Lagi-lagi, aku bersepeda tanpa sebuah rencana. Bedanya, kali ini aku lakukan bersama Nisa–salah seorang teman bersepadaku. Obrolan tentang bersepeda pun baru terpikirkan pada pukul 22.00 tadi malam. Akhirnya kami memutuskan untuk ketemu di depan Masjid Baiturrahman, Simpang Lima.
Hari ini adalah hari Sabtu. Kawasan Simpang Lima terpantau dengan ramai. Terlihat warga yang sedang berolahraga. Baik yang berjalan kaki, berlari, maupun bersepeda. Mereka tidak merasa terganggu dengan ramainya kendaraan. Semuanya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
Aku sudah memutari bundaran Lapangan Simpang Lima sebanyak tiga kali, tapi aku belum melihat kedatangan Nisa. Di putaran keempat, aku melihat Nisa baru saja tiba di depan masjid. Aku menghampiri dia yang sedang melihat-lihat situasi di sekitar Masjid Baiturrahman.
“Jadi kita akan bersepeda ke mana? tanyaku pada Nisa.
“Tidak tahu. Jalan dulu saja,” jelas Nisa kepadaku.
“Ya sudah, lewat Jalan Mataram aja dulu,” jelasku pada Nisa.
Masjid Baiturrahman seringkali dijadikan untuk titik kumpul para pesepeda. Tidak heran jika di hari Minggu terlihat beberapa kelompok pesepeda yang berkumpul di depan Masjid Baiturrahman. Depan masjid memiliki trotoar yang lebar, sisi tepi yang jauh dari jalan utama, dan lokasi yang strategis. Dari depan Masjid Baiturrahman ini perjalanan bersepeda akan dimulai.
Meninggalkan Masjid Baiturrahman
Kami meninggalkan Masjid Baiturrahman dan mulai memutari bundaran Simpang Lima satu kali dan kemudian menuju Jalan A. Yani. Di persimpangan daerah Bangkong kami mengarahkan stang sepeda ke utara menuju Jalan M.T. Haryono. Jalan satu arah ini terlihat lengang di pagi itu. Aku memberi tahunya ada beberapa tempat yang bisa disinggahi di jalan ini. Pilihan kami singgah di Ibu Khoiriyah-penjual susu yang ada di sebelah gang Kampung Kulitan.
Kami tiba ketika Ibu Khoiriyah sedang melayani pembeli yang sedang membeli susu. Lalu Nisa memesan dua bungkus susu. Satu susu putih dan satu susu coklat. Sebenarnya Ibu Khoiriyah tahu aku akan memesan apa. “Mas itu biasanya pesan susu coklat”, ujar Ibu Khoiriyah kepada Nisa.
Baca Juga: Menyusuri Kampung Kauman
Tidak menyangka Ibu Khoiriyah masih mengingatku dengan baik. Tentu saja senang mendengarnya. Kabar Ibu Khoiriyah sangat baik dan terlihat semangat ketika berjualan. Di tengah obrolan kami, ibu ini memperlihatkan pisang raja yang dibawa. Tampilannya sangat menggoda dan terlihat lezat. Ternyata pisang itu pesanan salah satu pelanggan Ibu Khoiriyah.
Sebungkus susu telah kami habiskan tanpa sisa. Kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Tidak lupa berucap ke Ibu Khoiriyah untuk suatu saat singgah kembali. Kami mulai menyusuri Kampung Kulitan. Keluar gang dan bertemu dengan Jalan Inspeksi yang berbatasan dengan Kali Semarang. Kemudian Nisa mengajakku menuju Klenteng Tay Kak Sie yang ada di kawasan Pecinan. Jaraknya dekat dari Kampung Kulitan.
Pasar Pedamaran
Pagi itu Klenteng Tay Kak Sie terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang beribadah. Kami hanya sebentar berada di klenteng ini. Lalu, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri sebuah gang yang akan membawa kami ke Pasar Pedamaran. Di pasar ini, tiba-tiba Nisa berhenti di dekat kios penjual cabai. Dia hendak membeli cabai dengan nominal Rp10.000
Ibu penjual cabai tidak memperbolehkan Nisa membeli dengan harga segitu. Alasannya adalah harga cabai sedang tinggi, yaitu Rp100.000/kg. Ibu penjual cabai hanya akan menjual cabai dengan pembelian cabai minimal Rp25.000 atau untuk ¼ kg. Enggan melayani pembelian dengan harga dan jumlah tersebut. Menurutnya, itu akan menyulitkan untuk menentukan takaran cabai ketika ditimbang. Akhirnya Nisa urung membeli cabai di kios tersebut.
