Orang-Orang Desa Mawan

Selepas istirahat, aku dan rekanku, Rizky bergegas menuju sebuah dermaga. Dermaga rakyat ini menjadi tempat janjian kami dengan perangkat desa Desa Mawan. Desa Mawan menjadi desa pertama yang aku datangi setelah berada di Selimbau selama satu minggu.“Sudah siap semua, mas?”
“Kalau sudah siap, ayo kita berangkat!!”, ujar Pak Jeni, Kepala Desa dari Desa Mawan.
Setelah memastikan semua peralatan masuk dalam speedboat, kami meluncur menuju Desa Mawan.

Perjalanan menuju Desa Mawan akan memakan waktu sekitar 45 menit. Speed boat dan perahu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju Desa Mawan. Tidak ada jalur darat. Semuanya melalui sungai. Setelah melewati Sungai Terus, tempat dermaga berada, kami menyusuri Sungai Kapuas. Di sepanjang sungai terlihat perahu nelayan yang sedang menangkap ikan. Perahu-perahu pembawa penumpang juga terlihat melintas sungai ini.

Setelah melintasi Sungai Kapuas, speedboat mulai masuk ke Nanga Danau Mawan. Nanga merupakan pertemuan dua aliran sungai yang digunakan sebagai akses masuk keluar. Nanga ini akan membawa kami menuju Danau Mawan. Barisan rumah panggung mulai terlihat ketika kami memasuki area Danau Mawan.
“Kita sudah sampai di Desa Mawan, mas.” Kata Pak Jeni sambil mengurangi kecepatan speedboat.
Dengan beberapa kali dayung, speedboat bersandar di dermaga kecil yang terletak di seberang rumah Pak Jeni. Semua peralatan yang kami bawa telah selesai diturunkan.
Baca Dulu: Menepi di Selimbau

“Selama di sini, Mas Rivai dan Mas Rizky bisa tidur di rumah saya.”
“Anggap saja kayak di rumah sendiri.” Ujar Pak Jeni sembari mengajak kami masuk ke rumahnya.
Pak Jeni bercerita bahwa Desa Mawan dahulunya merupakan hasil pemekaran dari Desa Nibung. Pak Jeni sudah menjabat selama dua periode dan sekarang memasuki periode ketiganya. Seperti rumah di Selimbau dan pesisir lainnya, rumah-rumah di Desa Mawan berbentuk rumah panggung dengan pondasi berupa kayu. Begitu juga dengan jalan desa yang berupa jembatan kayu yang mengelilingi area pemukiman warga.

Wilayah desa

Desa Mawan bebas dari kendaraan bermotor. Tidak ada jalur listrik milik negara yang masuk ke desa ini. Listrik desa masih mengandalkan mesin diesel milik desa. Listrik hanya menyala mulai pukul 18:00 hingga 22:00. Beberapa rumah memasang panel surya sebagai sumber listrik mereka.

Mayoritas warga Desa Mawan bekerja sebagai nelayan. Baik itu sebagai nelayan tangkap, maupun budidaya. Ikan patin dan ikan toman merupakan ikan yang dibudidayakan di desa ini. Selain itu, beberapa warga memiliki kolam yang berisi ikan arwana. Di pinggiran desa, terdapat sekelompok warga yang sedang membuat perahu kayu. Panjangnya sekitar 8-9 meter.

Warga desa yang sedang membuat perahu

Warga Desa Mawan
Sehari berada di sini aku mulai berkenalan dengan para perangkat desa yang akan membantuku selama berada di sini. Salah satunya adalah Pak Sulardi atau biasa disapa dengan nama Pak Sul. Beliau merupakan Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Mawan.

“Warga Desa Mawan mayoritas merupakan keturunan suku melayu dan seorang muslim.” Ujar Pak Sul.
“Rata-rata warga di sini dulunya berasal nelayan-nelayan yang berasal dari desa-desa di sekitar Danau Mawan.” Hasil ikan yang berlimpah membuat para nelayan ini mendirikan hunian sementara di sekitar danau. Para nelayan ini berpikiran daripada bolak-balik, lebih hemat jika tinggal di sekitar danau.

