Minggu kedua di Bulan Januari tahun 2021, langit di Selimbau tampak lebih teduh dalam beberapa hari terakhir. Saat itu memang sudah memasuki musim penghujan. Hujan dan langit yang mendung menjadi hal akan ditemui dalam sehari-hari. Siang itu, aku dan teman-temanku berangkat menuju Desa Benuis. Perjalanan akan ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit dari Desa Gudang Hulu. Desa Benuis akan menjadi lokasiku selanjutnya. Lokasi kedua setelah Desa Mawan beberapa hari yang lalu.
Kedatangan kami disambut baik oleh Pak Amo selaku sekretaris desa. Kemudian kami diantar menuju rumah Pak Amri yang letaknya tidak jauh dari kantor desa. Selama di Desa Benuis aku akan tidur di rumah Pak Amri. Kedatangan kami disambut baik oleh tuan rumah. Dipersilakan untuk istirahat sejenak. Mungkin karena kami terlihat lelah setelah menempuh perjalanan jauh menuju Desa Benuis.
Kualitas jalan yang buruk membuat perjalanan kami terasa lebih lama. Beberapa ruas jalan masih berupa jalan tanah. Di saat hujan, jalan akan digenangi air dan menjadi licin. Ketika siang hari yang panas, jalan menjadi lebih gersang dan berdebu. Desa Benuis terletak di daerah perbukitan. Jauh dari daerah pesisir Sungai Kapuas. Kondisinya berbeda dengan sebagian besar desa yang berada di Selimbau
Warga Desa Benuis sebagian besar merupakan Suku Dayak Mayan dengan mayoritas warganya beragama Kristen Protestan. Desa Benuis terdiri dari tiga dusun. Yaitu Dusun Sawah, Dusun Rimba Panjang dan Dusun Lidung. Dusun Lidung terletak paling jauh dari kantor desa dibandingkan dua dusun lainnya. Secara administrasi wilayah, Dusun Lidung terletak di Desa Jongkong Hulu. Namun secara asal usul, warga Dusun Lidung merupakan warga Desa Benuis.
Baca Juga: Senja di Desa Mawan
Warga Desa Benuis tidak hanya berasal dari masyarakat asli, tapi juga warga pendatang dari luar daerah. Para pendatang tersebut antara lain adalah Pak Agustinus dan Pak Saprianus. Seperti halnya Pak Yakob di Desa Mawan, beliau berdua juga merupakan seorang pengajar yang diberikan tugas untuk mengajar di Desa Benuis sejak tahun 1977.
Pak Agustinus berasal dari Flores, sedangkan Pak Saprianus berasal dari Maluku. Beliau berdua mengajar di sebuah Sekolah Dasar (SD). Diberi fasilitas tempat tinggal dan akhirnya menetap menjadi warga Desa Benuis. Beliau berdua sudah pensiun menjadi seorang pengajar.
Selain Pak Agustinus dan Pak Saprianus, aku juga berkenalan dengan Pak Yan. Postur Pak Yan cukup tinggi dibandingkan dengan warga lainnya. Sejak pertama kali ketemu, Pak Yan suka bercerita banyak hal. Mulai dari tentang desa ini, hingga kedatangannya di desa ini. Pak Yan berasal dari Flores. Setelah lulus SMA Pak Yan merantau ke Kalimantan. Merantau ini memang menjadi hal yang biasa bagi Pak Yan dan para pemuda di desanya. Sebelum tiba di Desa Benuis, beliau pernah tinggal di Kabupaten Sanggau. Kemudian berpindah menuju Desa Benuis karena diajak oleh kerabatnya yang sudah menetap di desa ini terlebih dahulu. Sudah lebih dari 20 tahun Pak Yan menetap dan bekerja sebagai petani atau pekebun.
