Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, tapi Kantor Desa Benuis masih terkunci. Dari kejauhan terlihat Pak Ambo, Sekdes Desa Benuis, sedang berjalan kaki menuju kantor desa. Di antara seluruh perangkat desa, rumah Pak Ambo paling dekat dengan kantor desa. Karena alasan itu, kunci kantor desa dipercayakan kepada beliau. Tak selang berapa lama, para perangkat desa mulai berdatangan. Tidak hanya itu, beberapa warga datang ke kantor desa. Baik yang akan mengurus keperluan administrasi, maupun sekadar menikmati kopi dan berkumpul dengan warga desa lainnya di kantor desa. Rencananya pagi ini kami akan diajak ke Dusun Lidung.
Aku dikenalkan pada Pak Alexander Yum yang merupakan kepala dusun Dusun Lidung. Dusun ini merupakan satu dari tiga dusun yang ada di Desa Benuis. Berbeda dengan Dusun Rimba Panjang dan Dusun Sawah, Dusun Lidung ini letaknya paling jauh dari kantor desa. Bahkan secara wilayah, dusun ini masuk dalam wilayah Desa Jongkong Hulu.
Baca Juga: Hutan Desa Benuis
Perjalanan menuju Dusun Lidung memerlukan waktu sekitar 10 menit. Perjalanan lama bukan karena jauh, tapi karena jalan yang dilewati masih berupa jalan tanah. Saking seringnya melewati jalan tanah ini, aku jadi terbiasa dengan jalan tanah. Meskipun jalan lebar, permukaan tanah masih belum rata. Diperlukan kejelian untuk melewati setiap ruas jalan tanah ini. Ruas jalan tanah ini memang jadi bagian terakhir dari seluruh jalan yang menghubungkan antar desa yang belum diperbaiki.
Bagi warga Desa Benuis dan Dusun Lidung, jalanan berupa tanah merupakan hal yang biasa bagi mereka. Pembangunan jalan ini menghubungkan beberapa desa di dua kecamatan. Proses pengerjaan jalan dimulai dari desa-desa yang berada di ujung. Kemudian akan bertemu di desa yang berada di tengah. Posisi Desa Benuis yang berada di tengah, mengakibatkan pembangunan jalan desa ini menjadi bagian terakhir yang diperbaiki.
Ketika pertama kali tiba di Dusun Lidung, dusun ini terlihat seperti dusun pada umumnya. Area pemukiman, lahan perkebunan, fasilitas ibadah, dan balai pertemuan ada di dusun ini. Rumah-rumah di dusun ini berbahan dasar kayu dengan model rumah panggung. Tidak jauh dari rumah, biasanya terdapat kandang babi milik warga. Babi ini akan disembelih dan dikonsumsi ketika ada sebuah perayaan (gawe). Baik perayaan adat, maupun perayaan keagamaan. Mayoritas warga dusun merupakan Suku Dayak Mayan. Ada sekitar 50 kepala keluarga yang tinggal di dusun ini.
Letaknya yang jauh dari kantor desa membuatku penasaran dengan asal-usul Dusun Lidung ini. Dalam perjalanan tadi juga melewati tugu batas antara Desa Benuis dan Desa Jongkong Hulu. Sehingga kami sudah masuk dalam wilayah Desa Jongkong Hulu. Di sela-sela waktu istirahat, Pak Yum mulai bercerita tentang asal-usul Dusun Lidung.
Pada awalnya lokasi Dusun Lidung bukan di tempat sekarang. Dahulu lokasinya tidak jauh dari kolam dan rumah walet milik Kades. Jaraknya sekitar 400 meter dari jalan penghubung antar desa. Sekitar tahun 1999, seluruh warga Dusun Lidung melakukan perpindahan secara bersamaan menuju lokasi yang baru.
Secara batas wilayah administrasi, lokasi Dusun Lidung yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Jongkong Hulu. Pada saat itu, para tetua adat Desa Benuis meminta izin kepada para tetua adat Desa Jongkong Hulu untuk menempati lokasi baru Dusun Lidung. Kesepakatan pun terjalin dan warga dusun bisa menempati tempat tinggal mereka yang baru.
Bagi masyarakat Suku Dayak, berpindah dari satu lokasi menuju lokasi lainnya secara bersama-sama merupakan hal biasa. Seperti halnya ketika berkebun, warga sering membuka lahan baru yang kadang jaraknya jauh dari lahan lama. Menurut cerita Pak Yum, perpindahan satu dusun ini disebabkan banyak hal. Mulai dari lahan yang tidak produktif lagi, banyaknya warga yang meninggal, hingga mencari kehidupan yang lebih baik.
Warga dusun membongkar rumah mereka, kemudian dibawa menuju lokasi yang baru dan mendirikan rumah baru untuk ditinggali. Mereka membawa segala perlengkapan yang masih bisa digunakan. Di lokasi dusun yang lama masih ditemukan sisa-sisa pondasi rumah. Namun, sebagian besar wilayahnya telah tertutup semak belukar. Perlu menggunakan parang untuk bisa masuk ke lokasi lama.
Baca Juga: Tinggal di Desa Benuis
Seiring berjalannya waktu, lokasi Dusun Lidung memunculkan permasalahan tersendiri. Yakni masalah administrasi wilayah desa. Pihak kecamatan pada awalnya bingung ketika mengetahui bahwa ada sebuah dusun dari sebuah desa berada di wilayah desa lainnya. Apalagi kedua desa ini berada di dua kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Suhaid dan Kecamatan Selimbau. Para perangkat desa dan tetua adat akhirnya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, buatlah sebuah berita acara yang menjelaskan tentang batas wilayah kedua desa, termasuk wilayah Dusun Lidung.
