Perjalanan menuju Stasiun Tuntang masih sangat jauh dari sini. Aku mulai melanjutkan perjalanan dengan melewati jalanan menanjak dengan ditemani terik matahari. Beberapa tanjakan berhasil aku lewati. Hari semakin siang, terik matahari semakin menyengat. Terlalu panas untuk melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 11:30 aku tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan dan memilih beristirahat di tengah perjalanan meskipun masih berada di jalur menanjak.
Seorang bapak paruh baya mengijinkanku untuk beristirahat di bangku panjang yang ada di pojok halaman rumahnya. Bapak-bapak tersebut terkejut ketika tahu bahwa aku bersepeda sendirian dari Semarang dan akan menuju ke daerah Tuntang. Mungkin karena badan terlalu lelah, akhirnya aku malah tertidur di bangku yang berada di bawah pohon mangga. Selama beristirahat, aku juga mengisi penuh persediaan air minum. Di cuaca yang panas, banyak minum air putih adalah salah satu cara untuk menghindari dehidrasi. Dehidrasi ketika olahraga bisa menyebabkan seseorang pingsan, dan kemungkinan terburuk bisa meninggal.
Baca Dulu: Bersepeda Dari Semarang Ke Stasiun Kedungjati
Meskipun masih panas, pukul 13:30 aku melanjutkan perjalanan. Jika kelamaan nanti bisa kemalaman tiba di rumah. Masih ada sekitar 40km lagi untuk tiba dari rumah dan itu termasuk jalan tanjakan yang mesti lewati saat ini. Cuaca panas tak kunjung menghilang, padahal kemarin cuaca sangat adem dan mendung. Tapi tidak kali ini. Sekitar pukul 14:45 aku kembali beristirahat di mushola sebuah SPBU.
Siang itu aku benar-benar tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan dan merasa kehabisan energi. Di saat beristirahat, aku kembali tertidur selama beberapa menit. Aku merasa frustasi karena perjalanan masih sangat jauh dan hari sudah beranjak sore. Aku yang bersepeda seorang diri merasa tidak ada pilihan lain selain menyemangati diri sendiri untuk terus melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 15:30, aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku menduga bakal sampai rumah selepas maghrib. Tetap mengayuh sepeda adalah pilihan yang tepat daripada kelamaan beristirahat. Selang beberapa kilometer, aku bertemu lagi dengan jalan menanjak. Tidak ingin memaksakan kondisi, aku memilih untuk menuntun sepeda melewati tanjakan tersebut. Tidak ada yang salah dengan menuntun sepeda. Aku sedang menyimpan tenaga untuk jalan yang akan aku lewati setelah tanjakan.
Jalanan menurun menyambut perjalananku. Aku sebentar lagi bakal tiba di Stasiun Tuntang. Kemudian bakal bertemu dengan Jalan Semarang-Solo. Seperti sebelumnya, aku memutuskan untuk singgah di Stasiun Tuntang sekaligus melengkapi daftar stasiun yang aku temui selama perjalanan. Aku tidak bisa masuk ke stasiun karena gerbang sudah ditutup oleh petugas.
Dahulu Stasiun Tuntang memiliki jalur kereta yang terhubung hingga ke Yogyakarta. Namun, jalur tersebut sudah tidak aktif lagi atau menjadi jalur mati. Stasiun Tuntang hanya melayani kereta wisata yang berangkat dari Stasiun Ambarawa. Kereta wisata ini melewati jalur yang memiliki pemandangan yang sangat bagus. Mungkin salah satu jalur dengan pemandangan yang indah di Indonesia. Stasiun Tuntang pernah digunakan untuk lokasi syuting film Bumi Manusia (2019) karya Hanung Bramantyo yang diadopsi dari novel dengan judul yang sama karya Pramudya Ananta Toer.
Betisku mulai mengalami kesakitan ketika melintas di Jalan Semarang-Solo. Agar tidak terlalu sakit, aku menurunkan tempo kayuhan. Sepertinya ini adalah efek terlalu lelah dan belum makan sejak tadi pagi. Karena terlalu fokus mengejar waktu, aku lupa untuk makan siang. Bisa dibilang ini sangat berisiko. Bersepeda jarak jauh, tapi asupan makanan untuk energi kurang memadai. Sehingga aku memutuskan berisitirahat sejenak di salah satu warung yang ada di tepi jalan.
