Bisa dibilang hari itu sudah terlalu siang untuk mulai bersepeda. Aku baru memulai bersepeda pada pukul 06.30. Itu baru keluar gang rumah dan belum tahu akan bersepeda kemana. Tiba-tiba terbesit nama Stasiun Tanggung yang akan menjadi tujuan bersepeda. Stasiun Tanggung yang berada di Kabupaten Grobogan. Jarak antara rumahku menuju Stasiun Tanggung sekitar 35 km. Aku memulai perjalanan dengan kayuhan yang cukup santai, meskipun matahari mulai meninggi.
Stasiun Tanggung merupakan salah satu stasiun tertua yang masih ada di Indonesia. Sedangkan Stasiun Samarang merupakan stasiun tertua yang dibangun di Indonesia. Namun, keberadaan stasiun tersebut telah hilang karena banjir rob. Pada tanggal 10 Agustus 1867, Perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) mengoperasikan jalur kereta api pertama di Indonesia yang menghubungkan antara Stasiun Samarang dengan Stasiun Tanggung dengan jarak 25 kilometer.
Laju sepeda melambat ketika tiba di Jalan Ganefo. Setiap pagi dan sore hari jalan ini selalu ramai dengan aktivitas buruh pabrik. Di sekitar pabrik banyak pedagang yang menjajakan barang jualannya. Terlihat beberapa buruh pabrik yang mayoritas perempuan sedang memilih barang yang akan dibeli. Seorang buruh pabrik tampak bergegas sambil menenteng plastik yang berisi makanan untuk segera masuk ke area pabrik. Beberapa pabrik di Kota Semarang dan sekitarnya memang masih menerapkan masuk kerja di hari Sabtu.
Arus lalu lintas di Jalan Semarang-Mranggen pagi itu sangat padat. Banyak warga Mranggen, Demak yang berangkat kerja menuju pabrik-pabrik yang berada di Semarang. Aku semakin berhati-hati karena banyak pengendara yang menyalip melebihi batas jalan secara sembrono. Jalan ini memang terkenal dengan keramaian dan kemacetannya. Sepanjang perjalanan aku bisa menikmati pemandangan berupa hamparan sawah.
Baca Juga: Bersepeda ke Tanah Para Wali
Sekitar pukul 08.37 aku tiba di Stasiun Tanggung. Letaknya di Desa Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Bentuk bangunannya stasiun tidak banyak berubah. Menurut beberapa sumber, pada tahun 1910 NIS mengubah bentuk bangunan stasiun ini dengan gaya arsitektur chalet-NIS. Chalet sendiri merupakan sebutan bagi bangunan (rumah, kandang, lumbung) dengan arsitektur tradisional di Pegunungan Alpen. Ciri khasnya adalah konstruksi kayu yang dilengkapi atap dari sirap batu dan teritisan lebar untuk melindungi bangunan dari hujan.
Di Stasiun Tanggung terdapat sebuah kantor dan peron penumpang. Di dalam kantor terdapat alat pengatur untuk memindahkan jalur kereta. Alat ini masih asli dan sudah tidak difungsikan lagi. Sistem pergantian rel sudah menggunakan sistem digital. Di belakang Stasiun terdapat sebuah bangunan rumah yang difungsikan sebagai tempat istirahat para karyawan. Area peron tidak luas. Hanya terdapat beberapa kursi panjang.
Pagi itu ada seorang ibu-ibu dan anaknya yang bermain di stasiun. Biasanya mereka akan menanti kereta api yang akan melintas. Dahulu ada Kereta Api Kalijaga dengan relasi Stasiun Semarang Poncol-Stasiun Solo Balapan yang berhenti di stasiun ini. Warga sekitar stasiun memanfaatkannya untuk pergi ke Solo atau Semarang. Namun, hal itu sudah tidak bisa dilakukan. Saat ini tidak ada kereta api yang singgah di Stasiun Tanggung. “Kadang kami rindu melihat momen para penumpang yang menunggu, naik, dan turun dari kereta mas,” ujar salah satu petugas yang aku temui pagi itu.
Menurut cerita dari petugas bahwa stasiun ini sering menjadi tujuan para pesepeda. Baik yang berasal dari Semarang, maupun Grobogan. Stasiun ini memang jadi tonggak bersejarah dalam perkembangan kereta api di Indonesia.
