Cerita Mereka Tentang Tsunami

by Rivai Hidayat
Tsunami

Perkenalanku dengan Aceh dimulai pada tahun 2004. Saat itu sepupuku yang bernama Aditya dinas militer di provinsi Aceh. Kemudian pada tahun 2005, dia pulang ke Semarang dan bercerita kepadaku banyak hal tentang Aceh. Mulai dari bencana gempa dan tsunami Aceh, warung kopi, hingga orang dan perempuan yang ditemui selama di Aceh. Ketika bencana itu terjadi, dia bersama regunya sedang latihan di daerah pegunungan. Sehingga ketika turun gunung, dia langsung membantu proses evakuasi.

Rupanya tahun 2005 juga menjadi tahun terakhirku mendengarkan cerita-ceritanya tentang Aceh. Pada tahun itu, dia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Aku pun tidak sempat bertanya di kota dan kesatuan mana dia bertugas ketika di Aceh. Sehingga informasiku tentang tempat yang dia kunjungi jadi sangat terbatas.

Bulan Juli tahun 2017, aku tiba di Aceh. Di hari pertama itu, aku diajak oleh temanku untuk menikmati suasana Pantai Lampuuk. Panas. Kata pertama yang keluar dari mulutku. Wilayah Banda Aceh dan sekitarnya memang sangat panas. Suhunya bisa lebih dari 40oC. Jika kulitmu tidak mampu beradaptasi, bisa saja kulitmu terbakar. Pantai Lampuuk merupakan salah satu pantai yang rusak karena bencana gempa dan gelombang tsunami tahun 2004. Dalam perjalanan menuju pantai, aku melihat banyak area pemakaman massal korban bencana tersebut. Terlihat beberapa warga bermain di pantai. Mereka cukup kuat menahan teriknya matahari. Sedangkan aku memilih bersantai di gazebo yang ada di tepi pantai.

Baca Juga: Masjid Baiturahman: Antara Aku, Cerita, dan Daya Tariknya

Pantai Lampuuk

Siang itu dalam sebuah perjalanan melewati jalur lintas barat Aceh, kami singgah di Tugu Tsunami Lhoknga, Aceh Besar. Letaknya sekitar 300 meter dari bibir Pantai Lhoknga. Tugu Tsunami itu dibangun sebagai penanda dan peringatan tentang bencana gempa dan gelombang tsunami pada tahun 2004 silam. Menurut anak-anak yang aku temui, lokasi tugu ini dulunya merupakan sekolah dasar (SD) yang telah rusak parah karena gelombang tsunami. Ada sekitar tujuh anak, yang paling besar berusia sekitar 15 tahun. Ketika bencana itu terjadi, dia masih berusia dua tahun.

Dari beberapa anak, perhatianku tertuju pada anak yang paling kecil. Namanya Ibrahim. Saat itu masih kelas 2 SD. Dia terlihat malu-malu ketika aku ajak ngobrol. Tidak menjawab pertanyaanku. Hanya tersenyum dengan menampilkan sedikit giginya. Salah satu anak bilang bahwa Ibrahim belum lancar berbahasa Indonesia. Mungkin saja Ibrahim masih terbiasa menggunakan Bahasa Aceh dalam berkomunikasi, termasuk dengan orang yang baru ia temui.

Tugu Tsunami Lhoknga juga menjadi basecamp bagi mereka. Hampir setiap hari mereka datang ke tugu ini. Tidak jauh dari tugu terdapat sebuah bukit. Menurut mereka, ketika gempa dan gelombang tsunami terjadi banyak warga yang menyelamatkan diri dengan berlari menuju perbukitan itu. Kawasan Lhoknga memang menjadi salah satu lokasi terparah yang terdampak bencana gempa dan gelombang tsunami. Letaknya yang tidak jauh dari bibir pantai yang memiliki pemandangan Samudera Hindia.

Selain korban jiwa, bencana gempa dan gelombang Tsunami juga merusak infrastruktur jalan. Seperti yang aku temui ketika melewati jalan lintas barat Aceh. Jalan yang menghubungkan Kota Banda Aceh dan Kota Meulaboh ini merupakan jalan baru yang dibangun kembali pascabencana. Pak Agus yang menjadi salah satu driver kami bercerita bahwa jalan yang baru dibangun lebih lebar dari jalan lama. Letaknya juga tidak jauh dari jalan lama.

