Aku masih berada di Kecamatan Suhaid ketika Bulan Ramadan tiba. Kami tidak lagi melakukan kegiatan lapangan. Keseharian kami hanya diisi dengan mengerjakan data-data lapangan. Sesekali kami pergi ke desa untuk melengkapi data yang masih kurang. Suasana tempat tinggal di Suhaid memang berbeda dengan suasana di Selimbau. Di Selimbau kami tinggal di area pemukiman warga, sedangkan di Suhaid tinggal di rumah dinas yang berada di area kantor kecamatan. Lokasinya sekitar 200 meter dari area pemukiman warga. Meskipun begitu, aku masih melakukan kebiasaanku ketika masih berada di Selimbau, yaitu berjalan kaki keliling area pemukiman warga. Bahkan ketika berpindah ke Kota Putussibau, aku tetap berjalan kaki berkeliling sekitar tempat tinggal.
Di Bulan Ramadan aku mengubah jadwal jalan kaki menjadi sore hari. Biasanya aku sekalian membeli kudapan untuk berbuka puasa. Aku memulai berjalan kaki dengan menuju Desa Nanga Suhaid dengan melintasi masjid desa. Masjid desa terlihat sangat megah dan selalu ramai ketika salat jumat. Terlihat dua orang jamaah laki-laki sedang tadarrus Al Quran menggunakan pengeras suara. Suaranya nyaring, dan sangat enak didengar.
Jalan utama di area pemukiman masjid menggunakan jembatan kayu yang telah dilapisi dengan beton. Hanya untuk jalan kaki, motor tidak boleh melintas di jalan ini. Motor milik warga biasanya diparkir di dekat area masjid. Sedangkan sepeda masih bisa melintas. Ukuran lebar jalan hanya 1.8 meter. Tidak terlalu lebar, tapi cukup nyaman dan aman untuk berjalan kaki.
Aku berhenti di ujung jalan. Di sana ada seorang perempuan muda yang sedang menjual gorengan di teras rumahnya. Perempuan muda itu menawarkan bakwan kepadaku. Namun, aku mesti menunggunya untuk beberapa menit. Dia baru saja menggoreng beberapa bakwan untukku. Bakwan di sini bentuknya tidak seperti bakwan yang biasa aku temui di Pulau Jawa. Di sini bakwan bentuknya malah mirip dengan pia-pia yang di atasnya diberi udang atau ikan teri. Tidak ada sayuran kol, wortel, ataupun tauge. Sore itu aku membeli bakwan dan jalangkote. Tidak lupa bungkusan kecil saos sambel dimasukkan dalam kantong plastik. Di sini saos sambel jadi pelengkap untuk gorengam, bukan cabe rawit.
Baca Juga: Perjalanan ke Kota Putussibau

Aku berjalan kaki menyusuri jalan jembatan yang ada di Desa Nanga Suhaid. Aku bertegur sapa dengan warga yang sedang bersantai di depan rumahnya. Area pemukiman ini berbatasan langsung dengan Sungai Kapuas. Sore itu langit sangat cerah. Semburat senja mulai terlihat. Seorang warga masih memasang jala di sekitar sungai. Sungai Kapuas sepi, hanya ada beberapa perahu yang hilir mudik. Mungkin para nelayan sudah pulang dan membantu menyiapkan makanan berbuka puasa di rumah masing-masing. Kerupuk basah menjadi salah satu menu makanan yang wajib ada ketika berbuka puasa.
*****
Ketika berada di Kota Putussibau hampir setiap sore menjelang waktu berbuka puasa, aku dan Eka pergi membeli jajanan yang ada di dekat masjid yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Para penjual ini seperti pasar tumpah yang hanya ada ketika Bulan Ramadan. Ada puluhan lapak pedagang yang menjajakan aneka makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Mulai dari gorengan, kue, kolak, bubur, hingga lauk pauk dan sayur mayur. Biasanya para pedagang sudah bersiap mulai dari pukul 14.00. Pukul 17.00 sebagian besar jajanan sudah habis terjual.

