Jalan utama di Pulau Sinabang sebagian besar memiliki kualitas yang bagus, lebar, dan tentu saja jalanan tidak ramai dan memutari pulau. Dari jalan tersebut, kami langsung disuguhi pemandangan berupa birunya laut dengan ombak yang sangat bagus. Birunya langit juga siap memanjakan mata orang-orang yang menikmatinya. Di Pulau Sinabang masih bisa ditemui hewan-hewan liar. Seperti ular, biawak, dan babi hutan yang aku temui dalam perjalanan. Hewan ternak, seperti sapi, kerbau, dan kambing seringkali berkeliaran di jalanan dan di pinggir pantai. Itu merupakan pemandangan yang biasa di pulau ini. Rasanya para pemilik hewan ternak tidak takut kehilangan hewan mereka. Bahkan malam hari, ada beberapa hewan yang masih berkeliaran. Tentu saja ini bukan di kota, tetapi di desa yang agak jauh dari daerah pusat kota.
Bisa dibilang aku sangat beruntung karena aku ikut dalam tim yang keliling pulau hingga ke sebuah desa yang berada di ujung pulau. Nama desa itu adalah Desa Lewak. Setelah desa diguyur hujan deras selama dua jam, para pemuda desa saling bergotong royong untuk membersihkan lapangan voli dari genangan air hujan. Mereka saling bergotong royong. Lapangan terletak di sebelah mushola. Terlihat beberapa anak kecil juga sedang bersiap untuk mengaji. Seorang pemuda berkopiah dan bersarung yang sepertinya seorang guru mengaji itu menghampiriku. Mungkin kami seumuran. Bertanya tentang apa yang kami lakukan di desa ini. Kami terlibat obrolan santai, termasuk suasana di desa ini yang terletak tidak jauh dari pantai.
Baca Juga: Berlabuh di Pulau Sinabang
Bola voli menjadi olahraga yang paling digemari di desa ini. Hampir setiap sore, para pemuda desa memainkan olahraga ini. Saat itu sinyal telepon belum menjangkau desa ini. Bisa dibilang cukup tenang dari hingar bingar dunia internet. Apalagi media sosial. Tidak terasa lebih dari dua jam kami berada di Desa Lewak. Langit sore mengakhiri kunjungan kami di Desa Lewak. Aku berpamitan kepada para pemuda desa untuk melanjutkan perjalanan.
Kami masih membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam perjalanan untuk bisa tiba di penginapan. Karena ketiadaan sinyal telepon, sepanjang perjalanan kami menggunakan perangkat GPS navigasi. Jalanan di ujung pulau masih berupa jalan berbatu dan gelap tanpa penerangan. Beberapa kali babi hutan melintas di depan mobil kami. Beberapa kali pula kami terkejut. Hutan di sepanjang perjalanan lebih sering terlihat, dibandingkan area pemukiman warga. Sekitar pukul 22:30, kami baru tiba di penginapan. Teman-teman yang sudah tiba terlebih dahulu penginapan menyambut kedatangan. Mereka memastikan kami dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun itu perjalanan yang melelahkan, namun aku sangat menikmati perjalanan yang mengeksplorasi hingga ujung Pulau Sinabang.
Senin, 1 September 2017, hari itu merupakan Hari Raya Iduladha. Dari semalam hujan deras mengguyur kawasan kota. Halaman masjid raya yang terletak tidak jauh dari penginapan kami digenangi air hujan. Ruang utama masjid juga basah dengan air hujan. Pengurus masjid dan warga saling bergotong royong untuk membersihkan ruangan masjid. Meskipun masih gerimis, sholat Iduladha berlangsung lancar. Warga sangat antusias untuk melaksanakan sholat Ied. Ini merupakan pengalaman pertamaku merayakan Hari Raya Iduladha di luar Pulau Jawa.