Menurut Nisa, membeli cabai sebanyak ¼ kg terlalu banyak. Tidak akan terpakai semua dan malah bisa terbuang sia-sia karena busuk. Nisa pun tidak patah semangat. Dia kembali mencoba peruntungannya di kios sebelahnya. Ibu penjual cabai di kos sebelah juga berujar bahwa harga cabai sedang tinggi. Namun, dengan senang hati ibu tersebut memperbolehkan Nisa membeli cabai dengan nominal Rp10.000. Cabai ditimbang dengan takaran yang menurutnya sudah sesuai.
Pasar Pedamaran juga dikenal sebagai pasar yang menjual bumbu makanan yang sudah diracik dan siap masak. Di persimpangan Jalan K.H. Wahid Hasyim juga ramai dengan para penjual yang berasal dari Pasar Kranggan. Termasuk para penjual yang menjual aneka macam jajanan. Mungkin suatu saat nanti bisa mengagendakan untuk mencicipi jajanan di pasar ini.
Pasar Prembaen
Dari sini kami akan melintasi Jalan Depok dan berencana singgah di Pasar Prembaen. Salah satu keunikan pasar ini adalah pasar ini terletak di dalam gang kampung. Bukan di sebuah bangunan permanen seperti kebanyakan pasar lainnya. Pertama kali memasuki pasar bisa langsung melihat para pedagang yang menggelar lapaknya di sepanjang jalan gang. Tidak hanya menjual bahan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjual jajanan atau makanan.
Pagi itu kami membeli onde-onde dan pia-pia. Onde-onde kami beli dengan harga Rp6.000 untuk lima onde-onde. Onde-onde masih panas karena baru saja diangkat dari penggorengan. Kami menemukan penjual pia-pia yang ada di ujung pasar. Pia-pia ini mengingatkanku pada bakwan pontianak karena bentuknya sama. Kami singgah di kios ini karena ingin makan pia-pia di tempat. “Aku sedang ingin makan pia-pia,” jelas Nisa.
Ibu penjual pia-pia tidak mengetahui kapan persisnya pasar ini berdiri. Namun, yang pasti sejak dulu bentuk pasarnya memang seperti ini. Sekarang pasar ini tidak seramai di masa lalu yang selalu ramai dengan pembeli. Selain warga biasa, banyak pedagang lain yang kulakan di pasar ini. Ibu penjual gorengan ini merupakan warga asli kampung ini.
Pasar dengan konsep berjualan di sepanjang gang bukanlah hal baru di Semarang. Salah satu yang terkenal ada Pasar Gang Baru yang ada di kawasan Pecinan. Bahkan pasar ini dinilai memiliki sejarah yang panjang. Selain itu ada pedagang Pasar Peterongan yang memenuhi jalan kampung yang ada di belakang pasar.
Baca Juga: Tanjakan Jalan Sumbing
Selain pembeli yang hilir mudik di pasar, motor warga setempat juga terbiasa melintasi di tengah keramaian pasar. Pengunjung dan warga sekitar mesti senantiasa berbagi jalan untuk kelancaran aktivitas pasar. Ini salah satu bentuk toleransi antara pedagang, pembeli, dan warga sekitar. Semakin siang pasar akan sepi dan para pedagang akan menutup kiosnya pada pukul 12.00.
Menuju Kota Lama
Sebetulnya aku berencana untuk pulang, tapi Nisa malah mengajakku ke kawasan Kota Lama. Kami kembali menuju ke arah utara dengan melewati Jalan Pemuda. Hari itu sepanjang hari terlihat mendung sehingga bersepeda terasa lebih nyaman dan menyenangkan. Tak perlu takut dengan panasnya terik matahari.
Sesampainya di Kota Lama, kami hanya duduk di bangku yang berada di seberang Gedung Marba. Pagi itu kawasan Kota Lama ramai dengan pengunjung. Terlihat puluhan anak remaja dengan pakaian fashionable berjalan-jalan di dekat Taman Srigunting. Aku mengira itu anak remaja Kota Semarang yang sedang ingin mengekspresikan diri melalui tampilan busana mereka.