Suatu malam aku kebagian tugas untuk membeli makanan. Setelah berdiskusi, akhirnya diputuskan untuk membeli makanan di warung ayam goreng. Aku memesan bandeng presto goreng. Itu sudah termasuk dengan nasi, sambal, dan lalapannya. Aku belum pernah menemukan menu bandeng presto di warung ayam goreng yang aku temui. Bahkan di Kota Semarang yang identik dengan bandeng presto sebagai oleh-oleh.
Bentuk bandeng presto yang disajikan juga berbeda. Jika di Semarang bentuk bandeng goreng lebih pipih. Sedangkan di warung ini, bandeng presto ukurannya terlihat lebih besar dan berisi. Tulang dan duri di bandeng presto sama-sama lunak. Tulang dan duri yang lunak menjadi ciri khas dari bandeng presto.
Ibu pemilik warung ayam goreng ini berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dia dan suaminya sudah lebih dari 15 tahun merantau di kota ini. Dari awal merantau sudah menjual menu ayam goreng, dll. Ibu penjual sangat ramah.
Selama berada di Kota Putussibau aku kerap berjumpa dengan para pendatang. Seperti berjumpa dengan salah satu penjual ayam goreng yang berasal dari Demak, Jawa Tengah. Penjual nasi goreng dari Surabaya, Jawa Timur. Penjual sate, gulai, dan tongseng yang berasal daerah Ngawi, Jawa Timur. Ketika kami mengobrol, secara tidak sadar kami menggunakan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa membuat kami merasa lebih dekat dan akrab, meskipun kami sama-sama sedang jauh dari Pulau Jawa.

Suasana berbeda aku temui ketika berada di Putussibau. Ketika waktu sahur para pemuda akan berkeliling desa untuk membangunkan warga. Mereka berkeliling desa sambil berteriak dan menabuh kentongan dan bedug. Suaranya ramai dan terkesan berisik. Bukan karena suara kentongan dan bedug, tetapi suara berisik knalpot yang digeber secara berlebihan. Sungguh sangat mengganggu, meskipun berhasil membangunkan kami untuk sahur. Kegiatan ini sudah menjadi sebuah tradisi dan kearifan lokal yang selalu dilakukan pemuda ketika Bulan Ramadan.

Selama di Putussibau aku tinggal bersama delapan orang temanku. Termasuk empat perempuan yang berasal dari daerah Selimbau. Mereka bersedia diajak berpindah tempat untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kami. Terkadang mereka juga bersedia memasakkan makanan berbuka atau sahur untuk kami.
Satu minggu menjelang lebaran, dua temanku pulang ke Semarang. Kemudian dua hari sebelum lebaran, keempat perempuan tersebut pulang ke Selimbau. Mereka akan menggunakan perahu cepat dengan menyusuri Sungai Kapuas selama 4-5 jam perjalanan. Menurut mereka, ini merupakan perjalanan yang lebih aman, dibandingkan melalui jalur darat yang beresiko mabuk perjalanan.


Aku dan Eka memilih tetap tinggal di Putussibau ketika lebaran. Nanti kami akan disusul oleh dua orang temanku yang juga tidak pulang ke Semarang. Mereka berdua sedang berada di Desa Nanga Suhaid dan akan tiba di Putussibau pada sore hari menjelang malam takbir.
Sudah sekitar enam bulan aku berada di Pulau Kalimantan. Tidak terasa besok sudah memasuki Hari Raya Idulfitri. Tahun 2020 lalu aku merayakan lebaran di Bekasi. Saat itu kasus Covid-19 mulai tinggi dan belum ada penanganan yang maksimal. Sedangkan kali ini aku merayakannya di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tentu saja ada kerinduan untuk merayakan lebaran dan berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Namun, aku merasa bahwa tidak ada salahnya mencoba merayakan lebaran jauh dari kampung halaman.