Hari itu kami menyelesaikan semua pekerjaan. Kemudian dilanjutkan menuju sebuah dermaga untuk memancing. Beberapa teman sengaja membeli alat pancing untuk memancing selama berada di Pulau Sinabang. Saat itu Pulau Sinabang sedang musim durian. Dalam perjalanan menuju dermaga, kami membeli durian yang baru jatuh dari pohonnya. Dengan sedikit tawar menawar, akhirnya kami bisa membeli beberapa durian langsung dari kebunnya. Selama di Aceh, mungkin sudah belasan buah durian yang aku makan. Aku lupa tepatnya berapa. Durian memang menjadi makanan yang wajib dimakan ketika berada di Aceh. Setiap kota memiliki keunikan rasa durian tersendiri.
Dermaga yang kami terletak di sebuah teluk, sehingga memiliki ombak yang relatif tenang. Dermaga ini digunakan sebagai pelabuhan rakyat. Beberapa kapal terlihat sedang bersandar. Tak jauh dari dermaga juga terdapat beberapa area tambak para nelayan. Airnya juga sangat jernih. Bahkan aku bisa melihat seekor penyu dan ikan anemon berenang di sekitar dermaga.
Sebelum balik ke Meulaboh, aku menyempatkan diri untuk makan malam sambil menikmati suasana Kota Simeulue di malam hari. Tidak jauh dari penginapan terdapat banyak tempat makan dan warung kopi yang ramai dengan warga. Akhirnya aku singgah di gerobak penjual sate padang yang berada di ujung pertigaan jalan. Penjualnya seorang perempuan paruh baya.
Selama di Aceh, aku sering makan sate padang. Padahal ketika berada di Semarang, aku jarang makan sate padang. Di sebelah sate padang ada seorang bapak-bapak yang berjualan roti bakar. Ternyata mereka berdua adalah sepasang suami istri. Istri berjualan sate padang, sedangkan suaminya berjualan roti bakar. Kami bertiga terlibat dalam obrolan santai. Pasangan suami-istri ini berasal dari Padang Pariaman, Sumatera Barat dan sudah merantau ke Simeulue sejak tahun 1999. Aku sangat bersemangat mendengar cerita mereka.
Baca Juga: Cerita Mereka Tentang Tsunami
Aku juga bercerita jika aku memiliki teman yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Bahkan sangat dekat dengan keluarganya. Jadi setiap main ke rumahnya, aku selalu disambut dengan hangat dan dimasakkan makanan minang. Memang sangat menyenangkan terlibat obrolan yang hangat bersama orang yang baru aku temui. Sebelum kembali ke penginapan, aku membeli roti bakar terlebih dahulu sebagai camilan malam ini bersama teman-temanku.
Pada siang yang terik, kami sudah bersiap-siap di Pelabuhan Kolok, Pulau Sinabang. Dari pelabuhan ini memiliki beberapa rute pelayaran menuju kota dan kabupaten di Aceh. Salah satunya adalah rute Pulau Sinabang- Kota Meulaboh. Pelayaran akan menghabiskan waktu selama 15 jam. Rute ini sempat ditutup selama tiga bulan karena cuaca buruk dan gelombang besar yang terjadi di Samudera Indonesia. Pelayaran ini merupakan pelayaran pertama dan uji coba setelah penutupan rute. Aku berharap semuanya bakal baik-baik saja dan tiba di Meulaboh dengan selamat. Aku menikmati senja dari geladak kapal. Cerita tentang Pulau Sinabang dan Desa Lewak akan selalu tersimpan dengan terbaik dalam ingatan. Pulau Sinabang terlihat semakin mengecil, kemudian hilang dalam garis cakrawala.
34 comments
Risiko di kepulauan itu bergantung dengan cuaca. Sedari dulu sibuk begitu hahahahaha.
Ikan yang hasil didapatkan itu kulitnya tebal, tapi enak pas dibakar.
