Perjalanan menuju ke Embung Mbalong yang ada di Desa Sepakung tidaklah mudah. Motor yang dikendarai Bangun tak mampu menanjak. Tanjakan terlalu terjal, sedangkan motor tidak memiliki kesempatan untuk mengambil ancang-ancang terlebih dahulu. Akhirnya motor berhenti di tengah tanjakan dan aku turun dari motor untuk berjalan kaki.
Perjalanan ke Desa Sepakung sebenarnya sudah direncanakan sejak beberapa minggu yang lalu. Namun, belum dapat dilaksanakan karena kesibukan kita semua. Ketika ada yang bisa, tetapi beberapa tidak bisa. Kami menyadari akan sulitnya menyamakan jadwal kami semua. Kali ini Embung Mbalong menjadi tujuan kami.
Kami memulai perjalanan pada pukul 14.30. Jauh dari rencana awal. Namun, perjalanan menuju Desa Sepakung tetap berlanjut. Siang itu kondisi lalu lintas sangat lancar. Tidak terlihat adanya sebuah kemacetan. Hanya sedikit tersendat ketika tiba di persimpangan jalan. Perjalanan akan membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Lamanya perjalanan bukan karena jaraknya yang jauh, tapi karena kondisi jalan yang menanjak dan rusak di beberapa ruas.
Deta yang berada di barisan depan langsung menggeber motornya ketika melintas di Jalan Lingkar Ambarawa. Jalan ini memang terkenal dengan jalan yang lebar dan kondisi yang sepi. Jalanan ini didominasi oleh truk dan bus yang tidak bisa melewati jalan utama Ambarawa. Jalan Lingkar Ambarawa dikenal memiliki pemandangan yang bagus, seperti pemandangan Rawa Pening dan barisan pegunungan–salah satunya Gunung Merbabu. Bisa dibilang jalan ini merupakan salah satu jalan dengan pemandangan indah yang ada di sekitar Kota Semarang.
Laju kendaraan melambat ketika kami memasuki Kecamatan Banyubiru. Jalan lebih sempit dan kondisinya lebih ramai. Kami mengarahkan kendaraan kami menuju sebuah gang yang mengarah ke Desa Sepakung. Kali ini Rony berada di barisan depan karena dia mengetahui lokasi Embung Mbalong. Sementara itu, aku yang membonceng Bangun berada di baris terakhir.
Baca Juga: Tiba-Tiba ke Kalikesek
Kami mulai melintasi jalan menanjak ketika memasuki Desa Sepakung. Desa berada di lereng Gunung Telomoyo. Bahkan terdapat jalur sebagai akses menuju Gunung Telomoyo. Beberapa jalan menanjak dan berliku berhasil kami libas, meskipun motor melaju dengan sangat pelan. Entah berapa banyak jalan menanjak yang berhasil kami lewati. Jalan menanjak nan berkelok menjadi hal yang biasa bagi kami di siang itu.
Jalan berbatu yang tidak rata memaksa kami untuk melambatkan laju kecepatan. Kemudian beralih dengan jalan beton yang menanjak terjal. Motor yang Bangun kendarai tak kuat melaju. Kondisi ini memaksaku turun dari motor. Bagi kami ini adalah hal yang biasa ditemui sehingga kami hanya perlu menertawakannya saja.
Perasaan senang menghampiri kami tatkala kami tiba di Kantor Kepala Desa Sepakung. Kami bertemu dengan aktivitas warga desa yang sedang membersihkan gabah padi. Pemandangan hamparan sawah dan perbukitan menyambut perjalanan kami. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak sekaligus mengabadikan momen. Setelah ini kami akan melintas jalan perkebunan yang tidak ada permukiman warga.
Di akhir perjalanan kami bertemu jalan tanah yang kondisinya becek karena hujan tadi malam. Motor mengalami slip pada ban belakang akibat tidak bisa menghindari jalan yang becek. Aku kembali turun dari motor dan memilih untuk berjalan kaki menuju ke sebuah rumah kayu yang berfungsi sebagai loket masuk.
Setiap orang dikenakan biaya masuk sebesar Rp5.000. Tidak ada biaya parkir. Rumah kayu yang berfungsi sebagai loket juga menjajakan makanan. Di sekitar rumah kayu terdapat bangku dan beberapa motor yang diparkir. Di sebelah rumah kayu juga terdapat tanah lapang yang bisa digunakan untuk area berkemah. Embung Mbalong berada sekitar 30 meter dari sini.
Baca Juga: Obrolan Santai di Pasar Gedhe dan Slari Coffee
Kami memutuskan untuk memarkirkan motor di dekat tiga pohon yang ada di tanah lapang. Rencananya Deta dan Rony akan memasang hammock sehingga dibutuhkan pohon untuk menambatkan tali hammock. Di dekat pohon juga terdapat bangku panjang dan meja yang bisa kami gunakan. Kawasan Embung Mbalong tidak terjangkau oleh sinyal telepon dan internet.
