Selepas istirahat, aku dan rekanku, Rizky bergegas menuju sebuah dermaga. Dermaga rakyat ini menjadi tempat janjian kami dengan perangkat desa Desa Mawan. Desa Mawan menjadi desa pertama yang aku datangi setelah berada di Selimbau selama satu minggu.“Sudah siap semua, mas?”
“Kalau sudah siap, ayo kita berangkat!!”, ujar Pak Jeni, Kepala Desa dari Desa Mawan.
Setelah memastikan semua peralatan masuk dalam speedboat, kami meluncur menuju Desa Mawan.
Perjalanan menuju Desa Mawan akan memakan waktu sekitar 45 menit. Speed boat dan perahu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju Desa Mawan. Tidak ada jalur darat. Semuanya melalui sungai. Setelah melewati Sungai Terus, tempat dermaga berada, kami menyusuri Sungai Kapuas. Di sepanjang sungai terlihat perahu nelayan yang sedang menangkap ikan. Perahu-perahu pembawa penumpang juga terlihat melintas sungai ini.
Setelah melintasi Sungai Kapuas, speedboat mulai masuk ke Nanga Danau Mawan. Nanga merupakan pertemuan dua aliran sungai yang digunakan sebagai akses masuk keluar. Nanga ini akan membawa kami menuju Danau Mawan. Barisan rumah panggung mulai terlihat ketika kami memasuki area Danau Mawan.
“Kita sudah sampai di Desa Mawan, mas.” Kata Pak Jeni sambil mengurangi kecepatan speedboat.
Dengan beberapa kali dayung, speedboat bersandar di dermaga kecil yang terletak di seberang rumah Pak Jeni. Semua peralatan yang kami bawa telah selesai diturunkan.
Baca Dulu: Menepi di Selimbau
“Selama di sini, Mas Rivai dan Mas Rizky bisa tidur di rumah saya.”
“Anggap saja kayak di rumah sendiri.” Ujar Pak Jeni sembari mengajak kami masuk ke rumahnya.
Pak Jeni bercerita bahwa Desa Mawan dahulunya merupakan hasil pemekaran dari Desa Nibung. Pak Jeni sudah menjabat selama dua periode dan sekarang memasuki periode ketiganya. Seperti rumah di Selimbau dan pesisir lainnya, rumah-rumah di Desa Mawan berbentuk rumah panggung dengan pondasi berupa kayu. Begitu juga dengan jalan desa yang berupa jembatan kayu yang mengelilingi area pemukiman warga.
Desa Mawan bebas dari kendaraan bermotor. Tidak ada jalur listrik milik negara yang masuk ke desa ini. Listrik desa masih mengandalkan mesin diesel milik desa. Listrik hanya menyala mulai pukul 18:00 hingga 22:00. Beberapa rumah memasang panel surya sebagai sumber listrik mereka.
Mayoritas warga Desa Mawan bekerja sebagai nelayan. Baik itu sebagai nelayan tangkap, maupun budidaya. Ikan patin dan ikan toman merupakan ikan yang dibudidayakan di desa ini. Selain itu, beberapa warga memiliki kolam yang berisi ikan arwana. Di pinggiran desa, terdapat sekelompok warga yang sedang membuat perahu kayu. Panjangnya sekitar 8-9 meter.
Warga Desa Mawan
Sehari berada di sini aku mulai berkenalan dengan para perangkat desa yang akan membantuku selama berada di sini. Salah satunya adalah Pak Sulardi atau biasa disapa dengan nama Pak Sul. Beliau merupakan Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Mawan.
“Warga Desa Mawan mayoritas merupakan keturunan suku melayu dan seorang muslim.” Ujar Pak Sul.
“Rata-rata warga di sini dulunya berasal nelayan-nelayan yang berasal dari desa-desa di sekitar Danau Mawan.” Hasil ikan yang berlimpah membuat para nelayan ini mendirikan hunian sementara di sekitar danau. Para nelayan ini berpikiran daripada bolak-balik, lebih hemat jika tinggal di sekitar danau.
Seiring berjalannya waktu, para nelayan ini akhirnya memilih menetap di sekitar danau. Mendirikan rumah permanen dan hidup secara berkelompok. Menurut Pak Sul, awalnya Danau Mawan merupakan bagian dari aliran Sungai Kapuas. Namun, aliran ini dibendung oleh nelayan dan aliran Sungai Kapuas berubah melewati aliran lain. Aliran yang dibendung ini akhirnya menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Mawan.
