698
Kalau kata temenku yang berasal dari Jogja, Semarang itu singkatan dari Semakin Rindu dan Sayang. Aaah, tentu saja ini cuma guyonan aja atau mungkin doa biar kamu dan yang lainnya selalu ingin (kembali) ke Semarang. Kota yang identik dengan Lawang Sewu, Masjid Agung Jawa Tengah, Sam Poo Kong, dan Kota Lama-nya ini memang memiliki banyak sebutan dan cerita. Dulu, Kota Semarang juga mendapatkan julukan Venice van Java. Selain itu, kawasan Kota Lama mendapat sebutan Little Netherland.
Masjid Menara |
Selain beragamnya sebutan untuk Kota Semarang, ternyata Kota Semarang juga merupakan sebuah kota yang memiliki multietnis dan multicultural. Semua etnis di kota ini hidup secara berdampingan dan rukun hingga sekarang. Sedangkan beberapa peninggalan, cerita, dan kearifan lokal yang berhubungan dengan multicultural masih terjaga dengan baik di kota ini.
Aku menerobos kerumunan warga yang sedang ikut meramaikan tradisi Dugderan. Tradisi yang rutin digelar di kota ini dalam rangka untuk menyambut Bulan Ramadhan. Hingga akhirnya aku sampai di depan Kantor Pos Besar Johar. Aah, ternyata teman-teman Bersukaria Walking Tour sudah jalan. Kemudian aku menyusul mereka yang sedang berjalan menuju Kampung Melayu.
Sore itu aku akan bergabung dengan teman-teman Bersukaria Walking Tour untuk berkeliling Kota Semarang dengan rute Multicultural. Rencananya kami akan menyusuri beberapa peninggalan budaya yang ada di Kota Semarang. Kami meeting point di Kantor Pos Johar. Ini merupakan kantor pos pusat dan tertua yang ada di Kota Semarang. Di seberang kantor pos terdapat Tugu Nol Kilometer Kota Semarang. Destinasi pertama kami adalah Majid Menara yang berada di Kampung Melayu. Oyaa, kali ini yang bertugas sebagai guide adalah Mas Dimas.
Masjid Menara terletak di daerah Kampung Melayu atau Jalan Layur, Semarang. Masjid ini juga dikenal dengan nama Masjid Kampung Melayu atau Masjid Layur. Masjid Menara dibangun pada tahun 1841 oleh para pedagang yang berasal dari Yaman. Di belakang masjid terdapat Kali Semarang. Kali Semarang ini mengalir melewati daerah Pecinan, Pasar Johar, dan Kampung Melayu. Kali Semarang dulunya berfungsi sebagai jalur perdagangan. Di daerah Kampung Melayu menjadi tempat bersandar kapal-kapal pedagang. Menara masjid dulunya berfungsi sebagai mercusuar.
Masjid Menara yang sedang dicat |
Seiring berjalannya waktu, area sekitar masjid mengalami banjir rob sehingga bangunan masjid ditinggikan dan hanya menjadi satu lantai. Bentuk bangunan asli masih tetap terawat dengan baik hingga sekarang. Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa dulunya bangunan ini merupakan sebuah kantor pelabuhan dan mercusuarnya. Sejak adanya pelabuhan dan mercusuar baru, bangunan ini baru dimanfaatkan sebagai masjid. Masjid ini pun sudah ditetapkan sebaga bangunan cagar budaya. Sedangkan Kali Semarang sudah tidak bisa digunakan sebagai jalur perdagangan.
Salah satu gedung yang mengalami kerusakan parah |
Seandainya Kali Semarang diperbaiki dan difungsikan kembali sebagai jalur transportasi sekaligus tempat wisata, bukan tak mungkin Kota Semarang bisa menjadi Venice Van Java (lagi). Jadi kita ga perlu ke Italia hanya untuk naik gondola. Mungkin orang Eropa yang akan ke Kota Semarang. Sugeng rawuh ing Semarang, mister.
Baca juga: Blusukan di Segitiga Emas Kota Semarang
Setelah beres di Masjid Menara yang ada di Kampung Melayu, kami melanjutkan perjalanan menuju Gereja Gedangan. Dalam perjalanan itu kami melewati beberapa bangunan kuno dan jadul. Kami melewati Gedung Marabunta. Gedung yang dulu jadi pusat hiburan di Kota Lama. Namun kini sudah tampak nyaris roboh dan tidak terawat. Akhirnya kami tiba di kompleks Gereja Gedangan.