Rony dan Deta sibuk memasang hammock milik mereka. Sementara itu, aku dan Bangun menyiapkan perlengkapan untuk menyeduh kopi. Hammock telah jadi, kopi sudah siap. Akhirnya kami duduk santai menikmati suasana siang itu. Di meja sudah tersaji kopi, ubi rebus, dan beberapa camilan lainnya. Kami bercerita tentang berbagai hal yang kami temui sepanjang perjalanan tadi.
Rony dan Deta mulai pindah ke hammock mereka untuk merebahkan diri. Aku memilih berjalan kaki menuju Embung Mbalong. Di sepanjang jalan terdapat bangunan yang terbuat dari kayu. Mirip seperti sebuah rumah kayu. Terdapat sebuah kamar mandi, tapi kondisinya kurang terawat. Ada musala yang berada di depan, dekat dengan pintu masuk. Ukuran embung cukup luas dan tidak terlalu dalam. Mungkin kedalamannya sekitar 1,5 meter. Bahkan aku bisa melihat dasar embung.
Di sekitar embung ada sekitar delapan orang yang terbagi dalam tiga kelompok. Salah satu kelompok merupakan pasangan muda-mudi yang sedang menikmati suasana sejuk Embung Mbalong. Di kejauhan ada empat perempuan yang baru saja tiba di rumah kayu. Aku tidak menyangka mereka berani melewati jalan yang rusak, terjal, dan berkelok untuk tiba di tempat ini.
Gelas kopi kedua telah tersaji di meja. Kali ini Bangun yang bertugas meracik kopi. Hari sudah beranjak semakin sore. Kopi telah tandas. Kami bergegas untuk berkemas dan meninggalkan area Embung Mbalong. Dalam perjalanan pulang aku akan membonceng Rony.
Baca Juga: Tiba-Tiba ke Kota Solo
Perjalanan menyusuri jalanan Desa Sepakung di kala malam hari memiliki tantangan tersendiri. Tidak semua ruas jalan diterangi lampu penerangan jalan. Kami mesti tetap fokus dan berhati-hati. Di pertengahan jalan, Bangun memberi tanda bahwa rem kendaraannya mengalami gangguan. Tiba-tiba saja rem blong ketika menuruni jalanan curam. Kami memilih untuk berhenti sejenak dan menunggu rem dalam keadaan lebih dingin dan kembali berfungsi.
Saat itu kami berhenti di tepi jalan turunan yang menikung. Beberapa warga berhenti dan menanyakan kondisi kami. Kami bilang bahwa kondisi kami aman dan selamat. Hanya butuh waktu untuk bisa menunggu rem motor bisa berfungsi lagi. Di Desa Sepakung memang sering terjadi rem blong. Khususnya mereka yang mengendarai motor matik. Selain itu, biasanya pengendara juga belum terbiasa dengan kondisi jalan yang ada di Desa Sepakung.
Selang 45 menit kami kembali melanjutkan perjalanan pulang. Bangun masih terus berhati-hati agar rem pada motornya tidak mengalami masalah lagi. Suasana Desa Sepakung malam itu begitu sepi dan udara cukup dingin. Kami tidak langsung pulang, tetapi singgah sebentar di Kota Salatiga untuk makan malam.
Cerita dari Kabupaten Semarang
Embung Mbalong, Desa Sepakung
9 Juni 2024
24 comments
Embung itu maksudnya kolam kecil ya mas ?..tempatnya sejuk pastinya,masih banyak pohon-pohon, emang ngumpul bareng konco” sambil ngopi-ngopi mah sesuatu bangeet ..
Motor kalo nanjak emang motor khusus kayak motor trail itu mungkin ya.. kalo matic mah mungkin ga kuat nanjak wkkwkk…btw Ambarawa itu tujuan ku kalo ke kampung halaman bapak..Deket pasar Kranggan kalo ga salah namanya…suka suasana di sana.
Kolam penampungan air mbak. Sejuk karena lokasinya berada di daerah dataran tinggi.
Minimal nanjak pakai motor manual. Lebih aman dan nyaman ketika turunan.
Wah ambarawa yaa. Tentu saja, karena di ambarawa kalau malam suasanan masih sejuk.
Tempatnya menyenangkan buat bersantai. Apalagi kalau bawa hammock dan lainnya, bisa berlama-lama sembari menikmati waktu
kalau punya banyak waktu mungkin malah bisa tidur siang sekalian..hihi
Cocok sambil bawa bekal ahhahaha
nah, beneran piknik kalau gini..hahhaa
Ya Alloh suasana Ambarawa menuju desa sepakung indah banget. Mbul cuma pernah liwat ambarawane tok tapi ga lama hahahha…rasanya pengen liwat ke sana lagi liat rawapening dan museum kereta apinya…trus ke desa desa kayak gini Mas Vai..
asyiknya bersama temen temen bisa menikmati pemandangan hijau sambil gelar cemilan, kopi, bahkan kok aku malah fokus ke popcorne ya hahhaha…pasang hammock juga serasa diayun ayun ngko delo ngkas bubuk soale angine banter hahaha…
ambarawa masih punya hawa sejuk. Sangat menyenangkan untuk bisa eksplore ambarawa. Belum lagi banyak jajanan tradisional yang dijual di sana.
