Sudah lebih dari 15 menit kami menunggu kedatangan Mikel di sebuah dermaga penyeberangan. Mikel merupakan salah satu perangkat Desa Nanga Kenepai yang akan menjemput kami. Perahu menjadi satu-satunya alat transportasi untuk menuju ke Desa Nanga Kenepai. Jika tidak memiliki perahu, bisa menggunakan perahu yang ada di dermaga penyeberangan. Ada tiga dermaga penyeberangan yang dikelola secara perorangan.
Biaya penyeberangan sekitar Rp10.000-Rp15.000 untuk sekali penyeberangan. Tidak hanya penyeberangan untuk orang dan motor, tetapi juga ada penyeberangan khusus bagi mobil dan truk. Truk yang melintas biasanya truk pengangkut buah kelapa sawit. Truk akan diangkut menggunakan kapal tongkang menuju seberang dan akan melanjutkan perjalanan menuju pabrik pengolahan biji kelapa sawit. Wilayah Desa Nanga Kenepai berada di sekitar perkebunan kelapa sawit.
Dari arah sebelah barat, terlihat sebuah perahu mesin berwarna biru melaju kencang di atas aliran Sungai Kapuas. Perahu tersebut melambat dan kemudian berhenti di dermaga. Mesin perahu telah dimatikan dan tali telah ditambatkan di tiang yang tersedia. Ternyata itu adalah Mikel. Dia langsung turun dan menyalami kami berdua. Kami langsung memindahkan tas dan perlengkapan menuju perahu. Semua sudah selesai dan kami siap menuju Desa Nanga Kenepai. Dalam perjalanan kami melihat kapal tongkang pengangkut pasir melaju pelan menyusuri Sungai Kapuas. Sungai Kapuas terlihat lebih tenang, mungkin ini karena air sungai sedang surut.
Baca Juga: Ikan Bakar di Desa Marsedan Raya
Desa Nanga Kenepai termasuk dalam wilayah Kecamatan Semitau. Desa ini terletak di daerah aliran Sungai Kapuas. Nama Kenepai diambil dari Sungai Kenepai yang berada di desa tersebut. Sedangkan Nanga merupakan sebuah muara sungai. Sehingga Nanga Kenepai berarti desa yang berada di muara Sungai Kenepai. Desa Nanga Kenepai terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Kenepai dan Dusun Sungai Gandal. Dusun Sungai Gandal letaknya terpisah dengan Dusun Kenepai. Dusun ini hanya bisa dicapai dengan menggunakan perahu. Letak kantor kepala desa terletak di Dusun Kenepai. Sebagian besar warganya merupakan Suku Dayak dan beragama Katolik.
Listrik Hanya Menyala Selama 4 Jam
Hari sudah beranjak sore ketika kami tiba di kantor kepala desa. Semua tas dan perlengkapan telah berhasil diturunkan. Lampu kantor kepala desa aku coba nyalakan, tetapi tidak bisa. Aku baru sadar jika listrik di desa ini hanya menyala selama empat jam melalui mesin genset. Mulai dari pukul 18.00 hingga pukul 22.00. Saat ini masih pukul 17.00. Belum waktunya mesin genset dinyalakan. Aku memilih untuk istirahat di depan kantor kepala desa sambil menunggu mesin genset dinyalakan. Selama berada di Desa Nanga Kenepai, aku akan tinggal di kantor kepala desa.
Seorang laki-laki dewasa berjalan menuju kantor kepala desa. Usianya sekitar 50 tahun. Dia berjalan ke arah belakang menuju sebuah bangunan kayu. Tak selang berapa lama, suara deru mesin genset terdengar. Ternyata laki-laki itu bertugas untuk menyalakan dan mematikan mesin genset. Listrik mulai menerangi desa. Lampu penerangan jalan menghidupkan suasana jalan. Jalan desa yang berupa jembatan kayu terlihat jelas hingga ujung desa.
