Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the soledad domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/masvayco/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Bersepeda ke Alun-Alun Bung Karno Via Jabungan - Rivai Hidayat

Bersepeda ke Alun-Alun Bung Karno Via Jabungan

by Rivai Hidayat
Alun-Alun Bung Karno

Hari Minggu pagi cuaca terlihat mendung. Hawa dingin sisa hujan semalam masih terasa hingga pagi ini. Sesuai rencana aku akan bersepeda ke Alun-Alun Bung Karno Ungaran dengan melewati jalur Kelurahan Jabungan, Semarang. Bukan jalur utama yang melewati Pudak Payung yang selalu ramai dengan kendaraan bermotor. Sedangkan jalur Jabungan memiliki jalan yang sepi, banyak pohon, dan melewati area hutan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.15 dan aku mulai mengayuh pedal sepeda. Aku memacu laju sepeda dengan santai. Masih awal perjalanan dan sekaligus untuk pemanasan. Setelah menempuh jarak lebih dari 1 kilometer, aku melewati Jalan Teuku Umar yang merupakan bagian dari jalan utama Kota Semarang. Aku mengarahkan stang sepeda ke arah selatan Kota Semarang menuju Ungaran atau Kabupaten Semarang.

Setelah melewati tanjakan Gombel

Setelah jalan datar, aku mulai mulai melewati tanjakan Gombel. Topografi Kota Semarang yang berupa pesisir di sebelah utara dan perbukitan di bagian selatan mengakibatkan kota ini memiliki banyak tanjakan. Seolah-olah memberikan pesan para pesepeda bahwa tidak perlu khawatir tentang tanjakan mana yang akan dilewati. Tanjakan Gombel memang cukup dikenal oleh warga Semarang dan para pesepeda. Tanjakan ini yang memiliki panjang sekitar 1.3 kilometer yang dimulai dari awal di jalan underpass Jatingaleh dan berakhir di SPBU Gombel.

Aku sudah sering melewati tanjakan ini sehingga aku tidak ada masalah ketika melewati tanjakan ini. Selama menanjak aku tidak bertemu dengan pesepeda lainnya. Mungkin mereka sudah melintas, atau mereka memang belum melintasi tanjakan ini. Setelah tanjakan Gombel banyak pesepeda yang sedang beristirahat. Tidak lupa aku memberi salam kepada mereka.

Alun-Alun Bung Karno
Menuju Kelurahan Jabungan

Ada beberapa jalur untuk menuju Kelurahan Jabungan, tapi aku memilih melewati Jalan Banjarsari lalu menuju Jalan Mulawarman. Dari Jalan Mulawarman tinggal berbelok ke arah tenggara menuju Jalan Kramas. Setelah itu tinggal mengikuti satu-satunya jalan utama untuk menuju Kelurahan Jabungan. Ada sebuah gapura yang menunjukkan wilayah Kelurahan Jabungan.
Baca Juga: Bubur India di Masjid Jami Pekojan

Pagi ini Jalan Kramas masih terlihat sepi dan udaranya segar. Suasana yang tepat ketika bersepeda. Selang 1 kilometer aku mulai menemui jalan menurun yang curam. Dari jalan turunan ini aku bisa memandang area persawahan yang diselimuti kabut. Kemudian melewati area permukiman warga dan melihat warga yang sedang bekerja bakti di depan gang.

Jalan menurun di Jabungan

Aku hanya bisa melaju pelan dan terus menekan tuas rem yang sepertinya tidak berfungsi dengan baik. Jalan di sini tidak lebar dan turunan semakin curam dengan bentuk jalan yang menikung. Aku memilih untuk turun dan menuntun sepeda untuk menuruni jalan. Sepertinya rem sepedaku perlu diperbaiki. Dalam kondisi ini aku berpikir bahwa terkadang jalanan menurun itu lebih berbahaya dibandingkan jalanan menanjak.

