Ketika melaju di Jalan M.T. Haryono aku memutuskan untuk mengarahkan stang sepeda menuju ke Kampung Kulitan. Salah satu kampung tua yang ada di Kota Semarang. Kampung ini akan mengarahkanku menuju ke tepi Kali Semarang. Menyusuri jalanan dan perkampungan yang ada di tepi Kali Semarang merupakan rencana rute bersepeda di pagi ini.
Aku sudah beberapa kali melintas di Kampung Kulitan. Biasanya ada seorang ibu-ibu penjual susu segar yang menggelar dagangannya di samping gapura kampung. Namun, pagi itu aku tidak menjumpai ibu-ibu itu. Mungkin saja dia sedang tidak berjualan atau mungkin saja belum tiba di gapura Kampung.
Aku mulai masuk ke Kampung Kulitan. Pada masa lalu kampung merupakan sentra kerajinan kulit dan Tasripin merupakan sosok yang membuat kampung ini dikenal hingga negeri Belanda. Rumah-rumah kuno di kampung ini masih terawat dengan baik. Suasana kampung terlihat sepi. Hanya ada dua orang bapak-bapak yang sedang duduk di pos kamling. Aku mengucap salam sebagai tanda izin untuk melintas di kampung ini. Di ujung gang jalan kampung mulai menyempit dengan permukiman yang lebih padat.
Keluar dari Kampung Kulitan aku menuju Jalan Inspeksi. Jalan yang berada di tepi Kali Semarang. Ada pemandangan unik dari jalan ini, yaitu banyaknya gerobak gilo-gilo yang terparkir di sepanjang jalan. Gilo-gilo bukanlah sebuah makanan, tetapi cara berjualan jajanan atau makanan yang diletakkan di dalam gerobak yang ditutupi dengan penutup yang terbuat plastik. Makanan yang dijual bermacam-macam, seperti gorengan, satai, dan buah–pepaya, semangka, melon, dan bengkoang,
Baca Juga: Antara Kopi Giling dan Tanjakan Tanah Putih
Aku menyusuri Jalan Inspeksi dengan laju yang pelan. Beberapa rumah dan bangunan khas Tionghoa yang masih berdiri dengan kokoh. Namun, ada bangunan yang rusak dan tidak terawat dengan baik. Kayuhanku terhenti ketika melihat sebuah pompa air manual yang sudah jarang ditemui. Seorang bapak-bapak yang bertelanjang dada dengan ramah menghampiriku. Dia merupakan pemilik pompa air ini.
Produsen Kerupuk Tahu di Tepi Kali Semarang
Pemilik pompa tersebut bernama Pak Adi. Usianya sudah lebih dari 60 tahun. Pak Adi bercerita bahwa pompa miliknya masih asli dan berfungsi dengan baik. Meskipun di beberapa bagian terlihat ada kerusakan. Seperti corong air yang sudah tidak bisa diputar lagi dan tuas pompa yang mengalami korosi. Meskipun begitu air masih bisa mengalir dengan deras. Air yang dihasilkan juga jernih dan tidak berbau. Padahal Pak Adi tinggal di dekat Kali Semarang.
Aku dipersilakan untuk singgah di rumah Pak Budi. Dengan senang hati aku pun menyetujuinya. Aku pun duduk di bok kecil yang ada di depan rumahnya. Pada awalnya aku mengira Pak Adi sedang sarapan di atas bok depan rumahnya. Ternyata aku salah. Pak Adi bilang kalau dia sedang membuat kerupuk tahu. Aku pun penasaran. Sebelumnya aku tidak mengetahui tentang kerupuk tahu. Bahkan tidak pernah mengira bahwa tahu juga bisa diolah menjadi kerupuk.
Pak Adi sudah menjadi produsen kerupuk tahu lebih dari 15 tahun. Pada awalnya dia dibantu oleh istrinya. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu, kini Pak Adi dibantu oleh anaknya. Pak Adi membeli tahu putih di Pasar Dargo. Setiap harinya Pak Adi membeli tahu putih sebanyak 70 buah. Kalau sedang ada pesanan, Pak Adi bisa membeli tahu putih hingga 100 buah.
Tahu yang sudah dibeli kemudian dicampur dengan pewarna makanan untuk menghasilkan warna menarik pada kerupuk tahu. Kemudian tahu tersebut diiris tipis. Pada proses ini, Pak Adi dibantu oleh anaknya. Proses mengiris tahu masih menggunakan pisau dan dikerjakan secara manual. Proses ini merupakan proses tersulit dibandingkan proses yang lainnya. Dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk menghasilkan irisan tahu yang memiliki ukuran yang sama.