Meski letaknya tidak jauh dari Kantor Kecamatan Semitau yang berada di Desa Semitau Hulu, jaringan listrik milik negara belum masuk ke desa ini. Selama ini desa memanfaatkan mesin genset untuk menerangi desa selama empat jam. Setelah itu desa akan kembali gelap. Beberapa warga memanfaatkan panel surya untuk sumber listrik. Tentu saja menggunakan uang yang berasal dari kantong pribadi. Sedangkan bahan bakar mesin genset diperoleh dari pembayaran warga. Besarannya bervariasi, tergantung jumlah alat elektronik yang digunakan.
Sejujurnya suara deru mesin genset ini sangat berisik dan mengganggu. Suaranya terdengar hingga ke dalam kantor kepala desa. Aku merasa tidak tahan dengan suara mesin genset ini. Ketika aku sudah selesai mengerjakan data lapanganm aku memilih untuk berada di luar. Setidaknya suaranya tidak terlalu mengganggu dibandingkan aku berada di dalam. Selama berada di sana, aku harus terbiasa dengan suara mesin genset ini. Di seberang sana, Desa Marsedan Raya dan Desa Semitau Hulu bisa menikmati listrik sepanjang hari. Namun, berbeda dengan Desa Nanga Kenepai yang hanya bisa menikmati listrik hanya 4 jam. Setelah itu desa akan menjadi gelap gulita.
Terletak di Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit
Perusahaan kelapa sawit pertama kali masuk ke wilayah desa pada tahun 2007-2008. Area perkebunan sawit ini termasuk dalam area Hak Guna Usaha (HGU) yang disewa oleh perusahaan dengan jangka waktu tertentu. Area perkebunan sawit sangat dekat dengan wilayah desa. Jika ditarik lurus, jaraknya hanya sekitar 500 meter dari Kantor Kepala Desa Nanga Kenepai. Perusahaan kelapa sawit sering memeberikan kompensasi kepada desa. Salah satunya penyerapan warga desa sebagai pekerja di perkebunan kelapa sawit.
Banyak warga desa yang bekerja di perkebunan sawit sebagai pekebun. Salah satunya adalah Bang Dino. Bang Dino sudah bekerja di perkebunan sawit sejak tahun 2008. Saat itu dia membantu proses pengukuran lahan dan menyiapkan area yang akan ditanami oleh pohon kelapa sawit. Saat ini dia diberi tugas menjadi salah satu pengawas di perkebunan kelapa sawit. Para pekerja berstatus sebagai buruh harian lepas dan berangkat setiap hari Senin hingga Kamis atau empat hari kerja dalam satu minggu. Para pekerja mendapatkan upah sebesar Rp108.000/hari yang dibayarkan setiap hari Kamis.
Baca Juga: Pesta Telah Usai
Tidak hanya warga dari Dusun Kenepai, banyak warga dari Dusun Sungai Gandal yang jadi pekebun di perkebunan sawit ini. Mereka biasa naik perahu menuju Dusun Kenepai dan kemudian dilanjutkan berjalan kaki atau naik truk menuju area perkebunan. Mulai bekerja pada pukul 07.00 hingga 14.00. Selain sebagai pekebun di perkebunan kelapa sawit, warga desa juga memiliki kebun milik pribadi. Seperti halnya orang-orang suku Dayak, warga desa ini juga suka berkebun atau berladang secara berpindah-pindah. Maka tidak salah jika seseorang bisa memiliki kebun yang cukup luas. Tidak hanya berkebun, warga juga berprofesi sebagai nelayan. Beberapa warga bahkan memiliki kolam untuk budidaya ikan.
Keberadaan Sungai Kenepai sangat penting bagi warga desa. Banyak warga desa yang memasang bubu di sepanjang sungai ini. Sungai ini sangat lebar dan memiliki arus yang cukup tenang. Sedangkan di Dusun Sungai Gandal warga sangat mengandalkan keberadaan Sungai Gandal untuk mendapatkan ikan. Mereka menangkap ikan dengan cara-cara tradisional. Seperti memasang bubu di tepi aliran sungai atau menjala ikan dari atas perahu. Listrik di Dusun Sungai Gandal juga menggunakan mesin genset. Rumah warga di dusun ini merupakan rumah panggung dan jembatan kayu menjadi jalan utama. Dusun Sungai Gandal dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga.