Jembatan Jabungan
Pemandangan dari atas jembatan

Aku menaiki sepedaku ketika jalan sudah lebih landai. Tak berselang lama akhirnya aku tiba di sebuah jembatan yang menjadi ikon Kelurahan Jabungan. Dari jembatan ini aku bisa melihat pemandangan area persawahan, aliran sungai, dan perbukitan yang mengelilinginya. Jembatan ini bagaikan sebuah lembah yang diapit oleh perbukitan yang ada di daerah perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Semarang. Satu hal yang aku suka ketika melintas di sini adalah masih menemukan warga yang berjalan kaki menuju sawah dan kebun dengan membawa cangkul, parang, dan arit. Sebuah hal yang jarang ditemui di area perkotaan.

Menuju Wana Wisata Penggaron

Aku tiba di sebuah jembatan yang dibangun di atas sungai yang memisahkan kota dengan Kabupaten Semarang. Setelah melewati jembatan ini berarti aku akan memasuki wilayah Kabupaten Semarang. Di wilayah ini lebih banyak ditemui area perkebunan dibandingkan area permukiman. Salah satunya area perkebunan pohon jati yang usianya masih muda. Kemudian aku mulai memasuki area Hutan Penggaron.

Warga pembawa rumput

Jalan di area hutan ini sepi. Hanya ada beberapa motor yang melintas. Tidak ada mobil yang melintas karena ada salah satu ruas jalan mengalami longsor. Beberapa kali aku berpapasan dengan warga yang membawa rumput untuk pakan hewan ternak mereka. Aku mesti menempuh jarak sekitar dua kilometer untuk bertemu dengan area permukiman warga. Tidak ada pesepeda lain. Mungkin jalan ini kurang populer bagi para pesepeda. Padahal jalan ini menyuguhkan tanjakan panjang, jalan yang sepi, pemandangan yang bagus, dan udara yang bersih. Cocok bagi pesepeda yang menyukai sebuah petualangan.

Warung kopi di Wana Wisata Penggaron

Ketika tiba di area permukiman, aku melintas di tanjakan terjal dengan tebing sebagai pembatasnya. Ada papan informasi bahwa daerah tersebut merupakan kawasan rawan longsor. Aku terus mengayuh dan sebentar lagi tiba di pintu masuk Wana Wisata Penggaron. Tanjakan terakhir yang berupa tikungan berhasil aku lewati. Aku memilih untuk beristirahat sejenak di dekat gapura pintu masuk Wana Wisata Penggaron. Kawasan ini milik oleh Perhutani.

Beberapa tahun yang lalu aku pernah berkemah di kawasan ini. Sekarang kawasan ini sedang dalam tahap pembangunan untuk menjadi destinasi wisata alam. Sudah hampir dua tahun pembangunan, tetapi belum ada tanda-tanda kawasan ini akan selesai dan siap untuk dikunjungi dalam waktu dekat. Di dekat pintu masuk terdapat sebuah warung kopi. Sepertinya menyenangkan jika bisa menyesap kopi di dekat kawasan hutan seperti ini.

Alun-Alun Bung Karno

Aku melanjutkan perjalanan menuju Alun-Alun Bung Karno, Ungaran dengan menyusuri jalan di daerah Susukan. Dalam perjalanan ini aku bertemu dengan dua orang anak kecil yang sedang menenteng makanan yang dibungkus dalam sebuah kain. Salah satu dari mereka mengenakan baju koko berwarna putih dan sangat sopan ketika aku ajak bicara. Mereka pulang dari tradisi nyadran yang diadakan di area pemakaman desa.