Pak Suryadi, mungkin terlihat seperti orang tua lainnya. Usianya sekitar 76 tahun. Beliau tidak mengetahui tepatnya tahun berapa beliau dilahirkan. Berdasarkan penuturan teman-teman beliau yang lebih tua, beliau mengambil kesimpulan jika dilahirkan sekitar tahun 1943. Rambutnya sudah memutih, jalannya sedikit membungkuk. Namun, langkah kakinya terbilang cepat dibandingkan orang-orang seusianya. Topi dan tas selempang selalu menemani kemanapun beliau pergi.
Aku pertama kali bertemu dengan Pak Suryadi di kantor desa. Kerutan di wajah tidak mengurangi senyum ramah ketika berjabat tangan denganku. Dalam sebuah struktur perangkat desa, Pak Suryadi merupakan seorang temenggung atau ketua adat desa. Beliau begitu dihormati oleh warga Desa Benuis. Sebelum menjadi ketua adat, Pak Suryadi pernah menjabat sebagai kepala desa dan menjadi pengajar di sekolah dasar.
Pak Suryadi tampak sangat bersemangat ketika menemaniku berkeliling desa. Terkadang beliau mesti menebas rating pohon yang menghalangi perjalanan kami. Sesekali kami singgah di rumah warga. Warga sering menawarkan minuman air putih kepada kami. Namun, Pak Suryadi melarangku untuk meminumnya. Kemudian Pak Yan memberitahuku bahwa minuman tersebut adalah arak. Warnanya memang mirip air putih. Namun, aroma sangat berbeda. Meminum arak sudah menjadi kebiasaan warga desa.
Baca Juga: Orang-Orang Desa Mawan
Selama aku berada di Desa Benuis, setiap pagi banyak warga yang berkunjung ke kantor desa. Entah akan mengurus kepentingan adminitrasi, atau duduk bersantai sambil ngobrol dengan warga lainnya sambil minum kopi yang telah tersaji di meja. Kopi memang menjadi sajian utama di kantor desa. Bahkan akan diseduh kembali jika kopi dalam teko telah habis.
Sejak akses jalan dibuka sekitar tahun 2004-2005, pembangunan di desa terus berlanjut. Termasuk jaringan listrik dan area permukiman warga. Listrik di desa ini sudah menyala secara penuh. Namun, kualitas sinyal telepon dan internet masih minim. Hanya ada sinyal telepon di kantor desa. Sedangkan untuk internet, warga menggunakan mobile wifi yang dipasang di atas tiang dengan tinggi belasan meter. Fungsinya sebagai penangkap sinyal yang kemudian dipancarkan ke perangkat lainnya.
Ada warga yang menyediakan jasa internet dengan menggunakan voucher yang dijual dengan harga Rp 12.000/3jam penggunaan. Rasanya seperti warnet jaman dahulu. Koneksi tidak kencang, tapi setidaknya bisa aku gunakan untuk koordinasi dengan tim yang ada di Selimbau. Selebihnya aku memilih untuk mematikan sinyal internet. Hal ini berhasil membuatku tidak tenggelam dalam keriuhan dunia maya dan media sosial. Hujan di awal tahun 2021 membuat suasana Desa Benuis menjadi lebih syahdu dan hening.
Cerita Dari Kapuas
Desa Benuis, Januari 2021
96 comments
Asyik ya vai, bersentuhan langsung sama budaya di daerah2 pelosok Indonesia..
Btw, dari setiap perjalanan yg lo lakuin ke semua daerah2 atau desa2 di Indonesia, kira2 ada ngga sempet terbersit pikiran misalkan mau ngabisin waktu pensiun atau di masa tua di salah satu desa2 itu ?..
Kl iya, knp?..
Btw, nice story!
Pernah, yaitu sekitar tahun 2017. Ketika itu sedang berada di kota Pagaralam. Kotanya tenang, dingin, sejuk dengan pemandangan kebun teh dan gunung dempo. Merasa tempat tersebut cocok untuk menjalani hari tua.
