Ketika bersepeda aku seringkali mengubah rencana secara tiba-tiba. Perubahan itu biasanya terkait dengan rute yang dilewati atau tempat yang menjadi tujuanku bersepeda. Tentu saja aku juga memperhatikan segala kondisi dan kemampuan yang aku miliki saat itu. Seperti yang aku lakukan pada pagi itu. Secara tiba-tiba aku mengubah rencana perjalanan bersepeda menuju Kabupaten Demak.
Semalam ada dua rencana bersepeda yang melintas dalam benakku. Yang pertama bersepeda di sekitar kawasan Simpang Lima dan yang kedua adalah ikut bersepeda bareng salah satu komunitas sepeda yang ada di Kota Semarang. Akhirnya aku memilih untuk ikut bersepeda bareng komunitas. Rutenya cukup menarik dan tentu saja bisa berkenalan dengan teman-teman pesepeda.
Aku langsung menuju tempat yang dijadikan titik kumpul dan sengaja tidak memberi kabar terlebih dahulu tentang rencana keikutsertaanku. Biasanya teman-teman komunitas akan dengan senang hati menerima kedatangan orang baru untuk gabung dalam kegiatan mereka. Hal inilah yang membuatku suka mengikuti kegiatan-kegiatan di komunitas.
Titik kumpul berada di area Kota Semarang bagian timur dan rumahku berada di area bagian selatan. Aku membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk tiba di sana. Ketika tiba di pertigaan Jalan Brigjen Sudiarto dekat Kantor Polres Semarang Timur, tiba-tiba aku kepikiran untuk mengubah rute bersepeda menuju Kabupaten Demak dan tidak mengikuti bersepeda bareng teman-teman komunitas. Setelah mempertimbangkan segala kondisi yang ada, akhirnya aku mengarahkan setang sepeda menuju Jalan Wolter Monginsidi. Pagi itu tidak ada keraguan untuk melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Demak.
Baca Juga: Kembali ke Kota Jogja
Arus lalu lintas Jalan Wolter Monginsidi saat minggu pagi terlihat tidak ramai. Keramaian hanya terlihat di sekitar pasar dan tempat orang-orang berjualan jajanan. Salah satunya adalah Pasar Bangetayu dan Pasar Genuk yang ramai dengan warga yang berbelanja. Di hari biasa, jalan ini selalu ramai dengan kendaraan yang melintas. Jalan ini memang jadi salah satu akses menuju Kabupaten Demak dan Jalan Pantura.
Setelah menyusuri Jalan Wolter Monginsidi sejauh 6.9 km, aku tiba di persimpangan antara Jalan Wolter Monginsidi dengan Jalan Pantura Semarang-Kabupaten Demak. Persimpangan tersebut ditandai dengan lampu lalu lintas. Di persimpangan ini aku beristirahat sejenak sambil menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau.
Di persimpangan jalan seperti ini sering mengingatkanku pada perilaku pesepeda yang melanggar lalu lintas dengan menerobos meskipun lampu lalu lintas berwarna merah. Seharusnya mereka berhenti, tetapi mereka memilih untuk melanggarnya. Beberapa pesepeda menerobos lampu lampu lalu lintas dengan kecepatan yang pelan. Tetap saja itu tidak dapat dibenarkan. Setiap aturan di jalan harus dipatuhi oleh para pengguna jalan, termasuk seorang pesepeda. Aturan yang dilanggar bisa mengakibatkan hal buruk pagi pesepeda itu sendiri dan pengguna jalan lainnya.
Kadang terbesit dalam pikiranku sebuah pertanyaan kepada mereka yang sering melanggar rambu lalu lintas. “Apa sih yang dicari? Waktu, jarak, atau kecepatan? Ketika pesepeda melanggar rambu lalu lintas, mungkin saja mereka mendapatkan waktu, jarak, dan kecepatan terbaik. Namun, bisa juga mereka akan kehilangan kesempatan untuk bersepeda lagi.”
