuk para turis adalah jangan memberi tip karena melanggar adat mereka. Hal. ini adalah sesuatu yang paling melegakan siapapun.” (Hal. 173)
Singgah di Kedubes RI untuk Papua Nugini
Dr, Tanzil dan istrinya tiba di Kota Port Moresby pada tanggal 30 September 1983. Kota ini merupakan ibukota dari negara Papua Nugini. Nama kota ini diambil dari nama seorang kapten Inggris yang bernama John Moresby yang memasuki kawasan ini pada tahun 1873.
“Tempat duduk kami tadi, sekarang diduduki oleh seorang lain. Walaupun sudah tercatat atas nama kami. Saya segera memberitahu pramugari. Namun, pramugari tidak bertindak sebagaimana mestinya, dan menunjukkan tempat duduk yang lain. Rupanya dia sukar atau enggan mengatur bangsanya sendiri. Kini pesawat penuh dengan muatan ke Port Moresby. (Hal. 183)
Di Port Moresby, Dr. Tanzil dan istrinya tinggal di Hotel islander selama satu hari dan guest house milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) selama empat hari sebelum melanjutkan perjalanan menuju Irian Jaya pada tanggal 5 Oktober 1983 menggunakan maskapai Air Niugini. Dr. Tanzil juga menyempatkan untuk berkunjung ke Wisma Indonesia dan bertemu dengan Bapak Imam Soepomo, Duta Besar Indonesia untuk Papua Nugini.
“Pergaulan kami dengan seluruh staff KBRI dalam suasana kekeluargaan. Tentu saja ini kami peroleh dari semua KBRI yang pernah kami kunjungi.” (Hal. 194)
Tiba di Irian Jaya
Irian Jaya menjadi tempat terakhir yang dikunjungi Dr. Tanzil dan istrinya sebelum kembali ke Jakarta. Irian Jaya menjadi provinsi ke-18 yang telah dikunjungi oleh keduanya. Penerbangan antara Jayapura dengan Port Moresby dikelola oleh oleh Air Niugini dengan jadwal penerbangan sekali dalam seminggu.
“Angan-angan saya untuk melihat bagian Indonesia yang paling jauh ini rupanya menjadi kenyataan. Yaitu setelah mencari kemungkinan melewati Jayapura pada perjalanan pulang dari petualangan kami dari negara-negara Pasifik Selatan.” (Hal. 197)
Di Irian Jaya Dr. Tanzil berkenalan dengan Suraji yang merupakan seorang sopir taksi yang mengantarkannya menuju Kota Jayapura. Suraji mengenal Dr. Tanzil melalui tulisan-tulisannya di majalah Intisari. Suraji juga mengantarkan Dr. Tanzil dan istri menuju pelabuhan udara Sentani ketikan akan kembali menuju Jakarta pada tanggal 6 Oktober 1983.
Penerbangan Irian Jaya-Jakarta akan menggunakan maskapai Garuda Indonesia denga transit sebanyak dua kali. Pertama di Pelabuhan Udara Mokmer, Biak, dan yang kedua di Ujung Pandang (Makassar). Dari Ujung Padang perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Udara Kemayoran, Jakarta.
“Setelah terbang selama dua jam, akhirnya tibalah kami di pelabuhan udara Kemayoran, Jakarta tepat pukul 18.30. Anak-anak sudah siap menunggu kami. Dan selesailah perjalanan kami ke luar negeri tahun 1983 ini.” (Hal. 202)
*****
Ketika membaca buku ini, aku seperti diajak untuk mengetahui bagaimana sebuah perjalanan direncanakan dan dilakukan pada masa lalu. Masa dimana belum sebelum berkembangnya media informasi dan adanya keterbukaan informasi seperti saat ini. Di era sekarang, merencanakan dan melakukan sebuah perjalanan bisa dibilang sangat mudah dibandingkan masa lalu.