Baca Juga: (Kembali) Ke Mantan
Aku dan teman-temanku langsung berjalan kaki menuju masjid untuk melaksanakan Salat Idulfitri. Masjid dipadati oleh warga. Halaman masjid juga digunakan untuk area salat. Para orang tua terlihat khidmat mendengarkan ceramah khatib. Sedangkan anak-anak sibuk berbicara sendiri di bagian belakang. Setelah salat warga saling sapa dan memaafkan tanpa berjabat tangan. Mereka tampak bersukaria dan bergembira di hari yang suci ini.
Pagi itu jalan utama Kota Putussibau nampak lengang. Tidak ada warung makan yang buka. Untungnya kami sudah stok beberapa makanan sehingga pagi ini kami bisa sarapan. Di sore hari gerai makanan cepat saji sudah melayani pengunjung seperti biasanya. Akhirnya kami memilih makanan ini untuk makan malam di Hari lebaran ini.
*****
Kota Putussibau merupakan kota kecil. Tidak ada mall, bioskop, atau tempat hiburan apapun. Namun, kota ini memiliki banyak warung kopi. Mulai dari konsep angkringan, kedai kopi, hingga kafe. Setiap malam warung kopi selalu dipenuhi dengan warga. Baik laki, perempuan, muda-mudi, maupun orang tua. Sepertinya kopi sudah menjadi bagian penting dari kota ini.

Suatu malam aku dan Eka singgah di salah satu kafe yang ada di seberang Masjid Raya Darunnajah. Kafe ini terlihat seperti kafe pada umumnya. Beberapa meja dan kursi telah terisi oleh pengunjung. Di sudut ruangan terdapat rak buku yang berisi buku-buku novel. Salah satunya buku Titik Nol karya Agustinus Wibowo dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagian besar buku-buku ini dibeli secara daring. Hal itu wajar, karena di kota ini belum ada toko buku.

Barista menyambut kedatangan kami dengan ramah. Di salah satu sudut dinding terlihat foto-foto dengan perjalanan yang ditata dengan rapi. Ternyata itu adalah foto-foto miliki barista yang sekaligus pemilik kafe. Dilihat dari foto-foto tersebut, barista pernah mendaki Gunung Kerinci, Gunung Rinjani, dan Gunung Semeru. Selain itu, dia juga pernah pergi ke Titik Nol Kilometer di Pulau Sabang dan Takengon di Aceh Tengah. Salah satu tempat penghasil kopi gayo yang begitu terkenal. Kebetulan tahun 2017 aku pernah berada di Aceh. Jadi aku paham dengan apa yang dia ceritakan. Kami terlibat banyak obrolan tentang gunung dan perjalanan.
Ngobrol dengan dia seperti ngobrol dengan kawan lama yang sudah lama tidak ketemu. Kemudian saling bertukar cerita tentang perjalanan yang telah dijalani. Semuanya mengalir begitu saja tanpa perlu dibuat skenario atau alur cerita. Kami memang baru saja berjumpa, tetapi cerita perjalanan, gunung, dan kopi membuat kita seperti seseorang yang telah lama berkawan.
Cerita Dari Kapuas
Kota Putussibau
April-Mei 2021
48 comments
Menurutku, kafe yang kamu samperin itu keren mas. Ada buku-buku yang identik dengan cerita perjalanan. Pasti yang punya kafe itu orangnya tahu dengan dunai buku dan perjalanan
Akhirnya setelah ngobrol, jadi tahu kalau pemiliknya suka mendaki gunung dan jalan-jalan. Buku-bukunya jadi sumber inspirasi dalam perjalanannya.
Rasanya teduh sekali menyimak Ramadhan dan lebaran Mas Rifai di Putussibau. Tentang bakwan khas sana, ada ikan presto. Tentang kebersamaan Mas Rifai dengan teman-teman. Tentang jalan-jalan keliling desa. Tentang masjid, jembatan, suara knalpot …. dan… Pembicaraan dengan pemilik kafe yang baru saja dikenal namun asyik saling berbagi cerita perjalanan.
Hem, saat lebaran 2022, teringat ndak dengan pengalaman tahun 2021 ,tsb?