Apalg ini jalur samudera indonesia. Ombaknya lebih berasa, serasa digoyang 😀
Itu ikan dilepas lagi mas. Mancing buat cari kepuasan pas narik ikan. Kemudian foto sebentar 😀
Baca artikel ini bikin pengen berkunjung. Sayanhnya gak bsa liat gambar gegara sinyal 🙁 pdhal lihat sampulnya aja dh menggiurkan banget
Kalau berkunjung ke sana, mesti siap naik kapal selama 12-15 jam mbak bintang. Atau naik pesawat dari medan juga bisa.
Mungkin itu foto hasil mancing, atau foto tentang kerbau yang lewat di jalan.
Makasih sudah berkunjung 😀
Mengunjungi pulau Sinabang pasti meninggalkan pengalaman tersendiri yang tak terlupakan dengan keunikan yang dimiliki desa setempat.
Apalagi pas musim durian. Wah enak banget beli dan makan buah durian yang langsung dari pobonnya.
Pelayaran cukup lama ya 15 jam , ternyata masih banyak pulau-pulau di Indonesia seperti pulau Sinabang ini yang menyimpan keunikan dan misteri tersendiri yang layak dikunjungi. Makasih sudah berbagi info semoga tetap bisa menyusuri semua kepulauan di seluruh Indonesia.
benar sekali, pulau sinabang ini salah satu perjalanan paling berkesan di aceh. Banyak hal yang aku temui selama di sana kak cherry. Jadi yaa masih teringat sampai sekarang 😀
Ikaaaaan anemoonnyaaaa lucuuu….
Dapet ikan apa aja pas mancing? Hihi
dan kemudian dilepas lagi ikannya..hahhaa
Kayaknya cuma ikan jenis itu saja 😀
Jangankan anak generasi sekarang, aku aja udah lama gak lihat sapi atau kerbau kayak di foto. Keinget sekitar 4 tahun lalu sengaja ikut temen ke desanya. Nemu kerbau diajak foto-foto wakakak.
Cakep ya viewnya. View mahal bagi anak kota ini mah.
Fotonya naik ke atas tubuh kerbau sambil pakai caping dan pegang buku, biar berasa jadi anak gembala…wkkwwkkwk
Perjalanan 12jam di laut lepas ga sia-sia setelah disuguhi pemandangan seperti ini 😀
Kemarin pulang kampung malah skrg jalanan penuh sesak oleh kendaraan roda empat, padahal dulu jalanan itu ramai oleh sapi-sapi yang pulang sehabis nyari rumput di sawah,..
Eh ya ampun itu ikannya bagus banget. ga tega kalo dimakan yaaa
dulu pernah ada candaan, kalau sudah ada sapi di jalan di tengah jalan, berarti kita sudah masuk ke wilayah aceh..hehhehee
dulu di daerah aceh bagian barat masih bisa ditemui sapi yang jalan di tengah jalan mbak. Meulaboh-aceh jaya lah, banyak rambu peringatan bergambar sapi.
Itu ikannya dilepas kembali mbak 😀
Mungkin hewan-hewan itu bukannya belum dikandangkan, tapi memang dibiarkan lepas saja, toh aman di pulau 😀 ..
Kalau penjual sate padang di luar sumbar memang kebanyakan berasal dari Padang Pariaman, terutama yang di gerobaknya ada kata “Ajo” karena ajo sendiri adalah kata khas Pariaman yang artinya sama dengan “Uda”..
Sepertinya memang begitu, hewan tidak ada yang di kandang. Dibiarkan saja. Pernah malam-malam lihat seekor sapi yang sudah beristirahat di samping rumah. 😀
oalah, ternyata begitu yaa. Makasih infonya mas bara 😀
Dari cerita dan foto Masvay, kayaknya Sinabang cukup hening. Kalau ke sana saya kayaknya bakal betah berlama-lama.
Foto pertama keren banget, Mas. Rasanya jadi pengen belajar surfing terus menari-nari di ombak yang di foto itu. 😀
Ditunggu lanjutan ceritanya, Mas. 😀
sangat tenang mas. Tidak rame. Di dekat penginapanku dekat dengan warung kopi mas. Banyak orang yang ngopi di sana.
