Pagi itu, waktu sudah menunjukkan pukul 08.15. Aku bergegas menuju ke kantor kepala desa. Sesuai dengan rencana, hari ini aku akan diajak perangkat desa dan beberapa warga untuk masuk di wilayah hutan yang ada di Desa Benuis. Wilayah hutan ini juga menjadi batas Desa Benuis dengan beberapa desa lainnya. Namun, kami tidak masuk hingga batas desa. Hanya sekitar tiga kilometer dari jalan tani.
Tiga warga desa sudah menungguku di batas jalan tani. Mereka adalah Pak Lampuk, Pak Lahan, dan Pak Lebak. Usia mereka bertiga sudah lebih dari 50 tahun dan terbiasa masuk ke dalam hutan. Mereka merupakan warga dari Dusun Lidung. Dusun Lidung merupakan satu dari tiga dusun yang ada di Desa Benuis. Dusun ini sangat menarik, karena secara administrasi wilayahnya terletak di Desa Jongkong Hulu. Namun secara asal usul dan sejarah, warga Dusun Lidung merupakan orang-orang dari Desa Benuis. Selain beliau bertiga, perjalananku pagi ini juga ditemani oleh dua ekor anjing. Anjing-anjing ini memang terbiasa mengikuti pemiliknya pergi ke kebun atau hutan.
Untuk menuju area hutan, kami mesti melewati jalan tani yang masih berupa jalan tanah. Jalan ini baru beberapa bulan yang lalu dilebarkan menggunakan alat berat. Menurut warga, beberapa area lahan yang sudah diratakan akan dijadikan area perkebunan ketela pohon. Kami berhenti di salah satu ujung jalan tani. Perjalanan trekking akan dimulai dari sini.
Baca Juga: Tinggal di Desa Benuis
Baru berjalan kaki beberapa menit, aku langsung disuguhi pemandangan sungai yang mengalir. Airnya terlihat sangat jernih dan arusnya tidak deras. Menurut Pak Lahan, sungai bernama Sungai Mayan. Sungai ini memiliki lebar sekitar 5-6 meter. Terlihat sebuah batang pohon dengan diameter 30cm melintang dan menghubungkan kedua tepi sungai. Awalnya aku mengira bakal trekking dengan sedikit menyusuri aliran sungai dan kemudian memasuki area hutan. Namun, ternyata perkiraanku salah.
Pak Lahan yang diikuti kedua anjingnya mulai berjalan melintas di atas jembatan titian yang terbuat dari batang pohon tersebut. Aku baru sadar jika batang kayu tersebut dimanfaatkan sebagai jembatan titian untuk menyeberangi sungai. Kedua anjing berjalan di atas jembatan titian tenang dan santai layaknya seekor anjing yang terlatih. Pak Lampuk sudah terlihat di seberang sungai. Entah kapan beliau menyeberangi melintas di atas jembatan titian ini. Kedua bapak-bapak bisa menyeberangi sungai dengan aman, meskipun air sungai terlihat membasahi sebagian jembatan titian.
Kini giliranku untuk melintasi jembatan titian tersebut. Pak Lebak memberikan sebuah batang bambu yang bisa aku gunakan sebagai pegangan. Aku sedikit gugup dan ragu ketika sedang berjalan di atas batang pohon ini. Aku belum pernah melewati sungai selebar ini dengan menggunakan batang pohon sebagai jembatan titian. Ada rasa mendebarkan ketika melintas di titian kayu ini. Perasaan semakin mendebarkan ketika sampai di tengah jembatan titian ini. Di momen itu aku merasakan air sungai yang mengalir membasahi sepatu dan sebagian celanaku.
“Byuuuurrr…!!!” Aku terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.
Kedalaman sungai sekitar 120-130 cm. Tidak terlalu dalam. Aku masih bisa berdiri ketika tercebur ke dalam sungai. Aku langsung memegang jembatan titian kayu dan berusaha tetap tenang. Pak Lahan langsung menolongku dengan sigap. Dengan sedikit tarikan dan tanganku bertumpu pada jembatan titian, akhirnya aku bisa naik lagi ke atas jembatan titian. Aku meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Tidak ada luka atau merasa syok karena tercebur ke sungai.