Gereja Gedangan |
Gereja Gedangan memiliki nama asli Gereja Santo Yusuf. Terletak di Jalan Ronggowarsito, Semarang. Gereja Gedangan merupakan Gereja Katholik pertama di Kota Semarang. Gereja ini dibangun pada tahun 1870 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Pada masa penjajahan Jepang, Gereja Gedangan akan dijadikan sebagai rumah sakit militer. Namun, rencana tersebut ditolak oleh Mgr. Soegijapranata. Mgr. Sogijapranata merupakan Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia dengan kantor di Keuskupan Agung Semarang, Gereja Rosario Suci di Randusari.
Bangunan di seberang Gereja Gedangan |
Selain gereja, di kompleks Gereja Gedangan juga terdapat gedung paroki, sekolah, gedung susteran, dan kapel. Kami tak bisa memasuki ke dalam Gereja Gedangan karena gereja sedang digunakan untuk ibadah Kenaikan Isa Almasih. Menurutku, kompleks Gereja Gedangan memiliki desain bangunan arsitektur Eropa khas bangunan kolonial. Setelah cukup puas di sini, kami melanjutkan perjalanan menuju GPIB Immanuel Semarang.
Cheerrs…!!! |
GPIB Immanuel Semarang mungkin terdengar sangat asing, karena lebih dikenal dengan sebutan Gereja Blenduk. Hal itu dikarenakan bentuk atap yang berbentuk kubah (mblenduk). Dibangun pada tahun 1753 dan terletak di kawasan Kota Lama, tepatnya di Jalan Letjend. Suprapto 32. Gereja Blenduk merupakan gereja Kristen pertama di Jawa Tengah. Meskipun gereja sudah berusia lebih dari 200 tahun, Gereja Blenduk masih terawat dengan baik dan rutin digunakan untuk beribadah. Gereja Blenduk menjadi background favorit pengujung Kota Lama ketika mereka berfoto. Setelah puas foto-foto, kami langsung melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya, yaitu Masjid Pekojan.
Baca juga: Semarang Night Carnival 2017: Paras Semarang
Langkah kami mulai meninggalkan kawasan Kota Lama untuk menuju kawasan Pecinan. Namun, kami berbelok menuju sebuah gang yang bernama Gang Petolongan. Mas Dimas kemudian menjelaskan jika bahwa sudah sampai di Masjid Pekojan. Masjid Pekojan terletak di Kampung Pekojan yang mayoritas warganya adalah keturunan Pakistan dan Gujurat. Majid ini dibangun ooleh para pedagang yang berasal dari Pakistan dan Gujurat lebih dari 150 tahun yang lalu. Bentuk ruang utama sholat pun masih terjaga keaslianya.
Masjid Pekojan sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Salah satu keunikan masjid ini adalah hidangan Bubur India. Bubur India merupakan bubur yang disajikan oleh pengurus masjid hanya ketika Bulan Ramadhan sebagai menu berbuka puasa. Bubur ini masih menggunakan resep asli dari India. Mumpung ini Bulan Ramadhan, tidak ada salahnya untuk mencicipi Bubur India ini di masjid ini. Seperti yang aku lakukan setiap Ramadhan.
Masjid Pekojan |
Hari mulai beranjak petang, kami melanjutkan perjalanan kami menuju destinasi terakhir kami, yaitu Klenteng Tay Kak Sie yang berada di kawasan Pecinan. Jarak antara Masjid Pekojan dengan Klenteng Tay Kak Sie tidak terlalu jauh. Sekitar 10 menit jalan kaki.
Masjid Pekojan |
Klenteng Tay Kak Sie terletak di Gang Lombok. Nama “Lombok” berasal dari lokasi klenteng yang dulunya merupakan kebun lombok. Klenteng Tay Kak Sie dibangun pada tahun 1746 dan berada di pinggir Kali Semarang. Pada jaman dahulu, Kali Semarang merupakan jalur utama perdagangan.
Klenteng Tay Kak Sie sering mendapatkan sebutan klenteng para dewa. Hal itu dikarenakan lengkapnya dewa yang berada di klenteng ini. Klenteng Tay Kak Sie juga sering mengadakan pertujukan wayang potehi. Wayang potehi sangatlah unik. Wayang potehi digelar bukan untuk menghibur penonton, namun untuk menghibur para dewa. Wayang potehi hanya digelar pada saat tertentu.