Seiring berjalannya waktu, para nelayan ini akhirnya memilih menetap di sekitar danau. Mendirikan rumah permanen dan hidup secara berkelompok. Menurut Pak Sul, awalnya Danau Mawan merupakan bagian dari aliran Sungai Kapuas. Namun, aliran ini dibendung oleh nelayan dan aliran Sungai Kapuas berubah melewati aliran lain. Aliran yang dibendung ini akhirnya menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Mawan.

Sambil beristirahat di rumah Pak Sul, aku terus mendengarkan cerita beliau tentang orang-orang di Desa Mawan. “Keluarga kami termasuk keluarga pendatang mas. Tepatnya dari sebuah desa di NTT.” Ujar Pak Sul. Sekitar tahun 1977, Pak Yakob, bapak dari Pak Sul, yang berprofesi sebagai seorang guru mendapatkan tugas untuk mengajar di Desa Mawan. Selain menjadi guru, Pak Yakob juga menjadi kepala sekolah SD di Desa Mawan. Pak Yakob terus mengabdi untuk pendidikan anak-anak di desa ini. Pak Yakob yang datang sebagai seorang Nasrani akhirnya memilih untuk jadi mualaf dan menikahi seorang perempuan dari desa ini.
Baca Juga: Jalan Panjang Menuju Selimbau

Pengiriman seorang guru ke pelosok negeri ternyata sudah berlangsung lama. Pak Yakob, dkk menjadi kelompok pertama pertama yang dikirim ke daerah Selimbau dan sekitarnya. Akses jalan masih belum ada. Menerabas hutan menjadi pilihan utama bagi warga yang ingin berpergian. Penggunaan perahu tanpa mesin menjadi moda transportasi untuk menyusuri sungai.

Jalanan kayu di desa

Orang Melayu yang identik dengan kulit kuning tidak terlihat dalam diri Pak Sul. Pak Sul yang memiliki kulit lebih gelap dan badan yang besar yang menjadi ciri khas orang-orang timur. Terlihat berbeda dengan orang-orang Melayu. Penampilan Pak Sul merupakan turunan dari Pak Yakob yang asli orang timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sawah yang kita temui tadi, dahulunya dibuat oleh orang Jawa, mas.” Kata Pak Sul
Mereka didatangkan dari Jawa untuk membantu kami dalam pembuatan sawah. Mulai dari tanah garapan, irigasi, hingga galangan sawah yang menjadi pembatas antar petak sawah. Sekarang sawah-sawah ini merupakan tanah milik desa dan warga diberi hak untuk mengelolanya.

Warga Desa Mawan
Perahu dan warga desa

Aku mulai tenggelam dalam cerita Pak Sul dan warga lainnya. Warga desa berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu Hulu. Tidak jauh berbeda dengan bahasa melayu. Namun, aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Aku sangat menikmati pembicaraan mereka. Nada bicara yang meninggi merupakan hal yang biasa di sini. Beberapa kali Pak Sul menjelaskan tentang maksud pembicaraan mereka. Aku pun juga diajari beberapa kata bahasa mereka. Antara lain seperti kata auk yang berarti iya, nuan yang berarti kamu, dan magang yang berarti saja.

Cerita Dari Kapuas
Desa Mawan, 24 Desember 2020

102 Comments

Add Yours →

Beruntungnya, mereka punya inisiatif yang bagus karena sudah ada yang punya panel surya dan juga ini udah termasuk green thinker..
Jadi tiba-tiba kepikir, tetangga gw di Jakarta udah ada yg pakai belum ya?
Kalo gw belom, karena masih mahal harganya..hehe..

