Hari sudah beranjak siang hari ketika kami tiba di pemberhentian terakhir taksi tujuan Selimbau. Di depan sebuah masjid, kami menunggu teman kami yang datang menjemput. Sepasang kendaraan bermotor berhenti tepat di depan kami. Mulai bergerak menuju permukiman yang padat.
Permukiman padat ini merupakan bagian dari wilayah Selimbau. Bisa disebaut sebagai pusat. Deretan rumah panggung dengan kayu-kayu menjulang tinggi terlihat sebagai penyangga bangunan. Jalanan utama dengan bahan utama kayu dengan lebar 2.5 meter ini hanya bisa dilewati motor. Mobil tidak bisa memasuki area permukiman ini. Sepanjang jalan utama ini langsung berbatasan dengan aliran sungai.
Selimbau merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu. Terdiri atas 17 desa yang tersebar dalam beberapa kondisi geografis berbeda-beda. Mulai dari pesisir sungai, danau, tanah datar, hingga di daerah perbukitan. Bahkan ada beberapa desa yang masuk dalam wilayah hutan lindung, dan Taman Nasional Danau Sentarum.
Baca Dulu: Jalan Panjang Menuju Selimbau
Di area permukiman padat ini terdapat empat desa, yaitu Desa Gudang Hulu, Gudang Hilir, Kuala Titian, dan Dalam. Keempat desa ini menjadi pusat dari Selimbau. Sedangkan jarak desa lainnya cukup jauh. Bahkan beberapa desa hanya bisa dicapai dengan menggunakan perahu. Beberapa ruas jalan yang menghubungkan antar desa kondisi belum bagus. Jalan masih berupa tanah. Ketika hujan, jalan ini menjadi becek, licin, dan tergenang air.
Dari cerita yang aku dapat dari Pak Basri, salah satu tetangga di tempat kami tinggal, bahwa Selimbau pada jaman dahulu merupakan sebuah kerajaan. Awalnya merupakan sebuah kerajaan Hindu, hingga akhirnya berubah menjadi kerajaan Islam. Masjid Jami At Taqwa yang berada di Desa Dalam menjadi lambang kejayaan Kerajaan Selimbau yang masih berdiri hingga sekarang. Beberapa peninggalan kerajaan prasasti, dan masih bisa ditemukan di wilayah ini.
Seperti halnya sebuah kerajaan atau keraton, pemberian nama keluarga atau keturunan kerajaan juga masih berlaku di Selimbau. Abang, Ade, Utin, Dayang, dan Ayang merupakan nama-nama yang biasa digunakan oleh keluarga atau keturunan kerajaan. Meskipun sebagai keluarga keturunan bangsawan, kehidupan mereka tidak ada bedanya dengan kehidupan masyarakat lainnya.
Orang-orang di Selimbau mayoritas adalah orang Melayu yang beragama Islam. Di setiap desa memiliki sebuah masjid yang menjadi pusat beribadah masyarakat. Baik itu di Desa Gudang Hulu, Gudang Hilir, dan Titian Kuala. Desa Gudang Hulu, Gudang Hilir, dan Titian Kuala letaknya sangat berdekatan. Jalan kayu hanya menjadi garis batas diantara ketiga desa itu. Sedangkan Desa Dalam dipisahkan oleh sebuah jembatan gantung yang melintang di atas Sungai Terus. Jembatan gantung yang menjadi garis batas antara Desa Dalam dan tiga desa lainnya. Garis batas ini juga menjadi akses menuju Masjid At Taqwa.
Beberapa kali aku mendengar cerita tentang orang-orang Selimbau. Salah satunya dari warga Desa Jongkong Hulu. Desa ini terletak di daerah perbukitan dengan mayoritas warganya adalah Suku Dayak Mayan. Mereka berujar bahwa jaman dulu orang-orang Melayu yang merupakan leluhur orang Selimbau adalah seorang perantau. Bukan warga asli Selimbau. Setelah singgah di daerah Selimbau, mereka bertemu dengan Suku Dayak Mayan yang merupakan suku asli yang mendiami wilayah tersebut. Para pemimpin suku akhirnya sepakat bahwa para perantau ini diperbolehkan tinggal di pesisir sungai dan mendirikan kerajaan. Sedangkan suku Dayak Mayan tetap tinggal di daerah perbukitan. Dekat dengan area ladang, perkebunan, dan wilayah hutan.