Sebetulnya sangat sedih dengan fotonya mas. Banyak foto yang hilang karena mmc rusak. Belum dibackup. Jadi yaa pakai foto yang masih tersisa saja.
Cerita tentang pulau sinabang sudah selesai mas. Nanti masih ngumpulin niat buat nulis temapt yang lainnya.
makasih telah berkunjung di sini 😀 😀
Wuiih lama juga jarak tempuhnya hampir 15 jam dan siap-siap digoyang ombak besar Samudera Hindia …
Rasanya adem hati lihat kesederhanaan seperti di pulau yang terbilang masih terpencil begini.
Salu buat mas Rivai yang udah datang jauh-jauh dan memperkenalkannnya ke media.
siap terombang-ambing di lautan mas 😀
Tinggal selama seminggu di sana rasanya sangat menyenangkan mas. Tenang, jauh dari kebisingan kota. Kalau diajak balik, aku juga ga nolak kok mas..hahhahaa
Makasih mas himawan telah berkunjung di sini 😀
Wah jalannya kelihatan bagus dan baru, ya mas Rivai. Suasananya juga adem.
Penasaran sama tempatnya setelah baca cerita ini. Tentu pengalaman luar biasa selama disana.
Sudah berapa tahun tapi masih jelas teringat sampai detail
Sebagian besar jalan sudah dalam kondisi bagus. Suasana juga sangat tenang dan hening. Cocok untuk mereka yang mencari pertualangan baru.
Ah iyaa mbak phebie, merasa sangat rugi kalau tidak tulis. Akhirnya mengingat-ingat apa yang terjadi
makasih telah singgah di sini mbak phebie 😀
Mas kalau nggak ada signal telepon berarti mereka nggak pakai handphone, yah? Komunikasinya apakah masih pakai telepon rumah? Atau bagaimana? Penasaran hehehehe. By the way, naik kapalnya 15 jam mas? Maygad lamanyaaaa. Sudah seperti pergi ke Eropa. Pasti seru yaaah berarti kapalnya yang ada kamar-kamarnya begitu kah, mas? kalau naik pesawat butuh berapa jam dari Medan?
By the way, dekat rumah saya di Bali banyak sapi di sawah-sawah. Jadi saya lumayan sering lihat sapi atau kambing kalau habis dari luar rumah cuma nggak tau nih sejak Corona masih ada apa nggak sapinya hehehehehe. Terima kasih ceritanya mas, saya jadi tau lebih banyak soal Sinabang. Suka baca tulisan mengenai Indonesia, dan to be honest, ini kali pertama saya dengar nama Sinabang. Taunya hanya Sabang awalnya
Ditunggu kelanjutan ceritanya ya, mas
Bagaimana biar ada emote di blog mas Vai?
Kok emote saya nggak muncul? Hahahaha
hahaha..aku tidak tahu pengaturan untuk emotenya. Ga aku kasih plugin emote juga sih..hehhehe
Kalau mau pake emote yaa pake kombinasi karakter kayak pas sms dulu 😀 😀
mereka masih menggunakan hape jadul. Kalau mau cari sinyal biasanya mereka keluar desa dulu. Tapi ga banyak yang memiliki hape.
15 jam dan melalui samudera indonesia yang terkenal dengan ombaknya. jadi berasa terombang ambing..hahhahaha
kalau dari medan, aku kurang tahu berapa lama, soalnya pas itu kami banyak orang dan membawa mobil untuk mobilisasi.
asyik dong, tiap hari disuguhi pemandangan sawah, kambing, dan sapi. Coba besok dicek mbak eno, siapa tahu mereka juga kangen mbak eno…hhehehhee
Terima kasih telah singgah di sini mbak. Cerita tentang sinabang sudah berakhir, mungkin aku berlanjut ke cerita kota lain di aceh. Belum aku tulis, masih ngumpulin beberapa data..hehhee
Wuaa 15 jam lama bangeett
Pulaunya juga masih asri yaa, binatang liar juga masih banyak mondar mandiri. Seruuu ya Mas Rivai..