Sambil beristirahat di rumah Pak Sul, aku terus mendengarkan cerita beliau tentang orang-orang di Desa Mawan. “Keluarga kami termasuk keluarga pendatang mas. Tepatnya dari sebuah desa di NTT.” Ujar Pak Sul. Sekitar tahun 1977, Pak Yakob, bapak dari Pak Sul, yang berprofesi sebagai seorang guru mendapatkan tugas untuk mengajar di Desa Mawan. Selain menjadi guru, Pak Yakob juga menjadi kepala sekolah SD di Desa Mawan. Pak Yakob terus mengabdi untuk pendidikan anak-anak di desa ini. Pak Yakob yang datang sebagai seorang Nasrani akhirnya memilih untuk jadi mualaf dan menikahi seorang perempuan dari desa ini.
Baca Juga: Jalan Panjang Menuju Selimbau
Pengiriman seorang guru ke pelosok negeri ternyata sudah berlangsung lama. Pak Yakob, dkk menjadi kelompok pertama pertama yang dikirim ke daerah Selimbau dan sekitarnya. Akses jalan masih belum ada. Menerabas hutan menjadi pilihan utama bagi warga yang ingin berpergian. Penggunaan perahu tanpa mesin menjadi moda transportasi untuk menyusuri sungai.
Orang Melayu yang identik dengan kulit kuning tidak terlihat dalam diri Pak Sul. Pak Sul yang memiliki kulit lebih gelap dan badan yang besar yang menjadi ciri khas orang-orang timur. Terlihat berbeda dengan orang-orang Melayu. Penampilan Pak Sul merupakan turunan dari Pak Yakob yang asli orang timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Sawah yang kita temui tadi, dahulunya dibuat oleh orang Jawa, mas.” Kata Pak Sul
Mereka didatangkan dari Jawa untuk membantu kami dalam pembuatan sawah. Mulai dari tanah garapan, irigasi, hingga galangan sawah yang menjadi pembatas antar petak sawah. Sekarang sawah-sawah ini merupakan tanah milik desa dan warga diberi hak untuk mengelolanya.
Aku mulai tenggelam dalam cerita Pak Sul dan warga lainnya. Warga desa berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu Hulu. Tidak jauh berbeda dengan bahasa melayu. Namun, aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Aku sangat menikmati pembicaraan mereka. Nada bicara yang meninggi merupakan hal yang biasa di sini. Beberapa kali Pak Sul menjelaskan tentang maksud pembicaraan mereka. Aku pun juga diajari beberapa kata bahasa mereka. Antara lain seperti kata auk yang berarti iya, nuan yang berarti kamu, dan magang yang berarti saja.
Cerita Dari Kapuas
Desa Mawan, 24 Desember 2020
102 comments
Beruntungnya, mereka punya inisiatif yang bagus karena sudah ada yang punya panel surya dan juga ini udah termasuk green thinker..
Jadi tiba-tiba kepikir, tetangga gw di Jakarta udah ada yg pakai belum ya?
Kalo gw belom, karena masih mahal harganya..hehe..
Btw, nice post!
panel surya ini memang berfungsi untuk menggantikan sumber listrik yang terbatas yang ada di desa mawan. Listrik hanya nyala dalam waktu 4 jam.
Biaya instalasinya memang tidak murah
Sebelum membaca ‘ Orang-orang Mawan’ saya sempatkan dulu baca ulang ‘Jalan Panjang Menuju Selimbau’ dan ‘Menepi di Selimbau’, Mengapa? Karena saya berharap menemukan kaitan menarik diantara tulisan2 tersebut. Kali ini tentang interaksi Mas Rivai dengan orang-orang Mawan ya.. Sejarah, paduan culture dan kesaharian mereka yang menarik. Masih ada kelanjutannya kan mas ‘Cerita Kapuas’ nya?
Iyaa, cerita itu saling berkaitan kok. Sengaja ditulis berurutan agar nyambung. Masih banyak cerita dari kapuas yang akan ditulis kak 😀
Panjang Sekali Perjalananmu Mas Broo, lalu bagaimana dengan akses pendidikan disana, apakah untuk SMP Hingga SMA cukup mudah dijangkau atau harus keluar kota ?
Di sana sudah ada SMP. Nah untuk SMa busa sekolah di dekat kecamatan, yaitu kecamatan selimbau. Biasanya mereka nanti akan disediakan asrama untuk tinggal selama bersekolah. Jadi mereka tidak perlu bolak-balik ke rumah.