Beberapa anak membeli minum di minimarket dan meminumnya di bangku yang ada di depan kami. Setelah mendengar logat bicaranya, aku berpikir kalau mereka berasal dari Jawa Barat. “Pantas saja cara berpakaian mereka terlihat berbeda, ternyata mereka berasal dari Bandung,” ujar Nisa.
Cerita tentang Kota Lama hari ini ditutup dengan sepasang kakek-nenek yang meminta tolong ke aku untuk mengambilkan gambar mereka dengan latar Gedung Marba. Uniknya, mereka juga mengajak bapak tukang becak untuk berfoto bersama. Sepertinya bapak tukang becak ini menemani sepasang kakek-nenek ini berkeliling Kota Lama dengan becaknya. Bapak tukang becak awalnya terlihat sedikit canggung. Hal ini bisa dimaklumi karena jarang sekali diajak berfoto bersama penumpangnya. Namun, si nenek tetap mengajaknya untuk terlihat ceria, santai, dan bahagia ketika difoto.
Sungguh pemandangan yang tidak biasa. Kakek-nenek ini terlihat senang setelah melihat hasil gambar yang aku ambil. Kami sempat mengobrol sejenak sebelum mereka kembali ke hotel mereka menginap yang berada di dekat Gedung Spiegel. Bapak tukang becak juga pamit untuk mencari penumpang lagi. Bapak tukang becak terus mengayuh becaknya semakin jauh dan akhirnya menghilang dari pandanganku.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30. Cuaca masih terlihat mendung. Aku dan Nisa memutuskan untuk pulang dengan menyusuri Jalan Pemuda. Nanti kami akan berpisah di kawasan Tugu Muda. Nisa akan berbelok ke arah barat, sedangkan aku akan ke arah selatan. Tentu saja aku sudah bersiap dan bersahabat dengan jalan menanjak.
Ketika bersepeda tanpa sebuah rencana dan rute seringkali aku menemui banyak hal yang tidak terduga. Seperti hari ini memulai perjalanan dari Masjid Baiturrahman, lalu singgah di Pasar Pedamaran dan Pasar Prembaen. Kemudian perjalanan ditutup dengan berjumpa kakek-nenek yang berfoto bersama bapak tukang becak yang menemaninya berkeliling Kota Lama. Sungguh pemandangan yang luar biasa.
Cerita dari Sepeda
Kota Semarang
25 November 2023
34 comments
Kalo aku bersepeda tanpa rencana biasanya asal gocapan dengan rute terjangkau, sebel;um jam 8 sudah balik lagi hahahahahha
kalau aku paling cepat biasanya jam 9 mas. Karena arah balik ke rumah jalannya menanjak jadi lebih lama 😀
Selalu ketemu dengan hal2 baru tiap kali keluar , itu nyenengin sih. Walo cuma sekedar interaksi dengan orang lokal, ttp aja seneng .
Malah jadi tahu kalo cabe lagi mahal ya mas . Aku selaku beli cabe banyak, sekiloan tiap belanja, Krn memang penyuka pedas, dan buat keluarga kan. Kalo cuma sendiri iya sih, yg ada mubazir kalo beli banyak. Eh tapi kalo tau cara nyimpan yg bener di kulkas, awet kok .
Paling suka kalo ketemu pasar dlm gang. Apalagi jualannya beragam.
Aku jrg liat yg begini, kec pasar kaget yaaa. Bukan yg rutin dibuka.
Kebetulan aku juga suka keliling kampung. Jadi dapat cerita-cerita seperti ini sangat menyenangkan.
Di semarang ada beberapa mbak fanny. Yang paling terkenal di Pasar Gang Baru di pecinan. Di sana jualannya beragam. Mbak fanny coba berkunjung ke sana dan kemudian lanjut blusukan di kawasan pecinan. Nanti ngopi di Dharma Boutique Roastery. Hari sabtu yaa, soalnya hari minggu tempat ngopinya tutup.
Kadang menemui hal”tak terduga itu sesuatu banget ya mas, seperti kakek yang minta tolong di fotoin itu, dialog dengan penjual cabai di pasar, perjumpaan dengan penjual susu yang ternyata masih ingat kita, dan sekedar obrolan ringan , itu sih nambah pengalaman berharga sih kalau menurutku
Pengalaman bisa berasal dari mana saja, termasuku dari orang-orang yang baru pertama kali kita temui.