Tahu yang sudah diiris kemudian dimasukkan ke dalam baskom yang berisi air yang dicampur dengan bumbu. Bumbu kerupuk tahu terdiri dari bawang putih dan garam yang dihaluskan. Irisan tahu direndam sekitar sepuluh menit agar bumbu meresap. Tangan Pak Adi tampak berhati-hati ketika memisahkan setiap irisan tahu. Dia tidak ingin irisan tersebut rusak. Meskipun masih bisa diproses, tapi akan menghasilkan tampilan yang kurang menarik ketika sudah digoreng.
Baca Juga: Mendaki Gunung Merbabu Via Suwanting
Irisan tahu yang sudah diberi bumbu kemudian ditiriskan di atas sebuah tampah yang terbuat dari bambu. Kemudian irisan tahu tersebut dijemur di atas kursi yang ada di halaman rumah Pak Adi. Dekat dengan tepi Kali Semarang. Kalau cuaca panas seperti sekarang ini, proses penjemuran kerupuk tahu membutuhkan waktu selama satu hari. Sedangkan ketika cuaca tidak panas, proses penjemuran membutuhkan waktu dua hari. Kerupuk tahu yang sudah kering akan terlihat mengkilap dan berminyak. Menurut Pak Adi, ini berasal dari minyak kedelai yang ada pada tahu.
Aku tidak bisa melihat proses penggorengan dan pengemasan kerupuk tahu ini karena Pak Adi belum melakukan proses tersebut. Tahu yang sudah kering akan digoreng dan lalu dikemas dalam sebuah plastik sesuai dengan beratnya. “Tidak perlu dikasih merek, Mas. Pembeli sudah mengenal kerupuk tahu ini,” tanyaku ketika melihat bungkus plastik yang polos tanpa sebuah merek produk.
Pak Adi menjual kerupuk tahu dengan harga Rp140.000/kg. Tidak hanya itu, Pak Adi juga menjualnya dalam ukuran kecil yang dibanderol dengan harga Rp8.000/bungkus. Para pembeli kerupuk tahu buatan Pak Adi biasanya datang langsung ke rumah. Mereka semua sudah jadi langganan kerupuk tahu. Pak Adi enggan menitipkan kerupuk tahu miliknya ke warung-warung.
Menurut Pak Adi, “Kalau titip ke warung itu biasanya para pedagang jualnya asal-asalan. Seperti orang yang tidak niat jual. Sedangkan kalau beli langsung ke sini berarti mereka memang niat untuk beli. Entah itu akan dimakan sendiri atau menjualnya kembali kerupuk tahu miliknya.”
Pak Adi masuk ke dalam rumah dan membawa kerupuk tahu yang sudah digoreng. Aku dipersilakan untuk mencicipinya. Teksturnya empuk, lembut, dan rasanya gurih. Tentu saja seperti makan tahu yang digoreng kering. Pak Adi menawariku untuk membawa kerupuk tahu yang sudah digoreng, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku tidak membawa tas sehingga akan menyulitkanku ketika membawa kerupuk tahu tersebut di stang sepeda.
Obrolan pagi antara dua orang yang baru pertama kali bertemu itu ternyata tidak hanya tentang kerupuk tahu. Pak Adi juga bercerita tentang dirinya yang merupakan keturunan Tionghoa. Pak Adi lahir dan besar di Semarang. Tepatnya di tepi Kali Semarang. Sedangkan kakeknya asli Tiongkok yang merantau ke Semarang. Menurut cerita Pak Adi, kakeknya ahli dalam seni beladiri kendo. Pak Adi anak ke-4 dari 6 bersaudara. Ayah Pak Adi meninggal pada usia 94 tahun. Sebuah usia yang terbilang sangat panjang bagi seorang manusia.
Baca Juga: Bersepeda ke Batang
Sebelum menjadi produsen krupuk tahu, pekerjaan Pak Adi adalah sales kain di sebuah toko tekstil yang ada di Gang Warung. Pak Adi sering menawarkan kain di dalam maupun luar kota Semarang. Salah satu pengalaman yang masih diingat oleh Pak Adi adalah tidak bisa pulang ke Semarang karena sedang terjadi kerusuhan yang melibatkan ras dan suku di Kota Solo.