Terima kasih banyak mbak tuty 😀
Tentu saja ingat. Pas sarapan lontong opor langsung bilang kalau tahun lalu makan indomie rebus setelah salat ied 😀
Senengnya kalo pas ngobrol ketemu temen yang satu hobi dan satu frekuensi 😀
Waktu rasanya cepet banget 🙂
Terusin jalan2nya vai, biar lebih gampang nyambung sama obrolan orang dan ketemu temen yang satu frekuensi..
Bener sih, ngobrol banyak hal padahal baru ketemu. Jalan-jalan emang cara yang tepat untuk ketemu orang-orang baru dengan segala ceritanya 😀
Kebiasaan kita sama mas vay, suka keliling tempat baru. Biasanya ada aja ketemu hal menarik. Tapi lebih sering sambil jogging, bukan jalan kaki
Jalan kaki dan jogging adalah salah satu cara untuk lebih mengenal dan melihat sebuah tempat yaa mas. Udah kayak intel aja mas 😀
Merayakan hari raya idulfutri bukan di kampung halaman sendiri, tentu sangat menarik. Ditambah lagi tinggal di kota yg jauh dari hiruk pikuk dan hiburan malam. Semoga suatu hari bisa berpetualang dan berkelana seperti masvay.
Semoga suatu saat bisa mendapatkan kesempatan dan menemukan perjalanan yang dicari.
Makasih koh sudah berkunjung
Cerita perjalanan yang selalu menarik Mas Broo, juga dengan hal hal unik yang ditemui, seperti Bendeng Presto di warung ayam goreng, memang benar ya istilah “Selalu ada cerita manerik dalam sebuah perjalanan”
Makasih mas ruly, tinggal menikmati setiap apa yang terjadi dalam perjalanan.
Mau coba juga merasakan Ramadan dengan tinggal di kota lain dalam jangka waktu yang lama, pasti seru ya hehehe
Iyaa, patut dicoba. Apalagi sampai lebaran dan bisa membaur dengan warga lokal. Pasti bakal lebih seru.
Seru juga ya pengalaman Ramadan dengan tinggal di kota yang baru, patut dicoba
Seru banget. Semoga suatu saat bisa lebaran di daerah lain.
punya kerjaan yang memungkinkan eksplore tempat baru memang selalu seru (ya tentu selalu ada juga cerita drama kerjanya)…. terima kasih sudah menuliskan cerita ini dengan apik…. ah aku jadi kangen kerja rasa liburan
btw, sedari kecil yg aku tau bakwan memang yg berbentuk cekungan…. kalau yg bentuknya lebih abstrak itu bala-bala, hehehehe
Kerja sambil liburan itu sangat menyenangkan. Pasti selalu ada drama. Tapi justru hal tersebut semakin memberikan kesan tersendiri dalam perjalanan.
Di semarang ga dikenal bala-bala. Baru tahu bala-bala ketika berada di jakarta, bekasi, dan sekitarnya. 😀
Jadi nggak makan kudapan khas lebaran dong ya mas?
Eh itu Kafenya keren banget, koleksi bukunya bagus-bagus. Jadi penasaran sama suasana kafenya kaya gimana mas
Ga ada. Ga makan lontong opor juga. Beli nastar, eh ternyata rasanya kurang. Lebaran malah sarapan indomie goreng telur.
Kafenya terdiri dari empat meja. Di sudutnya ada rak buku. Ada meja di luar ruangan jiga. Kafenya tidak besae, tapi sangat nyaman. Makanan dan kopi nya juga enak
Yah ampun jadi inget temen2 yg waktu itu harus ngerayain Idul Adha pas jalan2 di NTT. Yang seneng bisa nikmatin bareng temen baru plus juga disambut sama warga lokal. Tapi tetep beda banget, karena ga nikmatin makanan yg biasa ada. Makanan apa masvay yg paling dirindu pas Lebaran kemarin?
Kalau iduladha malah sering di luar kota. Khan dia liburnya cuma satu hari aja.
Setuju, rasanya emang beda, tapi tetap menyenangkan.