Di Desa Nanga Kenepai hanya ada satu TK,satu SD, dan satu SMP. Ketiga sekolah tersebut berada dalam satu area. Siswanya tidak banyak karena hanya berasal dari warga desa. Termasuk anak-anak dari Dusun Sungai Gandal. Anak-anak Dusun Kenepai hanya perlu berjalan kaki untuk menuju sekolah. Sedangkan anak-anak Dusun Sungai Gandal akan menggunakan perahu untuk ke sekolah. Biasanya mereka berangkat secara berkelompok. Seorang siswa SMP bertugas untuk mengemudikan perahu. Satu perahu akan diisi oleh 5-6 orang siswa. Setiap harinya anak-anak ini akan menyusuri Sungai Kapuas. Bagi mereka, mengemudikan perahu merupakan keterampilan yang mesti dimiliki oleh seorang anak yang hidup di pesisir sungai.
Setelah lulus tingkat SMP, anak-anak ini bisa melanjutkan tingkat SMA di Desa Semitau Hulu. Letaknya dekat dengan Kantor Kecamatan Semitau. Itu seperti desa-desa yang aku datangi sebelumnya, hanya ada satu seolah tingkat TK hingga SMP di setiap desa. Jumlahnya siswa juga tidak pasti. Bergantung dengan jumlah anak-anak di desa tersebut. Kemudian tingkat SMA berada di dekat kantor kecamatan. Di Desa Nanga Kenepai juga terdapat rumah dinas pastor gereja dan guru.
Pihak desa menyediakan rumah ini agar para guru dan pastor tidak perlu menyeberangi Sungai Kapuas untuk tiba di desa ini. Sehingga cara ini dinilai efektif untuk memangkas waktu perjalanan menuju sekolah. Para guru bisa berjalan kaki menuju sekolah. Namun, kedua rumah ini tampak terbengkalai dan dan tidak terawat. Beberapa bagian rumah terlihat rusak dan alang-alang mulai tumbuh. Sudah beberapa tahun rumah ini tidak berpenghuni. Para guru lebih memilih tinggal di Desa Semitau Hulu dan menyeberangi Sungai Kapuas untuk perjalanan menuju sekolah.
*****
Aku berada di Desa Nanga Kenepai sekitar tujuh hari. Tidak banyak pekerjaan lapangan yang kami lakukan di sana. Setelah semuanya selesai kami kembali meminta tolong kepada Mikel untuk diantarkan menuju dermaga penyeberangan. Di sana kami akan dijemput untuk selanjutnya kembali menuju rumah kontrakan kami.
Beberapa kali kami kembali ke Desa Nanga Kenepai untuk mendapatkan data-data yang kami butuhkan. Menaikkan motor ke atas perahu dan kemudian duduk santai menikmati penyeberangan. Perjalanan dari dermaga menuju kantor kepala desa melewati area perkebunan kelapa sawit. Jalanan tanah menjadi hal yang biasa bagi kami. Hujan dua hari yang lalu membuat beberapa ruas jalan tanah menjadi becek dan berlumpur. Kami mesti berhati-hati melewati jalanan ini. Sejauh mata memandang hanya ada pemandangan pohon sawit. Area perkebunan sawit mampu memberikan cerita tersendiri dalam perjalananku.
Cerita Dari Kapuas
Desa Nanga Kenepai
Maret 2021
39 comments
Ngga bisa ngebayangin kalo tinggal di tempat yg listriknya sulit karena menurut gw bisa ngebatesin hal2 yg bs kita lakuin, misalnya kl pny anak bayi yg lg sakit, rewel, dll..
Untungnya warga proaktif dg pny panel surya..
Mudah2an di daerah ini ga sulit sinyal internet juga ya 🙂
banyak orang bilang begitu, ga bisa bayangin ketika hidup dengan listrik yang terbatas. Mungkin karena terbiasa hidup dengan listrik yang berlimpah, akhirnya tubuh kita kesulitan merespon keadaan ketika listrik terbatas. Pada akhirnya akan terbiasa dengan keadaan seperti itu.
di desa ini juga ada fasilitas kesehatan dan posyandu. Jadi bisa langsung kontak ke petugas kesehatan yang ada di sana. Sinyal internet juga lumayan sulit sih. Jadi mesti sedikit bersabar untuk mendapatkan sinyal internet yang cepet 😀
Seringnya aku mikir, ini kalau pas air meluap bagaimana, dll. Tentu mereka sudah melakukan migitasi dengan baik. Melihat pemandangan seperti ini membuat kita bersyukur akses dan fasilitas umum sudah mumpuni. Semoga mereka-mereka ini emndapatkan fasilitas yang memadai
Aku ke sana ketika sungai sedang surut. Ketika terjadi luapan sungai, air sungai bisa dekat dengan rumah. Bahkan bisa banjir. Belum lagi kalau dapat kiriman air dari hulu sungai.
