Suasana di depan gapura Kampung Bustaman sudah ramai ketika aku tiba di sana. Terlihat sebuah panggung kecil dengan seorang penyanyi yang menyanyikan lagu secara akustik. Setelah aku lihat dengan baik, ternyata dia adalah Udin Gondrong, seorang pemilik angkringan dan penjual soto di Semarang yang kini juga berprofesi sebagai pembuat konten. Kedatangannya di Kampung Bustaman memang untuk meramaikan tradisi Gebyuran Bustaman.
Tradisi Gebyuran Bustaman merupakan agenda rutin yang dilaksanakan di Kampung Bustaman setiap menjelang bulan Ramadan. Pertama kali diadakan pada tahun 2013. Dalam tradisi ini warga saling menyiramkan air atau biasa disebut dengan perang air. Tradisi Gebyuran Bustaman memiliki makna penyucian dan saling memaafkan dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Selain itu, tradisi ini jadi sarana untuk merekatkan hubungan antar warga Kampung Bustaman dan menjaga tradisi dan budaya kampung.
Kampung Bustaman merupakan salah satu kampung tertua yang ada di Kota Semarang. Keberadaan kampung ini tidak bisa dilepaskan dari Kiai Bustam yang merupakan kakek buyut Raden Saleh. Kiai Bustam pada masanya dikenal sebagai juru bahasa yang dipekerjakan oleh perusahaan Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC).
Kampung Bustaman dikenal sebagai asal gulai kambing bustaman. Gulai kambing Bustaman memiliki ciri khas tersendiri, yaitu parutan kelapa tidak diperas menjadi santan, tetapi disangrai dan kemudian dicampur ke dalam kuah gulai. Aroma gulai kambing akan menjadi suguhan utama ketika memasuki Kampung Bustaman. Di kampung ini juga terkenal sebagai kampung jagal kambing.
Baca Juga: Singgah di Kampung Bustaman
Aku, Deta, Mauren, dan Azfar–keponakan Mauren dan Deta–mulai memasuki Kampung Bustaman. Baru saja masuk, tapi keramaian warga kampung sudah terlihat. Banyak warga yang mengenakan kaos hitam yang bergambar poster acara. Desain posternya bagus. Sebuah tradisi yang dikemas dengan publikasi yang lebih modern. Di tembok rumah warga juga ditempeli poster acara berukuran besar. Tak berselang lama, seorang warga yang membawa pewarna di tangannya mendekati kami. Tiba-tiba dia mencoreng wajah kami dengan pewarna itu.
Aku baru menyadari kalau warga yang aku temui wajah sudah tercoreng dengan pewarna. Mungkin itu sudah jadi aturan yang tidak tertulis bahwa peserta Gebyuran Bustaman wajahnya harus dicoreng dengan pewarna. Tentu saja kami merasa senang. Bahkan kami meminta warga lainnya untuk mencoreng wajah kami. Sekarang sudah sama seperti peserta lainnya. Kami merasa diterima dengan baik di Kampung Bustaman.
Tradisi Gebyuran Bustaman akan dimulai setelah salat Ashar. Kami memilih berkeliling kampung untuk melihat aktivitas warga. Warga sudah menyiapkan air yang dibungkus dalam plastik untuk perang air. Deta sedang menyiapkan kameranya. Dia memang sengaja datang untuk berburu foto tradisi Gebyuran Bustaman, sedangkan aku akan membantunya dengan memegang lampu flash.
Seorang warga menghampiri kami untuk memberikan plastik untuk melindungi handphone dan kamera kami. Banyak fotografer dan media yang meliput tradisi Gebyuran Bustaman. Oleh karena itu, panitia ingin memastikan segala peralatan mereka terlindungi dengan baik dan aman. Patut diapresiasi cara panitia memperlakukan para media dan fotografer. Bahkan panitia juga menyediakan tempat penitipan tas. Adzan salat Ashar telah berkumandang. Warga bersiap untuk salat ashar terlebih dahulu.