Pukul 06.48 aku mulai melintasi Jalan Pantura Semarang-Kabupaten Demak. Selang beberapa menit aku memasuki daerah Kabupaten Demak yang ditandai dengan gapura batas antarkota. Jalan beton ini akan menjadi jalur di sepanjang perjalanan hingga tiba di Kabupaten Demak. Arus lalu lintas tidak terlal uramai. Namun, truk dan bus menjadi penguasa utama di jalanan ini. Sepanjang jalan aku memilih lajur paling kiri. Terkadang mesti mengalah hingga keluar lajur karena ada kendaraan yang menyalip dari sebelah kiri. Melintas di jalur seperti ini prioritas utama ada keamanan dan keselamatan, bukan sebuah kecepatan.
Pada masa lalu, Jalan Pantura Semarang-Kabupaten Demak merupakan bagian dari Jalan Raya Pos (Postweg) yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal H.M. Daendels pada tahun 1808-1811. Jalan Raya Pos yang membentang sejauh 1000 km ini juga dikenal dengan nama Jalan Raya Anyer-Panarukan. Saat ini Jalan Pantura ini juga dilengkapi dengan jalan tol yang mulai difungsikan pada bulan Desember 2022.
Di Jalan Pantura Semarang-Kabupaten Demak dahulu juga dilintasi oleh jalur kereta trem. Jalur ini milik perusahaan Samarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (SJS) yang mengoperasikan kereta trem dengan rute Kota Semarang menuju Juwana (Kabupaten Pati) yang dimulai pada tahun 1883. Trem yang melintas akan singgah di Stasiun Sayung. Namun, stasiun tersebut tidak ditemukan lagi. Penggunan kereta trem terus menurun dan dinilai kurang efektif dibandingkan moda transportasi lainnya. Akhirnya jalur trem ditutup dan tidak difungsikan lagi.
Baca Juga: Berkunjung ke Desa Wisata Putat
Sekitar pukul 07.53 aku tiba di Alun-Alun Kabupaten Demak. Alun-alun itu terletak di seberang Masjid Agung Demak. Kawasan alun-alun dipenuhi dengan warga yang sedang berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, senam, dan bersepeda. Selain itu, ada hiburan dari band akustik dalam rangka penggalangan dana untuk korban gempa bumi di Cianjur. Beberapa lapak orang berjualan juga memenuhi beberapa sudut alun-alun.
Aku langsung mengabari temanku yang sedang pulang ke rumahnya di Kabupaten Demak. Selang beberapa menit dia tiba di Alun-Alun Kabupaten Demak. Kami menghabiskan sekitar satu jam untuk ngobrol santai dan sarapan. Setelah dirasa cukup, akhirnya aku berpamitan untuk pulang ke Semarang. Aku memilih jalan yang sama dengan ketika berangkat.
Dalam perjalanan pulang aku melihat seorang ibu yang mengayuh sepedanya yang dilengkapi dengan dua drum yang berada di sisi kanan dan kirinya. Mungkin itu merupakan barang dagangannya yang akan dijual di pasar. Aku memberikan salam ketika aku menyalip beliau. Tak lama setelah itu gapura batas antarkota menyambut kedatanganku. Kini aku telah memasuki area Kota Semarang.
Dalam obrolan bersama temanku tadi, sempat terpikirkan olehku untuk melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Jepara atau Kudus. Namun, niat itu segera aku urungkan. Sebaik-baiknya perjalanan adalah yang direncanakan dengan baik. Perjalanan hari ini tidak terencana dan kondisi tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Pulang ke Semarang adalah pilihan yang bijak ketimbang melanjutkan perjalanan menuju Jepara atau Kudus.