Fasilitas dasar seperti sekolah, kesehatan, ibadah sudah tersedia. Listrik juga ada, meskipun hanya empat jam.
Pemandangan saat menelusuri sungai kapuasnya keren ya Mas, penasaran kalo listrik masih dibatesin kaya itu apakah ada sinyal di Desa Nanga Kenepai tempat Mas Vai tinggal
Banyak sungai-sungai kecil di sekitar sungai kapuas yang memiliki pemandangan bagus. Biasanya banyak burung yang terbang dan berkicau di antara pohon-pohon sekitar sungai. Sinyal internet lumayan susah mas. Jadi mesti bersabar untuk urusan sinyal.
Tiang listrik yang sudah berjajar ternyata untuk perantara aliran listrik dengan menggunakan genset ya kak, semoga nantinya aliran listrik bisa sampai ke desa Kenepai untuk memudahkan warganya beraktivitas di siang hari
Bener, itu jaringan listrik dengan sumber listrik dari mesin genset. Bukan dari listrik PLN. Yaa harapannya juga begitu. Ada jaringan listrik yang ditarik dari gardu pln yg ada di seberang desa.
Saya Selalu salut dengan cerita ceritamu Mas Broo, Pengalaman yang sangat berharga dan barang kali tidak semua orang bisa dapatkan itu, saya sendiri tidak bisa membayangkan seandainya tinggal dan bekerja disana, tapi mengikuti tulisan tulisan Mas Vay, entah mengapa saya malah penasaran dan ingin berkunjung kesana, Semoga kesempatan itu ada.
Makasih mas ruly. Beruntung sih bisa dapat kesempatan untuk mendapatkan pengalaman seperti ini. Semoga bisa dapat kesempatan seperti ini lagi.
Setiap baca tulisannya MasVay tentang kehidupan masyarakat suatu daerah selalu bikin terbelalak. Beruntungnya seorang Rivai Hidayat bisa bertemu langsung dan menikmati aura kehidupan disana. Setiap daerah punya keunikan masing-masing memang ya.
Kisah guru yang kalau ke sekolah menyeberang sungai Kapuas mengingatkan aku cerita di buku Dua Belas Pasang Mata-nya Sakae Tsuboi dalam kisah nyatanya di Indonesia.
Love banget & ga pernah fail baca kisahnya MasVay ♥️
Itu bagian dari sebuah perjalanan. Ga hanya tentang destinasinya, tetapi juga tentnag segala kehidupan yang ada di sana. Orang-orangnya, adat istiadat, budayanya, dan cerita-cerita yang telah diwariskan oleh leluhurnya.
Cerita guru-guru di daerah pedalaman sering aku temui ketika berada di sini. Beberapa sudah aku tulis.
Makasih mbak esti. Masih ada empat cerita lagi untuk menutup cerita dari kapuas. Silakan diikuti sampai selesai. 😀
Gagal fokus sama tiang listriknya haha… Sederhana banget ya. Btw, Mas Vay itu sungai coklat gitu apa gak ngeri kalo ada hewan hewan buas gitu?
Tiang listrik hanya menyalurkan kabel-kabel ke rumah-rumah warga.
Selama di sana sungai kapuas terbilang cukup aman. Ga ketemu hewan-hewan buas mas.
Saya senang ketika membaca bahwa di desa Nanga Kanepei ini ada TK, SD, dan SMP sehingga warga desa usia sekolah tak perlu khawatir dengan pendidikan. Karena jarak sekolah yang jauh sering kali menjadi penyebab putus sekolah. Semoga saja keberadaan sekolah tersebut juga ditunjang oleh keberadaan gurunya agar siswa benar2 dapat merasakan pendidikan.