Baca Juga: Dari Titik Nol Kilometer Semarang
Tradisi Gebyuran Bustaman dimulai dengan suara petasan di dekat gapura kampung. Dengan diiringi dengan tarian, lima anak kecil diarak berjalan menuju depan musala. Di sebuah kursi yang menjadi tempat duduk untuk mereka. Bapak Kepala Dinas Pariwisata Kota Semarang hadir dan memberikan sambutan tentang tradisi Gebyuran Bustaman. Setelah aku perhatikan, ternyata wajah beliau dicoreng pakai pewarna. Tidak hanya warga biasa, ternyata pejabat dinas juga diperlakukan sama, yaitu wajahnya dicoreng dengan pewarna.
Sambutan telah selesai. Suara petasan kembali meramaikan Kampung Bustaman. Kelima anak disiram sebagai tanda dimulainya perang air. Warga mulai melempar air ke segala arah. Semua orang harus basah. Kondisi mulai tidak terkendali, tapi itulah serunya perang air. Deta masih terus bergerak mencari momen terbaik untuk difoto. Aku terus mengikuti di belakangnya. Kami mesti secepat mungkin menangkap momen-momen yang terjadi. Badan kami pun basah terkena lemparan air.
Aku merasa tas ranselku cukup mengganggu pergerakanku. Aku juga khawatir isi tas akan ikut basah. Kemudian dengan segera aku menitipkan tas ranselku ke rumah warga yang berada di dekat musala. Kini aku jadi bergerak lebih leluasa. Tiba-tiba punggung terasa sakit karena terkena lemparan air. Setelah aku lihat, ternyata si Azfar melempariku dari belakang. Bocah kelas 4 SD itu ternyata sudah larut dalam keseruan perang air ini. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali lemparannya mengenai badanku. Sedangkan satu lemparannya meleset dan mengenai orang lain.
“Kamu ada dendam sama aku ya, Far?” tanyaku penuh canda ke Azfar.
“Akhirnya aku bisa serang Om Vai,” jawabnya sambil tertawa puas.
Aku dan Deta hanya tertawa terbahak-bahak. Tidak pernah terpikir untuk marah sedikit pun. Ini tradisi dari sebuah perang air. Tidak boleh ada kemarahan, kebencian, dan dendam di antara para peserta. Semuanya mesti larut dalam kesenangan dan kegembiraan.
Aku pun mulai mencari air untuk aku lempar ke orang lain. Beberapa lemparan sukses mengenai orang lain. Semua warga saling serang dan tertawa bersama. Semuanya larut dalam keseruan. Kondisi yang semakin tidak kondusif membuat Deta memilih untuk keluar dari arena perang air.
Dalam perjalanan keluar, hampir saja kepalaku terkena lemparan air yang berasal dari lantai dua rumah salah seorang warga. Beruntungnya aku berhasil menghindarinya. Mungkin akan terasa sakit sekali kalau lemparan itu mengenai kepalaku. Aku keluar arena dalam keadaan kuyup.
Aku sedari tadi tidak melihat Mauren, ternyata dia sudah keluar arena terlebih dahulu. Tanpa basah sedikit pun. Dia heran melihatku yang kuyup. Setelah mengembalikan lampu flash, akhirnya aku masuk ke dalam Kampung Bustaman lagi untuk mengambil tas yang aku titipkan di rumah warga.
Baca Juga: Jalan Kaki ke Simpang Lima
Badanku terasa kedinginan, tapi masih ingin ikut perang air lagi. Aku kira perang air sudah selesai, ternyata malah tambah seru. Sekarang peserta terbagi dalam dua kelompok saling serang. Mereka mengumpulkan air dari kran air yang ada di rumah warga. Mereka akan saling serang ketika air sudah terkumpul.
Tidak hanya orang tua, dan pemuda, tetapi para anak kecil juga ikut serta dalam perang air. Si Azfar pun masih bersemangat ikut perang air. Tidak ada rasa lelah yang terlihat di wajahnya. Dia malah terlihat cengengesan sambil membawa dua plastik air yang siap untuk dilemparkan. Entah dia dapat dari mana dua kantong plastik berisi air itu. Anak dengan badan tambun ini tahan banting mengikuti perang air.