Baca Juga: Jalur Lintas Barat Aceh
Aku singgah di sebuah warung ayam penyet sekaligus istirahat karena hari sudah petang. Sambil menunggu makan, langit terlihat semakin gelap dan kemudian hujan deras mulai mengguyur. Aku menunggu hujan sampai reda. Terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan dalam keadaan malam hari dan hujan deras. Sekitar pukul 19:00, hujan mulai mereda. Semua barang elektronik dan dompet sudah aku bungkus dalam kantong plastik yang aku dapatkan dari pemilik warung ayam penyet.
Dari tempat aku menuju ke rumah masih berjarak 25km dan sebagian besar jalan berupa jalan turunan yang dipenuhi dengan kendaraan. Baik itu berupa motor, mobil, bus, atau truk. Jadi meskipun aku bisa melaju kencang, aku mesti tetap berhati-hati dengan kondisi jalan. Di tengah perjalanan, hujan kembali turun. Namun tidak deras, sehingga aku tetap melanjutkan perjalanan. Aku terus mengayuh pedal sepeda. Aku mendapatkan banyak energi setelah makan tadi. Pakaian yang aku kenakan mulai basah terkena air hujan. Meskipun badan basah, tapi aku harus tetap melaju agar badan tetap hangat dan tidak mengalami kedinginan.
Pukul 20:05 aku tiba di rumah. Ibuku kaget melihat anaknya basah kuyup. Beliau bilang kalau aku nekat. Tapi sepertinya beliau tahu kalau anaknya yang satu suka hal yang seperti ini. Sejak SMA selalu dilarang mendaki gunung, tapi akhirnya selalu mendapatkan ijin untuk pergi. Kini bersepeda sendirian dengan jarak sejauh itu. Jarak yang aku tempuh pada hari itu sekitar 108 km. Jarak terjauh yang pernah aku lampaui dengan sepeda. Jalur yang aku lalui juga sangat bervariatif. Mulai dari jalan datar, menanjak, turunan, dan kondisi cuaca yang sangat terik.
Pada akhirnya bukan sejauh mana jarak yang bisa aku tempuh. Namun sejauh mana aku bisa menikmati perjalananku. Dalam perjalanan itu aku juga belajar banyak hal. Mulai dari pengambilan keputusan kapan harus melanjutkan perjalanan atau berhenti, bertanggung jawab terhadap diri sendiri, mengukur kemampuan diri, hingga merencanakan sebuah perjalanan. Yang aku tahu, perjalanan itu sudah dimulai ketika kita mulai merencakan perjalanan tersebut.
Semarang-Gubug-Stasiun Tuntang-Semarang
28 Oktober 2020
28 comments
Rutemu asyik ini mas, seingatku Tuntang itu naik turun juga jalurnya, kuingat waktu ada proyek mencari nyamuk di Rawa Pening.
Besok-besok lanjut gowes sampai Salatiga.
Sepanjang jalan Gubug ke Tuntang jalannya naik turun mas sitam. Lumayan bikin ngos-ngosan..hahhaha
Iyaa salatiga, kemudian lanjut boyolali, solo atau jogja..hahhahaa
Kak Rivai, selamat atas pencapaian barunya!
Membayangkan menempuh jarak begitu panjang dengan lintasan naik turun, membuatku lelah padahal Kak Rivai yang gowes wkwkwk
Jadi kalau ditotal, durasi perjalanan kali ini memakan waktu 14 jam ya luar biasaaa. Gimana kondisi betis Kak Rivai sehabis menempuh 100+ KM?