Anak-anak pulang nyadran

Tradisi nyadran rutin dilaksanakan oleh orang Jawa setiap menjelang bulan Ramadan atau di bulan Ruwah–dalam penanggalan Jawa–atau bulan Syaban–dalam penanggalan Arab. Tradisi ini memang dimaksudkan untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dalam bentuk saling berbagi makanan kepada tetangga atau warga lainnya.
Baca Juga: Menyusuri Sisi Lain Kota Lama

Alun-alun ini terletak di Ungaran, Kabupaten Semarang. Tidak jauh dari pintu keluar tol Ungaran. Aku tiba di Alun-Alun Bung Karno yang pagi itu yang sudah dipadati oleh warga. Baik yang sedang berolahraga, maupun yang sedang bersantai atau membeli sesuatu. Banyak penjual makanan di alun-alun ini. Aku berkeliling alun-alun untuk melihat kegiatan yang dilakukan oleh warga. Menurutku kawasan ini lebih cocok jadi pasar dadakan dibandingkan untuk berolahraga. Tidak hanya penjual makanan, tapi juga penjual pakaian, dan wahana permainan untuk anak-anak.

Alun-Alun Bung Karno
Alun-Alun Bung Karno yang dipadati oleh warga

Sebetulnya aku jarang sarapan. Namun berhubung sedang berada di Alun-Alun Bung Karno, aku menyempatkan diri untuk sarapan di Warung Soto Seger yang ada di seberang Alun-Alun Bung Karno. Pertama kali diajak oleh temanku yang asli Kabupaten Semarang. Langsung merasa cocok pada kunjungan pertama dan menjadi pelanggan warung soto ini. Pagi itu warung soto ramai dengan pembeli.

Alun-Alun Bung Karno
Warung Soto Seger
Alun-Alun Bung Karno
Soto ayam

Soto khas Surokarto ini memiliki kuah yang kental. Sangat berbeda dengan soto Semarang yang bening. Suapan pertama aku langsung merasakan rempah-rempah yang ada pada kuah soto ini. Soto disajikan dalam mangkuk ukuran kecil. Porsinya pas sehingga tidak membuatku merasa kekenyangan. Perjalanan pulang bakal sulit jika aku kekenyangan. Total uang yang aku keluarkan senilai Rp15.000 untuk satu porsi soto ayam, teh manis, dan satu tempe mendoan.

Aku mulai melanjutkan perjalanan pulang dan meninggalkan Alun-Alun Bung Karno. Aku memilih untuk melewati jalur utama dengan melewati Pudak Payung. Perjalanan pulang akan didominasi dengan dengan jalan menurun. Perjalanan bisa lebih cepat, tetapi aku harus lebih berhati-hati karena lalu lintas yang ramai dengan motor, mobil, truk, dan bus. Bersepeda ke Alun-Alun Bung Karno lewat Jabungan memberikan pengalaman tersendiri bagiku. Rute ini memang layak untuk dijajal oleh para pesepeda. Mungkin suatu saat aku akan kembali mencoba rute ini.

Cerita dari Sepeda
Alun-Alun Bung Karno
6 Maret 2023

You may also like

20 comments

Heni May 4, 2023 - 4:34 am

Wisata Penggaron adem banget kayaknya…Gombel.. Ungaran..waah saya jadi keinget jalan tol Semarang ..kalau mau ke Jatim tempat suami saya pasti melewati tol Ungaran..terus ke Bawen apa ya….agak lupa sedikit ..setiap melewati jalur tol ini di suguhi pemandangan yg sangat indah karena Semarang berada di ketinggian..benar ga mas?

Tradisi nyadran memang biasanya di lakukan oleh suku Jawa..kalau di tempat saya biasanya bagi”/ tukaran makanan menjelang ramadhan sering di sebut punggahan..berasal dari Jawa juga sepertinya

Reply
Rivai Hidayat May 6, 2023 - 7:32 am

adem karena di sana adalah kawasan hutan pinus. Benar banget mbak, kalau lewat tol semarang-surabaya pasti melewati jembatan penggaron kemudian mengarah ke bawen-salatiga-solo-surabaya. Sepanjang perjalanan semarang-solo pemandangannya bagus.

Iyaa punggahan, di sini juga masih dilakukan. Lokasinya di masjid atau musala. Bedanya dengan nyadran, yaitu nyadran dilakukan di pemakaman.