Baca Juga: Kutacane dan Perjalanan Yang Singkat

Tugu Tsunami Lhoknga

Ketika berbicara tentang bencana Tsunami Aceh, tentu tidak bisa dilepaskan dari Pulau Sinabang atau Kabupaten Simeulue. Di pulau ini, gelombang tsunami dikenal dengan nama smong. Smong ini menjadi kearifan lokal yang diciptakan oleh leluhur Simeulue. Smong atau gelombang tsunami pernah menerjang Pulau Sinabang pada tahun 1907. Berkat pengalaman itu, cerita tentang smong diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Berdasarkan pengalaman itulah di Pulau Sinabang tidak ada korban yang diakibatkan oleh gempa dan gelombang tsunami pada tahun 2004 silam. Tidak hanya yang tinggal di Pulau Sinabang, warga Simeulue yang tinggal di kota-kota Aceh lainnya sudah memperingatkan akan datangnya gelombang tsunami, namun peringatan untuk lari ke tempat yang lebih tinggi tidak dihiraukan oleh warga. Warga hanya melihat dan malah ada mengambil ikan yang terdampar di bibir pantai.

Bercerita tentang bencana gempa dan gelombang tsunami tidak lengkap jika tidak datang ke Museum Tsunami di kota Banda Aceh. Semua informasi tentang bencana gelombang tsunami disajikan sangat lengkap, informatif, dan mudah dipahami. Bahkan juga tersedia sejarah terjadinya tsunami di Jepang. Cerita ini membuatku berdiri agak lama di ruangan tersebut. “Cerita ini sangat menarik”. gumamku lirih.

Cerita tentang Aceh dan tsunami dari Aditya secara tidak langsung menjadi pembuka perkenalanku dengan Aceh. Kemudian berlanjut lagi bertemu dengan teman-temanku di komunitas yang berasal dari dan pernah pergi ke Aceh. Pada akhirnya aku bisa pergi ke Aceh dan menemukan ceritaku sendiri. Begitu juga dengan cerita mereka tentang tsunami yang menjadi cerita tersendiri dalam perjalanan ini.

You may also like

36 comments

Fanny_dcatqueen August 18, 2020 - 5:00 pm

Aceh lon sayang 🙂 . Mungkin ingatan ttg tsunami yg paling pengen aku hapus ttg Aceh. Cuma itu..

Terlalu banyak temen2 ku yg meninggal dan hilang, belum lagi rumahku juga rata dengan tanah di sana. Aku beruntung sedang kuliah di Penang saat kejadian, jadi selamat dari terjangan airnya. Kadang sampe merenung, apa yg terjadi kalo aku menolak pindah kuliah waktu itu.

Berarti aku bakal ttp di Aceh, bakal ngerasain terjangan tsunami. Mengingat rumahku di sana rata samasekali, ntahlaaah kalo aku tetep di situ 🙁

Aku sedih pas diceritain Ama temen2 di sana ttg temen2 yg hilang dan ditemukan meninggal. Sahabatku ditemukan sedang meluk 2 anak kembarnya. Ketiganya meninggal berpelukan. Gimana yaaa, pas denger nyeseeeek banget. Kebayang aja yg harus dia rasain :(. Mungkin kalo ditanya kenapa aku jrg balik ke Aceh, sbnrny Krn ini. Aceh memang ga bisa aku lupain Krn aku besar di sana.

Tp tragedi tsunami bikin aku blm terlalu kuat utk balik lagi ksana. Sedihnya belum hilang..

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 4:12 pm

Gempa dan tsunami memang meninggalkan duka mendalam, khususnya bagi keluarga korban, dan bagi warga aceh dan indonesia.
Turut berduka cita atas meninggalnya teman-teman mbak fany. Semoga mbak fany selalu diberi kekuatan dan ketabahan. 🙂

Setibanya aku di aceh, aku juga langsung merasakan emosi tersendiri mbak. Ada rasa sedih atas apa yang terjadi dahulu. Akhirnya aku bisa mendapatkan cerita lain tentang tsunami. Tsunami telah mengubah banyak hal, khususnya bagi aceh dan Indonesia.