Btw, nice post!

panel surya ini memang berfungsi untuk menggantikan sumber listrik yang terbatas yang ada di desa mawan. Listrik hanya nyala dalam waktu 4 jam.
Biaya instalasinya memang tidak murah

Sebelum membaca ‘ Orang-orang Mawan’ saya sempatkan dulu baca ulang ‘Jalan Panjang Menuju Selimbau’ dan ‘Menepi di Selimbau’, Mengapa? Karena saya berharap menemukan kaitan menarik diantara tulisan2 tersebut. Kali ini tentang interaksi Mas Rivai dengan orang-orang Mawan ya.. Sejarah, paduan culture dan kesaharian mereka yang menarik. Masih ada kelanjutannya kan mas ‘Cerita Kapuas’ nya?

Panjang Sekali Perjalananmu Mas Broo, lalu bagaimana dengan akses pendidikan disana, apakah untuk SMP Hingga SMA cukup mudah dijangkau atau harus keluar kota ?

Di sana sudah ada SMP. Nah untuk SMa busa sekolah di dekat kecamatan, yaitu kecamatan selimbau. Biasanya mereka nanti akan disediakan asrama untuk tinggal selama bersekolah. Jadi mereka tidak perlu bolak-balik ke rumah.

Kak Rivai,, lama banget nggak kesini tiba-tiba udah banyak banget yang ketinggalan. Jadi Kak Rivai lagi ada projek kah atau sekadar liburan sampai bisa ke sana? Atau, ceritanya di mulai dari tulisan mana ya Kak Rivai?? Aku mau baca soalnya.. Hahaha asli, aku ketinggalan jauh…

Hai syifa..lama ga bersua di blog. Aku juga lagi jarang bw..hiiks

Ada kerjaan yang membawaku sampai ke sini..hehhee
Kamu bisa mulai baca dari perjalanan semarang-pontianak. Entah bakal sampai berapa artikel, doakan aja ada niat untuk menyelesaikannya. 😀

Di kalimantan barat, mayoritas daerah pesisir sungai banyak ditinggali oleh warga suku melayu. Sedangkan suku dayak banyak tinggal di daerah perbukitan atau hutan.

Makanya orang melayu memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan orang dayak sebagai seorang pekebun atau bertani.

Mau ikan tinggal ambil di sungai atau danau di sini jadinya ya…mau bikin kapal tinggal ambil kayu dari hutan…meski dalam kesederhanaan tp kalau gini rasanya kayak bersyukur banget gak sih semua disediain dari alam…ya semoga selalu dijaga kelestariannya…

Mau ikan tinggal ambil dari danau, mau kayu tinggal ambi dari hutan. Mungkin jauh dari kata mewah, tapi dari kesederhaan ini lebih tinggi rasa syukur karena semua sudah disediakan alam. Semoga selalu terjaga kelestariannya.

Listrik belum masuk, kalau sinyal bagaimana mas?
Masih banyak ya daerah di negara kita yang bekum tersentuh aliran listrik. Padahal kalau di kota listrik itu segalanya. Mati lampu sebentar aja pada ngeluh ini itu. Tapi mereka keren banget, nggak ngeluh, malah ada inisiatif pasang panel surya.

Kebersamaannya dan gotong rotongnya juga terasa sekali ketika mereka bikin kapal bareng. Suasananya hangat ya 🙂

Belum, listrik masih pakai mesin diesel.
Sedangkan untuk sinyal masih susah. Kalau mau sedikit lebih bagus bisa pakai penguat sinyal (mobile wifi) yamg digantung di tiang belasan meter. Hidup bberapa hari di sini akhirnya terbiasa tanpa listrik dan sinyal yang susah

Warga di sini terkenal kompak dan solid.

Kebayang ademnya tinggal di sana ya mas, soalnya belum ada listrik jadi emak-emaknya nggak kebanyakan drama gara-gara nonton sinetron hehe
Aku kebayang selama covid mereka belajarnya gimana tanpa listri di siang hari gitu, apa masih pada sekolah seperti biasa kah? seru ya mas kalau melakukan perjalanan terus punya waktu buat ngobrol sama warga sekitar, jadi nambah wawasan

Ya paling kalau malam pas listrik nyala, mereka juga nonton sinetron.

Aku lupa, tapi saat itu mereka sedang libur natal dan tahun baru. Jadi tidak ada aktivitas sekolah. Di daerah seperti ini, penyebaran covid sangat minim. Jauh dari keramaian dan tidak banyak warga yang keluar masuk desa.