Kak Rivai,, lama banget nggak kesini tiba-tiba udah banyak banget yang ketinggalan. Jadi Kak Rivai lagi ada projek kah atau sekadar liburan sampai bisa ke sana? Atau, ceritanya di mulai dari tulisan mana ya Kak Rivai?? Aku mau baca soalnya.. Hahaha asli, aku ketinggalan jauh…
Hai syifa..lama ga bersua di blog. Aku juga lagi jarang bw..hiiks
Ada kerjaan yang membawaku sampai ke sini..hehhee
Kamu bisa mulai baca dari perjalanan semarang-pontianak. Entah bakal sampai berapa artikel, doakan aja ada niat untuk menyelesaikannya. 😀
Selalu suka dengan aktivitas masyarakat, terlebih saat bikin perahu. Kalau aku, bisa lama-lama di sana ambil berbincang pas bikin perahu hehehehhe
Bener banget mas. Ngobrol tentang segala aktivitas warga lokal itu seru dan menyenangkan mas. Sampai lupa waktu kalau udah ngobrol-ngobrol gini.
Itu sering terjadi mas. Misalkan gak pandemi malah bisa join kopi atau teh sambil duduk santai hehehheh
Di sana pandemi tetap biasa saja. Jadi ngobrol lama sambil ngopi tetap bisa dilakukan mas 😀
Liat rumah panggung kayak di panipahan ya.
Cerita menarik yh dituturkan lamgsung oleh akamsi. Ditunggu kelanjutannya.
mungkin ciri khas rumah di pesisir sungai memang seperti ini. Rumah-rumah di pesisir sungai kapuas hampir semuanya merupakan rumah panggung.
Kok bisa kebanyakan orang Melayu ya Mas Vay? Bukannya harusnya banyakan Dayak?
Mungkin karena sudah dekat Malaysia?
Di kalimantan barat, mayoritas daerah pesisir sungai banyak ditinggali oleh warga suku melayu. Sedangkan suku dayak banyak tinggal di daerah perbukitan atau hutan.
Makanya orang melayu memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan orang dayak sebagai seorang pekebun atau bertani.
Mau ikan tinggal ambil di sungai atau danau di sini jadinya ya…mau bikin kapal tinggal ambil kayu dari hutan…meski dalam kesederhanaan tp kalau gini rasanya kayak bersyukur banget gak sih semua disediain dari alam…ya semoga selalu dijaga kelestariannya…
Tergantung musim juga untuk menangkap ikan. Kalau sedang pasang, ikan susah untuk ditangkap. Kalau sedang surut, ikan akan lebih mudah ditangkap
Mau ikan tinggal ambil dari danau, mau kayu tinggal ambi dari hutan. Mungkin jauh dari kata mewah, tapi dari kesederhaan ini lebih tinggi rasa syukur karena semua sudah disediakan alam. Semoga selalu terjaga kelestariannya.
Tergantung musim juga untuk menangkap ikan. Kalau sedang pasang, ikan susah untuk ditangkap. Kalau sedang surut, ikan akan lebih mudah ditangkap
Listrik belum masuk, kalau sinyal bagaimana mas?
Masih banyak ya daerah di negara kita yang bekum tersentuh aliran listrik. Padahal kalau di kota listrik itu segalanya. Mati lampu sebentar aja pada ngeluh ini itu. Tapi mereka keren banget, nggak ngeluh, malah ada inisiatif pasang panel surya.
Kebersamaannya dan gotong rotongnya juga terasa sekali ketika mereka bikin kapal bareng. Suasananya hangat ya 🙂
Belum, listrik masih pakai mesin diesel.
Sedangkan untuk sinyal masih susah. Kalau mau sedikit lebih bagus bisa pakai penguat sinyal (mobile wifi) yamg digantung di tiang belasan meter. Hidup bberapa hari di sini akhirnya terbiasa tanpa listrik dan sinyal yang susah
Warga di sini terkenal kompak dan solid.
Gokil ini keren banget sih tulisannya. Pengen banget aku tuh bisa mengunjungi tempat-tempat kaya gini, terus bisa ngobrol sama warga lokal di sana.
Semoga ada kesempatan untuk berkunjung dan berinteraksi dengan warga lokal yang di kunjungi.
Kebayang ademnya tinggal di sana ya mas, soalnya belum ada listrik jadi emak-emaknya nggak kebanyakan drama gara-gara nonton sinetron hehe
Aku kebayang selama covid mereka belajarnya gimana tanpa listri di siang hari gitu, apa masih pada sekolah seperti biasa kah? seru ya mas kalau melakukan perjalanan terus punya waktu buat ngobrol sama warga sekitar, jadi nambah wawasan
Ya paling kalau malam pas listrik nyala, mereka juga nonton sinetron.