Perjalanan baru saja dimulai, tapi celana dan sebagian kaosku sudah basah karena tercebur ke sungai. Beruntungnya tas dan benda lainnya tidak ikut basah. “Ayo pak, kita jalan lagi!!!” Ajakku.
Aku tidak khawatir karena celana yang aku pakai terbuat dari bahan yang cepat kering. Kemungkinan bisa kering dengan sendirinya selama perjalanan. Pak Lahan dan Pak Lampuk mengambil posisi di depan. Sedangkan aku di tengah dan Pak Lebak di barisan belakang. Berbeda dengan kedua temannya yang menggunakan sepatu, Pak Lebak hanya menggunakan sandal jepit. Namun, hal tersebut tidak mempengaruhi langkah kakinya.
Beberapa kebun milik warga telah kami lewati. Setelah melewati perbukitan, kami mulai memasuki area hutan. Area hutan sangat lebat dan rimbun. Pohon-pohon tumbuh tinggi menjulang ke atas. Lebatnya hutan membatasi sinar matahari untuk masuk. Terkadang tanah yang kupijak terasa lembab dan basah. Tidak hanya karena hujan, mungkin karena sinar matahari yang kesulitan untuk menembus lebatnya hutan guna mengeringkan permukaan tanah.
Aroma khas dari tanah yang dibasahi oleh air menemani perjalananku. Aroma ini sangat menenangkan. Beberapa kali aku berhenti sejenak untuk menghirupnya dalam-dalam. Tidak hanya petrikor, aroma dari hewan serangga juga tercium. Banyak aroma yang tercium oleh penciumanku. Mungkin jika indera penciuman milikku setajam milik Jati (tokoh di buku Aroma Karsa), sepertinya aku bisa menjelaskan setiap aroma yang tercium olehku.
Tanah yang subur dan banyaknya pepohonan yang tumbang membuat tumbuhan lumut dapat tumbuh dengan baik. Tidak hanya tumbuhan perintis ini, tumbuhan jamur juga tumbuh dengan subur dan liar seperti halnya ketika musim hujan. Koloni semut juga menjadikan batang pohon yang tumbang sebagai sarang mereka. Jangan mencoba menyentuh koloni ini, jika kita tidak ingin merasakan gigitannya. Setiap aku melangkah, aku bisa dengan mudah melihat tumbuhan kantong semar tumbuh subur di hutan ini. Ukurannya lebih besar dibandingkan ketika aku melihatnya di area kebun warga.
Baca Juga: Orang-Orang Desa Benuis
Kantong semar merupakan tumbuhan yang sangat unik. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan karnivora dan memiliki kantong yang berfungsi sebagai penangkap serangga atau hewan kecil lainnya. Tumbuhan ini memiliki puluhan spesies dan tumbuh di wilayah yang lembab dan minim sinar matahari. Kantong di tumbuhan ini juga bisa terisi oleh air hujan atau embun. Bagi para pendaki gunung dan penjelajah hutan, air yang ada di kantong tumbuhan ini biasa dimanfaatkan sebagai sumber air yang bisa diminum secara langsung.
Aku terus melangkah menyesuaikan tempo berjalan agar tertinggal dalam rombongan. Penyesuain tempo ini membuatku tidak cepat lelah dan tidak banyak istirahat. Hingga pada akhirnya, kami tiba di titik yang sudah ditentukan. Titik ini merupakan sebuah persimpangan jalan setapak dengan beberapa pohon besar yang berfungsi sebagai penanda. Persimpangan ini masih masuk wilayah Desa Benuis dan menjadi jalan yang dahulu digunakan untuk menuju ke beberapa desa yang berbatasan dengan Desa Benuis.
Sambil beristirahat, para orang tua ini mengeluarkan tembakau kering dan melintingnya dalam sebuah kertas rokok. Berbeda dengan dua kawannya, Pak Lebak memilih untuk memasukkan potongan tembakau dalam pipa rokoknya yang terbuat dari kayu. Aroma dan asap tembakau menyeruak dalam obrolan kami.
“Kalau pakai tembakau gini lebih hemat, Mas. Satu ons harganya Rp10.000 bisa habis selama empat hari. Kalau rokok biasa mungkin sehari satu bungkus.” Jelas Pak Lebak.