Reply
Reyne Raea September 15, 2020 - 11:42 am

Mba Faaaann, bisa merasakan bagaimana traumanya ya, meski nggak merasakan langsung.
Saya liat film apa sih yang menceritakan bule lagi liburan di Thailand ya kalau nggak salah, dan digulung oleh tsunami tersebut.
Itu aja udah bikin serem, apalagi yang merasakan langsung ya.

Alfatihah buat semua korbannya, aamiin

Reply
Rivai Hidayat September 16, 2020 - 2:07 am

Mba fani punya banyak teman dan saudara yang menjadi korban bencana tsunami. Pasti sangat trauma kehilangan teman-teman dan saudaranya.
Beberapa film dokumenter juga menceritakan bencana yang mengerikan seperti itu.
Semoga para korban mendapatkan tempat yang terbaik..aamiin

Reply
Nasirullah Sitam August 19, 2020 - 12:51 am

Aceh selalu menjadi destinasi yang ingin aku kunjungi di Sumatera. Selain Aceh, mungkin juga ingin ke Medan.
Pokoknya singgah saja, keliling sekitaran kota sudah cukup hhehhehehe

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 3:58 pm

Aceh, dan medan, adalah dua kota yang sangat menggoda untuk dikunjungi mas ketika berada di Sumatera mas.
Ayo mas buruan ke aceh dan medan. Kalau ke medan aku cuma singgah makan aja, kemudian melanjutkan perjalanan ke berastagi..hahahaha

Reply
morishige August 19, 2020 - 3:01 pm

Waktu jalan kaki dari Pelabuhan Ulee Lheue ke terminal, saya nggak sengaja lewat Museum Tsunami Aceh, Masvay. Karena masih siang, saya sempatkan mampir. Saya kira isinya sekadar foto-foto dan artefak tsunami saja, ternyata lebih dari itu. Kalau tak salah, ada satu lorong yang dilengkapi audio–kalau tak salah suara orang berzikir atau cuplikan suara waktu tsunami melanda, saya lupa. Di sana saya tertegun lama… mungkin tersadar betapa rapuhnya manusia.

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 4:50 pm

Museum Tsunami memang terletak di daerah kota. Tidak jauh dari masjid baiturahman. Jadi memang pilihan yang tepat ketika berkunjung ke aceh untuk datang ke sini. Di bagian itu aku juga tertegun lama mas, sambil mencoba merasakan apa yang terjadi pada saat itu mas.

Yang cerita tentang asal usul tsunami sangat menarik perhatianku mas. Salah satu cerita tentang tokoh yang memberi bantuan dan menyelamatkan untuk warga sekitar yang terkena bencana tsunami.

Reply
CREAMENO August 20, 2020 - 12:35 pm

Hi mas Rivai, akhirnya update lagi

Eniho, panasnya seriusan 40 derajat? Alamakkk panas betul hahahaha. Di Bali yang 32 derajat saja sudah membuat kulit saya menjerit karena kering kerontang nggak kebayang kalau 40 derajat. Pfffhhttt.

Terus habis baca cerita di atas, saya jadi penasaran cerita warisan apa yang diberikan turun-temurun soal Smong? Apakah cara-cara mengetahui akan datangnya Tsunami atau bagaimana, ya? Karena hebat lho, nggak ada satupun dari mereka yang menjadi korban. Means mereka tau tanda-tanda Tsunami yang nggak diketahui banyak orang hehehehehe.

Ps: semoga mas Aditya dapat tempat terbaik di sisi-Nya

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 4:40 pm

Serius mbak, kulit temanku sampai terbakar mbak. Terasa perih dan kering. SUnblock adalah pilihan kami sebelum memulai aktivitas di lapangan. Sepulang dari aceh aku langsung menghitam mbak. Butuh beberapa bulan untuk mengembalikan ke semula…hehhehehe 😀

Smong (sebutan tsunami oleh warga pulau sinabang) dikenalkan dalam bentuk lagu, puisi, dan cerita mbak. khan sebelum smong/tsnunami, air laut pasti surut terlebih dahulu. Nah itu sudah menjadi tanda bakal datang tsunami. Akhirnya warga bisa menyelamatkan diri terlebih dahulu. Seperti tanda alam yang dipelajari warga pulau sinabang ketika akan terjadi bencana tsunami.