Selama beberapa minggu berada di Selimbau, setiap pagi aku menyempatkan diri jalan-jalan pagi. Biasanya berkeliling area perkampungan. Masuk dari satu gang menuju gang lainnya. Dari jalan kayu satu menuju jalan kayu lainnya. Mengamati aktivitas warga di pagi hari. Hampir setiap hari aku menemukan Selimbau dalam keadaan lengang. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan. Biasanya terlihat ibu-ibu yang sedang mandi dan sekalian mencuci baju di tepi sungai. Aktivitas ini sudah menjadi hal yang biasa. Meskipun mereka memiliki kamar mandi di dalam rumah.
Baca Juga: Perjalanan Semarang-Pontianak
Keramaian desa baru terlihat di Hari Jumat. Di hari itu, Pasar Selimbau beraktivitas layaknya pasar. Hanya satu hari dalam satu minggu. Para warga tumpah dalam kegiatan jual beli. Para pedagang biasanya berasal dari luar empat desa ini. Seperti dari Desa Benuis, Jongkong Hulu, dan Gerayau. Para pedagang ini biasanya menjual hasil perkebunan mereka. Seperti singkong, ubi, dan cabai.
Tidak hanya desa yang terletak di perbukitan, warga yang tinggal di pesisir sungai dan danau juga menyempatkan datang ke pasar. Baik untuk menjual hasil menangkap ikan atau membeli bahan kebutuhan. Para penjual dan pembeli ini menggunakan perahu untuk menuju pasar. Tidak hanya laki-laki, para perempuan di Selimbau juga terbiasa untuk mengendarai perahu menyusuri sungai-sungai yang membelah perairan yang mengelilingi Selimbau.
*****
Di saat dunia dan Indonesia diserang pandemi virus, aku malah mendapatkan tugas untuk ke Selimbau. Jauh dari dari Pulau Jawa yang menjadi pusat pandemi di Indonesia. Di sini tidak ada kehidupan hingar bingar atau keramaian yang sering biasa ditemui di Pulau Jawa. Masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa. Beberapa menggunakan masker, tapi lebih banyak tanpa menggunakannya. Tanpa protokol kesehatan. Apalagi jaga jarak. Di sini semua berjalan normal. Sama seperti sebelum pandemi.
Ketika melakukan perjalanan ini, aku berpikir jika inilah salah satu cara menghindari penularan virus dan keluar sementara dari Pulau Jawa yang menjadi pusat penyebaran virus. Perjalanan ini seperti diajak untuk menjauh dari keramaian, kerumunan, atau hingar bingar yang biasa ditemui di Pulau Jawa. Sebuah perjalanan panjang, dan akhirnya menepi di Selimbau.
-Cerita Dari Kapuas-
Desember 2020
47 comments
Terkadang memang kita harus menepi dari keramaian dan mencari makna baru, selama di selimbau asik juga ya mengamati kebiasaan orang2 dan menceritakannya kembali, selamat bertugas mas. Sehat2 selalu ya 🙂
Menemukan hal baru merupakan bagian dari sebuah perjalanan.
Di sini sehat-sehat terus. Terima kasih
Suasananya cukup damai kayaknya di Selimbau ini ya. Salah satu tempat yang enak untuk mengasingkan diri sejenak. Kalo sore datang, bisa kayaknya untuk mengabadikan momen matahari tenggelam dari jembatan kayu. Melihat pasar seperti ini jadi teringat iklan salah satu stasiun tv dulu duh.
Menikmati sore dan senja di sini ga pernah rugi mas. Seringnya disuguhi pemandangan yang bagus.
Karena sebagian besar wilayahnya dekat dengan perairan, perahu menjadi pilihan utama untuk beraktivitas, termasuk dalam kegiatan jual-beli
stay safe and stay healthy ya kak 😀
Makasih kak
Menurutku perjalanan kali ini memang tepat, mas.