Aktivitas warga juga berjalan seperti biasanya. Tidak ada masker atau pun jaga jarak.

Mas, punten, itu MCK di masing-masing rumah atau gimana, kan dikelilingi air tuh di foto rumahnya, di atas atau di pinggir sungai itu ya
Btw, damai banget sih tinggal di sini, listrik beberapa jam saja kebayang masih sederhananya.
Oia, berarti ga ada sinyal provider sama sekali atau gimana di sini?

Untuk mck aman kak. Rata-rata mereka memiliki kamar mandi dan wc. Walaupun kadang aktivitas mandi, cuci masih sering dilakukan di tepi danau.

Untuk sinyal lumayan sulit. Kalau mau sinyal bagus bisa memakai mobile wifi yang ditaruh di atas tiang belasan meter untuk mencari sinyal.

Hidup di sini jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kehidupan kota 😀

beruntung banget kak bisa ketemu orang lokal yang ramah dan cerita tentang sejarah daerahnya. Lihat fotonya adem banget jauh sama Jakarta yang dimana2 panas. Nice trip kak

Wah, banyak pertanyaan yang ada dalam kepalaku.
1. Di sana panas tidak? Kalo panas pakai kipas atau gimana? Ada rumah yg ada ACnya nggak? (Mohon jangan ditabok nanya kayak gini). Hahahaha!
2 . Anak-anak di sana punya gadget tidak? Kalo tidak ada gadget biasanya mereka ngapain aja?
3. Kamu berapa hari di sana? Betah nggak? Kalo aku sih jujur, hari pertama aku pasti nangis.
4. Nanti aku japri aja nanyanya. Hahahaha!

Okee..aku jawab satu-satu…hahhaa
1. Panas lah, apalagi di tepi sungai. Gada yang pakai ac. Adanya kipas angin.
2.gadget ada, tapi mereka tidak bergantung dengan gadget. Mereka terbiasa main bersama.
3. Di sana cma sekitar 5 hari. Tentu saja betah. Yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan di sana..hahahhaa

Mas, btw disana mereka berarti komunikasinya pakai bahasa indonesia apa melayu mas?

Selalu suka sama tulisan yang mencweitakan tentang keberagaman Indonesia

Selalu menarik ya mendengar cerita-cerita warga dengan bahasa daerah dan logat khasnya. Meskipun nggak ngerti, suka aja liat mereka berbicara dan berekspresi. Kalau lagi kunjungan ke daerah lain, aku juga suka mendengarkan warga. Nanti biasanya ada yang bantu menerjemahkan, walaupun cuma sepotong-potong.

Salah satu yang membuat betah jika berkunjung ke daerah baru adalah keramahan penduduk lokal dan mereka dengan senang hati untuk bercerita. Apalagi kepada orang baru yang ingin tahu. Keren pengalamannya ke desa yang listriknya dari mesin diesel.

Disana orang tabah ya listrik hanya nyala jam 18 sampai jam 22. Di jakarta mati listrik sebentar saja udah mati gaya. Haha.
Dari cerita mas vay ikut merasakan kesederhanaan masyarakat di desa mawan. Kayak semuanya simple tapi banyak syukur jadi bahagia.

Iyalah, mereka tetap tabah meskipun listrik hanya nyala 4 jam dan belum ada jaringan listrik negara.
Jakarta mati listrik bentar, ramainya sampai seluruh indonesia…wkwkkwk

Paling suka kalo baca review travelling terus bisa berkomunikasi dgn penduduk lokal, jadi sekalian bisa belajar bahasa nya mereka.. Kalau yang gak tahu ciri khas bahasa mereka yang meninggi nadanya, mungkin di sangka sewot ya

baca tulisannya, lihat perkampungannya…dejavu….jadi falshback waktu masih tinggal di pondsite di lampung ujung langit sanah hahaha. transportasi pakai perahu klotok, sebagian besar penduduk adalah para transmigran, seru…jadi banyak saudara

sehat sehat ya disana beb, selamat bertualang!