Tiap baca postingannya mas Vay tuh bawaannya pingin pergi ke pasar atau ke tempat-tempat tradisional yang lain, atau kalo nggak gitu pingin punya kebun sendiri biar apa-apa bisa nanem sendiri, idk why, wkwkwkwkwk. Tentang fashion teman-teman yang dari Jawa bagian barat, emang beda sih feel-nya. Aku kalo jalan kaki ngelilingin kampus tiap jam istirahat gitu juga suka ngelihat ada transisi fashion ketika melewati fakultas-fakultas yang berbeda. Biasanya udah bisa nebak dari jauh kalau kemungkinan mereka dari sana hanya dengan melihat bajunya. Begitu berpapasan, biasanya bener, logat bicaranya keliatan dari Jawa bagian barat. Btw, mas Vay udah pernah tes MBTI belum? Hasilnya apa?
Baguslah kalau gitu. ikut senang mendengarnya. Pergi ke Pasar tradisional itu seru 😀
Nah, pas kuliah pun juga lumayan terlihat perbedaan cara berpakaian antara warga jawa bagian barat dengan bagian tengah dan timur. 😀
Terakhir test mbti itu hasilnya ENTJ-T..Kenapa dengan mbti-ku..?
Nasib baik pisang yang menggoda dan bukan orangnya hehehehe…maff saya becanda
Tidak apa kak. Pisang memang selalu menggoda untuk dimakan.
Wah asek banget nih
Bersepeda sambil berkuliner ria
Penjual susunya ramah pula
Cabe memang lagi mahal
10 ribu paling dapatnya lima cabe
Tujuan bersepeda sebenarnya untuk kulineran mas 😀
Ciyeee Mas Rivai. Asikk .. *Lahhh malah salfok.
Setuju sih sama Mba Endah kalau baca cerita Mas Vay hawanya Zen banget, soalnya apa ya.. Kaya banyak hal kecil yang patut kita syukuri dan nikmati….
btw, aku awalnya mikir Pia pia tuh semacam kue bakpia ternyata ini sejenis bakwan yang ada udang di tengahnya ya??? Pasti enak.. Terus bercerita yes mas. Soalnya cara masnya bercerita bikin yg baca merasa secara langsung ikutan bersepeda… Aku ya sering bersepeda tiap libur kerja. Kalau aku tinggal di Semarang mungkin kita bisa jadi Buddy Sepeda.. haha . tapi nggak tahu ding, Soalnya Mas Rivai kalau sepeda suka jauh-jauh..
Cabe emang lagi mahal sih, Tapi itu Ibunya yg nggak boleh beli 10 ribu agak kebangetan sih… padahal 1/4 kg semisal beli 10 ribu bisa aja ditimbang pke timbangan 100 gr… Aku ya kalau beli cabe paling 5000. dpet 2-3 biji karena memang nggak pernah butuh banyak… dan pedagang disini udah pake timbangan digital, jadi gampang ngukurnya…
Terima kasih buat kalian berdua yang selalu singgah di sini 😀
Kalau aku bersepeda sama teman biasanya saling menyesuaikan. Tidak bakal egois. Saling menyesuaikan dengan kemampuan dan minat yang kita. Kalau mau keliling kota yaa ayo, kalau mau kulineran dan santai yaa ayo. Aku kalau bersepeda ramai-ramai yaa sefleksibel mungkin 😀
Yaa berarti emang masih mahal. Ibuku biasanya kalau beli di langganan yang biasa dikasih lebih banyak.
wah ada penjual susu, masih otentik banget 😀
betul sekali
Asik banget Mas bersepeda ada yang nemenin…
Ketemu lagi dengan ibu penjual susu. Sampai hapal dia ya susu yang biasa Mas beli.
Jadi kangen Kota Lama. Sayangnya Mas ga ambil spot foto yang banyak ketika di Kota Lama.
Jadi Nisa yang mana? Saya nebak saja mungkin yang berdiri pakai kaos hitam, pegang sepeda, saat di ibu penjual susu.
Salam,
sudah beberapa kali ketemu ibu penjual susu jadi sudah seperti langganan.
Foto di kota lama sudah ada beberapa di postingan lainnya.
Nisa yang pakai kaos hitam dengan sepeda lipat miliknya 😀
Memang seru mas sengaja keluar tanpa rencana tuh. Aku pun sering begitu. Kadang kalo lagi naik motor, jalannya sengaja aku sasarin atau belok ke arah semaunya saja. Toh kalau nyasar pun, nantinya masih bisa pakai google maps untuk kembali.