Sejak saat itu kepikiran untuk tempat-tempat untuk ditempati ketika pensiun nanti. Salah satunya kota temanggung. Kotanya sejuk dan punya pemandangan bagus.
Saat ini belum kepikiran untuk setelah pensiun mau tinggal dimana 😀
Penasaran sama Foto Terakhir, mungkin proses nya bisa dijelaskan pada tulisan selanjutnya, btw Mas Broo sampai saat ini masih tinggal disana kah ?
Ada aku bahas di artikel lain. Tapi ga sampai proses detailnya. Ntar tunggu aja mas untuk sedikit cerita ttg arak.
Aku udah balik mas. Awal bulan juni balik ke semarang.
Mas Rivai kayaknya kalo traveling jauh jauh gini ya. Gua jadi pengen ikutan juga haha… Mantap artikel soal Desa Benuis-nya!
Kebetulan bersamaan dengan agenda kerja mas. Jadi sekalian jalan, sekalian kerja. Akhirnya bisa ke tempat-tempat baru berkenalan dengan orang-orang baru..hehehe
Makasih mas firdaus 😀
Berkenalan dengan sosok baru dari latar belakang yang jauh berbeda memang suatu hal yang sangat menyenangkan dan punya kesan tersendiri. Hal itu pernah saya alami juga saat masih jadi auditor internal, keliling setiap ke kantor cabang di setiap kota di indonesia dan bertemu dengan orang-orang baru.
Rasanya beruntung sekali bisa belajar banyak hal baru dari orang-orang yang kita temui dalam sebuah perjalanan. Apalagi bisa dekat dan mendengarkan cerita dari orang-orang tersebut. 😀
Ini yang bakal kita rindukan, mas. Berinteraksi dengan masyarakat setempat. Berbicara tentang kehidpan sehari-hari, hingga membahas hal-hal yang kadang sensitif dengan cara sederhana, lalu menghilang bersama sesapan kopi hehehhehe
Makanya itu mas sitam, setiap datang ke tempat baru, aku selalu sempatkan untuk ngobrol santai dengan warga lokal. Karena cerita mereka selalu seru untuk didengarkan
Benar banget mas. Rasanya bisa lebih dekat dengan mereka, dan kita bukan orang asing heheheh
Kesempatan yang sangat berharga dalan sebuah perjalanan mas 🙂
Sejak sering baca-baca tulisannya mas Vay tuh aku jadi tau lho wilayah lain di Indonesia kayak apa, utamanya yang bukan daerah wisata. Lihat foto anak-anak SMP jalan kaki pulang sekolah begitu jadi inget dulu pas SMP pulang sekolah juga jalan kaki begitu. Bedanya tentu medannya, aku dulu di trotoar dekat jalan utama Surabaya-Malang. Tentu sebelum ada tol-tol baru yang sekarang dibuka hehehe. Cerita yang bagus mas, thank you for always sharing your experience.
Makasih endah, sudah singgah di sini.
Kemudian kita sadar, ternyata indonesia tidak hanya tempat-tempat yang dikenal sebagai tujuan wisata. Banyak tempat yang menarik ketika kita datangi. 😀
Kalau jaman smp, aku ingatnya nongkrong ramai-ramai sambil nunggu bus datang. Padahal jurusan busnya beda, tapi tetap aja disempatin buat nongkrong dulu 😀
Suryadi, itu nama adik ipar saya mas.
Desa benuis beda dengan desa sebelumnya yang mas Rivai kunjungi ya, ini terletak di perbukitan, mana pas berkurang kesana musim hujan lagi, pasti licin. Untungnya penduduknya ramah semua ya.
Wah sepertinya enak tuh arak lokal, jadi belum nyicipin ya mas ?
Kami diterima dengan baik mas. Termasuk dari tuan rumah tempat kami menginap. Nanti ini crita di bagian selanjutnya..hehehe
Belum cicipi arak sana ma. Padahal aromanya sangat khas..hiiks
Belum ada nih bagian selanjutnya, kirain sudah ada.
