Berlabuh di Pulau Sinabang

by Rivai Hidayat
Pulau Sinabang

Beberapa hari setelah tiba di Aceh, ada rasa penyesalan dalam diriku sendiri. Hal itu dikarenakan aku tidak bisa ikut dalam tim yang berangkat ke Pulau Weh, Pulau Nasi, dan Pulau Breuh. Ketiga pulau itu merupakan pulau-pulau yang memiliki pemandangan yang bagus. Apalagi di Pulau Weh terdapat Tugu Nol Kilometer Indonesia. Saat itu aku belum memiliki pengalaman, sehingga tidak diikutkan dalam tim tersebut. Meskipun tidak bisa pergi ke ketiga pulau tersebut, akhirnya aku masuk dalam tim yang berangkat ke Pulau Sinabang.

Jalanan ini terasa sangat sepi. Kendaraan pribadi tidak banyak melintasi jalan ini. Hanya terlihat motor milik warga lokal yang sedang menuju ke kebun. Tentu saja angkutan umum tidak terlihat sama sekali. Padahal jalanan cukup lebar, kualitas jalan cukup bagus dan teduh dengan perpohonan. Pemandangan inilah yang aku temui ketika melintas di jalan yang menghubungkan Kota Takengon di Aceh bagian tengah dengan Kota Nagan Raya yang terletak di Aceh bagian barat. Ini adalah bagian perjalananku menuju Pulau Sinabang.

Pulau Sinabang merupakan salah satu pulau yang ada di Provinsi Aceh yang terletak di Samudera Indonesia dengan jarak sekitar 150km dari lepas pantai barat Aceh. Terdapat satu kabupaten di Pulau Sinabang, yaitu kabupaten Simeulue. Dibandingkan dengan Pulau Weh, pulau ini tidak terlalu dikenal oleh wisatawan dalam negeri. Namun, banyak wisatawan asing yang berkunjung ke pulau ini untuk surfing. Pantai-pantai di pulau ini berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia sehingga memiliki gulungan ombak yang tinggi dan menantang bagi peselancar.
Baca Juga: Cerita Mereka Tentang Tsunami

Ada satu cerita menarik tentang Pulau Sinabang, yaitu ketika terjadi gempa dan gelombang tsunami Aceh tahun 2004. Saat itu banyak pihak yang memperkirakan bahwa pulau ini mengalami kerusakan parah dan banyak korban meninggal atau hilang. Ternyata perkiraan tersebut salah. Tidak ada korban jiwa yang disebabkan oleh gempa dan gelombang tsunami. Ketika gempa terjadi dan disusul dengan menyurutnya air laut, warga langsung menyelematkan diri menuju tempat yang lebih tinggi. Warga Pulau Sinabang mengenal tsunami dengan sebutan smong. Smong dikenalkan dalam bentuk lagu dan telah menjadi sebuah kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Pulau Sinabang

Memancing di Pulau SInabang

Setelah berlayar selama 12 jam dari Pelabuhan Labuhan Haji, akhirnya aku dan teman-temanku tiba di Pelabuhan Kolok, Pulau Sinabang. Menurut cerita Pak Syamsul, salah satu driver kami, Pelabuhan Labuhan Haji ini dahulu digunakan untuk pelayaran berangkat haji warga Aceh. Sekarang pelabuhan ini digunakan untuk pelayaran menuju Pulau Sinabang. Sebelum kapal berlayar, ada sesuatu hal yang mengganggu kami. Hari itu merupakan minggu terakhir menjelang Hari Raya Iduladha. Jadi banyak warga Pulau Sinabang pulang kampung untuk merayakan Hari Raya Iduladha. Tidak terkecuali para santri yang sedang menempuh pendidikan di kota dan kabupaten yang ada Aceh.

Meskipun kami mendapatkan tiket kelas bisnis, kami mesti beradu mulut terlebih dahulu dengan beberapa santri yang menempati tempat kami. Situasi bertambah buruk ketika terjadi kesalahpahaman antara kami dengan salah satu petugas keamanan kapal. Saking buruknya, kami sampai diancam akan diturunkan dari kapal dan tidak bisa berlayar menuju Pulau Sinabang. Akhirnya semua bisa diselesaikan dengan kekeluargaan dan kami bisa melanjutkan perjalanan. Hingga kapal berlabuh di Pelabuhan Kolok, Pulau Sinabang, oknum petugas masih mengancam kami untuk tidak bisa kembali dari Pulau Sinabang. Lama-lama aku merasa kesal dengan orang tersebut.
Baca Juga: Masjid Baiturrahman Aceh

Sebuah perjalanan memang tidak selamanya berjalan seperti apa yang diharapkan. Begitulah perjalanan, selalu ada kejutan-kejutan kecil yang merwarnai perjalanan. Nikmati saja perjalanan itu, tak perlu mengatur semuanya agar berjalan sesuai dengan kehendak. Dalam perjalanan itu, kami terlibat banyak obrolan. Seperti cerita Pak Agus, salah satu driver kami, yang pernah beberapa kali ke Pulau Sinabang untuk membeli cengkeh yang kemudian dijual kembali di Lhokseumawe. Malam semakin larut dan angin semakin kencang, akhirnya aku memilih untuk beristirahat.

Sekitar pukul 06:00, kapal telah berlabuh di dermaga pelabuhan. Hari memang masih sangat pagi, namun kami langsung memulai pekerjaan kami dengan mencari beberapa lokasi yang digunakan untuk survei pemetaan. Setelah pengecekan selesai, beberapa tim langsung menuju ke lokasi yang sudah ditentukan. Rencananya kami berada di pulau ini selama seminggu.