Ketika kami sedang beristirahat, Pak Lampuk minta ijin sebentar untuk berburu labi-labi yang ada di sungai yang tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Sebenarnya aku juga diajak, tapi aku memilih untuk beristirahat dan menikmati suasana hutan ini. Sekitar 20 menit kemudian, Pak Lampuk kembali tanpa membawa seekor labi-labi. Kata beliau labi-labinya masih terlalu kecil. Jadi masih terlalu muda untuk dimakan.
Perjalanan pulang ternyata lebih melelahkan. Beberapa kali aku meminta istirahat. Waktu yang dibutuhkan juga lebih lama dibandingkan ketika berangkat. Bapak-bapak ini terus berjalan tanpa terlihat lelah. Mereka sudah terbiasa masuk keluar hutan. Persediaan air minum yang aku bawa kian menipis. Perjalanan terus berlanjut dengan tempo yang stabil. Tidak terasa kami telah melewati perkebunan warga dan akan tiba di tepi sungai.
Baca Juga: Senja di Desa Mawan
Perasaan ragu-ragu untuk menyeberangi sungai melalui jembatan titian sempat muncul kembali. Rasanya tercebur ke sungai ketika berangkat bukanlah karena terpeleset, tapi lebih ke perasaan ragu-ragu ketika melangkah. Pak Lahan sempat menawarkan bantuan. Namun, aku menolaknya. Aku yakin bisa melewati jembatan titian ini dengan baik. Setelah merasa yakin, aku melangkah melewati jembatan titian yang terbuat dari batang pohon tersebut. Aku terus melangkah tanpa perasaan ragu dan akhirnya aku tiba di seberang dengan aman dan selamat. Tidak tercebur lagi. Aku merasa sangat lega dan gembira. Di tepi sungai kami beristirahat sejenak sambil menunggu warga yang akan datang menjemput kami.
Bapak-bapak ini mulai mengeluarkan bekal makanan dari dalam tas mereka yang terbuat dari karung. Isinya nasi putih dengan lauk ikan asin. Sedangkan aku yang tidak membawa makanan akhirnya dibagi oleh bapak-bapak ini. Setelah lelah berjalan, hidangan nasi putih dan ikan asin menjadi kenikmatan tersendiri. Di tepi Sungai Mayan, kami menikmati makan siang yang sederhana. Sudah menjadi kebiasaan bagi warga untuk membawa bekal makanan ketika pergi ke kebun. Tidak hanya dimakan sendiri, tapi sebagian juga diberikan kepada kedua anjing yang ikut dalam perjalanan kami.
Setelah makan, beliau bertiga melepas pakaian dan menceburkan diri ke dalam sungai. Membasuh badan dan merasakan kesegaran air Sungai Mayan yang mengalir dengan tenang. Sedangkan aku hanya menikmati sejuknya suasana, rimbunnya hutan, air sungai yang mengalir, dan pengalaman seru memasuki hutan di Desa Benuis. Terima kasih Pak Lampuk, Pak Lahan, dan Pak Lebak untuk seluruh pengalaman kali ini.
Cerita Dari Kapuas
Desa Benuis, Januari 2021
22 comments
Mas, blusukan ke hutan buat ngapain? hehehehe.
Tapi menarik ini, kayu balok/batang segitu besar bisa dimanfaatkan jadi peniti/jembatan. heheheeheh
biasa mas, diajak perangkat desa buat keliling wilayah. Kebetulan mereka menawarkan daerah hutan yang dilalui sungai.
Jembatan titian membuat semuanya terlihat alami mas 😀
Asyik banget kui, mas. Jadi benar-benar berinteraksi dengan masyarakat. Ini artinya njenengan diterima dengan baik hehehehe
Sangat bersyukur bisa diterima dengan baik selama berada di sana.