Bagiku ini adalah sebuah cerita menarik. Sebuah cerita tentang asal usul bisa menembus garis batas sebuah wilayah. Orang-orang Dusun Lidung yang merupakan orang-orang Desa Benuis bisa hidup dengan harmonis dan menetap di wilayah Desa Jongkong Hulu. Meskipun mereka tinggal di wilayah desa lain, asal usul mereka tetaplah orang-orang Desa Benuis.
Ada garis batas fisik, ada garis batas mental. Ada yang sementara, ada yang abadi. Garis batas geografis, sosial, biologis, status, gender, privasi, mental, spiritual, agama… semua memisahkan manusia dalam kotak masing-masing. Garis batas mengurung, memasung, melindungi, dan mengukuhkan sebuah zona aman—tempat individu merasakan kelegaan dan kenyamanan. (Garis Batas, Hal 7; Agustinus Wibowo)
Cerita Dari Kapuas
Dusun Lidung, Desa Benuis
Januari 2021
16 comments
Membongkar rumah itu, rumah nya yang bisa diangkat angkat, kemudian dipindahkan, atau di lokasi baru membuat rumah baru ya mas?
bahan baku rumah menggunakan kayu mas. Jadi kayu-kayunya dilepas dan kemudian dipasang di lokasi baru.
Hmm kenapa ya tanahnya jadi tidak produktif lagi. Kalau tidak salah di Kalimantan lahannya banyak gambut di bawahnya ya. Makanya kalau terbakar sampai ke akar-akar. Pengalaman perjalanan yang mengesankan pastinya mas Rivai. Karena tidak biasa dan semua orang punya akses kesana.
Kebetulan pas di sekitar bekas lokasi lama, aku mapah melewati tanah kapur. Jadi emang sulit untuk bercocok tanam.
Bener sekali mbak pheb, selain itu bisa diterima dengan baik oleh warga lokal.
Mas itu yg di atas foto jalanannya kaya begitu? Wow, ga kebayang kalau malem, pasti gelap gulita, gmn kalau hujan? Licin bgt pasti ya.
Kalau suamiku pasti seneng bgt kalau bisa ke tempat kaya begitu.
Jalanan memang masih seperti itu. Saat ini belum dapat info apakah sudah diperkeras belum. Selain itu, kalau malam hari tidak ada lampu penerangan jalan.
Berarti masyarakat dusun Lidung ini termasuk nomaden ya mas, misalnya lahannya sudah tidak produktif lagi maka pindah biarpun pindahnya ke desa lain, tapi anehnya lokasi baru tetap dianggap warga desa lama.
Menarik juga misalnya di terapkan di Jawa, misalnya asalnya dari Semarang lalu misalnya tanahnya sudah tidak subur maka pindah ke Magelang, tapi di desa baru tetap dianggap dari Semarang.
Hidup berpindah dulunya dianggap hal yang biasa. Tapi sekarang masyarakat sudah tinggal menetap. Bisa dibilang itu seperti kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat tertentu.
Kalau hal seperti ini diterapkan di jawa, bakal timbul masalah tersendiri mas. Terutama tentang wilayah adminitrasi. Tentu saja ga bisa diterapkan di jaman modern seperti sekarang ini 😀
Saat pindah rumahnya dibongkar utk dipasang di tempat baru.. berarti masih terbuat dari papan2 gitu ya mas? Jenis rumah yg bisa dibongkar pasang tanpa harus dihancurkan yaaa… Menarik sih jadi tahu asal usul suatu masyarakat di pedalaman gini. Dan walopun mereka berasal dari desa yg lain, tapi bisa tinggal di desa skr, berarti kan pada dasarnya orang2 itu ramah dan terbuka. Beda dari cerita2 yg banyak didengar ttg orang yg hidup di pedalaman dari suku tertentu .. .
Bener mbak fanny, kayu masih jadi bahan utama untuk pembuatan rumah. Termasuk warga dusun lidung. Area kebun warga juga sering berpindah. Misal lokasi A setelah ditinggalkan sebentar setelah panen, kmudian berpindah dan membuka lahan ke lokasi B. Lokasinya bisa berdekatan atau berjauhan. Pada akhirnya, orang tersebut tidak menyadari jika memiliki lahan yang sangat luas atau banyak karena berpindah-pindah lahan.
Saat tiba pertama kali, banyak yg bilang jika warga desa A begini-begitu, desa B begini. Tapi aku ga seluruhnya percaya, biar aku beradaptasi dan tahu tentang kondisi di desa tersebut.
Terbayang asyiknya ngopi-ngopi di kantor desa bersama warga lainnya saat pagi.
Kita yang di Jawa seringkali bingung kenapa mereka berpindah-pindah begitu, terutama urusan perkebunan. Tapi setelah datang dan hidup sendiri di sana, pelan-pelan mulai paham sudut pandang mereka ya mas.
kantor desanya sederhana, jadi inget kalau pergi ke rumah sodara di pedesaan, model rumahnya kayak begini
berarti di desa benuis nggak hanya ditinggali suku Dayak aja ya mas Vay,, berarti dominan juga ya disana asal usul warganya, ada yang pendatang dan ada suku aslinya
Tidak hanya dayak, sudah banyak pendatang dindesa ini. Salah satunya adalah orang-orang dari indonesia timur. Seperti dari NTT dan maluku.
woww jauh-jauh juga yak warga pendatangnya
jadi beragam kalau ini.
Warga di sini sudah bercampur dengan pendatang. Tidak ada perlakuan berbeda terhadap para pendatang
Kantor desa tidak besar, tapi selalu ramai dengan warga desa yang datang.
Bener sekali mas nugie, hal kayak gini emang seperti sebuah bentuk kearifan lokal dalam sebuah masyarakat.