Dalam obrolan itu aku juga bercerita kalau aku suka berkeliling kampung. Beberapa kampung pernah aku masuki. Seperti kampung-kampung di Pecinan, Kota Lama, Kampung Kulitan, Kampung Bustaman, dan Kampung Melayu. Aku merasakan kesenangan tersendiri ketika masuk perkampungan. Masuk dari satu gang ke gang lainnya. Kemudian melihat aktivitas yang dilakukan warga kampung, seperti yang dilakukan oleh Pak Adi yang menjadi produsen kerupuk tahu. Ini merupakan pengalaman baru yang aku dapat. Termasuk kerupuk tahu yang tidak pernah aku temui sebelumnya.
Rumah Pak Adi masih bentuk aslinya. Letaknya di Jalan Inspeksi di tepi Kali Semarang. Rumah itu dilengkapi dengan ventilasi berupa teralis besi, seng sebagai atap, dan pintu kayu yang belum pernah diganti. Selain itu, di atas pintu ada simbol yin dan yang dipercaya sebagai simbol keseimbangan hidup dan penolak bala. Salah satu yang unik dari rumah Pak Adi adalah terdapat cerobong asap di atap rumahnya. Di masa lalu cerobong asap itu berfungsi sebagai tempat perapian. Namun, kini sudah tidak digunakan lagi.
Tidak terasa sudah lebih dari 20 menit aku ngobrol dengan dengan Pak Adi. Aku banyak mendapatkan pengetahuan dan cerita baru dari sosok Pak Adi. Pak Adi dengan cerita tentang kerupuk tahu miliknya. Aku meminta izin untuk pamit dan melanjutkan perjalananku. Aku bilang ke Pak Adi bahwa suatu saat akan singgah lagi di rumahnya. Tentu saja Pak Adi senang sekali dengan rencana tersebut. Sepertinya aku memang sangat menyukai momen bertemu dengan orang secara acak seperti ini.
Aku kembali mengenakan helm dan sarung tangan. Sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi Kali Semarang.
Cerita dari Semarang
Tepi Kali Semarang
22 Oktober 2023
44 comments
Pompa air seperti ini memang sudah jarang ada,tapi dulu saat saya main ke kampung halaman suami,di rumah nya masih ada pompa air model gini mas,jadi kalau mau umbah”saya juga mompa sendiri,kalau sekarang ya model Sanyo,cari yg praktis aja.
Nah soal kerupuk tahu ini kalau jalan”ke daerah Jawa biasanya saya suka beli oleh-oleh kerupuk tahu,tapi enggak tau juga apa produksi dari Semarang apa enggak,gak terlalu merhatiin juga sih..memang rasanya gurih dan garing.
Sekarang pompa manual sudah bergeser ke pompa mesin. Tetanggaku juga masih punya, tapi sudah jarang dipakai. Kemungkinan sih rusak.
Produsen kerupuk tahu kemungkinan banyak. Kerupuk tahu sering dijual di toko oleh-oleh. Aku merasa beruntung dengan produsennya langsung yang masih membuat kerupuk tahu dengan cara manual.
Jadi ingat zaman pakai pompa air medel begini. Sayangnya kami punya sering rusak. Ujung2nya nimba pakai ember kecil fikasih tali juga.
Pernah mengalami nimba pakai ember. Bisa dibilang seru karena serasa angkat beban 😀
Sungguh luar biasa ramahnya
menekuni profesi dengan hati
saya sangat kagum
ah kalau cerita soal pompa air, saya jadi teringat pula jaman kecil.
Setuju mas, Pak Adi mengerjakan proses produksi kerupuk tahu dengan senang hati.
Maaaas, ga beli kerupuk tahunya? Aku yakin enaaak ini . Kayak ya kalo ke Semarang jadi pengen beli deh. Bisa tanya mas Rivai nanti lokasinya di mana
Asiiik yaa blusukan gini dan akhirnya nemuin hal2 menarik. Ketemu banyak orang, nambah pengalaman juga. Aku suka sih, tapi memang ga mau kalo sendirian . Biasanya kalo gini ya pastinya Ama temen atau berdua suami. Aku sendiri rasanya susah utk buka percakapan kalo ketemu orang baru
aku ga beli mbak karena aku ga bawa tas. Susah bawanya kalau ditaruh di stang sepeda. Mungkin nanti bakal balik ke sini lagi. Kalau mbak fanny mau nanti bisa titip aku.
Kalau mbak fany kebetulan pas di semarang, nanti bisa minta tolong ke aku buat temani blusukan ke kampung-kampung yang ada. Banyak kampung di semarang yang tampilannya kayak di jakarta yang banyak gang sempitnya. 😀
Selalu menarik tulisanmu Mas Broo, baru tahu terkait rumahnya Pak Adi, Btw beliau itu keren, diusia yang sudah tidak muda lagi tetap semangat untuk bekerja, jadi penasaran pengen cobain kerupuk tahunya.