Arak lokal enak ya mas, mungkin seperti tuak kali ya, yang di cerita cerita Wiro sableng gitu.
Secepatnya mas agus. Tunggu bentar lagi yaa 😀
Semacam tuak. Arak ini emang jadi kearifan lokal tersendiri..heheh
Wah mas, ini perjalanan-perjalanan ke daerah-daerah yang kami sama sekali ga pernah denger namanya yah. Untuk listrik sudah masuk & sinyal udah bisa dirasain, walaupun amat sangat terbatas. Tapi salut juga dengan kesempatan yang diambil, dengan menjual internet ke warganya. Semoga warga di desa Benuis tetap bisa mengikuti perkembangan jaman, sekalipun dalam keterbatasan yah.
Bukan daerah tujuan wisata. Tak banyak orang tahu. Tapi singgah dan bertemu dengan warga desa memberikan kesan tersendiri dalam perjalanan ini kak 😀
wah rindu sekali melihat pepohonan lebat ditambah gumpalan awan dengan warna langit biru pekat seperti di perjalanan mas menuju Desa Benuis. untuk minuman yang mirip seperti arak itu bisa jadi catatan sndiri nih buat aku. berarti kalau ditawari air dari warga kapuas mungkin bisa dihirup lebih dulu ya aromanya dari dekat karena hidungku tak setajam suma atau jati hahaha. btw, itu perjalanan nya dengan kendaraan apa aja mas
Ini perjalanan naik mobil dan motor ta. Masih terjangkau dengan kendaraan. Meskipun beberapa ruasa jalan masih berupa tanah.
Langit csangat bersih, udara sangat segar karena minim polusi udara.
Aroma arak tercium kok. Mirip tape. Karena bahan utama pembuatan arak dicampur dengan ragi.
Asik ya bisa mengenal lingkungan baru.
Ya walau emang pasti ada dukanya juga.
Tapi setidaknya bisa dapat banyak pengalaman dari hal kayak gini.
Gak ada niatan mas bikin penyewaan jasa internet juga? Lumayan bisnisnya hahhaha
Selama disini mendapatkan banyak cerita unik dari warga-warga desa. Sangat berkesan selama tinggal di sana 😀
Lumayan sih sebenarnya untuk peluang bisnisnya..haha
wah seru banget yaa, ada pengalaman yang berasa nostalgia dengan warnet hehehe
Seru banget kak!!
Arak lokal semacam itu, rasanya umum ada di pelosok2 Indonesia yah… yang sering saya temui itu bahannya dari semacam buah seperti pohon kelapa… aren mungkin ya?
Bahan yang digunakan disini beras yang dicampur dengan ragi mas. Yang difoto itu adalah proses penyulingannya
Senangnya bisa berinteraksi langsung dengan warga tentang kehidupan sehari-hari mereka. Jauh dari riuh ibukota dan keributan dunia maya, apalagi sinyal juga terbatas di sana. Pasti seru ya mendengar kisah-kisah mereka. Ditambah suasana yang hangat dan syahdu. Bikin rindu berada di daerah-daerah yang jauh dari kota.
Disini udaranya masih sangat segar. Minim polusi udara. Hening dan sunyi. Terkadang pagi hari diselimuti kabut. Suasana tenang, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota.
selalu menarik membaca cerita kehidupan di daerah terpencil, namun sekaligus sedih dengan keterbatasan yang ada..
Mendapatkan banyak cerita dan pengalaman dari orang-orang yang kita temui.
Setelah mengikuti beberapa artikel sampe sekarang masih belum tahu Masvay kerja apa sih….enak banget bisa tinggal di rumah warga trs berinteraksi dgn penduduk setempat…hal yang belum tentu didpt kalau pas traveling…asli seru banget….