Ini area pinggir danau yah? Luas banget yah danaunya, sampai butuh 45 menit untuk menyebrang? Btw, ikan arwananya dibudidayakan nantinya dijual kemana mas? Eh iya yang lebih penting, penasaran euy mas Rivai kesini untuk ngelakuin apa yah? Seneng deh liat daerah yang mungkin ga akan masuk wishlist trip, soalnya baru tau dari tulisan ini. hehehe

Bukan danaunya sih, akses kesana yang lumayan jauh dan melewati beberapa sungai.

Dijual lagi, bisa dalam bentuk anakan, indukan. Harganya tergantung ukuran panjang badan, jenis, dan keunikannya. Bisa sampai belasan juta.

Tugas lapangan dari kantor. Jadi yaa berangkat aja. Kerja sekaligus dapat pengalaman baru 😀

aku tuh baca cerita masyarakat desa mawan, transportasi perahu di sungai kapuas tuh auto flash back iklan jaman dulu pas kecil, RCTI oke, epic banget lah inget nuansa nya sampe sekarang

Pandemi di sini lebih aman karena jauh daerah ibukota kecamatan. Ketika itu anak sekolah sedang libur akhir tahun. Jadi ga bisa lihat kegiatan belajar mengajarnya

Aku membaca ceritanya dan melihat fotonya langsung kebayang sama Asmat loh mas. Tapi Asmat berada di atas rawa sih rumah-rumah masyarakatnya.

Ah pasti seru banget ya mas perjalanannya, aku selalu suka pergi ke tempat baru yang jarang diketahui hehe

Kalau kata temanku yang pernah ke asmat, jalanan kayunya berupa besi. Jadi di sana jalanan lebih kuat.

Beruntung sekali sih dapat kesempatan seperti ini. 😀

Baca tulisan mas Rivai jadi inget sama Agustinus Wibowo. selalu ada cerita menarik soal penduduk setempat. Jadi termotivasi kalo nanti jalan2 lagi mau juga cari tahu cerita2 dr penduduk lokal daerah itu, biar makin berisi tulisannya kayak punya mas Rivai hehe

Menarik sekali adventurenya mas hehe
Di sana lebih dekat sama Malaysia kah? Pernah dengar kalau orang Indonesia lebih tertarik berkunjung ke Malaysia untuk beli kebutuhan pokok dsb. Dan akses, jauh fasilitas lebih bagus. Betul kah?

Kebetulan di tempat yang aku datangi masih jauh dari malaysia mas. Masih sekitar 6 jam dari batas negara di daerah badau. Jadi kurang tahu tentang pertanyaan mas beni

Duh gak kebayang Listrik menyala cuma dari jam 6 ampe jam 10 aja, gimana nyetrika baju nya itu ya mas, duh kita dijakarta kalo mati listrik cuma sejam aj dah mati gaya ap lgi itu ya, hufft bersyukurlah
yang tinggal di perkotaan,

Kalau jakarta mati lampu, berisiknya sampai kemana-mana. Padahal banyak daerah yang belun teraliri listrik secara maksimal. Belum lagi sinyal telepon dan internet yang masih terbatas.

Dari awal baca judulnya, seperti judul sebuah cerpen, begitupun dengan gaya bahasa atau tulisannya. Sudah cukup bagus juga deskripsi dan narasinya mas Vay
Aku jadi membayangkan bisa berkunjung dan tinggal di Desa Mawan, sepertinya menarik dan menyenangkan. Sepertinya masih banyak hal yang bisa digali juga dipelajari. Masih nampak alami dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, terdengar tenang sekali ya disana. Makanan sehari2nya juga ikan ya, wah asyik aku suka sekali.
Ohya, jadi penasaran juga dengan cara nelayan disana menangkap ikan, masih dengan cara tradisional kah atau mereka menciptakan cara yang khas sendiri?
Lalu, mengenai pengiriman guru ke wilyah sana, itu bagaimana ceritanya lebih lanjutnya..apakah terbuka dan menerima dari mana saja dan apakah jumlah serta kualitas guru juga pendidikan disana sudah cukup memadai kah…

Makasih kak sudah singgah di sini 😀
Makanan tiap hari rata-rata ikan. Kalau ada daging ayam, biasanya itu hasil belanja pedagang yang berbelanja di pasar ibukota kecamatan.