Reply
Cipu Suaib May 4, 2023 - 8:32 am

Saya suka penggunaan gambar yang dimulai dari suasana kota Semarang hingga ke jalanan dan jembatan di luar kota serta gambar pemandangan yang disajikan berurutan. Good pictures with good stories mas Vay.

Pas di bagian terakhir langsung nemu foto soto , auto nelen ludah dan ngiler hahaha. Tanggung jawaaabbbb

Reply
Rivai Hidayat May 6, 2023 - 7:34 am

Makasih mas cipu. Ada beberapa bagian yang terlewat difoto. Salah satunya sungai perbatasan antara kota dan kabupaten semarang.
Pas siang hari soto bisa jadi pilihan untuk makan siang 😀

Reply
mrhanafi May 4, 2023 - 2:12 pm

cantik sungguh pemandangan desa.

rasa tenang dan damai bila selalu berada diuar

Reply
Rivai Hidayat May 6, 2023 - 7:37 am

pemandangan yang cantik dan tenang

Reply
Keza felice May 7, 2023 - 10:18 am

Dari cerita dan foto2nya rasanya seger banget tapi juga lelah. Tapi apa gak ngerasa takut gitu Kak, lewat jalan pas sepi dn banyak pepohonan rindang gtu.

Selain wisata pake sepeda, jadi wisata kuliner juga yak. Jadii lihat tradisi yg ada, kayak nyadran. Eh bener kan nyadran hihi

Reply
Rivai Hidayat May 9, 2023 - 2:41 am

Ga takut sih. Bersepeda seperti biasa aja. Kalau pohon rindang jadi lebih adem.
Iyaa, acara nyadran untuk menyambut bulan ramadan.

Reply
Keza felice May 11, 2023 - 12:35 am

Iya sih, malah adem. Di sini juga banyak pepohonan tapi jalannya nanjak turun. Jadi gak bisa bersepeda.

Beruntung bsa lihat tradisi² yg ada di Indonesia secara langsung. Aku penasaran, tp sayangnya di sini jarang adanya

Reply
Rivai Hidayat May 12, 2023 - 2:04 am

Jalan menanjak dan menurun memang jadi tantangan tersendiri bagi pesepeda. Namun, beberapa pesepeda selalu mencari tanjakan-tanjakan yang siap mereka taklukan.

Di sini ada beberapa tradisi yang masih dilaksanakan.

Astria Tri anjani May 5, 2023 - 4:20 am

Wah.. Kangen sepedahan, udah berapa tahun saya nggak pegang sepeda mas karena di daerah saya kebanyakan jalannya menanjak jadi nggak ada yang punya sepeda kecuali para bocil.
Pemandangan nya bagus ya mas, melewati hutan dan persawahan, meskipun jauh banget kayaknya. Saya ngeri waktu mas vay cerita di jalan menurun trus remnya agak bermasalah. Jadi keinget ada anak tetangga nyungsep gara-gara sepedahan remnya blog. Untung cuma lecet-lecet aja.
Alun-alunnya juga rame ya mas, trus melihat soto ayam di atas saya jadi laper, ada sayur kesukaan saya, toge.
Ya ampun…
Di daerah saya nggak ada nyadran mas tapi di rumah mertua di daerah kediri ada. Pengen banget bisa kesana pas nyadran soalnya rame banget

Reply
Rivai Hidayat May 9, 2023 - 7:48 am

Waah, jalan tanjakan yaa. Jadi mesti lebih menyesuaikan dengan jalannya. Kalau anak-anak biasanya hobi bersepeda, meskipun tidak jarak jauh.

Memang mesti berhati-hati kalau bersepeda. Apalagi tuas rame mengalami gangguan. Banyak pesepeda yang gowes bareng menyempatkan untuk kulineran setelah bersepeda.

Nyadran memang biasa dilaksanakan menjelang bulan ramadan. Banyak yang mengikutinya dan tentu saja banyak makanan 😀

Reply
kotanopan.com May 8, 2023 - 2:30 am

melihat orang-orang yang sering jalan-jalan, saya kadang juga pengen ikut jalan-jalan, seru dan menyenangkan.