Kerjaan biar jadi urusan kerja aja. Yg diceritakan pengalaman dan kesan pas jalan-jalannya aja 😀
Serius, enak banget. Seperti di program tv yang hidup dengan warga lokal dan belajar banyak hal dari sana 😀
Aku bisa bayangin hidup di daerah terpencil dengan sinyal lemah begitu. Salut dengan orang2 yg bisa kuat. Mungkin aku juga menikmati utk awal2. Seminggulah, setelah itu mati gaya pasti hahahahaha . Tapi enaknya memang, kita gabterlalu stress mikirin kehidupan dunia Maya ya mas :D.
Melihat foto desanya, dengan jalan masih tanah merah gitu, duuuh kalo hujan pasti luar biasa beceknya :(.
Mas, cara bikin araknya itu gimana? Penasaran aku :D.
Kadang dunia maya lebih berisik drpd dunia nyata yaa mbak..wkwkkw
Makanya kadang perlu hiatus dari dunia maya.
Mungkin sudah jadi kebiasaan kita yang selalu terhubung dg internet, kemudian dihadapkan di situasi susah sinyal, akhirnya kita kaget dengan kondisi yang ada.
Temanku pernah terjatuh di jalan tanah tersebut. Ban motor mengalami slip karena hujan semalam. Akhirnya terpelanting 😀
Kalau yang difoto itu proses penyulingannya. Bahan yang digunakan itu beras dan ragi.
Lingkungannya begitu humanis. Kepingin dengar cerita warga lokal tinggal di daerah perbatasan atau yang jauh dari ibukota. Mas Rivai, kalo boleh tau dalam rangka apa melakukan perjalanan ke sana, by the way?
Ini urusan kerjaan sih mas..hehehe
Selalu menyenangkan mendengarkan cerita dari daerah yang jarang diketahui orang. Berkesan banget selama berada di sini
Jadi ingat dulu pernah di daerah susah sinyal dan warung2 pada jualan voucher wifi. Haahahaha
Ditunggu seri cerita dari kapuas selanjutnya.
Mau beli mahal, tapi butuh. Berada di posisi yang membingungkan 😀
Oke siap koh den..masih banyak cerita lainnya sih 😀
kamu ke desa benuis lagi ekspedisi apa tugas lapangan kak? wahh ternyata masih banyak yaa desa-desa pedalaman yang masih minim sinyal internet huhu. wahahha seru banget bisa ikutan liat prosesi bikin araK! abis itu, minum-minum ga? hahhahah
Tugas lapangan kak. Seperti biasanya.
Sebetulnya banyak desa yang belum terjangkau sinyal dan listrik. Salah satu faktornya adalah akses yang belum tersedia.
Aku ga ikut minum kak. Aku minum kopi saja 😀
Selalu seneng deh baca tulisan lo beb, mindfull!
Sama kayak Rully, gue jugak kepo sama proses pembuatan araknya. Penasaran juga kenapa mereka menjadikan itu sebagai minuma sehari hari, apa mereka sober siang bolong minum hahahaa
disana dingin kali yaa mak, mangkanya demen minum arak, macam orang bule yang suka minum wine. Lha sotoi banget gueh haha
Di sana sangat sejuk. Minuman ini juga sering jadi bagian dalam sebuah perayaan.
Makasih mbak 😀
Bahan yang digunakan untuk pembuatan adalah berasa dan ragi. Prosesnya hanya direbus dan kemudian disuling. Foto di atas merupakan proses penyulingannya.
Suka iri sama masvay, banyak aja perjalanan baru, ketemu orang baru, merangkai cerita cerita baru. Ga sibuk sama kemelut lingkungan kerja dalam ruangan ajaaa.
Berarti di desa ini lengkap ya mas vay. Ada SD sampai SMA?
Alhamdulillah dapat kesempatan seperti ini..hehehhe
Kalau desa benuis hanya ada sd dan smp. Kalau sma ada di dekat kantor kecamatan. Sma tersebut menampung anak-anak dari beberapa desa sekaligus.