Kamu bisa bergerak bebas di sana tanpa banyak berinteraksi dengan orang luar yang mobilitasnya tak terkontrol layaknya di kota-kota besar.
Di Selimbau, setidaknya orang-orang di sana hanya berinteraksi dengan sekitar. Tidak terlalu jauh hingga pusat kota. Suasana yang nyaman bisa melihat aktivitas masyarakat dengan segala kearifan lokal.
Benar sekali, jauh dari kota. Bahkan untuk ke ibukota kabupaten mesti menempuh waktu perjalanan 4-5 jam. Baik melalui perjalanan darat atau sungai.
Rivai, jadi penasaran..
Kenapa jual belinya harus rame di hari Jumat?..
Ada alesan khusus dari mereka kah tentang hal ini?..
Alasan khusus aku gatau. Tapi di kecamatan lain pasar juga buka satu minggu sekali. Yaitu setiap hari minggu
Aku bacanya damai banget Mas Rivai.. entah somehow mengingatkan diriku sama suasana kampungku dulu di Jawa berbelas2an tahun lalu. Dimana rumahnya masih beralaskan tanah, kompornya masih berupa tungku yg aroma asapnya itu khas banget nggak bikin bengek.
Tiap pagi kalau keluar banyak bebek yg lewat kaya pasukan drumband buat dibawa ke sawah… wargany berduyun-duyun pergi ke kali untuk cuci baju dan mandi..
Udaranya sejuk, malamnya terasa dingin dan nikmat… orang2nya pun ramah, apalagi pas lebaran seperti ini… ramai banget….
Sekrang tentu keadaannya sudah berbeda. Beberapa sanak sudah mulai pergi meninggalkan kita. Anak2 sudah tumbuh dewasa. Rumah dipugar, tradisi pun lambat laun ditinggalkan…
Aku sungguh beruntung setidaknya pernah merasakan hal itu..
Terimakasih untuk kisah perjalanannya yah Mas Rivai…
Makasih mas bayu sdah singgah disini.
Kehidupan di kampung pada masa lalu memang menyenangkan. Dan akhirnya orang-orang yang mesti menjaga tradisi itu sendiri.
Bagus fotonya ibu-ibu yang mandi di kali itu ngingetin aku ke masa kecil di mana masih banyak yang mandi di sungai tapi emak-emak di tempat tinggalku dulu lebih frontal kalo mandi, berendam di air sih tapi nggak pakai kain penutup padahal banyak bapak-bapak yang lewat
Di masa lalu, di kampungmu menjadi hal yang biasa. Seperti halnya di sini semua lapisan usia banyak yang mandi di sungai. Baik anak-anak atau orang dewasa.
Bacanya jadi adem, kalo lihat kehidupan di selimbau ini damai banget ya, virus Corona sepertinya tidak ada dampaknya disana.
Biarpun masih desa tapi suasananya enak buat yang ingin hidup tenang, tidak terburu-buru seperti di Jakarta atau kota besar lain. Memang pasar cuma ada seminggu sekali, tapi jadi tidak konsumtif ya.
Kalo lihat orang mandi di sungai jadi ingat masa kecil, sering banget mandi di kali biarpun sumur ada di rumah.
Di sini tidak ketemu dengan kemacetan dan keruwetan sebuah kota besar mas. Enak sih kalau buat menepi.
Di sini anak-anak kalau mandi di sungai pasti diselingi dengan lompat-lompat mas. Seru lihatnya
Iya mas, sebenarnya enak hidup di daerah terpencil seperti itu ya, dengan syarat tidak banyak keinginan, enak buat menyepi atau yang tidak suka keramaian.
Selamat hari raya idul Fitri ya mas Rivai, mohon maaf lahir dan batin kalo banyak salah dalam ngeblog.