Terima kasih kak Lia 😀
Kurang lebih waktunya segitu. Kebanyakn istirahat dibandingkan gowesnya…hahhaha
Sesampainya di rumah berasa gemetaran sih. Mungkin fase adaptasi karena sudah selesai..tapi tetap aman kok 😀
Omaygadddd, jauh amattt hahaha. Salut sama mas Rivai, pantang menyerah sebelum sampai rumah 😀 Olahraga seperti naik sepeda ini memang butuh determinasi tinggi ya. Sebab nggak bisa seenaknya stop di tengah jalan. Nggak kayak olahraga treadmill di rumah, yang kalau capek tinggal rebahan terus dilanjut besokannya 😛
However, lain kali jangan skip makan mas. Nanti bukannya sehat malah masuk hospital 😀 By the way, saya penasaran kereta wisata itu kereta apa? Terus beli tiketnya di mana? Hahahaha. Baru dengar soalnya 😀
Rumah jadi alasan untuk selalu pulang…hhahahha
kalau ga lanjut yaa ga bisa sampai rumah atau tempat pemberhentian selanjutnya. Jadi mesti tetap jalan sampai tempat yang dikehendaki.hehehhee
Kadang kalau pas bersepeda terus makan, perut bisa sakit ketika mulai jalan lagi. Jadi yaa mesti tahu kondisi perut ketika makan dan bersepeda 😀
Kereta wisata yagn dipakai itu lokomotif diesel mbak eno. Kalau mau lokomotif uap mesti sewa. Harga tiket kereta wisata seharga Rp 50.000. Tiket bisa dibeli di stasiun ambarawa on the spot. jadwal kereta wisata di hari sabtu, minggu, dan hari libur. Rutenya Stasiun Ambarawa- Stasiun Tuntang PP.
untuk pemandangannya, nanti di post selanjutnya mbak eno…hahhaha 😀
100km plus kehujanan dan kena teriknya matahari, sehat selalu ya mas.
nggak kebayang gimana capeknya, tapi sepertinya perjalanan itu seru, cuma aku cukup tahu diri ajah, ga sanggup kayak masnya mah,
keren emang mase
Capeknya jangan dibayangin kak, nanti malah beneran capek..wkkwkwkk
kalau diimbangi dengan latihan, rasanya tidak ada yang ga mungkin deh. Jadi kalau mau nyoba rute sejauh itu yaa mesti sering-sering latihan dulu..hehhehehe
Perjalanannya memang seru, pertama kali lewati jalur ini. Jadi ketemu dengan banyak hal baru 😀
emang harus sering latihan ya kak, biar kuat menghadapi kenyataan, eh maksudnya kuat sepedaan dengan rute jauh >_<
kenyataan untuk bersepeda jarak jauh. :p
pukul 12.00 – 13:30 adalah waktu di Indonesia yang paling paling panasnya, salut sama mas nya kuat gowes di siang bolong terik matahari gitu
Makanya aku memilih untuk istirahat mas. Ga bakal kuat untuk melanjutkan perjalanan.
Jadi istirahat sejenak sambil mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan.
Astagaaaa, padahal saya cuman baca aja loh, kenapa betis saya ikutan sakit ya? hahaha.
Saya sering liat orang-orang bersepeda di jalanan, terutama di hari Minggu, kadang sampai pukul 11-12 masih bersepeda dong, jauh amat sepedaannya.
Saya jalan kaki aja sampai 10,000 langkah sukses bikin betis saya penuh koyo cabe tanpa ada rasa panas sama sekali hahahaha.
baca aja mbak rey, jangan sampai dibayangin biar tidak ikutan sakit betisnya…hehehhee
Sebaiknya kalau mau mencapai batas tertentu mesti dilatih berkali-kali mbak rey. Kalau langsung 10000 langkah, biasanya kaki akan kaget dan terasa sakit. Jadi semuanya mesti bertahap, termasuk jarak yang ditempuh..hehhehe
Jauh sekali 108 km, kalo aku ngga sanggup mas.
Memang harus menjaga asupan gizi agar ada tenaga untuk menggenjot sepeda ya apalagi perjalanan jauh seperti ini.
Waktu siang panas sekali, eh giliran malam baru hujan, padahal ngarepnya hujannya siang biar adem ya mas.