Mas Vai kesana kerja ya? btw kondisi disana ga ada yang pakai masker ya? dan sekolah juga tetap offline, kalau baca dari tulisan Mas Vai agak sudah juga itu sinyal yaa. Beda banget sama si kota yaa.
Tapi seneng lihat foto anak anak sekolah pada ceria banget.
Iya, kesana dalam rangka kerja. Selama di sana tidak pernah pakai masker. Begitu juga warga desa. Lokasi yang jauh membuat penyebaran virus sangat kecil. Tidak banyak warga asing yang masuk ke desa ini.
Sekolah juga berjalan dengan tatap muka.
Seperti nya cukup lama juga ya kak explore Kapuasnya? Kali ini interaksi intens kakak dengan orang orang Desa Benuis. Disanapun ternyata banyak warga rantau. Seperti nya cukup harmonis. Menurut kak Rivai, bagaimana mereka bisa hidup cukup harmonis ya disana,?
Lumayan lama kak. Sekitar 6 bulan. Bulan juni kemarin baru balik ke jawa.
Menerima para pendatang dengan tangan terbuka jadi salah satu upaya agar kehidupan berjalan dengan harmonis. Selain itu, banyak waktu untuk berkumpul juga jadi salah satu cara. Di desa benuis sering berkumpul di kantor desa. Banyak rencana desa yang dibahas secara bermusyawarah.
Seru banget Mas Vay, bisa kerja sekaligus bersentuhan langsung dengan warga lokal di daerah pedalaman seperti ini. Kalau tugas begini, bisa berapa lama?
Btw, untung diberitahu ya kalau minuman itu arak. Menarik nih bisa ikut lihat cara pembuatannya. Juga, melihat langsung kondisi desa yang minim sinyal dan internet.
Kalau yang di kapuas hulu ini sekitar 6-7bulan. Tergantung apa yang dikerjakan.
Dapat kesempatan pernah tinggal di sebuah desa yang punya kondisi berbeda dengan apa yang biasa kita jalani.
Disana araknya terbuat dari apa yah kak?
Penasaran..
Yang aku tahu, bahannya dari beras dan ragi
Jadi ingat saat mengunjungi tempat terpencil yang sinyalnya byar pet karena terhalang gunung…
Saat itu malah bisa full nikmatin suasana nggak terdistraksi. Termasuk dari kerjaan…
Kadang emang perlu rehat dari dunia internet dan menikmati situasi yang ada. Jadi kangen menikmati udara pagi di sana. Kabut, dingin, dan hening. Hiiks
Selain kebiasaan orang benuis meminum arakk apalagi kak yang menjadi ciri khas dari perilaku atau keseharian nya?
Kopi. Kalau setiap berkunjung ke rumah warga, bakal disuguhi kopi. Dan sebagai tamu kita mesti meminumnya, meskipun hanya sedikit. Itu adalah cara menghormati tuan rumah.
Aku lumayan tertarik sama foto yang diunggah. Disana apa tidak menggunakan masker? Dan apakah ada penularan di sana?
Btw susah sinyal gitu rasanya seperti terisolasi tidak?
Selama di sana malah ga pernah pakai masker. Tidak ada penularan virus. Semuanya berjalan seperti biasa. Seperti kehidupan sebelum pandemi menyerang.
Aku merasa tidak terisolasi. Jadi menikmati situasi yang ada aja 😀
Untung dikasih tahu ya mas kalo minuman yg disajikan itu arak. Soalnya bentuknya kayak air putih. Di akhir cerita setuju sih saya klo pas jalan2 mending jgn nyalain internet biar bisa nikmatin suasana tempat tersebut dgn lebih tenang
Emang secara visual sangat mirip dengan air putih. Namun, baru sadar kalau sudah tercium aromanya.
Seru banget yah berkunjubg ke desa yang aksesnya jauh bet dari kota. Kaya bisa nenangin pikiran, bisa bercengkrama sama warga, bisa tau hal2 baru.