Aku duduk di bangku kayu bareng warga lainnya. Sesekali terkena guyuran air yang dilempar kelompok lain. Beberapa pemuda dengan sengaja melempar air ke arah temannya. Aku merasa lemparan itu terasa sakit. Pemuda lainnya malah tertawa dengan momen itu. Satu kelompok dengan membawa air berusaha mengejar kelompok lainnya.
Aku mengambil tas ransel yang aku titipkan. Dalam perjalanan keluar Kampung Bustaman, aku melihat Kepala Dinas Pariwisata Kota Semarang juga kuyup. Coretan pewarna di wajah juga sudah hilang. Ternyata beliau yang seorang pejabat pun juga terkena serangan air dari warga. Dalam tradisi Gebyuran Bustaman semuanya dianggap sama. Seperti ada aturan kalau semuanya harus basah dan tidak boleh marah, apalagi dendam ketika terkena lemparan air.
Pada dasarnya, tradisi ini bertujuan sebagai sarana untuk merekatkan hubungan warga sehingga tidak boleh ada kemarahan, kebencian, dan dendam di antara warga. Sejak awal aku sudah berencana untuk ikut basah dalam Gebyuran Bustaman. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa ikut basah dalam perang air ini. Aku meninggalkan Kampung Bustaman dengan senyum yang lebar sebagai bentuk kegembiraan sore ini. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Mungkin tahun depan bisa ikutan perang air ini lagi.
Cerita dari Semarang
Gebyuran Bustaman
3 Maret 2024
22 comments
Aku baru denger dan baru tau gebyuran Bustaman ini ternyata tradisi untuk menyambut bulan puasa ya mas..taunya atau sering dengernya sih padusan..atau adus / mandi..ya tujuannya katanya untuk menyucikan diri menjelang puasa…seru sih kayak gini, berbaur dengan penduduk setempat,jarang”bisa basah”an ,yang hanya ada setahun sekali…emmm gulai kambing yang pakai kelapa sangrai itu ngebayanginnya aja udah ngiler..duh mana buka puasa masih lama 😀
Padusan memang sudah jadi tradisi di banyak tempat di Indonesia. Gebyuran ini lebih mirip ke perang air. Sungguh seru bisa basah-basahan dan larut dalam kegembiraan bersama.
Ya nanti kalau ke semarang bisa coba makan gulai kambing bustaman, mbak heni 😀
seumur-umur baru banget tahu ada tradisi ini… makasih banget udah menuliskan ini. Ternyata emang tradisi baru ya, 2013.
Jadi penasaran apakah tradisi ini tercipta secara tidak sengaja atau memang dibuat untuk memeriahkan bulan ramadan, sekaligus bagian dari pengembangan pariwisata? atau merupakan pengembangan dari tradisi yang ada sebelumnya?
Soalnya tradisi padusan yang di komentar atas pun, aku baru denger emang Indonesia kaya banget dengan tradisi ya…
Gebyuran bustaman itu sengaja diciptakan oleh komunitas yang peduli pada pengembangan kampung kota. Salah satu kampung yang dikembangkan adalah kampung bustaman. Pengembangan kampung dilakukan dengan pendekatan sejarah dan tradisi yang ada di kampung tersebut. Pengembangan dilakukan dengan melibatkan warga kampung sebagai bagian penting.
Setelah sekian tahun, tradisi gebyuran bustaman dinilai sangat berhasil dalam menghidupkan kampung bustaman dan ini bisa menjadi daya tarik wisata. Kemudian dinas pariwisata kota ikut membantu dan memasukkan tradisi ini dalam kander event wisata kota.
wah seru banget. selalu tertarik sama pengembangan kampung kota. di bandung juga ada beberapa yang dikelola komunitas kreatif– setau saya di cigondewah sama ada satu lagi di daerah dago. kampung kota tuh rasanya emang indonesia banget (khususnya di pulau jawa yang padat penduduk). 😀
Pengembangan kampung secara komunitas dan kolektif ini memang selalu menarik perhatian. Kalau di Dago seperti apa pengembangannya..?