Menerima realitas yang ada, bahwa di sini ga semuanya bisa ditemukan. Jadi nikmati saja apa yang ditemui 😀
selamat leabaran dan berkumpul dengan keluarga mas agus. Mohon maaf lahir dan batin juga mas agus 😀
Betul mas Vay, dulu waktu bujangan aku malah pernah pengin pergi ke tempat sepi gitu, kayaknya enak kali ya, suasananya tenang, orangnya ramah dan suka gotong royong.
Oh ya gimana sinyal operator di selimbau, apakah bagus seperti di Jawa ataukah malah tak ada.
sinyal di selimbau bagus kok. Baik si kuning maupun si merah. Namun, di beberapa wilayah sekitar selimbau, sinyal masih sangat susah.
unik daerahnya,aku suka tempat tempat tenang yang kayak gini.
hampir semuanya disini rumah panggung ya mas vay?
jalan jalan pagi di tempat asing biasanya selalu nyenengin, berbaur dengan masyarakat sekitar, ngobrol sekilas ini itu, menyenangkan banget
warna bangunan masjdnya cantik, jarang jarang ada yang diwarnai kuning
Yang di tepi sungai semuanya rumah panggung. Bahkan yang jauh dari tepi sungai juga masih menggunakan model rumah panggung.
Kalau jalan-jalan pagi. Baliknya beli gorengan. Ngobrolnya pakai bahasa indonesia 😀
hahaha asekkk tetep ya jajan kudu pokoke
aku juga gitu soalnya mas vay hahaha
kalau pas jalan kemana, matanya suka awas kalau liat rombong jajanan
Pastilah. Jalan-jalan khan gabungannya sama jajan. Kurang lengkap kalau ga jajan
woaaahh!
btw aku belom pernah liat rumah panggung cemane bentuknyaaa haha
req dong mas hehe *candaa
aku penasaran itu jematan gantungnya boleh dilewati motor? tapi kok ngeri-ngeri sedep yaa…
mana jaraknya juga lumayan pulaa hehe
mas rivai pemandangannya ibu-ibu mandiii. untung bukan bulan puasa
eh itu pasarnya seminggu sekali doang? trus kalo belanja harian gimana ya?
apa nanem sendiri? tapi kan itu kebanyakan perairan ya?
Rumah panggung itu pondasinya pakai kayu sebagai tiang penyangga kak..hehehe
Jembatannya bisa dilewati pake motor kak. Baisanya gantian. Nanti kalau pas jalan bakal terasa bergoyang. Seru tapi taku jatuh juga..wkwkwk
Mandi dan berbagai aktivitas di sungai sudah jadi kebiasaan. Setiap pagi dan sore selalu ramai dengan orang mandi..hihihi
Kalau belanja sehari-hari ada warung yang berjualan. Kemudian ada pedagang keliling juga. Jarang ada yang tanam sih. Lebih banyak yang tangkap ikan
masih ada di Kalimantan dong sekarang Mas Vai…
enak tenan jalan dines keliling Indonesia tengah ya…daerah kapuas hulu
btw tak kusangka ternyata area Selimbau dulunya pernah berjaya dengan berdirinya sebuah kerajaan dari Hindu lalu beralih ke masa kerajaan Islam..Nama nama keturunan bangsawannya pun unik ya meski pada masa sekarang kehidupan mereka yang dituruni garis biru tak ubahnya sama seperti warga lainnya
aku selalu suka nih suasana pasar di tiap tiap daerah di Indonesia. Ada saja kekhasannya. Walau di sana tentu tak sehingar bingar di pulau jawa ya. hehehe
iyaa masih di kalimantan, lebaran di kalimantan juga. Susah nyari sarapan pas hari lebaran 🙁
Nama-nama bangsawan ini aku sadari ketika menemukan banyak nama dengan marga yang sama. Akhirnya bertanya kepada warga lokal. Sekarang hidup sebagai warga biasa.