Hehhee…iyaa mas, mungkin karena suka. Jadi jarak segitu mesti dicoba 😀
Berharapnya siang mendung/adem. Jadi ga terlalu lelah karena panas. Biar sampai rumah juga ga terlalu malam…hehhee
Makasih mas agus 😀
Maaaaas Rivai, aku penasaran itu betis pegel berapa hari :D? Pake treatment pijit ga abis itu hahahahaha.. gilaaa sih, aku yang cuma baca aja serasa ikutan ngos2an kecapean :o. Ga kebayang ini rutenya naik sepeda pula :p.
Salut mas :D. Moga makiiiiiiin jauh utk next route yaaaa 😉
Betis pegel kayaknya cuma sehari. Tapi libur sepeda malah 10 hari. Bukan karena capek stlh 100km, tapi serasa abis ini sepeda kemana yaa. Bukan karena lelah, tapi karena bingung.
Selama libur sepeda, ga pijet. Malah ganti joging. entah kenapa merasa kangen suasana joging di lapangan bareng orang-orang
Iyaa mbak fany, terima kasih banyak..hehehe
Ada rencana buat touring jauh mbak. Mngkim latihan touring semarang-solo-jogja dulu..hehehe
Selamat atas pencapaiannya Mas.
Salut saya ama kamu Mas.
Saya dulu pas sepedaan jarak 60 km aja udah ampun kali rasanya.
Udah mau nyerah, tapi jaraknya dikit lagi, hari juga udah menjelang senja.
Rasanya pantat udah nggak karuan, betis juga pegal-pegal.
Hingga rasanya sepedanya lebih enak didorong daripada dikayuh.
Terima kasih mas RUdi.. 😀
Bersepeda jarak jauh memang meberikan kesan tersendiri mas, termasuk rasa lelah dan sakit yang kita alami dalam perjalanan. Bahkan sampai terasa tidak punya tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan..hehehhe
mas vayyyy luar biasa sekali gowes segitu jauh, temen temenku kayaknya kalau minggu pagi nggak pernah sejauh itu rasanya
sepedaan aja bisa bikin betis pegel, lahh aku yang lari cuman 5 kiloan rasanya astagahhhh hahaha, apalagi kalo lama vakum ga olahraga, penyesuaian lagi ke badan soalnya
ternyata stasiun tuntang pernah dijadiin lokasi syutingnya film, sayang nya aku belum nonton bumi manusia nih, kata temen temen bagus
108 km??? Dan itu ga datar semua lagi, ada yg nanjak juga.. Luar biasa Mas Rivai.. Mantaab dan bener kata ibunya, nekat. Hehehe..
lebih banyak nanjaknya mbak thessa. Dari daerah pantai menuju daerah perbukitan. Jadi yaa banyak melewati tanjakan..hehhehe
kemarin abis baca status temen yang sukanya kalo sepedaan jauh nggak kuat pulangnya dan terus biasa dijemput atau order mobil gt mas. Dengan jarak segini, sempet kepikiran untuk naik kendaraan umum nggak mas pulangnya?
beneran ini mah jauh banget, tapi kalo sendirian emang bener2 seru ya mas. tipe anak yang suka membantah tapi jika masih di track yang bener mh moga nggak apa2 yaa, aku pun masih aja gitu dari kecil nih, ihi
tidak kepikiran mbak ghina. Soalnya sepedaku adalah jenis MTB, bukan sepeda lipat. Jadi sedikit merepotkan kalau mesti dijemput atau naik kendaraan umum. jadi yaa terus dinaiki, meskipun akan tiba larut malam..ehhehehe
hihihii…mungkin suka mencoba hal-hal baru yang menurut kita itu menyenangkan 😀
Wah ingat masa lalu dulu pernah beberapa saat tinggal di Semarang tapi gak sempat berpetualang begini …
Ayo mas ke semarang lagi. Biar punya kesempatan buat keliling semarang 😀
Sedap banget perjalanannya, Masvay! Saya paling berdebar-debar pas baca etape terakhir, dari Jalan Semarang-Solo itu. Lagi capek-capeknya, sudah malam, hujan lagi. Untungnya sampai rumah dengan selamat. 😀