Kampung kota selalu identik dengan permukiman padat 😀
Wah kok seru acaranya mas, sampai dinas pariwisata datang itu artinya memang agenda ini jadi salah satu kegiatan rutin dan mendatangkan banyak wisatawan lokal. Keren acaranya
Bener mas sitam, acaranya sudah didukung dinas dan dimasukkan dalam agenda tahunan.
Baca ini aku jadi inget festival Songkran di Thailand mas . Sama2 perang air. Baru tau loh di Semarang ada juga.
Tapi gagal fokus pas diceritain ttg gulai kambingnya ya, yg pakai kelapa sangrai .ini maaah enaaaakkkk. Krn dulu mama juga bikin kari kambing pake kelapa sangrai selalunya. Itu bikin aromanya makin wangi dan kuah pekat ❤️.
Berarti kalo ke Semarang aku hrs sih mas ke tempat ini cobain kari kambingnya.
Seru juga acara perang airnya. Walopun mungkin aku milih mundur, Krn ga suka basah2an .
Semoga tradisinya ttp terjaga baik dan tidak disusupi oknum yg berniat jelek. Krn Bbrp kejadian di Thailand saat Songkran ada banyak yg dilecehkan. Jangan sampai itu terjadi juga di tempat kita
Nah mirip dengan acara songkran. Hanya saja ini levelnya kampung.
Nanti kalau di semarang bisa cari gulai kambing bustaman. Ada beberapa yang terkenal, salah satunya di belakang gereja blenduk, kota lama. Kalau ingin di dekat kampung bustaman juga ada.
Kemarin berlangsung dengan baik, tanpa sebuah ada niat buruk dan pelecehan. Semoga tetap terjaga dengan baik.
Baru tahu ada acara gebyuran Bustaman di Semarang. Seru banget ya mas Vai, apalagi ada sambutan dari kepala dinas pariwisata. Salut juga panitianya gercep kasih pelindung kepada alat elektronik karena memang rentan kena air. Semoga tradisi ini tetap bertahan di era modern ini.
Seru banget makanya layak ditunggu satu tahun sekali. Perbaikan pelaksaan selalu dilakukan mas agus, termasuk penggunaan plastik pelindung hp dan kamera.
Seru juga ya
banyak yang bikin konten pula
nah itu repotnya jika ada rasa dendam, kesempatan untuk melampiaskan hehehe
Makanya untuk ikut acara ini tidak boleh ada benci dan dendam. Mari seru-seruan bareng 😀
Seru banget ini tradisinya.belum pernah denger di wilayah lain, bener2 khas kampung bustaman berarti ya
Terima kasih artikelnya, jadi tau tradisi jelang ramadhan deh
Satu-satunya gebyuran yang ada di kota semarang kak. Terima kasih telah berkunjung kemari
oalah artinya gebyur itu gitu toh
bener banget mas rezky
Mas, tradisi ini hanya ada di Kampung Bustamana itu ya, tidak ada di kampung lainnya di Semarang?
Benar-benar unik ya dengan filosofi saling memaafkan sebelum memasuki bulan Ramadan.
Semoga tradisi yang unik dan baik ini tetap terawat.
Selamat menjalankan ibadah puasa Mas.
Salam,
Gebyuran seperti ini hanya satu-satunya di kota semarang om asa. Harapannya juga begitu, tradisi seperti ini bisa tetap terjaga dengan baik.
Kok aku malah fokus ke gulai kambing bustaman? ngeliat penjabaran dari masvai aku jadi kemlecer wkwkwk…kapan kapan kalau mampir Semarang boleh ah aku mampir gulai kambing bustaman
gebyuran bustaman kelihatan seru.. yang ikutan jadi ikut dicoret coret wajahe ya hahahah…terus digebyur banyu teles udah pasti jadi amankan tas yang ada hapenya biar ga kena air…Kalau kayak gini jadi seru ya, berasa kayak anak kecil yang main air….seneng karena bisa ikut seseruan meramaikan tradisi jelang puasa
Gule bustaman memang layak dicoba sih. Gulenya emang beda dengan gule yang ada di pasaran. punya karakter sendiri.
Gebyuran bustaman meang seru. Bagi mereka yang suka main air tidak ada salahnya untuk ikut gebyuran bustaman.