Baca Juga: Soe Hok Gie…Sekali Lagi
Di masa sekarang, semua rencana perjalanan bisa dilakukan melalui gawai. Mulai dari membeli tiket pesawat atau kereta, mendapatkan informasi tentang negara atau kota yang akan dituju, hingga mencari teman perjalanan. Sedangkan di masa lalu, untuk membeli tiket pesawat biasanya melalui agen perjalanan atau kantor maskapai penerbangan. Informasi tentang negara atau kota yang akan dituju biasanya didapat dari majalah, buku, brosur-brosur, atau bertanya kepada warga lokal. Bahkan banyak wisatawan yang membeli peta untuk bisa mengetahui lokasi dan rute perjalanan yang akan dilakukannya.
Dr. Tanzil selalu mengunjungi pusat informasi wisatawan begitu tiba di negara tujuan. Dr. Tanzil akan mengambil brosur-brosur yang berisi berbagai informasi wisata, seperti akomodasi, transportasi, lokasi wisata, dan layanan nomor telepon penting. Dari brosur-brosur inilah, Dr. Tanzil akan membuat rencana perjalanan di negara atau kota tersebut. Selain itu, brosur-brosur ini menjadi sumber informasi untuk buku catatan perjalanan yang akan ditulis oleh beliau.
Di buku ini, Dr. Tanzil banyak bercerita tentang orang-orang yang ditemuinya selama perjalanan di negara-negara Pasifik Selatan. Seperti bertemu dengan Dr. Riwoe yang merupakan kawan lamanya yang dia temui di Kota Melbourne. Tony Williams yang seorang sopir taksi yang ditemuinya di Negara Tonga. Mr. Baker yang seorang pemilik penginapan di Kepulauan Cook yang begitu ramah dan baik kepadanya. Bapak Imam Soepomo yang merupakan seorang Duta Besar RI untuk Papua Nugini.
Di buku ini, Dr. Tanzil juga bercerita tentang serba-serbi negara yang dikunjungi. Isinya cukup lengkap. Seperti sejarah negara, kekayaan alam, jumlah penduduk, luas wilayah, letak geografis, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, penginapan dan hotel, alat transportasi, dan iklim. Bahkan Dr. Tanzil juga menuliskan harga bensin, nilai mata uang, airport tax, dan harga makanan.
*****
H.O.K. Tanzil lahir di Surabaya pada tahun 1923 merupakan seorang guru besar pada bagian mikrobiologi FKUI pada tahun 1967. Pada tahun 1975 Dr. Tanzil mengundurkan diri dari kegiatan pendidikan, pengajaran, dan penelitian karena masalah kesehatan. Masa pensiunnya diisi dengan berkeliling dunia bersama-sama istrinya mengunjungi 142 negara (Maret, 1985).
Belasan buku dan ratusan tulisan di majalah Intisari telah dihasilkan Dr. Tanzil dari perjalanannya ke berbagai negara. Semua pendapatan dari buku dan tulisannya didonasikan untuk kegiatan sosial dan amal. Dalam buku Catatan Perjalanan Tahun 1982 ke Eropa, Tibet, dan Timur Tengah. Dalam perjalanan itu, Dr. Tanzil hampir meninggal di Lhasa, Tibet karena miskinnya asam di udara. Dari peristiwa itulah Dr. Tanzil akan terus menulis pengalaman-pengalamannya mengunjungi berbagai negara. Tujuannya agar para calon pelancong ke negara itu mempertimbangkan matang-matang niatnya.
Catatan Perjalanan 1983 Negara-Negara Pasifik Selatan
Penulis: Prof. DR. H.O.K. Tanzil
Penerbit: Alumni – Bandung
Tahun: 1985
10 comments
Bulan lalu aku ada rapat daring dengan kedubes-kedubes dari negara Vanuatu dan lainnya di sana, ternyata dengar cerita mereka asyik-asyik, pengalamannya banyak dan menurutku unik hahahahha
Waah asyik mas sitam kalau bisa interaksi dengan orang dari negara di pasifik selatan. Negara-negara ini emang jalan diekspos. Jadi segala crita dari sana berasa crita baru dan unik untuk didengarkan.