Pasar di sini bukanya tiap hari jumat. Selalu ramai dengan pembeli, penjual, dan jajanan 😀
Samaan nih, saya juga saat ini berada jauh dari pulau Jawa, di tempat terpencil, tapi tetap pakai masker, ga mau bersentuhan
Lalu dipandang aneh, soalnya di sini nggak percaya korona itu ada, orang korbannya sedikit, bahkan dinkesnya nyariin pasien korona
Menurut saya, penyebaran Covid di tempat terpencil itu bukannya nggak ada, tapi di tempat kayak gini masyarakatnya punya imun yang lebih kuat, jadi kemungkinan banyak yang OTG gitu 🙂
Oh mbak Rey lagi di luar pulau Jawa ya, pantesan jarang kelihatan, mungkin sinyal agak kurang ya mbak.
Iya sih, mungkin karena imun tubuh kuat jadinya seperti tidak ada korona, padahal mungkin banyak otg, tapi karena kebanyakan kuat jadinya aman aman saja.
mbak rey lagi di mana..?
Beberapa waktu yang lalu, dengar kabar kalau di selimbau ada yang tertular virus. Tapi belum tahu detailnya kayak gimana.
Penyebaran di daerah seperti ini memang minim. Apalagi daya tahan tubuh sangat bagus. Tapi tetap perlu menjaga diri. Beberapa posko covid juga sudah didirikan di wilayah selimbau ini 🙂
Pertanyaan saya di kolom komen postingan sebelumnya terjawab sudah. 😀 Habis baca tulisan Masvay yang ini saya jadi sedikit ngerti akses ke Kapuas Hulu. Kapan-kapan tak coba ikut rute Masvay ke sana ah. 😀
Jalur kapuas hulu ini rasanya enak untuk jalur raodtrip mas. Banyak kabupaten/kota yang dilewati. Beberapa diantaranya layak untuk disinggahi
Aku td cek peta dulu, di Deket mana selimbau ini. Aku pikir Deket Ama Brunei, Krn penampakannya, jalan kayunya, daerah pinggir sungainya mirip bgt Ama kampung Ayer di Brunei yg aku datangin dulu :D.
Tp ternyata ga deket2 amat Ama Brunei yaa, LBH berbatasan Ama Malaysia.
Beruntung sbnrnya kamu bisa ditugasin ke sana mas :D. Jauh dr pusatnya pandemi. Walopun aku agak ngeri pas baca orang2 sana ttp aja beraktifitas kayak biasa, dan banyak yg ga maskeran. Mungkin Krn aku udh terlalu terbiasa Ama masker yaaa, jd kalo denger ada tempat yg orang2nya LBH santai, lgs serem sendiri :p.
Kehidupan di sana kliatan santai banget yaaa. Bulan depan suamiku bakal ke beberapa kota Kalimantan, ngaudit cabang2 bank tempat dia kerja :D. Sebenernya aku pengen bgt ikut, apalagi blm prnh ke Kalimantan. Tapi Ntahlaaah, yg bikin males Krn hrs antigen tiap kali pindah kota itu :D. Makanya msh mikir2 mau ikut :p
Rata-rata tumah di sini model panggung dengan pondasi kayu-kayu mbak fany. Walaupun rumahnya jauh dari sungai. Entah kenapa begitu. Mungkin sudah jadi kebiasaan mereka membuat rumah model begini. Selimbau lebih dekat ke malaysia. Waktu tempuhnya sekitar 4-5 jam ke pos perbatasan Badau.
Sebulan ini aku pindah ke ibukota kabupaten. Di sini warganya lebih majemuk. Setiap keluar rumah mesti memakai masker. Berbeda ketika berada di selimbau dan sekitarnya. Jarang sekali memakai masker. Pas balik ke jawa mesti menyesuaikan dengan masker. Membiasakan diri dengan kacamata yang berembun akibat masker..hhehhehe
Ayo mbak fany ikutan, jalur kalimantan menyenangkan untuk roadtrip. Jalannya lebar dan sepi. Tapi kadang bergelombang. Suasananya juga menyenangkan kok 😀
Haloo mas, apa kabar
Di Selimbu, sekilas aku lihat mirip suasananya dengan daerah pinggiran kota Palembang yaa. Sungai-sungai, rumah penduduk lokal yang berada di tepinya, aktivitas jual beli dsb. Waktu kecil, begitu keadaan lingkungan ku mas
mungkin ini ciri khas rumah yang berada di pesisir sungai mas. Aktivitas pun juga tidak jauh dari sungai dan air. Termasuk bermain 😀
Vai, aku kok menangkap hawa tenang, slow, dan momen-momen menikmati hidup dari Selimbau ini ya.