Makasih mas ruly. Aku berencana untuk balik lagi dan beli kerupuk tahu. Tentu saja nanti bakal berbagi cerita lagi 😀
perlu dicoba ini keripik tahu,
di tempat saya sih adanya keripik singkong,
kalau keripik tahu sih belom ada
Keripik singkong sudah sering, kerupuk tahu masih ada jarang.
di tempat saya malah enggak ada, ini adanya malah keripik bekicot hehe
Aku belum pernah makan keripiki bekicot mas. Kalau sate bekicot pernah mas. Tepatnya pas lagi jalan-jalan di Kediri.
mas vai bener-bener membuat hidupnya kaya pengalaman dengan cara berinteraksi dengan manusia – manusia yang baru aja ditemuinya pertama kali dan mereka pun bisa kasih insight yang baru..
oia, mas vai kalo menurut Pak Budi dititip di warung jualannya asal – asalan, apa Pak Budi juga udah coba jualanin produknya secara online di marketplace ?
Aku selalu menyempatkan diri untuk ngobrol dengan yang baru ditemui kak feb. Di sana pasti banyak cerita yang bisa didapat 😀
Setahuku belum jual secara online sih. Masih berjualan secara konvensional.
Itu seriusaaannn mas dirimu keren amat ngobrol dg Bapak2 begins spontan Dan akhirnya menu cerita. Jujur aku belum keliling Semarang meski sudah beberapa waktu di sini panas banget. Aku baru tau ada keripik tahu dan jadi mau nyoba utk dijadiin oleh-oleh
Seriusan lah. Sudah sering ngobrol dengan orang yang baru ditemui saat itu. 😀
Semarang 2 bulan ini panas banget mbak. Jadi mesti beradaptasi. Kalau mbak lina butuh informasi tentang semarang, bisa kabari aku mbak. Siapa tahu butuh rute atau teman buat keliling jalan kaki. Nanti bisa dibantu 😀
saya sudah lma tidak main ke semarang. btw itu sumur pompa mungkin sudah sejak jaman indonesia baru merdeka kalau dilihat dari bentuknya,,,
Bentuk pompa air ini memang unik dan sudah ada sejak jaman dulu.
Cerita random yang sangat menarik. Ditambah Pak Adi sangat welcome dengan orang asing dan mau membagi sedikit pengalaman hidupnya. Sayang sekali gada penampakan kerupuk tahu yang lebih jelas, karena penasaran jg sama makanan satu itu. Hehehe
beruntung bisa ketemu dan mendengarkan cerita dari Pak Adi. Baru ingat ketika meninggalkan rumah pak adi. ternyata tadi lupa foto kerupuk tahunya. Kayaknya mesti bakal mampir lagi ke sana. 😀
Momen blusukan begini seru ya mas, tapi saya kurang bisa bersosialisasi karena cenderung pendiam 😀
Kalau sedang melakukan perjalanan, bagian ngobrol sama orang asing begini biasanya suami saya. Mampir ngopi di warung lokal dan ngobrol dengan warga lokal. Memang seru karena jadi mendapatkan hal-hal baru yang sering tidak kita duga
Seorang pendiam juga bisa bersosialisasi kok. Warung lokal itu salah satu lokasi yang mesti didatangi kalau ingin mendengarkan cerita warga lokal. Cerita warga lokal ini biasanya seru, autentik, dan tidak ada dalam sebuah panduan di google 😀
Mas apakah sama kerupuk tahu yang Pak Adi buat dengan kerupuk tahu yang bulat-bulat itu? soalnya kalau lihat potongannnya digambar kan persegi panjang gitu ya. Penasaran sama rasanya
Tapi seru banget sepedahan bisa menghasilkan pengalaman dan berkenalan dengan orang baru
bukan, bentuk kerupuknya persegi panjang. Rasanya gurih kok. Bersepeda salah satu cara untuk cari pengalaman dan teman.
Jadi nambah saudara baru ya kak, bisa seseru itu ngobrolnya kayak udah kenal lama hehe
Betul sekali kak. berasa seperti menambah sudara yang sudah lama ga jumpa
Ya ampun seru banget, perjalanan yg menghadirkan cerita selalu memberi ruang kesan yg lebih dalam…. saya suka iri dengan orang yg mudah memulai pembicaraan dengan orang asing, soalnya saya agak kesulitan, meski kalau udah mulai ngobrol sih bisa banget ngeflow
Memulai sebuah obrolan dengan orang lain bisa dipelajari. Kalau sudah tahu caranya pasti bisa memulai sebuah obrolan dengan baik.