Aku lupa, tapi saat itu mereka sedang libur natal dan tahun baru. Jadi tidak ada aktivitas sekolah. Di daerah seperti ini, penyebaran covid sangat minim. Jauh dari keramaian dan tidak banyak warga yang keluar masuk desa.
Aktivitas warga juga berjalan seperti biasanya. Tidak ada masker atau pun jaga jarak.
Keren banget perjalanannya Mas Rivai… Saya salut. Pemikiran mereka sudah maju ya dengan adanya panel surya. Mantap! Thanks for sharing.
Makasih mas.
Mungkin itu karena kebutuhan mereka akan pasokan listrik. Akhirnya mereka mengeluarkan uang lebih untuk menggunakan panel surya.
Mas, punten, itu MCK di masing-masing rumah atau gimana, kan dikelilingi air tuh di foto rumahnya, di atas atau di pinggir sungai itu ya
Btw, damai banget sih tinggal di sini, listrik beberapa jam saja kebayang masih sederhananya.
Oia, berarti ga ada sinyal provider sama sekali atau gimana di sini?
Untuk mck aman kak. Rata-rata mereka memiliki kamar mandi dan wc. Walaupun kadang aktivitas mandi, cuci masih sering dilakukan di tepi danau.
Untuk sinyal lumayan sulit. Kalau mau sinyal bagus bisa memakai mobile wifi yang ditaruh di atas tiang belasan meter untuk mencari sinyal.
Hidup di sini jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kehidupan kota 😀
beruntung banget kak bisa ketemu orang lokal yang ramah dan cerita tentang sejarah daerahnya. Lihat fotonya adem banget jauh sama Jakarta yang dimana2 panas. Nice trip kak
Beruntung sekali kak bisa berinteraksi dengan warga lokal dan kebiasaan warga.
Wah, banyak pertanyaan yang ada dalam kepalaku.
1. Di sana panas tidak? Kalo panas pakai kipas atau gimana? Ada rumah yg ada ACnya nggak? (Mohon jangan ditabok nanya kayak gini). Hahahaha!
2 . Anak-anak di sana punya gadget tidak? Kalo tidak ada gadget biasanya mereka ngapain aja?
3. Kamu berapa hari di sana? Betah nggak? Kalo aku sih jujur, hari pertama aku pasti nangis.
4. Nanti aku japri aja nanyanya. Hahahaha!
Okee..aku jawab satu-satu…hahhaa
1. Panas lah, apalagi di tepi sungai. Gada yang pakai ac. Adanya kipas angin.
2.gadget ada, tapi mereka tidak bergantung dengan gadget. Mereka terbiasa main bersama.
3. Di sana cma sekitar 5 hari. Tentu saja betah. Yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan di sana..hahahhaa
Mas, btw disana mereka berarti komunikasinya pakai bahasa indonesia apa melayu mas?
Selalu suka sama tulisan yang mencweitakan tentang keberagaman Indonesia
Komunikasi pakai bahasa indonesia. Walaupun kadang campur pakai bahasa melayu.
Ceritanya masih akan berlanjut. Tunggu saja kelanjutannya 😀
Selalu menarik ya mendengar cerita-cerita warga dengan bahasa daerah dan logat khasnya. Meskipun nggak ngerti, suka aja liat mereka berbicara dan berekspresi. Kalau lagi kunjungan ke daerah lain, aku juga suka mendengarkan warga. Nanti biasanya ada yang bantu menerjemahkan, walaupun cuma sepotong-potong.
Bener sekali kak, selalu menarik bisa berinteraksi dan belajar kearifan warga lokal. Termasuk bahasa dan aktivitas sehari-hari.
Salah satu yang membuat betah jika berkunjung ke daerah baru adalah keramahan penduduk lokal dan mereka dengan senang hati untuk bercerita. Apalagi kepada orang baru yang ingin tahu. Keren pengalamannya ke desa yang listriknya dari mesin diesel.
Setuju mas talif, berasa dapat pengalaman lebih tentang kebiasaan warga lokal.
Disana orang tabah ya listrik hanya nyala jam 18 sampai jam 22. Di jakarta mati listrik sebentar saja udah mati gaya. Haha.
Dari cerita mas vay ikut merasakan kesederhanaan masyarakat di desa mawan. Kayak semuanya simple tapi banyak syukur jadi bahagia.