Ketika aku disana, musim lagi pasang. Sehingga tidak cocon untuk mencari ikan. Paling hanya beberapa warga yang menangkap ikan. Biasanya mereka menggunakan jala atau jaring. Terkadang mereka juga memasang perangkap ikan atau bubu.

Aku tidak bertemu dengan guru pengajar. Saat berada di sana sedang libur akhir tahun..

Tiap baca ceritanya mas rivai, aku cuma bergumam… my work my adventure banget ya, bisa beradaptasi di manapun itu. Oh, iya… Dari cerita ini aku jadi aku salut sama pendatang dari beberapa daerah ya. Jadi ikut seneng kalau denger ada pendatang yg bisa berkontribusi untuk daerah yg ditempati. Sprti Pak Yakob yang bisa jadi guru sekaligus kepsek atau sawah yang bareng2 dibuat sama “orang jawa”. Aku jadi percaya, kalau di manapun kita berada. Tetaplah hidup karena kita berguna. he he he

Banyak yang bilang gitu. Tapi emang banyak menawarkan pengalaman baru.
Menyesuaikan dengan lingkungan yang ada dan akhirnya memberikan manfaat kepada lingkungan tempat kita tinggal

Baca tulisan mas Rivai tuh detail, runut jelas. Aku bacanya tuh ngebayangin kaya langsung di ceritain sama orangnya bukan lagi baca. Jadi inget kalau lagi pulang ke Lampung yang bagian pelosoook, suka dengerin cerita si Mbah. Makasih mas Vai buat ceritanya

Mas Rivai, kalo boleh tahu, tugas mas Rivai di sana nantinya mengajarkan warga apa? Beruntung dirimu bisa ke tempat2 terpencil begini, ketemu orang lokalnya, melihat lgs kehidupan di sana. Aku selalu kepengin sbnrnya. Menarik melihat kehidupan warga yang jauh dari mana2, transportasi aja hanya ada kapal. Jangan2 sinyal juga ga lancar yaa.

Tapi terkadang yg begitu malah bikin tenang pikiran :D.

saya kerja di konsultan pemetaan mbak. Ga mengajarkan apa-apa sih di sana. Kalau sudah di desa lokasi kerja, berarti mesti menyesuaikan diri dengan warga dan kondisi desa tersebut. Jalan-jalan yang aku lakukan kini malah lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang lokal di daerah tersebut mbak. selalu menarik. hiihi
Benar sekali mbak fany. Sinyal ada, tapi tidak bagus. Kalau mau bagus mesti pasang mobile wifi yang dipasang di tiang setinggi belasan meter.
Awalnya memang sulit hidup tanpa sinyal, tapi ternyata terbiasa juga mengikuti kondisi yang ada.

Nggak kebayang rasanya jadi kelompok pertama yang tiba di suatu daerah, apalagi aksesnya saat itu masih sulit sampai harus membelah hutan 🙁
Bersyukur banget Kak Rivai bisa main-main ke daerah seperti ini, jadi punya kenangan manis ya hahaha

benar sekali, jalan menuju selimbau, sebelum menuju desa mawan dahulunya juga masih hutan. Pergerakan manusia menggunakan perahu dan jalan kaki menembus hutan. Cerita tentang menerobos hutan akan aku ceritakan di cerita lainnya kak. Tungguin saja. 😀
Setuju, senang sekali sih bisa mendapatkan pengalaman seperti ini.

desanya keliatan tenang banget,ademm ayem gitu
orang-orangnya ramah, pak jeni juga sigap membantu ya. Kayaknya terakhir kali berkunjung ke rumah kayu, waktu aku ke Banjarmasin dan itu udah luamaaa banget taun 2011 kayaknya.
aku penasaran sama model perahu speedboat yang dibuat transportasi mas Vay. Apa perahu perahu kayu yang di foto itu terus dijalankan dengan mesin diesel kah?
dibayanganku, speedboat yang dimaksud kayak yang speedboat kalau ke nusa lembongan atau penida gitu

Adem ayem, tidak terlalu terikat dengan kehidupan kota. Kalau tahun 2011 berarti sudah hampir 10th kak. Cukup lama. Tapi rata-rata rumah di pesisir sungai memang memiliki model rumah panggung.