Perjalanan Dr. Tanzil keliling dunia ini berarti pakai paspor biasa ya bukan paspor dinas karena sudah pensiun? Keren! Catatan perjalanannya juga kayaknya isinya ilmu semua. Bahasanya pun kelihatannya baku khas tahun segitu ya. Langsung cetek rasanya aku soalnya pingin ke negara-negara Pasifik Selatan kayak Tonga, Micronesia, Kepulauan Cook, dan Fiji hanya karena pernah nonton keindahan pantainya lewat acara-acara variety dan reality show Korea. xD Tanpa mikirin yang Dr. Tanzil tulis hahahaha.
Btw, buku-buku yang ada di foto itu semua koleksinya mas Vay? Bisa nggak direview semua? Wkwkwkwkw ngelunjak. xD
Dr. Tanzil pakai paspor biasa. Bukan paspor dinas atau diplomat yang punya kekuatan beda.
Pertama kali baca emang aneh dengan bahasa tahun 1980an. Kaku banget, tidak ada kiasan-kiasan kata yang dipakai penulis sekarang. Tapi alhirnya terbiasa dengan bahasa tersebut. Penyampaiannya sangat lugas dan detail..hehehehee
Itu buku punya temanku. Aku bantuin baca aja..hahahaa
Yaa nanti pelan-pelan. Sekalian nunggu bulan depan temanya apa..wkwkk
Ya ampuuuuun bisa dapat di mana iy buku2nya maaaaas .
Aku pengen baca, dan negara2 Pasific ini udah lama masuk dalam bucket listku. Tapi jujur blm Nemu cara termurah untuk bisa kesana.
Apalagi mengingat jatah cuti terbatas, agak susah utk planning ke negara2 Pasific.
Aku penasaran cara beliau traveling di zaman internet blm ada kayak skr. Pasti 2x lebih ribet. Belum lagi ada biaya fiskal dulu itu. Kondisinya pasti udah beda Ama skr, tapi ttp bikin aku penasaran . Pengen bgt bisa menuliskan detil begitu tiap kali aku traveling.
Cuma setelah rutin jalan2, aku memang agak males kalo nulis soal biaya. Krn buatku pasti beda antara 1 orang dengan lainnya. Apalagi kalo style travelingnya bertolak belakang. Salut Ama penulis perjalanan yg bisa bener2 detail gitu
Temanku dapat bukunya di tokped mbak fanny.
Ke negara pasifik emang terkenal dengan biaya yang lebih mahal.
Selama perjalanan, Dr. Tanzil sering memanfaatkan brosur dan informasi warga untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Yaa pasti ribet, apalagi di masa sekarang kota terbiasa melakukan perjalanan dengan sangat mudah.
Dr. Tanzil selalu membawa buku catatan untuk menulis segala hal yang menurutnya menarik. Bahkan nama orang-orang yang ditemui dalam perjalanannya.
Saluuuut. Coba yaaa ntr pas ke Iran, aku mau deh tulis dari awal Ampe pulang sedetil2 nya. Mau liat dulu, bisa atau ga .
Dulu pas ke Jepang trakhir aku coba tuh nulis dari awal berangkat. Tapi mulai masuk hari ketiga, udah bhaaay lupa .. biaya2 kayak makan sih masih bisa inget utk dicatat. Tapi biaya ga terduga kayak tiket atau apalah, malah lupa
Semoga perjalanan di Iran menyenangkan mbak fanny. Ditunggu ceritanya 😀
Mungkin terlalu lelah akhirnya lupa untuk mencatat. Kalau aku sesekali mencatat. Lebih mengandalkan ingatan. Tapi selalu ada coretan dalam perjalanan tersebut. 😀
ceritanya berseri ya mas vay?
pelajaran geografiku ternyata ga bagus, aku ga tau ada nama negara vanuatu. Dulu bikin paspor cuman 50ribu, murah banget ya mungkin tahun segitu.
nggak salah pak tanzil mendokumentasikan perjalanannya dalam bentuk tulisan kayak gini
Buku yang dibuat Dr. Tanzil berupa semua perjalanan yang dilakukan dalam satu tahun tersebut. Jadi bisa disebut berseri di setiap tahunnya.
DR> Tanzil emang terkenal dnegan catatan perjalanannya. Banyak hal yang berhasil didokumentasikan, dan kemudian diceritakan ulang.