Jumlah muridnya tergantung jumlah kelahiran tiap tahun di desa tersebut. Jadi jumlah muridnya ga banyak.
Aku selalu yakin kalau daerah punya cerita uniknya masing-masing.
Seperti melihat potret kaum terpinggirkan, dengan akses transportasi dan listrik yang terbatas. Semoga pemerintah bisa segera melakukan pembangunan di desa-desa terpencil seperti ini.
Desa ini emang membutuhkan jaringan listrik negara. Kemudian sinyal internet. Dengan begitu produktifitas warga bisa meningkat.
Kalau baca cerita perjalanan Mas Vai ini kadang suka miris, kesenjangan sosial masih terasa banget ya. Ada desa yang dapet listrik tapi ada juga yang nggak. Mungkin untuk orang kota yang terbiasa dengan listrik, dengan nggak ada listrik jadi menyusahkan. Tapi untuk mereka mungkin sudah terbiasa. Selama di sana apakah ada ngobrol sama warga sekitar masalah desanya yang nggak kedapetan listrik mas? penasaran apakah mereka juga mengeluhkan akan hal tersebut
Faktanya emang begitu. Banyak desa atau tempat yang belum menikmati berbagai fasilitas dari negara. Salah satunya jaringan listrik dan internet. Akhirnya mereka menyesuaikan dengan kondisi dan berusaha mendapatkan layanan serupa.
Ya yang aku temui pelayanan di kantor kepala desa jadi tidak maksimal. Laptop dan perangkat elektronik tidak bisa digunakan di siang hari. Jadi tidak maksimal pelayanan adminitrasinya.
Tipikal pedalaman Indonesia ya mas. Rasanya banyak orang kota yang pingin coba kehidupan begitu, nyeberang pakai kapal kayu
Perahu jadi moda transportasi utama di kalimantan mas.
Aku pernah tinggal di pedalaman Sumatera, dan sama persis kayak gitu juga, harus nyebrang pake perahu membelah sungai Musi. Tapi Alhamdulillahnya si waktu itu di sana udah ada listrik. Enggak kebayang kalo gada listrik gimana, tapi kalo warga asli sana pasti udah terbiasa si ya…
Waah..sungai musi yaa. Dulu pernah melintasi sungai musi pas di palembang. Ini sungai juga padat dengan aktivitas perahu rakyat.
Listrik masuk desa sedang diusahakan sama pemerintah desa dan kecamatan.
Rasanya bukan rahasia umum lagi jika usaha kelapa sawit memiliki untung yang sangat besar, terutama pabrik kelapa sawit. Tapi mengapa desa desa yang lokasinya berada di perkebunan kelapa sawit selalu saja agak menyedihkan ya keadaannya. Hem.
Yaa begitulah. Keuntungan bisnis kelapa sawit sangat besar. Hutan-hutan di indoensia jadi sasaran untum buka lahan sawit. Makanya banyak cara yang dilakukan. Akhirnya peraturan pun diubah untuk bisa mendapatkan konsesi lahan untuk kelapa sawit.
Selalu seru dan menarik ya kehidupan yang berjalan di tempat yang seperti itu. Jadi ingin bisa merasakannya secara langsung juga.
Listrik yang hanya ada selama empat jam saja, tentu memberikan warnanya sendiri.
Lalu, tentang perkebunan kelapa sawitnya, duh.. Menggoda!! Hahaha
Setuju sekali, mendapatkan pengalaman tersendiri dan berbeda dengan rutinitas ketika berada di jawa.
Atuh jadi pengen tanya, desa Nanga Kenepai itu desa ke berapa yg Mas Rivai datangi dalam ‘perjalanan’ menyusuri Sungai Kapuas ya? Setiap desa ada cerita unik tersendiri tentunya, sempat ragu ndak mas ini cerita di desa a atau b ya, misalnya.
Btw, kenapa guru dan pastor memilih tidak menempati rumah dinas ya, sayang juga .. Jadi terbengkalai…
Ini desa keenam. Tiap desa punya cerita uniknya masing-masing. Semua desa sudah aku ceritakan dalam artikel. Keraguan sih ga ada, tapi ada beberapa bagian yang sengaja tidak ditulis dalam artikel.