Lokasinya yang jauh dari kota, terletak di tepi sungai, jembatan kayunya yang tampak hangat, dan jembatan gantung yang lebih mirip ayunan di atas sungai. Aku jadi pengen merasakan vibes-nya Selimbau.
Thank you for sharing your story.
Hidup di sini slow banget. Kalau cuaca bagus, bisa menikmati matahari terbenam dengan latar sungai kapuas.
Desanya bagus banget ya mas, keliatannya bersih pula, kehidupannya pun nampak damai, jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota metro politan hihihi.
Dulu waktu masih di kampung aku juga ngalamin nyuci baju di sungai, tapi beda sungainya ga kaya gitu, sungai yg mengalir dari Gunung Selamet, seru banget emang nyuci baju rame2 sambil ngobrol hahahahha padahal di rumah pun ada kamar mandi air sumur & PAM yg bersih, tapi ga tau kenapa ya, udah tradisi aja pada nyuci di sungai gitu
Ga sebersih yang terlihat mbak. Di bawah rumah banyak sampah plastik berserakan..hiks
Kalau air sungai dari gunung pasti seger banget yaa mbak. Di desa sekitar selimbau juga ada sungai seperti ini. Airnya seger, bikin ga pengen cepet² selesai mandi..heheh
Halo Mas Rivai, apa kabar? Maaf lahir batin ya mas…
Aku baru tau dong daerah Selimbau ini. Ternyata ini dulu kerajaan yaa.. Melihat orang2 bisa beraktivitas sepeeti biasa kaya gt, bikin kangen masa2 sebelum pandemi ya. Masa kita bebas keluar tanpa masker n ga harus jaga jarak. Jalan2 kayu, sungai2, pasar yg cuma sekali seminggu, rasanya kok daerahnya tenang n jauh dr hiruk pikuk. Beruntung bgd Mas rivai sempat ditugaskan di sana..
Halo mbak icha, maaf lahir dan batin juga mbak 😀
Di sini aktivitas sepeti biasanya. Bahkan anggapnya covid tidak ada. Tanpa masker dan tanpa jaga jarak jadi hal yang biasa. Bisa dibilang beruntung sih mbak 😀
Kehidupan di sana kelihatannya slow living banget ya, Kak wkwkwk. Entah kenapa, lihat foto-foto yang Kak Rivai pasang, aku ngebayangin hidup di sana kayaknya peaceful banget, terus bisa bebas beraktifitas tanpa masker, ini dia yang diidam-idamkan orang di masa sekarang hahaha. Rasa-rasanya ingin ikut Kak Rivai ke Selimbau untuk refreshing hiahahaha.
Btw karena ini lokasinya lumayan di pelosok, kalau mau belanja online, nggak bisa dong ya? Tapi internet udah sampai ke sana?
Bener sih, setiap orang yang aku temui jarang pakai masker. Sholat jumat pun tidak ada jaga jarak. Tempatnya emang santai banget. Bisa lihat sungai kapuas tiap hari.
Internet lancar dan belanja online juga aman. Pengiriman dari jawa kemungkinan lwbih dari seminggu 😀
Tempatnya adem ayem ya, Mas. Kadang tuh aku ingin sesekali keluar dari hingar bingar. Iya, walaupun daerah tempatku tinggal ada di kota kecil, tapi tetep aja rame dan sumpek . Mau minggir ke daerah yang lebih tenang, tapi gak tau harus kemana.
Ngomong-ngomong, aku seneng lihat interaksi masyarakat di sana. Mudah-mudahan orang-orang di sana dan Mas Rivai sehat terus ya.
Coba saja mbak roem yamg dekat tempat tinggal dulu. Sekitar daerah kediri kayaknya banyak tempat yang masih sepi dan alami. 😀