Sama kayak makanan pas lebaran lainnya, lontong opor. Walaupun opor bisa dibuat kapan aja, tapi momen lebaran, opor rasanya jadi beda..wkwk
Seru banget kayaknya kalo ngomong sama Bang Vay ini. Banyak banget pengalamannya. Lebaran yang identik dengan hiruk pikuknya di foto nampak sepi, apa gak kangen sama serunya Lebaran tempat ramai Bang Vay?
Kalau ngomong rindu juga bakal rindu. Hanya saja menikmati apa yang ada juga perlu. Jadi kalau lebaran di tanah rantau yaa dinikmati saja. 😀
Makasih mas firdaus
bakwannya kaya bakwan Pontianak yaa, yang bentuknya bulat dan pake udang. Tau bakwan ini juga pas hunting kuliner di pasar BSD. Btw penasaran sama kerupuk basah, biasanya kan kerupuk kan kriuk garing yaaa
Bener banget mbak wulan. Namanya bakwan pontianak.
Kerupuk basah itu sekilas kayak pempek. Kalau pempek pakai cuko, kerupuk basah pakai sambel kacang. Bahannya juga tepung dan ikan. Kerupuk basah ini ga digoreng kayak pempek. Enak dimakan ketika hangat. 😀
Seru banget pengalaman di Cafenya sudah bisa baca buku sambil ngopi ditambah bisa ngobrol2 dengan pemilik cafenya. Bukan hanya pengalaman saja yang jadi bertambah, tapi juga wawasan dan pengetahuan.
Mantap.
Konsep kafe seperti ini ga aku temui di kafe yang lain. Idenya sangat bagus. Kopi, buku, dan cerita perjalanan digabung menjadi satu.
Gorengan di sana pake sambal sachet dan bukan cabe rawit, berarti kurang cocok Ama seleraku mas . Krn rawit mahal juga kali Yaa, makanya lebih untung kalo pake sambel biasa. Di sini aja rawit buat gorengan udh dikurangin bangetttt, malah kadang ga ada.
Kerupuk basah, ini salah satu kuliner Kalimantan yg aku penasaran. Pernah liat dari Ig nya temenku yg kampungnya di selimbau. Kalo dia sedang mudik, suka tuh posting ttg kerupuk basah. Kalo liat dari penampakannya, rasanya aku bakal cocok sih.
Sayang juga di sana belum ada toko buku ya mas. Tapi hari gini, toh semuanya memang beli daring. Toko buku aja udah mulai sepi
Sebetulnya sama mbak fanny. Aku lebih suka cabe rawit, tapi kebiasaannya seperti itu. Akhirnya makan cuma dicocol. Setidaknya ada rasa pedes-pedesnya. Sekarang vabe rawit jadi makan mahal..wkwkkwk
Kerupuk basah rasanya rasa ikan. Enak dimakan pas hangat-hangat. Pernah sampai kalap makan banyak. Yaa gara-gara enak..wkwkwk
Beli daring emang jadi solusi, tapi tetap kepikiran ongkirnya. Kalau beli nunggu gratis ongkir..hiiks
Kenapa warung ayam jualannya bandeng sih wkwkwkwk
Btw apakah Putussibau ini dataran tinggi? Kota penghasil kopi kah?
Kham biasanya kalau di warung lalapan jual ikan nila, mujair, lele, bawal. Nah kalai di sini juga jual ikan bandeng presto. Jarang lihat menu itu di warung lalapan khan..?wkwkkwk
Dataran rendah. Di pesisir hulu sungai kapuas. Bukan daerah penghasil kopi
Seneng banget baca cerita ini, Mas.. Lebaran nggak harus mudik, yg penting maknanya dapet..idulfitri..
kalau ketemu orang jawa di luar jawa emang gitu ya, seneng serasa ketemu teman seperjuangan..btw bandengnya menggoda bangeet ituu..
Makna setiap perayaan emang penting. Salah satunya bisa ketemu dengan ramadan dan idulfitri dalam keadaan sehat.
Yaa mungkin itu salah satu sifat orang jawa. Selalu menganggap kawan seperjuangan.