Makasih mbak eno 🙂

Reply
Ina August 21, 2020 - 7:26 pm

Wah pantainya teriiikk… itu ke pantai jam berapa? kebayang panasnya dong, apalagi 40° lebih panas drpd di sini.
Wah cerita sejarahnya menarik, kapan2 diulas ya. Hehehhe

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 5:00 pm

Sejarah yang mana. Sudah lama ga nulis tentang sejarah. Cerita tentang pengalaman aja yaa 😀

Reply
Ina August 22, 2020 - 5:16 pm

Alfatihah dulu buat sepupunya mas.

Itu terik bgt pantainya, jam brp itu? haduuu kebayang panas 40°nya. Lebih panas dr semarang. Haha

Seru ya cerita di museumnya, semoga suatu saat bisa ke sana

Reply
Rivai Hidayat August 24, 2020 - 4:59 pm

Terima kasih er 🙂
Itu pas siang hari sih, lupa tepatnya jam berapa. Tapi bedanya di sana yang terasa teriknya, tanpa polusi. Jadi tahu-tahu kepanasan terus item. Kalau apes yaa kulitnya terbakar. Beda dengan semarang yang panas dan polusi.

Semoga bisa datang berkunjung ke Aceh…aamiin

Reply
Kartika August 24, 2020 - 5:25 pm

Kalau ingat berita bencana Tsunami 2004 waktu itu, memang sedih sekali ya. Meski waktu itu aku masih kecil, tapi aku sempat bertanya2, betapa luasnya dunia ini. Segitu luluh lantaknya di Aceh, alhamdulillah keluargaku di Medan aman. Rasanya sebegitu dekat lokasinya namun begitu jauh keadaannya. Betapa luas dunia ini, dan kebesaran Tuhan.

Aku membayangkan di bagian museum yang bikin Masvay tertegun. Lalu melihat makam masal, pasti rasanya trenyuh banget.

Memang sebetulnya alam punya tanda2 sendiri ya, yang harusnya manusia bisa membacanya dari pengalaman.

Tapi tidak memyalahkan juga sih, tidak terbayang kalau menghadapinya sendiri, mungkin juga bingung mengamankan anggota keluarga juga. Wong di kantorku ada latihan kebakaran ya, bolak balik latihan sampai rasanya agak “meremehkan”. Begitu kejadian beneran, serius, hapalan di kepala hilang semua. Cuma ada panik. Ngeri banget pokoknya.

Reply
Rivai Hidayat August 30, 2020 - 3:12 pm

Kita tidak bisa menyalahkan alam, alam bekerja denga caranya sendiri.
Di indonesia memang sangat perlu dilatih untuk tanggap bencana. Negara ini termasuk negara rawan bencana. Jadi warganya mesti dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi bencana.

Reply
Phebie August 26, 2020 - 1:48 am

Tsunami ya…dahulu saya kebagian seksi bantu-bantu mendistribusikan sumbangan masyarakat ke Aceh. Sulit sekali waktu itu melakukannya. Semua orang tergerak sampai jumlah bantuannya sendiri spt tsunami sayang keterbatasan alur distribusi dan minimnya pengalaman di manajemen bencana jadi hambatan. Semoga kita bisa belajar dari sana..terutama soal penanganan, kesiapan, early warning system, serta apa yg dilakukan setelahnya untuk memulihkan trauma penduduk lokal. Yang sering terjadi relawannya yg lebih trauma itu juga hrs dipikirkan …

Saya juga punya kawan mahasiswa2 Aceh yang dapat beasiswa belajar atas niat baik negara pengundang. Miris dengar ceritanya. Dia kehilangan semua anggota keluarganya.

Btw. foto-fotonya bagus mas Rivai

Reply
Rivai Hidayat August 28, 2020 - 5:43 pm

Terima kasih kak phebie telah membantu dalam penanganan tsunami tahun 2004 silam. Ketika bantuan mulai didistribusikan, kita tidak bisa lupa akan jasa bu susi yang telah mengijinkan penggunaan pesawatnya untuk membantu proses distribusi bantuan.
Bencana ini membuat kita semakin sadar dengan mitigasi bencana dan peringatan dini akan sebuah bencana. Hal itu sangat penting mengingat indonesia merupakan negara yang rawan bencana.