Beberapa penyeberangan ada yang lebih dari 15 jam kak. Padahal 15 jam sudah terbilang lama 😀
Jadi kalau tiap hari liat binatang liar yaa udah biasa. Ular, biawak, babi hutan, burung jalak, burung murai,dll adalah pemandangan setiap harinya.
Untuk ukuran pulau kecil, jalanan di Pulau Sinabang ini sungguh amat bagus. Apa karena faktor semua anggaran dipergunakan dengan bijak ya, nggak kaya jalan di kota aku yang suka jerawatan :P.
Btw,, perjalanan ke Pulau Sinabang naik kereta ternyata lama banget yaaa, 15 jam. Gila. Kalau naik pesawat dari Simelue ke Medan kalo nggak salah satu jam kan ya. Aku jadi ingat Susi Air. Pesawat perintis ini emang berjasa banget ya untuk menghubungkan pulau-pulau terluar.
Masih ada beberapa ruas jalan yang kondisi belum bagus. Letaknya jauh dari pusat kota. Jalan di kotamu banyak jerawatnya karena beban yang ditanggung jalan di kotamu sangat tinggi mbak 😀
Naik kapal Pelni mbak, bukan naik kereta..wkwkwkk
sekitar satu jam perjalanan dengan pesawat. Tapi jadwal seminggu hanya beberapa kali saja. Pesawat perintis susi air juga sangat berjasa dalam distribusi logistik ketika bencana tsunami.
Lama nggak ketemu, aku pangling sama kamu mas, hahaha.
Salut masih ingat dengan perjalanan tahun 2017. Kesannya nggak terlupakan banget ya berkunjung ke daerah yang masih minim penerangan, fakir sinyal seluler, dan berdampingan dengan makhluk liar. Anw, Aceh dan Sumbar ini wishlist-ku untuk trip domestik.
Wkwkwk..ketemu di blog dengan nama lain 😀
Iyaa bener banget, sangat berkesan. Bahkan sempat merasa berdosa jika ditulis di blog..heheehe
Semoga bisa ke aceh dan sumbar. Kedua tempat itu sangat menarik untuk dikunjungin 😀
Penggambaran ceritanya mirip kampung saya dulu
Penerangan minum, sinyal tak ada.
Tapi kini, kampung saya sudah maju, hanya saja mencari hewan kerbau kok susah. Sebab alat bajak sawah kini diganti dengan serba mesin
Wah enaknya, punya famili disana, bisa menyambung silaturahmi
Jaringan listrik sudah masuk ke desa tersebut mas, hanya untuk sinyal listrik masih susah.
Kampung sekarang sudah mengalami perkembangan yang sangat maju mas 😀
Beruntungnya kamuuuu malah udh ke pulau Sinabang mas :D.
Kondisi banyak hutan, sinyal internet wassalam, itu msh banyak sih ya ditemuin di bbrp tempat di Sumatra. Lah kalo aku mudik ke Sibolga aja, banyaaaak tempat yg msh begini. Hutan, listrik ga ada, gelap banget. Kalo blm terbiasa driving di tempat gitu, susah.
Ntah Napa yaaa, sate Padang yg dijual di luar Sumatra barat, aku justru LBH suka :D. Di Aceh dan Medan aku punya banyak tempat langganan untuk beli sate Padang. Mantep semua rasanya. :D. Jadi kalo udh bingung mau makan apa, sate Padang itu pilihn penyelamat 😀
Merasa beruntung sekali sih mbak. Soalnya ga banyak yang datang ke pulau ini 😀
mbak fany cerita tentang jalur sibolga, aku malah ngecek jalur itu. Sepertinya menarik untuk dilewati. Apalagi sibolga juga punya pemandangan yang bagus 😀
Aku mulai suka sate padang ketika di aceh mbak. Padahal di semarang ada yang jual, tapi malah jarang beli. Entah mengapa ketika di sumatera malah lebih sering makan sate padang 😀
Sate padang memang cocok bagi sebagian besar orang 😀