Klenteng Tay Kak Sie |
Di sekitar klenteng terdapat warung lumpia yang sangat terkenal, yaitu Lumpia Gang Lombok. Klenteng Tay Kak Sie terbuka untuk umum. Namun, tetaplah jaga ketertiban ketika berkunjung ke tempat ibadah, seperti Klenteng Tay Kak Sie. Aku sangat menyukai bentuk kontruksi di klenteng-klenteng di kawasan Pecinan. Sebgaian besar kontruksinya masih sama dengan pertama kali dibangun. Termasuk kayu-kayu yang menjadi penyangganya yang masih kokoh hingga sekarang. Padahal rata-rata usia klenteng sudah lebih dari 150 tahun.
Hari mulai beranjak malam, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke meeting point. Kami menyusuri Kali Semarang. Tiba-tiba imajinasiku terbawa ke jaman dulu. Ketika Kali Semarang menjadi jalur utama perdagangan di Semarang. Menghubungkan satu tempat dengan tempat lainnya. Membelah kawasan Pecinan, Kota Lama, dan Kampung Melayu. Hilir mudik perahu-perahu para pedagang menghidupkan suasana kota ini. Namun, kini Kali Semarang hanyalah sebuah kali yang kurang terawat dan mungkin sudah dilupakan tentang ceritanya di masa lalu.
Teman-teman Bersukaria Walking Tour berhasil membawaku mengenal lebih jauh tentang kota Semarang. Mereka masih memiliki beberapa rute yang bisa memberikan pemahaman baru tentang kota ini. Semakin sering mengikuti walking tour ini, maka semakin banyak pengalaman baru yang bisa aku ceritakan kepada teman-temanku tentang kota ini. Mungkin kamu bisa berimajinasi dengan cerita yang aku tulis, namun akan lebih seru ketika kau mengikutinya dan menulis pengalamanmu sendiri.
Sebagai orang asli Kota Semarang, merupakan sesuatu yang penting bagi kita untuk mengenal kota ini. Agar kita paham dan bisa bercerita banyak tentang kota ini. Bagaimana kita bisa bercerita tentang kota kita? Sedangkan kita tak mengenal tentang kota kita sendiri.
Sampai jumpa di rute lainnya…!!!
0 comment
sebagai koa yg hidup dari persinggahan kapal, semarang memang kental dengan berbagai macam budaya. dan menjadi kota ini semakin beragam. semoga tetap seperti ini, dan damai tenang hidup berdampingan ^^
Jadi ikut ngebayangin andai Sungai Semarangnya bisa menjadi venice van java, pasti keren banget tuh mas.
Di semarang terjadi banyak sekali akulturasi budaya yang dibawa para pendatang dan orang pribumi. sudah sejak dulu mereka hidup saling berdampingan
jangan terlalu dibayangin mas rudi, soalnya kondisi kali semarang sudah tidak seperti ratusan tahun silam 😀
Hahah aku ya membayangkan Sungai Semarang itu kayak venice van java.
Sebetulnya kalo di kelola lagi lumayan loh itung2 wisata dalam kotanya tambah, jadi ga ke Lawang Sewu aja :))
Eh mas walking tournya ini kalo bulan puasa aktif juga ?
This comment has been removed by a blog administrator.
Jangan dibayangin, soale kondisi kali semarang udh bnyak berubah…hehehe
Semarang ga cuma lawang sewu aja…ayok nyemarang 😀
Ttp aktif kok…kmrin sabtu abis walking tour 😀
Makin penasaran aja nih sama Semarang. Apalagi dibulan Ramadhan seperti ini. Itu gimana rasanya bubur india mas..hehe
Apakah sama seperti bubur apa umumnya mas?
kurang lebih sama, yang membedakan itu kaldu buburnya mas.
Semarang, Pragota, kota syahbandar di masa silam yang kemegahannya masih tersisa hingga saat ini. Minus udaranya yang panas dan enggak banget, sebenarnya Semarang kota yang enggak ngebosenin buat didatangi pecinta sejarah dan kuliner. Saya selalu suka keliling Kota Lama dan Pecinan, icip2 kulinernya yang legendaris, nyam nyam.
wah mas rivai jago nulis ternyata..
baca tulisannya bikin jadi berimajinasi menyusuri Kali Semarang melewati tempat2 ini 🙂
ndak jago sih…cuma menyalurkan hobi aja 😀
aah…kali semarang sudah tak elok seperti dulu, apalagi untuk dilewati sebuah perahu 😀
dan sejarah di kota semarang itu saling berkaitan satu sama lainnya. Jadi yaa mesti belajar terus dan terus ttg sejarah kota ini.
Keren ya Semarang, unity in diversity. Multikultural tapi bisa saling menghargai dan jarnang konflik berbasis SARA. Jakarta harus belajar banyak dari Semarang..
di semarang juga jarang terjadi bentrok antar etnis..semuanya aman dan rukun 😀