Iyalah, mereka tetap tabah meskipun listrik hanya nyala 4 jam dan belum ada jaringan listrik negara.
Jakarta mati listrik bentar, ramainya sampai seluruh indonesia…wkwkkwk
Paling suka kalo baca review travelling terus bisa berkomunikasi dgn penduduk lokal, jadi sekalian bisa belajar bahasa nya mereka.. Kalau yang gak tahu ciri khas bahasa mereka yang meninggi nadanya, mungkin di sangka sewot ya
Emang selalu menyenangkan kalau ketika traveling bisa interaksi dan mengenal kebiasaan warga lokal. Termasuk aktivitas dan bahasa mereka 😀
baca tulisannya, lihat perkampungannya…dejavu….jadi falshback waktu masih tinggal di pondsite di lampung ujung langit sanah hahaha. transportasi pakai perahu klotok, sebagian besar penduduk adalah para transmigran, seru…jadi banyak saudara
sehat sehat ya disana beb, selamat bertualang!
Jadi ingat tentang masa yang pernah dilewati..hahahaha
Bagi warga yang tinggal di pesisir sungai. Perahu klotok jadi moda transportasi utama.
Wuih Masvay kerjanya apaan nih, bisa seminggu di sana dan menjelajah ke desa di sungai kapuas.
Kerjaan di konsultan mas. Biasa tugas ke lapangan 😀
Ini area pinggir danau yah? Luas banget yah danaunya, sampai butuh 45 menit untuk menyebrang? Btw, ikan arwananya dibudidayakan nantinya dijual kemana mas? Eh iya yang lebih penting, penasaran euy mas Rivai kesini untuk ngelakuin apa yah? Seneng deh liat daerah yang mungkin ga akan masuk wishlist trip, soalnya baru tau dari tulisan ini. hehehe
Bukan danaunya sih, akses kesana yang lumayan jauh dan melewati beberapa sungai.
Dijual lagi, bisa dalam bentuk anakan, indukan. Harganya tergantung ukuran panjang badan, jenis, dan keunikannya. Bisa sampai belasan juta.
Tugas lapangan dari kantor. Jadi yaa berangkat aja. Kerja sekaligus dapat pengalaman baru 😀
aku tuh baca cerita masyarakat desa mawan, transportasi perahu di sungai kapuas tuh auto flash back iklan jaman dulu pas kecil, RCTI oke, epic banget lah inget nuansa nya sampe sekarang
Padahal yang di iklan rcti lokasinya bukan di sungai kapuas 😀
aku tuh baca cerita kamu tentang masyarakat desa mawan sama transportasi perahu di sungai kapuas tuh auto flash back iklan jaman dulu tau mas, iklan RCTI oke haha
Padahal yang di iklan rcti lokasinya bukan di sungai kapuas 😀
Ya Alloh, listrik hanya menyala dari pukul 18:00 – 20:00. Clara bertanya-tanya gimana anak-anak belajar. Terus saat pandemi ini bagaimana belajarnya.
Pandemi di sini lebih aman karena jauh daerah ibukota kecamatan. Ketika itu anak sekolah sedang libur akhir tahun. Jadi ga bisa lihat kegiatan belajar mengajarnya
Aku membaca ceritanya dan melihat fotonya langsung kebayang sama Asmat loh mas. Tapi Asmat berada di atas rawa sih rumah-rumah masyarakatnya.
Ah pasti seru banget ya mas perjalanannya, aku selalu suka pergi ke tempat baru yang jarang diketahui hehe
Kalau kata temanku yang pernah ke asmat, jalanan kayunya berupa besi. Jadi di sana jalanan lebih kuat.
Beruntung sekali sih dapat kesempatan seperti ini. 😀
Baca tulisan mas Rivai jadi inget sama Agustinus Wibowo. selalu ada cerita menarik soal penduduk setempat. Jadi termotivasi kalo nanti jalan2 lagi mau juga cari tahu cerita2 dr penduduk lokal daerah itu, biar makin berisi tulisannya kayak punya mas Rivai hehe
Makasih telah singgah dan membaca tulisan ini mbak eka. Berinteraksi dengan warga lokal memang menambah cerita kita semakin unik mbak 😀
Menarik sekali adventurenya mas hehe
Di sana lebih dekat sama Malaysia kah? Pernah dengar kalau orang Indonesia lebih tertarik berkunjung ke Malaysia untuk beli kebutuhan pokok dsb. Dan akses, jauh fasilitas lebih bagus. Betul kah?