Seringnya kalo udah ‘menyasarkan diri’ begitu, nantinya bakalan ketemu jalan baru, tempat makan baru, dan berbagai kejutan seru yang bikin kita bergumam, ‘owalaah disini toh, kemana aja saya selama ini kok ndak tau ya’
Aku kadang naik motor juga gitu mas. Kalau lagi bosen sering lewat jalan yang jarang aku lewati. Nah, proses-proses nyasar dan ketemu hal-hal baru itu yang bikin naik motor itu sangat menyenangkan.
Si Mba Nisa udah mirip ibu-ibu banget. Setidaknya ditempatku tinggal. Setiap habis sepeda berangkat bawa diri pulang bawa kresekan. Entah itu makanan atau belanjaan. Btw asyik juga sebenarnya bersepeda berdua gitu, tapi apalah dayaku, punggung gak bsa diajak kompromi. Setelah sepedaan justru malah sambat sakit sana sini. Hehe
Setelah sepedaan paling enak beli makanan. Mungkin kebetulan lewat pasar jadi sekalian belanja kebutuhan. Ayo mbak dian sepedaan lagi. Sakit karena belum terbiasa aja 😀
Selalu mendapatkan cerita yang luar biasa jika berkunjung ke sini.
Semoga mas Vai sehat selalu.
Makasih mas. Semoga sehat selalu.
Dateng (lagi) ke Semarang tuh cita-citaku banget Mas Vay, banyak kenangan semasa kuliah soalnya. Ini Mas Vay bisa sepedaan kapan aja di Semarang, apalagi menyusuri tiap sudut Semarang, waaaah… ini privilege banget yang nggak semua orang bisa rasakan
Perjalanan tidak rencana selama ada di Semarang, pasti akan selalu menyenangkan dan banyak hal-hal baru yang ditemui dan menarik buat diceritain. Bisa tahu harga cabe yang lagi mahal-mahalnya, mampir makan pia-pia, hingga bapak tukang becak yang mungkin nggak nyangka diajak foto sama kakek nenek yang dibawanya. Bikin hangat ngeliatnya
Ayolah ke semarang lagi mas. Mungkin masih banyak kenangan yang belum tuntas…wkwkwk
Bener sih mas, sering merasa begitu. Merasa senang bisa sepedaan di tiap sudut kota semarang semarang.
Aku selalu menyukai momen-momen yang tidak direncanakan seperti ini mas
Pertama banget pengen bilang, kok bisa sih kak ingatannya sedetail itumasya allah keren banget. Bisa rinci gitu jelasinnya dan rapi nulisnya
Serasa ikut bersepeda deh
Salam buat kak Nisa hihi hemat cabe banget. Kalau aku 10K habis dua hari doang hihi
Bener kak, sesuatu yg gak direncanakan kdang malah menyenangkan
Terima kasih kak keza.
Karena kita ga punya bayangan seperti apa yang akan ditemui dalam perjalanan tersebut.
Cabe di Semarang juga mahal ya mas, kirain cuma di Banten saja. Disini cabe merah juga 85 ribu, tapi beli 5 ribu di warung juga dilayani sih, apalagi 10 ribu. Itu ibu yang nolak beli 10 ribu berarti nolak rejeki, soalnya kan tidak semua orang perlu cabai banyak
Berarti kenaikan cabe merata di sejumlah daerah mas. 😀
Cabe di Semarang juga mahal ya mas, kirain cuma di Banten saja. Disini cabe merah juga 85 ribu, tapi beli 5 ribu di warung juga dilayani sih, apalagi 10 ribu. Itu ibu yang nolak beli 10 ribu berarti nolak rejeki, soalnya kan tidak semua orang perlu cabai banyak .
Asyiknya jalan-jalan naik sepeda, dari masjid Baiturrahman sampai kota lama.
Berarti kenaikan cabe merata di sejumlah daerah mas. Mungkin ibunya bingung mau kasih berapa cabe.
sepedaan tanpa itin yang fix kayak gini selalu seru ya, apalagi kalau di perjalanan ketemu hal-hal random yang ga disangka-sangka, dapet kenalan orang-orang baru, seru aja, seperti saat traveling
iya kata ibuku harga cabe mahal, tapi ada penjual lalapan yang nggak perhitungan kalau ngasih sambel, macam harga cabe murah aja pokoknya hahaha
Mungkin kita tipe yang ga menyukai jadwal yang pasti sehingga lebih menikmati beberapa hal yang dikerjakan secara random.
Sambal itu jadi daya tarik yang utama dalam dunia ayam goreng dan lalapan 😀