Penasaran, apakah orang-orang di Dusun Lindung, nama huruf depannya L semua? dari Pak Lampuk, Pak Lahan, sampai Pak Lebak 😀
Eniho, mas Rivai waktu kecebur, tas sama hapenya langsung diangkat tinggi-tinggi apa bagaimana? Jangan-jangan tas mas Rivai anti air, kah? Cool~! Hahahaha, saya sambil membayangkan mas Rivai kecebur, pasti kocak 😛 Terus baru sadar kedalaman sungainya 130 cm, bagi saya yang cukup pendek, itu sih sudah hampir tenggelam hitungannya, tinggal kepala sama leher doang nongol ke atas 😐
Terima kasih ceritanya, menarik banget, sebagai orang penakut yang cuma berani masuk hutan wisata, kayaknya saya nggak akan berani masuk hutan yang rimbun seperti foto-foto di atas. Jadi baca post ini berasa diajak yalan-yalan lihat langsung ‘kehidupan’ di dalam hutan bagaimana. Terus fotonya bagus-bagus bangetttt mas, suka deh tone-nyah 😀
Ditunggu kelanjutan ceritanyaaa ~
Hahahaa…kebetulan aja nama mereka huruf depannya L mbak eno. Sama kayak huruf depan dusun mereka. 😀
Pas jatuh langsung bisa berdiri. Ternyata hanya sepinggangku. Jadi tas masih aman. Tapi tetap aku cek setelah berada di seberang. Sempat malu sih, belum apa-apa sudah tercebur. Untung saja air sungainya jernih. Jadi yaa ga nyesel sudah kecebur ke sungai..hahahaha
Meskipun kurang tinggi, yang penting jangan panik dulu mbak eno 😀
Hutan di kalimantan berasa beda mbak. Lebih lembab dan basah dibandingkan hutan yang ada di Jawa. pas berada di dalam hutan juga sangat teduh dan adem.
Makasih mbak eno sudah singgah di sini. Selanjutnya mau cerita tentang dusun lidung..hihihi
Gegara baca komentar Mba Eno diatas.. ahaha. Aku jadi ikut menanyakan apakah nama orang2 disana menggunakan awalan huruf L. Haha
Mas, disana cuacanya kalau sedang terik gerah nggk sih kaya Jakarta. Atau lebih sejuk..
Btw, maaf aku malah ngakak pas baca bagian Mas Vai terjebur. Heheh. Aku kayanya juga bakal terjebur sih. Malah bisa 2 kali di awal dan di akhir. Haha ya gimana jembatannya modelan begitu geh .
Asli asik banget Mas keliling dalam Hutan. Terakhir aku ke Hutan kapan ya. Udah lama banget pas naik ke gunung. Awal tahun 2020 lalu.
Well, dtunggu cerita lainnya Mas
Kebetulan saja huruf depannya sama mas. Nama beliau bertiga memang satu kata itu..hehehe
Desa Benuis berada di perbukitan. Sehingga udaranya lebih sejuk dan adem. Kalau panas yaa tidak terik. Beda dengan desa-desa yang ada di pesisir sungai yang cukup panas.
Sempat malu ketika kecebur. Belum apa-apa sudah kecebur sungai. Padahal setelah treking, bapak-bapak ini malah menceburkan diri mereka ke sungai. Eeh, aku malah duluan tercebur ke sungai…hahahaha
Ayo mas bayu main ke hutan agar dapat udara yang bersih…hahaha
wah kayaknya asyik juga ya mas vay bisa jelajah hutan untuk menuju suatu desa ditemani warga lokal ke3 bapak itu…berasa di hutan jadi jati di aroma karsanya si Dee hehehe…lumayan kaget juga tuh pas kecebur di sungai ya..untung ga dalam tuh sungai. Tapi sayang juga ya salah seorang bapak ga dapat labi labi..kalau dapat penasaran sih mau dibikin masakan apa labi labinya…terakhir kayaknya makan di hutan biarpun nasi dan ikan asin ok kayaknya enak tenan ya hahha
Hidung jadi ga baik-baik saja ketika beres baca aroma karsa. Jadi lebih sensitif dengan bebauan mbul..hahahaha
Bisa dibilang malah sangat beruntung bisa masuk ke hutan yang memiliki kondisi yang berbeda dengan hutan-hutan di jawa. Bisa menikmatinya bersama warga lokal.
Aku belum pernah lihat labi-labi. Jadi penasaran juga bakal dimasak seperti apa. Sayangnya labi-labinya belum siap untuk dimakan.