Beneran sih, tiduran di hammock emang bisa bikin ketiduran. Apalagi udaranya sejuk..hahaha
wah tempatnya syahdu sekali ya mas, cocok nih buat nyantai plus ngopi, apalagi kalau buat camping, eh tapi bisa nggak ya buat camping? kalau bisa pasti seru hehe
Di sana bisa untuk camping mas surya. Tapi kami belum berencana untuk camping di sana.
dengan melihat foto2 ini
saya sekarang butuh liburan ke tempat seperti ini
kerjaan makin tambah puyeng
sabtu ya masuk
kerjaan begini terus
liburannya kapan????
malah curhat
Nah itu, kita mesti menyediakan waktu untuk liburan. Itu sebagai cara kita agar tetap sehat 😀
Duuuuh aku ngebayangin duduk di Hammock pasti enaak banget ya mas. Apalagi kalo cuaca sejuk, terlindung pohon, ada kopi pula .
Embungnya ternyata kecil yaaa. Aku tuh belum pernah main air di embung begini mas. Kalo liat dari cerita temen2 yg ke embung di Klaten, kayaknya segeeeer banget. JD pengen cobain sesekali main air dengan mata air alami begini.
Udh bilang ke suami sih, kalo ntr ke Klaten atau Jogja tuh, main di embung2 nya. Banyak di sana kan.
Bahkan kalau waktunya lama bakal bisa beneran tidur di atas hammock..hiks
Embungnya kecil dan ga terlalu dalam bagi orang dewasa. Kalau di Klaten banyak umbul atau mata air. Yang paling terkenal ya umbul ponggok. Namun, banyak umbul yang belum ramai dikunjungi wisatawan.
ngeliat lokasinya memang adem, sejuk dan tenang gitu ya, sekelilingnya ijo ijo semua
kalau aku disuruh kesana sendirian kayaknya ga berani, apalagi kalau pas perjalanan pulang yang minim penerangan jalan
ke tempat seperti ini memang enaknya rame-rame ya, dan bawa hammock, mantap betul, kita bisa rebahan santai gitu, ditemani angin sepoi-sepoi
Aku saja tidak kepikiran untuk ke sana sendirian. Tempat kayak gini memang cocok bersantai bareng teman.
Pertama blog walking lngsung nemu blog ini lagi. Keren, salam dari Semarang
Terima kasih telah berkunjung
Bagus banget tempatnya, masih rindang. Rata-rata kendala untuk menuju tempat yang seperti ini adalah jalanannya yang nggak enak :”) Itu kolamnya bisa dibuat renang nggak mas Vay?
Jalannya memang menguji niat kita apakah benar-benar ingin ke sana atau tidak. Bisa dipakai buat berenang. Kebetulan kemarin ada yang berenang di sana.
Wahhh bagus yaaa Mas… Yakin deh aku kalau kesini pasti kaya orang Udik Cakepp soalnya, rindang… Foto yang dari kejauhan terus ada kalian sama motor jugaa cakeppp banget lihatnya. Asri dan Zenn..
Cuma jalanannya nggak kebayang sihh mengingatkan sama dulu sewaktu mau ke Bukit Mawar buat daki gunung ungaran. Itu Motor Revo aku nggak kuat nanjak kalau goncengannn.. Suaranya motor kaya lagi ngomong “HEHHH BISA NGGAK SIH LOO PADA, PADA TURUNN DULUUU!!!” Ucap si Revo
Semoga Alam disana bisa tetap terjaga ya Mas….
Itu foto yang terakhir aku malah salfok sama yang duduk di kursi berdua Kayaaa Ciyeeee
Asli bay. Tempatnya emang biasa aja, tapi emang bikin betah untuk bersantai. Itu masalahnya, jalan yang dilalui kebanyakan tanjakan. Jadi mesti berhati-hati dan pastikan motornya sehat-sehat aja.
Tanjakan mawar emang legend. Kalau motor lama sebaiknya jangan boncengan..wkwkwk
Sekilas kok kayak Ranukumbolo ya mas. Ranukumbolo ala-ala lah ini, hahaha
Tapi emang paling nyaman view kayak gini mas. Sambil ngopi dan bersantai.. udah gitu sore hari pulak.
Beuh, rasa ingin nyanyi lagu fourtwenty meningkat tingggiii… ahahaha
Aku belum pernah ke ranukumbolo mas. Jadi pengen ke sana ketika pendakian sudah dibuka lagi.
Suasana pegunungan memang ga pernah salah untuk tempat ngopi..wkwkwk