Baca Juga: Kembali ke Kota Jogja
Aku berada di Stasiun Tanggung selama satu jam. Pagi itu hanya ada satu kereta api barang yang melintas. Seorang petugas stasiun memberikan salam kepada masinis kereta tersebut. Stasiun Tanggung terletak di jalur kereta api menuju Solo dan Jogja. Pada masa kolonial, kedua kota ini dikenal dengan sebutan Vorstenlanden atau wilayah-wilayah kerajaan.
Aku berpamitan ke petugas stasiun dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Semarang. Dalam perjalanan pulang aku melewati jalan yang berbeda dengan ketika berangkat. Hal ini biasa aku lakukan. Rute yang aku lalui memiliki pemandangan area persawahan dan jalan lebih sepi. Ini perjalanan pertamaku ke Stasiun Tanggung. Mungkin suatu saat nanti bisa singgah lagi di stasiun ini.
Cerita dari Sepeda
Stasiun Tanggung
1 Juni 2022
14 comments
Banyak juga bangunan bersejarah di Kota Semarang ya Mas, kayaknya kalo saya traveling ke sana, bisa kalap sih.
Jangan lupa singgah di kawasan kota lama semarang mas.
Stasiun-stasiun kecil di sana bangunannya lebih menarik diabadikan, mas. Pas naik Joglosemarkerto lihat beberapa stasiun bangunan lama kok rasanya pengen turun ahahahhah. Keren mas, 35km pp udah 70an, udah half fondo. Aku sekarang membatasi kurang dari 30km sekali jalan, biar bisa pulang masih pagi.
Stasiun-stasiun kecil ini memang punya daya tarik tersendiri.
Udah pernah tembus 100km dengan jalut naik-turun perbukita. Pengaruh kontur kota semarang dan sekitarnya.
Jarak dibawah 30km memang tidak terlalu menghabiskan banyak waktu. Bisa lebih santai juga
Sepi sekali! Jadi membayangkan rasanya tempo doeloe
Bener banget. Apalagi sekarang ga ada kereta yang berhenti di stasiun ini.
sepeda saya saking jarang dipakenya malah rusak sekarang
barang kalau jarang dipakai malah rusak dengan sendirinya. Termasuk sepeda. Sebaiknya memang sesekali dipakai untuk aktivitas
Jadi sepi ya stasiunnya karena gak ada lagi penumpang,saya naik kereta itu bisa dihitung jari alias jarang banget terakhir ke Cirebon naik kereta pulang pergi dua bulan yg lalu
ketika berada di Jawa, pergi menggunakan kereta jauh lebih mudah menyenangkan. Tinggal menyesuaikan dengan waktu keberangkatan
kalau ngeliat stasiun yang udah ga difungsikan lagi, kita jadi flasback ke masa jaya jayanya itu stasiun di zaman dulu, mungkin di masa penjajahan atau pemerintahan tahun kesekian. Ramenya lalu lintas warga naik kereta dan sekarang kayak mati gitu aja. Ga da kehidupan
asik juga mengunjungi stasiun lama kayak gini, apalagi kalau bentuk bangunannya masih asli
Tidak aktivitas naik turun penumpang di stasiun ini. Jadi kereta langsung melintas.
Banyak stasiun kecil yang masih mempertahankan bentuk asli stasiunnya. Di jalur kereta semarang-solo banyak stasiun kecil yang masih terawat dengan baik. Meskipun beberapa di antaranya tidak digunakan untuk naik turun penumpang.
Waah udh lama toh dilakuin perjalanan yg ini mas.
Melihat stasiunnya kliatan banget sudah tua Yaa, tapi ttp terawat. Aku jadi inget salah satu stasiun di Kuwana , mie Prefecture jepang yg aku pernah datangin. Mirip begitulah tuanya. Dulu kirain semua stasiun di jepang sudah modern, ternyata yang jadul juga ada.
Jauh juga naik sepeda kesana mas, . Udah sama dari Depok ke Rawamangun rumahku
Perjalanan sepedaku ga rutin. Kalau rutin biasanya malah jarak yang dekat atau sekitar kota semarang.
Di jalur kereta semarang-solo itu masih banyak bangunann stasiun sesuai dengan bentuk awalnya. Tidak banyak berubah. Paling terkenal yaa stasiun tawang, semarang. Bentuk bangunan dari awal seperti itu. Meskipun sudah mengalami peninggian di beberapa bagian karena dampak dari banjir rob.