Kerupuk tahu, wah mantep itu. Mungkin mirip seperti yg jadi oleh2 khas Kediri. Tapi mahal juga yh ternyata
Aku belum tahu oleh-oleh dari kediri mas. Kalau harga mahal sih relatif mas. 1 kg untuk ukuran kerupuk tahu juga bakal dapat banyak mas.
Selalu banyak cerita indah dari kota Semarang ya masvay, aku selalu suka sm tulisan masvay, termasuk Semarang ini, seperti ada yg berbicara indah di setiap sudut nya yaa mas. Rasanya seperti aku ada didalam cerita tersebut. Ditunggu tulisan selanjut nya yaa masvay.
Makasih mbak endah. melalui tulisan ini aku juga ingin mengajak teman-teman larut dalam ceritanya.
Dulu waktu kecil kalo mau air yang enak biasanya ke pompa air seperti itu mas, biasanya antri giliran sama tetangga.
Pasti kerupuk tahu pak Adi enak, sehingga biarpun tidak dijajakan ke warung tetap laris.
Air tanah emang beda rasanya. Lebih menyegarkan 😀
Bener mas agus, kerupuk ya enak. Aku aja abis banyak..hihii
Iya mas, padahal di rumah sudah ada sumur tapi kalo musim kemarau kadang airnya kurang enak, kayak sedikit asin gitu padahal laut agak jauh tapi kalo musim hujan enggak sih
Tapi kalo pakai air pompa segar biarpun musim kemarau.
Waah, bisa saja sumurnya tercemar dari sumber lain mas agus.
Di kampungku menyediakan sumur artetis. Kualitas airnya bagus dan layak untuk digunakan.
Waaahhh, baca cerita Mas Rivai seru banget. Sepedaan ke kampung2, ketemu orang baru dan bisa seakrab itu. Saya jadi ngiler sama kerupuk tahunya. Huhuhuhu. Kalau di tempat jual camilan kiloan di Ngaliyan (mungkin di Dargo juga ada) ada keripik tahu, Mas. Bentuknya setengah lingkaran, coklat. Kayaknya beda sama yg Pak Adi punya. Kalau punya Pak Adi kerupuk tahu, ya.
Eh, lihat gerobak gilo2, diriku kaget. Masih ada yg jualan gilo2? Dulu pas saya kecil biasanya gilo2 adanya pas malam. Beli buah, sate2, atau jajanan di gilo2. Terus kok jadi kangen kacang rebus ya. Waduuuhh, bahaya ni..
Aku lupa foto kerupuk tahu pas siap makan. Kayaknya terlalu fokus makan…heheh
Bentuknya panjang mbak. Ukuranya lebih tebal dari keripik. Jadi beda antara keripik demgan kerupuk tahu.
Masih banyak mbak. Khususnya di daerah semarang bawah. Kalau di semarang atas kayaknya ga ada. Ayo bikin sendiri aja mbak 😀
Kerupuk tahunya kayaknya enak. Nggak kayak kerupuk tahu di sini. Dulu pas ke Semarang kok gak kepikiran beli kerupuk tahu ya, eh tapi kerupuk tau emang produk khas Semarang bukan? Btw, pompa air tradisional itu dulu aku sukaaa banget mainnya. Suka bantuin ibuk ngambil air pake itu sambil nggandol ke pompanya karena gak kuat, wkwkwkwk. terus kalau pompanya macet, di atasnya dipancing pake air dulu. xD
Kurang tahu sih kerupuk tahu itu khas dari daerah mana. Aku pun baru kali ini melihat proses pembuatannya. Sebetulnya lihat hasil jadinya juga, hanya saja kemarin lupa diambil gambarnya. Rasanya gurih banget kok 😀
Nah ini, pompanya emang lumayan berat bagi anak-anak. Tapi kalau sudah mulai keluar bakal mengalir terus. 😀
seru bisa blusukan kayak gini ke kampung kampung lawas mas Vay, terus ketemu orang baru dan bisa dapet ilmu baru juga
Aku penasaran sama kerupuk tahunya, bayanganku tadi kayak kerupuk tahu kediri yang panjang-panjang itu.
bisa jadi hobi baru, blusukan ke kampung-kampung 😀
Bentuk kerupuk tahunya juga panjang-panjang kok. Kemungkinan yaa sama bentuknya.