Reply
Rivai Hidayat May 9, 2023 - 2:34 am

Memang seharusnya orang-orang juga melakukan perjalanan.

Reply
Nasirullah Sitam May 8, 2023 - 7:01 am

Rutenya lumayan ini, mas. Tapi seru juga ya karena tidak banyak yang bersepeda. Atau mungkin mereka sudah melintas pas pagi hari. Jalanan di sana jauh lebih mulus dan menyenangkan untuk sepeda

Reply
Rivai Hidayat May 9, 2023 - 2:34 am

Sepertinya memang jarang dilewati oleh pesepeda. Bukan jalur utama, tapi memang sangat cocok buat bersepeda. Selain pemandangan, kondisi jalan juga layak untuk dilalui pesepeda.

Reply
fanny_dcatqueen May 23, 2023 - 11:36 am

Bener mas, jalan turunan itu biasanya lebih bahaya, mungkin terlihat gampang yaaa, tapi aku ngalamin sendiri kecelakaan pas jalan menurun naik sepeda zaman SD .

Jadi di komplek rumah ada turunan yg curam memang, dan itu jadi fav kami utk ngebut . Tapi sialnya pas kejadian sedang ada fogging. Bodohnya kami, malah seneng Krn anggab itu kabut. Jadi sengaja kami libas , jalan di depan jadi ga jelas, eh ternyata di persimpangan ada sepeda mau lewat, bertabrakan lah kami semua . Ga patah tangan dan kaki untungnya, cuma beset di muka dan tangan semua hahahahhaha. Untung bukan mobil , ntah apa yg terjadi kalo yg lewat mobil

Cuma skr aku ga yakin sih msh kuat sepeda. Krn udh lama bgt ga naik. Apalagi kalo ngeliat di Jogja, Semarang, tanjakannya ga main2 . Kdg kami papasan Ama pesepeda di jalan tanjakan menuju gunung kidul, aku sampe heran, itu staminanya luar biasa yaaa, sanggub naik sejauh itu

Reply
Rivai Hidayat May 23, 2023 - 2:33 pm

Abis kejadian itu, sempat kerasa trauma dengan bersepeda ga mbak…? Bersepeda nembus asap emang terlihat keren sih mbak 😀

Kawasan jogja kota masih aman mbak. Tapi kalau udah masuk ke kabupaten sebelah mulai banyak tanjakan. Bantul, sleman, gunungkidul punya banyak tanjakan. Banyak pesepeda yang justru cari jalan tanjakan. Katanya kalau ga ada tanjakan kurang seru

Reply
morishige June 18, 2023 - 12:39 pm

Tak terbayang bagaimana rasanya naik tanjakan Gombel menggowes sepeda. Naik motor saja rasanya sudah berat sekali. 🙂

Omong-omong soal menuruni jalan dengan sepeda, saya secara tak sadar selalu mengecek rem setiap kali hendak turun dari tempat-tempat tinggi. Jika rasanya kurang enak, meskipun sedikit saja, saya pasti menyetel rem. Menurut saya yang mengkhawatirkan itu sebenarnya bukan turunannya, tapi jalanan yang makin susah untuk ditebak. 🙂

Reply
Rivai Hidayat June 19, 2023 - 6:14 am

Mungkin karena terbiasa dan keadaan juga, akhirnya terbiasa lewati tanjakan-tanjakan yang ada di semarang. Termasuk tanjakan gombel. Rumahku berada di semarang atas jadi mau tidak mau mesti terbiasa untuk lewati jalan tanjakan ketika bersepeda.

Pengecekan kondisi sepeda memang diperlukan. Makanya ketika bersepeda perlu membawa beberapa peralatan untuk setel ulang bagian sepeda. Setuju, jalanan yang menurun akan membuat laju sepeda menjadi lebih kencang dan akhirnya kita mesti cepat menyesuaikan dengan jalanan yang aman untuk dilewati.

Reply

Leave a Comment