Speedboat yang aku gunakan berbahan fiber. Ada yang berbahan kayu. Bentuknya kecil. Beda dengan speedboat yang digunakan ke nusa penida kak.

jarak sekitar 150 meter dari danau terdapat area persawahan. Disebutnya area darat. Kemudian di sebelah sawah ada sebagian area perkebunan dan selanjutnya tanah tak bertuan atau hutan rimba. Karena area tersebut belum dikelola oleh warga. Kebetulan ga sempet foto area persawahannya 😀

Sayang sekali listrik belum masuk sana ya, Mas. Berarti untuk keperluan listrik ini belum merata bisa dinikmati semua rakyat Indonesia nih . Ngomong-ngomong untuk sinyal gimana, mas? Ada nggak? Maklum, sekarang salah satu sumber informasi kan dari internet. Sayang banget kalau di sana juga gak bisa menikmati fasilitas ini.

Tapi walaupun begitu sepertinya untuk kehidupan bermasyarakat lagi lebih sehat di sana ya, mas . Interaksi sosialnya lebih bersahabat dan lebih intim. Gak kayak di tempat yang sudah dimanjakan internet. Orang-orangnya tiba-tiba berubah jadi orang rumahan semua, interaksi sama tetangga sebelah rumah pun jarang.

Sementara masih menggunakan mesin diesel milik desa. Warga hanya bayar untuk beli bahan bakar. Sinyal juga sama. Susah sekali. Kebetulan aku pakai si merah, tetap ga stabil. Kalau mau stabil bisa pakai mobile wifi yang ditaruh di tiang tinggi untuk mencari sinyal.

Kegiatan warga desa masih sering dilakukan. Seperti main voli bareng di sore hari. Di malam hari, warga sering ngobrol-ngobrol sambil ngopi mbak 😀

Itu idaman banget, Mas Vai . Sore-sore main voly. Di daerahku dulu setiap sore ada voly juga. Tapi sayangnya kegiatan ini udah berhenti sekarang. Gak tau kenapa..

mungkin yang biasa bermain voli sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Jadi ga sempat main voli lagi.
Dan akhirnya ga ada penerusnya yang bermain voli lagi

beginilah potret di negeri kita ya mas
listrik belum merata di berbagai daerah
untungnya warga sering inisiatif sendiri
meski tidak 24 jam tetapi masih bisa menikmati listrik dengan terbatas

Oh jadi desa Mawan ini aslinya aliran sungai Kapuas cuma dibelokkan biar bisa jadi desa dan dibikin rumah panggung ya mas. Daripada bolak balik ke tempat asal yang agak jauh mendingan bikin pemukiman dekat danau Mawan saja ya.

Kasihan sekali ya listrik tidak ada, kalo begitu kalo malam agak gelap ya, soalnya listrik dari mesin diesel maupun panel Surya juga pasti untuk lampu secukupnya saja atau mungkin terang juga kali ya.

Ngomong ngomong mas Rivai ke selimbau ada perlu apakah, mungkinkah mau mengajar sekolah juga di sana?

Iyaa begitu mas, kebanyakan mereka berasal dari nelayan yang mencari ikan di sekitar danau.

Listrik dari pukul 18:00-22:00 aja mas. Setelah itu gelap lagi. Yang menggunakan panel surya tidak banyak. Hanya beberapa rumah saja.