Terima kasih mbak phebie 🙂

Reply
Astriatrianjani August 26, 2020 - 12:31 pm

Mendadak saya jadi kepo lagi soal tsunami itu. Tahun 2004 waktu saya masih tk jadi nggak begitu ngeh. Kalau saya bayangkan rasanya ngeri dan tragis. Semoga nggak ada bencana serupa di masa mendatang. Tapi katanya sebelum ada tsunami selalu ada tandanya ya, kayak air yang mendadak surut itu….

Reply
Rivai Hidayat August 28, 2020 - 2:18 pm

tanda alam yang paling terlihat ketika tsunami adalah gempa dengan kekuatan besar. Kemudian dilanjutkan dengan surutnya air laut. Setelah surut akan terjadi gempa susulan yang menyebabkan gelombang air laut yang berasala dari surutnya air laut.
Indonesia termasuk salah satu negara rawan bencana. Salah satunya gempa dan gelombang tsunami.

Reply
Dodo Nugraha September 12, 2020 - 9:50 am

Tahun 2004, berita Tsunami saat itu saya masih SD kelas 2. Masih ingat betul, tiap2 hari menampilkan berita duka macam itu. Orang meninggal, orang hilang dsb. Sangat-sangat sedih

Reply
Rivai Hidayat September 12, 2020 - 1:10 pm

saat itu berita di media selalu dipenuhi dengan pencarian korban dan kondisi banda aceh yang dilanda gempa dan gelombang tsunami.

Reply
Lia The Dreamer August 26, 2020 - 5:18 pm

Sepanas itu ya di Aceh? Sampai kaget lihat derajat suhu yang mencapai 40° sepertinya aku nggak kuat kalau harus keluar siang hari jika di Aceh

Pantai Lampuuk itu bagus banget pasirnya putih, airnya biru, banyak pepohonan, asri banget kelihatannya ya. Tapi, kalau siang-siang ke sana, sepertinya bakal jadi gosong banget

Aku panjatkan juga doa untuk sepupu kakak. Semoga sepupu kak Rivai diberi tempat yang terbaik di sana ya

Reply
Rivai Hidayat August 28, 2020 - 2:12 pm

Aku juga ga nyangka bakal sepanas itu, sebetulnya cukup tahan dengan panasnya. Tapi tahu-tahu kulit langsung terbakar dan gosong. Jadi setelah beradaptasi, akhirnya menggunakan sunblock untuk aktivitas sehari-hari.
Banyak pantai di aceh memiliki pemandangan yang bagus. Khususnya aceh bagian barat. Karena pantainya langsung berbatasan dengan samudera hindia.

Terima kasih banyak mbak lia 🙂

Reply
PIPIT August 27, 2020 - 1:44 am

Semoga Mas Aditya tenang dan mendapatkan tempat terbaik di sana.. aamiiin..

Pantainya cantik banget, tapi suhunya ini yang bikin ati-ati. 40 derajat bo!! Wow sekali!
Btw, selalu pake sunscreen atau sunblock Mas, penting banget soalnya. Mau di tempat yang sejuk bahkan panas seperti di pantai. perlindungan ke kulit sangat diwajibkan. Mengingat efeknya bisa berakibat kerusakan pada kulit. Karena aku suka gatel banyak orang-orang yang luput buat melindungi kulitnya.

Reply
Rivai Hidayat August 28, 2020 - 2:10 pm

Pantai-pantai di aceh sangat bagus untuk dikunjungi.
Setelah tahu kulit terbakar, akhirnya kami semua menggunakan sunblock untuk aktivitas sehari-hari. Memang sangat panas, tapi di kulit tidak terasa lengket. Namun setelah seharian kena pnas, tahu-tahu kulit seudah menghitam dan terbakar.

Mungkin karena kebanyakan orang sudah terbiasa dengan panas yang mereka temui. Sedangkan aku saat itu sedang beradapatasi dengan udara yang di ACeh

Reply
Hicha Aquino August 29, 2020 - 4:34 am

Wah… baca ini bikin merinding… karena rindu tentunya 🙂
Meskipun bukan berdarah Aceh, tapi dari lahir sampai tamat SMP di Aceh. Terus, pas kuliah juga tinggal di asrama Aceh, ikut unit Aceh, bergaul sama mahasiswa dari Aceh, jadinya kadang bahasa Indonesia saya pun berlogat Aceh XD

Sejujurnya, meskipun sampai SMP di Aceh, karena tinggal di Lhokseumawe, Aceh Utara, saya belum pernah main ke Pantai Lampuuk. Ke Banda Aceh aja baru sekali, itu pun umur 2 tahun, jenius banget kalau masih ingat. wkwk