Cerita dari Sepeda
Kabupaten Demak
28 November 2022
14 comments
aku jadi membayangkan rute Semarang ke Demak…bukannya itu cukup jauh ya Mas vai? Tapi keren juga ya..bisa sampai dengan menggowes bareng temen temen komunitas? Suasana pagi di kabupaten lain nunut sarapan dan bercengkrama…wuih enak tenan. Kalau saja ada trem seperti saat masih beroperasi tentu akan jadi pemandangan sendiri yang cukup menarik. Jadi penasaran dengan ibu pedagang yang bawa 2 keranjang di sepedanya sedang berjualan apa…kutebak mungkin jamu atau sayur kali ya…
lalu abis baca post ini aku jadi tahu kalau pesepeda juga sama dengan pengendara kendaraan bermotor dan kendaraan roda 4…tak boleh melanggar lampu merah
Jaraknya sekitar 50 km. Jadi kalau pergi-pulang sekitar 100 km dengan kebanyakan jalan datarnya. Jadi ga ada tanjakan.
Tidak jadi, akhirnya bersepeda seorang diri. Pemandangan trem memang bagus, tapi penggunaannya tidak seefektif dan seefisien. Jadi kalah saing dengan moda transportasi yang lebih cepat.
Kalau menurutku jualan ikan atau hasil laut lainnya. Semua pengguna jalan harus menghormati aturan yang berlaku, termasuk pejalan kaki.
Wah..kuat juga ya bersepeda dengan rute yg lumayan jauh,biasanya kalo jarang olah tubuh udah pasti nafas ga kuat alias ngos”an, kalo sudah terbiasa pastinya bakalan kuat seperti ibu yang bawa jerigen biru itu,selain dapet tubuh yang sehat ,ternyata liat pemandangan sekitar jg bisa nyehatin mata dan otak
Bener banget, sebelum memulai sepeda jarak jauh sebaiknya terbiasa dengan bersepeda dahulu. Jangan langsung jarak jauh, nanti malah terlalu capek dan kapok untuk bersepeda lagi. 😀
Bersepeda dalam jarak jauh, membutuhkan semangat dan energi super yang hanya dimiliki anak muda. Salam sehat Mas Vai
Makasih kak Nur. Sebetulnya banyak orang tua, khususnya yang usianya lebih dari 55 tahun dan pensiunan yang masih bersepeda jarak jauh. Mereka malah rutin punya agenda bersepeda jarak jauh. Mungkin karena mereka sudah lama bersepeda, makanya bersepeda jarak jauh tetap menyenangkan 😀
Weh…Semarang-Demak barusan aku cek 30an km, gileee gileee gowes sejauh itu. Besoknya kaki gimana mas Vay? Baik-baik saja? Sebelum bersepeda jarak segitu persiapannya apa? Apa memang mas Vay ini sudah sering bersepeda sejauh itu?
itu kalau dari tengah kota atau titik nol kota. Kalau dari rumahku menuju demak bisa sekitar 45-50 km. Kalau kaki aman sih, tetap beraktivitas seperti biasa. Yang lebih terasa itu bagian pinggang karena kelamaan duduk.
Kalau persiapan yang paling penting itu rutin bersepeda. Jadi ketika bersepeda jarak jauh bisa menyesuaikan diri. beberapa kali, jarak total terjauh masih sekitar 110 km…hehheee
Jarak Semarang ke Demak lumayan jauh ya, salut buat mas Vai yang mau bersepeda sejauh itu.
Ada ibu-ibu bawa sepeda dengan dua drum disampingnya, sepertinya jualan ikan ya kalo drumnya seperti itu. Soalnya kadang aku lihat di Brebes atau Tegal. 😀
Sepertinya karena suka bersepeda dan sebuah perjalanan, akhirnya perjalanan bersepeda ini bisa terealiasasi 😀
Iyaa, sepertinya jual ikan atau hasil laut lainnya.
Saya juga suka bersepeda, tapi belum sanggup kalo rutenya sejauh itu. Bisa-bisa gempor ini badan ehhehehe
kalau mau bersepeda jarak jauh diperlukan sebuah persiapan. Kalau dirasa sudah siap, bisalah memulai perjalanan
Wah, jauh juga rute sepedaannya Mas.
Tapi kayaknya seru sih bersepeda menjelajah seperti itu.
Emang dasarnya suka petualangan. Jadi bersepeda jarak jauh seperti ini jadi keseruan tersendiri 😀