Bandengnya enak mbak dewi 😀
Saya selalu suka membaca kisah perjalanan di daerah jauh dr pulau jawa, atwu daerah2 yg masih jauh dari modernisasi, mall dan bising, itu membuat saya selalu bersemangat untuk menjelajah lebih jauh dan belajar banyak hal
Mbak naila bisa baca artikel yang berlabel cerita dari kapuas. Itu berisi tentang pengalamanku ketika berada di kabupaten kapuas hulu. Tempat yang jauh dari kebisingan.
Aku jadi tertarik sama bakwan di Putussibau. Ga ada sayuran hanya ada tepung dan di tengahnya ada udang. Unik ya. Apalagi cara bangunin sahurnya yang pake knalpot.
Mbak husna bisa beli bakwan pontianak. Bakwan ini di jakarta dan sekitarnya dikenal dengan nama bakwan pontianak.
Kadang malah bikin pusing karena saking berisiknya.
Kali ini cerita masvay lebih familiar di pikiranku. Bakwan yang seperti pia, dikasih saos dan suasana sore menjelang bedug. Ah aku selalu rindu suasana itu. Meski mungkin kondisinya ga akan sama kayak dulu lagi.
Kalau di jakarta dikenal dengan nama bakwan pontianak.
Suasana pasti banyak berubah. Hal yang wajar. Kemudian kita akan menyesuaikan dengan cara seperti apa kita menikmatinya.
Salah satu keinginanku sampai detik ini adalah berlebaran di kampung orang, mengenal dan bertemu dengan lingkungan baru seperti masvay, pasti seru banget dan berkesan banget ya mas. Bisa menjelajah tempat baru pula, aaaa pasti seru dan asik. Selain dpt ilmu, pengetahuan jg dapat teman atau saudara baru.
Bisa diagendakan untuk lebaran tahun depan mbak endah. Pasti banyak pengalaman yang bisa didapat 😀
Sepertinya bakwan yang Kak Rivai bilang di atas sama seperti yang disebut bakwan pontianak yang bentuknya lingkaran seperti serabi. Iya kahhh? Soalnya kapuas sama pontianak kan sebelahan, jadi kayaknya bakwannya sama wkwk. Awalnya aku kebayangnya kayak bakpia terus baru ingat kalau bakwan pontianak bentuknya dan toppingnya beda dengan bakwan di Jakarta.
Di daerahku juga jarang ada yang jual bandeng presto di warung ayam. Berarti warung ayam yang Kak Rivai datangi lumayan bervariasi ya makanannya hahaha.
Nggak sangka kalau di sana juga ada kafe + banyak buku-bukunya pula!! Bikin betah banget nongkrong di sana wkwk
Iyaa, di jakarta dan sekitarnya dikenal dengan nama bakwan pontianak. Prosesnya sama persis kok. Topping biasanya ikan teri atau udang. Dulu aku pernah foto, ternyata malah sudah terhapus. Kalau di semarang disebutnya piapia.
Jarang lihat ada menu bandeng presto di warung pecel ayam. Jadi ini berasa sangat istimewa, meskipun sudah sering makan bandeng presto..hahahha
Banyak kafe, tapi warung kopi dengan proses tradisional malah lebih ramai dengan pengunjung.
Lebaran di kampung orang kesannya jauh berbeda ama lebaran di kampung sendiri.
Saya sudah dua lebaran ini merayakan lebaran di kampung orang.
Dan karena tinggal sendiri, rasanya jauh lebih sepi. Apalagi ketika selesai sholat id, yang lain bercengkrama bersama sanak saudaranya, saya bercengkrama hanya melalui video call.
sangat beda sekali mas. Setelah salat ied emang waktu yang sangat tepat untuk berkumpul dengan keluarga. Berhubung tidak bisa berkumpul, akhirnya hanya bisa menghabiskan waktu dengan video call 😀
Kopi jadi penutup terbaik di tulisan ini. Ditambah koleksi buku si pemilik, yang bikin kaki meronta-ronta pengen berjalan lebih jauh 😀
buku dan foto memang bisa jadi pemicu buat jalan 😀