Huweee baca tulisan ini jadi kangen masuk hutan. Masuk hutan terakhir waktu masih…kuliah. xD Baca komennya Kak Eno aku jadi mikir juga ini, kecebur di kedalaman 130 cm yang nongol di atas air udah pasti cuma kepalaku aja. xD Wih seandainya aku laki-laki gitu pasti ambil kerjaan yang masuk-masuk hutan gini sih dulu. Sayangnya aku perempuan dan nggak masuk kriteria~~~
Berarti itu berapa tahun yang lalu…? 😀
Meskipun belum bisa bekerja dengan yang berhubungan dengan hutan dan outdoor, setidaknya bisa disalurkan melalui hobi. Kayak naik gunung, hiking, atau camping. Ada kesempatan untuk menikmati suasana hutan 😀
Kalian mikir kecebur, aku jadi membayangkan tinggi badan kalian berapa…ahahhaa
yaampun untung ya mas sungainya nggak dalem
nggak kebayang kalo sampe njebur terus sungainya dalem apalagi ada buaya atau semacamnya (mulai ngayal )
kalau main di sungai dan hutan gini jadi inget jaman SMP tiap tahun pasti ada LDKS dan lokasinya bener-bener unpredictable
tapi aku suka banget kegiatan semacam itu. nggak suka bagian horrornya tapi haha
aku inget kacamataku kintir di sungai waktu aku coba minum air sungai. beruntungnya berkat kacamata kintir aku jadi nggak perlu ikut jerit malam haha
Pas mandi di sungai juga kepikiran ada buaya ga yaa, tapi ternyata emang di daerah sana ga ada buaya. Air sungainya sangat jernih.
Jaman pas SD, aku sudah ikut kegiatan persami anak pramuka. Tapi gada acara jurit malam. Diganti dengan pentas tiap grup dari masing-masing sekolah. Kemudian esoknya ada kegiatan hiking. Jadi sejak SD sudah suka kegiatan outdoor…benar-benar seru 😀
Wah blusukan hutan, asik banget….
Asik banget mas!!
Mas Rivai, seruuuu banget sih bisa ngerasain masuk ke hutan Kalimantan gini. Duuuh aku pengen mas, walopun jujur aja, aku serem juga bayangin ular sih kalo di hutan hahahahha.
Pas liat Titian kayu ya, aku sendiripun ga yakin bisa selamat tanpa kepeleset wkwkwkwk. Licin kan itu. Ga ada pegangan pula. Apalagi kalo arus airnya agak deras. Fokus bisa ilang :D. ..
Tapi kalo airnya bersih bgitu, ga keberatan basah2an hihihihi…
Kemarin aku ga ketemu seekor ular. Mungkin ada juga ularnya. Hiks
Emang perlu fokus kalau lewati titian jembatan model gini. Ga fokus sedikit langsung terpeleset..wkwkwwk
Airnya emang seger mbak fany. Aku yang cuma celupim kaki aja sangat betah berlama-lama di tepi sungai..hahaha
jembatan titiannya ngeri ngeri sedep ya mas Vay
tapi buat yang udah terbiasa lewat, kecill ya
ini kalau pake sandal kayaknya bakalan licin, mungkin kalau sama kaki telanjang nggak licin ya dan dalemnya semeteran, semeter ya lumayan juga itu.
keliatannya kayak ga dalem tapi ya sungai nya
pengalaman blusukan kayak gini ini yang memorable banget ya, susah waktu dijalani tapi punya cerita indah setelahnya
Kalau sdah terbiasa ga bakal kesulitan lewati titian jembatan kayak gini. Pak lebak bisa lewati sungai dengan aman. Khan dia pakai sandal jepit.
Rasanya sangat beda dengan hutan yang ada di jawa. Hutan kalimantan benar-benar lebih lembab dan basah.
Menarik sekali perjalanannya, Mas
Saya juga suka kegiatan outdoor, jelajah-jelajah alam gitu. Tapi sekarang klo mau begitu serada susah ya, masalahnya ada tiga bocah kecil yang rebutan minta digembol juga ntar, hahaha…
Keliatan banget lembab dan basah hutannya, eh labi-labi itu yang mirip kura-kura bukan sih? Oh bisa dimakan ya? Kirain dagingnya keras 😀
Bocil-bocil gini kalau pergi sekarang jadi sepaket. Susah ditinggal, jadi minta diajak..hahahaha
Iyaa sejenis kura-kura. Lihat bberapa sumber, labi-labi bisa dimakan. Tapi aku belum pernah mencicipinya..