Btw, mungkin agak OOT, tapi karena pas kuliah ikut unit kebudayaan aceh, saya jadi aktif ikut tarian Aceh. Dan lirik-liriknya itu sungguh kadang bikin semangat, kadang juga bisa bikin ingat pada kematian

Reply
Rivai Hidayat August 30, 2020 - 3:41 pm

Rasanya senang sekali yaaa mbak Hicha bisa memiliki teman-teman dari Aceh. Bisa belajar banyak tentang kebudayaan mereka.
Jarak Lhokseumawe-Banda Aceh lumayan jauh mbak. Jadi mungkin ke banda aceh kalau ada perlu yang sangat mendesak aja…hehhee

Ketika di Aceh, aku juga dikenalkan dengan lagu-lagu Aceh mbak. Belajar sedikit bahasa sana. Walaupun ketika diajak ngomong pakai bahasa Aceh juga belum bisa. Eh, sekarang malah lupa bahasa Aceh 😀

Reply
Haryadi Yansyah | Omnduut September 2, 2020 - 8:03 am

Sama nih, “perkenalanku” dengan Aceh juga berawal dari sepupu yang tugas militer di Meulaboh. Dia balik ke Palembang 2 bulan sebelum bencana tsunami berlangsung. “Kalau abang masih di sana, ntahlah apa yang terjadi,” ujarnya secara Meulaboh termasuk yang terdampak cukup besar.

Aku ke Aceh 2 kali, tapi belom berkesempatan main ke Banda Acehnya 🙁 pengen ke museum tsunami, masjid raya dsb. Mudah-mudahan ada kesempatan ke sana 🙂

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 10:06 am

Meulaboh salah satu kota yang mengalami kerusakan parah. Akses ke sana juga mengalami kerusakan parah om 🙁
Semoga bisa ke banda aceh om. Aceh selalu bikin rindu untuk kembali ke sana.

Reply
Thessa September 3, 2020 - 2:19 pm

Cerita tsunami aceh bener2 menyayat hati yaa.. aku inget di berita waktu itu liat banyak korban jiwa Waktu itu juga orang tua aku lg naik haji, Bareng jamaah Aceh. Pas denger tsunami, mereka bener2 histeris. Lg ibadah haji dr tanah air mereka dpt kabar keluarga semuanya meninggal dan rumah udah rata sama tanah.. Sampai ada museum nya juga ternyata ya Mas Rivai

Reply
Rivai Hidayat September 4, 2020 - 2:45 am

Saat itu sedang musim haji juga. Pasti bencana itu meninggalkan cerita sedih tersendiri bagi mereka mbak.
Semoga yang ditinggalkan selalu diberi ketabahan dan keikhlasan 🙂

Reply
ainun September 5, 2020 - 1:15 pm

kalau mendengar atau membaca cerita soal tsunami aceh, sampe sekarang masih terasa sedihya, apalagi kalau mendengar langsung dari saksi yang masih hidup. waktu kejadian ini aku masih kuliah, aku liat berita aja sampe nyesek, perjuangan mereka sampe naik ke atap rumah, melihat tetangganya terseret arus,seddihhhhh
setelah Aceh bangkit, wish list pingin main ke sana juga,
aku ngebayangin gimana memori anak anak yang saat kejadian itu dan sekarang udah gede, pasti masih melekat di ingatan mereka

Reply
Rivai Hidayat September 6, 2020 - 2:44 am

Ketika aku di sana (tahun 2017) masyarakat aceh sudah bangkit. Banyak infrastruktur telah dibangun kembali.

Bencana ini bakal jadi cerita sedih bagi para keluarga korban. Ayo mbak ainun, semoga bisa datang ke aceh 🙂

Reply
Djangkaru Bumi September 22, 2020 - 6:41 am

Tugunya tampak unik dan indah banget ya
Saya sangat kagum dengan pecetus idenya
Pengalaman harus dijadikan pelajaran
Warga Sinabang sungguh luar biasa

Reply
Rivai Hidayat September 23, 2020 - 5:40 am

kejadian yang pernah terjadi membuat warga sinabang paham dengan tanda-tanda alam mas. Pengalaman memang pelajaran yang sangat berharga

Reply

Leave a Comment