Karena kehidupan di desa semitau hulu lebih ramai, listrik lebih memadai. Jadi mereka memilih untuk menyeberang dibandingkan tinggal di rumah guru.
Rasanya sayang sekali jika melewatkan setiap cerita mas vai, selalu ada cerita baru yang aku dapat.
Listrik yang hanya menyala 4 jam bikin aku kepikiran, kalau saja di daerah perumahan di jakarta bisa ada kondisi dr kebalikannya ini. 4 jam mati listrik tiap malam, mungkin akan terasa lebih sejuk. aku juga jadi oenasaran setidak terawat apa rumah yg disediakan pihak desa sampai ga ditempati
Ayo baca semua, ceritanya sudah akan kelar. Setiap tempat punya ceritanya masing-masing
Kadang bikin kepikiran karena belum terbiasa dengan kondisi seperti itu. Di awal ketika tiba di sini juga kepikiran, tapi pada akhirnya terbiasa.
Kalau jakarta mati 4 jam, pasti pln sudah dihujat habis-habisan.
ditumbuhi alang dan beberapa kayunya rusak.
Baca ini membuat aku sadar harus banyak bersyukur. Di jakarta bisa menikmati listrik 24 jam. Belum lagi bagaimana akses sekolah. Keren sih adek2 nya yang semangat sekolah serta pengajar2 nya salut juga.
Bener banget, di jawa kita bisa menimmati listrik selama 24 jam. Jarang banget ada listrik padam. Akses sekolah banyak pilihan. Tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan.
Selalu senang baca tulisannya masvay, serasa di ajak jalan jalan ke tempat tempat yang gue yakin sih gue ga bakalan kesana. Jadi flashback juga ke beberapa tahun lalu, waktu harus tinggal di pondsite. Untuk masuk area sana pake pesawat baling baling, transportasi di dalam pondsite pakai kapal klotok, listrik terbatas, air tawar sulit sampe harus nampung hujan, ga bisa jajaaann hahhahahah.
Tapi jadi sehat, karena banyak gerak dan makanan yang masuk terkontrol.
Penasaran deh, itu hutan sawitnya suka kebakaran juga ngga?
pondsite-nya daerah mana mbak…?
aku juga pernah nampung air hujan, mandi di sungai, bahkan mandi di danau juga pernah. Ini sungguh pengalaman seru sih.
bener sekali, jadi lebih sehat karena banyak gerak 😀
aku belum pernah dengar dengan kebakaran sawit di sana.
Aku ga kebayang harus tinggal di tempat yg listriknya hanya 4 jam . Padahal desa tetangganya sudah bisa setiap saat ya mas.
Ini jadi inget pas di Banda Aceh THN 2000-2002. Itu mati lampu masih giliran. Sehari bisa 3x. Dan lamaaaa. Diitung2 listrik cuma hidup bentar. Padahal itu kawasan kampus Unsyiah loh. Jujur ga betah :(.
Tapi mungkin masyarakat di sana udah terbiasa dan menerima ya mas. Bisa ngerti sih aku kenapa pastur dan guru lebih milih tinggal di desa sebelah.
Mungkin belum ada kebijakan untuk tarik kabel dan bikin jaringan dari pos gardu yang ada di desa seberangnya.
Sebelum tiba di desa ini aku sudah singgah ke desa yang serupa. Susah listrik dan susah sinyal. Bahkan jaraknya lebih jauh dari desa ini. Kalau ga punya perahu bakal susah kemana-mana. Setelah itu aku mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Di desa seberang listrik dan kondisinya lebih ramai. aksesnya juga mudah.
Jadi keinget saat belasan tahun silam, pernah tinggal di rumah saudara yang letaknya di aliran Sungai Asahan.
Listrik hanya nyala malah hari sampe jam 10. Transportasi kemana-mana harus pake perahu.
Sekolah pun jauh hingga pendidikan masyarakatnya cukup tertinggal.
Syukurnya sekarang sudah lebih baik, semenjak ada pembangunan jalan, listrik pun ikut masuk, cuma sekolah aja yang letaknya masih lumayan jauh.