Biasa mas agus, kerjaan lapangan. Tidak mengajar kok 😀

Desanya sangat nyaman dan tenang. Ga berisik dengan suara kendaraan bermotor. Paling suara mesin perahu yang melintas.
Rata-rata bisa berenang sih mas. Sejak kecil mereka terbiasa main di danau.
Kalau di sana langsung bisa berenang mas 😀

ingat nama jeni malah jadi ingat nama paklikku mas vai hehehe

oh di sana ada pemberdayaan arwana..wuih ini kan ikan mahal banget..di akuarium satu bisa jutaan..heuu..mupeng

btw keren ya ternyata orang jawa di sana bisa jadi penggagas bikin sawah…^^

Namanya kebetulan sama yaa 😀
Daerah kapuas hulu emang terkenal dengan ikan arwana. Bahkan daerah kapuas hulu tempat asal ikan arwana. Banyak yang pelihara dan jual beli. Harganya emang lumayan. Harga seekor ikan arwana bisa seharga motor matic 😀

Yaa mungkin karena di jawa terbiasa dengan kehidupan sawah 😀

Yaa tergantung jenis dan kualitas ikannya mas. Jenis yang paling bagus super red mas. Kemudian semakin unik, maka harganya semakin mahal. Misalnya unik pada sirip belakang, mata, dan warna kulitnya.

Kinda feels warm actually baca postinganMu Mas Rivai. Nggak tahu ya kenapa? Pas aku lihat foto sekumpulan orang2 yg sedang membuat perahu itu hatiku langsung adem banget. Apalagi ditambah melihat senyuman mereka, sama ada orang yang sedang melambaikan tangan..

Mas Rivai beruntung banget punya kesempatan seperti ini. Ini jarang loh.. dari sini kita bisa mengerti bahwa ada banyak hal2 sederhana yang sebenrnya bila kita notice keberadaannya bisa bikin hidup kita lebih tentram,

Aku merasa sangat beruntung mas, bisa dapat kesemlatan untuk mendapatkan pengalaman seperti ini. Datang di sebuah tempat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kemudian diterima oleh warga sekitar demgan sangat baik 🙂

Listriknya nyala mulai 18.00, berarti dari pagi juga ga ada listrik ya mas? Elektronik juga tidak bs digunakan ya, seperti tv dan kulkas? Wah seru sih, karena berarti masih bermain dengan teman2 sebaya untuk menghabiskan waktu, bukan dengan gadget masing2.

Baca cerita bagian pengiriman guru ke seluruh pelosok negeri bikin aku jadi teringat buku dari kamu, mas.

Ih, aku kan pesen pulang bawa arwana buat aku…

Yaa kalau ada listrik di pagi hari, biasanya mereka menggunaka panel surya. Kalau tidak yaa berarti tidak ada perangkat eletronik yang menyala di siang hari.

Bentuk awannya khas daerah-daerah pinggir sungai di Kalimantan Barat. 😀

Soal awan ini, saya pernah baca cerita menarik di novelnya MTH Perelaer, Desersi. Para tokoh utamanya tentara yang melarikan dari dari barak, menembus hutan Kalimantan, lewat rawa-rawa, buat ke Sarawak. Di tengah-tengah perjalanan, mereka lewat daerah danau-rawa–barangkali Kapuas Hulu–dan lihat awan berbentuk unik, seperti peta. Ternyata penguapan membuat awan terbentuk tepat di atas danau-rawa itu dan awan itu benar-benar bisa mereka manfaatkan untuk navigasi. 😀

daerah kapuas hulu memang banyak sungai dan rawa. Jadi awan-awan seperti ini biasa ditemui. Aku malah baru tahu tentang pemanfaatan awan sebagai navigasi mas. orang-orang dahulu memang terbiasa menggunakan tanda-tanda alam untuk segala aktivitasnya. Soal navigasi, aku juga menemukan istilah baru yang digunakan masyarakat sekitar. Yaitu untuk menunjukan arah mata angin. Arah sebelah hulu, hilir, darat, laut. Penggunaan kata-kata itu berdasarkan letak geografis daerah tersebut. Bahkan ada yang menyebut dengan sebutan arah matahari yang berarti arah barat. Tempat matahari terbenam.

Leave a Reply