You may also like

32 comments

Ina August 30, 2020 - 4:19 pm

Pantes kemarin ceritanya kentang, ternyata lagi ditulis di blog toh? :p wah, seru juga ya cerita perjalanannya, sampe ada cerita ribut-ribut sama petugas kapal segala. .selalu banyak cerita perjalanan yang seru-seru ya, ditunggu cerita lainnya :p

Eh ayok lanhalan sama aku :3

Reply
Rivai Hidayat September 1, 2020 - 1:44 am

iya, yang keamrin cuma spoiler aja. Ga sampai ribut-ribut kok, takut kenapa-kenapa dengan diri kami 😀
Duh lagi pandemi, lagi ngurangi waktu untuk jalan-jalan kak 😀

Reply
Nasirullah Sitam August 31, 2020 - 12:33 am

Menarik ini Sinabang, setidaknya ketika mengulas tsunami 2004 itu adalah cerita yang mungkin sampai kapanpun tetap diceritakan secara turun temurum. Pengetahuan warga tentang gejala alam harus kita apresiasi.

Reply
Rivai Hidayat September 1, 2020 - 1:45 am

Sebetulnya alam sudah memberi tahu melalui tanda-tanda alam, kemudian orang-orang sinabang bisa menafsirkannya dengan sangat baik untuk keselamatan diri mereka.

Reply
Fanny_dcatqueen August 31, 2020 - 11:38 am

Aku pernah denger juga kalo warga di pulau Sinabang selamat saat tsunami Krn mereka sudah diajarkan dari zaman nenek moyangnya apa yg hrs dilakukan saat ada tsunami. Yg pasti saat laut surut sampai ke tengah, dan ikan2 banyak bergelimpangan , itu justru keadaan bahaya, dan org2 hrs segera lari ke tempat tinggi. Dan itu yg mereka lakukan makanya selamat.

Ntr cerita lengkap ttg pulau Sinabang ini mas :D. Aku cuma tau pulaunya, tapi ga prnh kesana :D. Maklumlah, zaman aku msh di Aceh, blm terlaku suka traveling kemana2 :D. Selama di Aceh, ya cuma tau Lhokseumawe, Banda Aceh, Takengon Ama Sigli . Itu Thok :p.

Reply
Rivai Hidayat September 1, 2020 - 1:52 am

Aku juga langsung kagum ketika mendengar cerita dari orang yang aku temui di sana. Dia bercerita banyak hal tentang tsunami 2004.
Sudah mbak, semoga ceritanya menarik yaa mbak fanny. Aku juga ingin menulis tentang takengon dan aceh jaya, hanya saja aku belum ketemu point ceritanya. Takengon terlalu istimewa untuk diceritakan mbak 😀

Reply
kulkas September 1, 2020 - 1:28 pm

menariknya negri dongeng…selalu ada proses palak memalak…kalau gak ada akamso

Reply
Rivai Hidayat September 1, 2020 - 1:33 pm

Hussh, gada palak memalak. Kami hanya minta maaf atas apa yang terjadi 😀

Reply
kulkas September 1, 2020 - 1:36 pm

baguslah kalo gak kena proses itu, brati akamso’ne kuat

Reply
Rivai Hidayat September 1, 2020 - 2:27 pm

Kami hanya cari aman 😀

Reply
PIPIT September 2, 2020 - 2:55 am

Baca pas bagian ada kesalah pahaman kok ngeri tapi campur ngakak
Yang terbayang diaku adegan cekcok ala Yu Ning sama Bu Tejo di truk, wkakaakaka
Kesel tapi terhibur, terhibur sama tulisanmu Mas, hohoho..

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 3:53 am

Suasana saat itu cukup menegangkan. Tak banyak bicara apalagi perang kata-kata..hahahaa
Terima kasih mbak pipit. Tunggu kelanjutannya 😀

Reply
Achi Hartoyo September 2, 2020 - 3:08 am

Salah satu destinasi impian: ke Aceh. sampai sekarang belum kesampaian. Semoga pandemi ini segera pergi biar bisa ke Pulau Weh.

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 3:53 am

Pulau weh masih jadi favorit kunjungan ketika datang ke aceh. Semoga mas Achi bisa datang ke aceh 😀

Reply
Satria Mwb September 2, 2020 - 6:38 am

Heem!! Bicara soal Aceh sudah pasti orang akan selalu mengingat tentang Tsunami yaa. Bahkan setiap tahunnya akan selalu ada tentang sebuah acara yang memperingati tentang Tsumi yang pernah terjadi pada tahun 2004.

Bicara soal Tsunami ternyata pulau Sinabung meski tak luput dari Tsunami, Tetapi setidaknya pulau itu masih bisa berbenah secara cepat yaa, Ketimbang pulau2 di Aceh lainnya. Dan mungkin Aceh kini boleh dikatakan punya wajah baru kembali.

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 9:58 am

Salah satu yang terlihat di jalan lintas Aceh bagian barat. Jalan baru yang lebih lebar dan kualitasnya baik. Di bagian kota banda aceh juga banyak mengalami banyak pembangunan pasca tsunami

Reply
Haryadi Yansyah | Omnduut September 2, 2020 - 8:06 am

Soal smong ini menarik banget. Langsung penasaran dan cek di youtube. Eh nemu trailer film “Smong Derau Dalam Senandika” yang kayaknya bercerita tentang tsunami. Pengen nonton film penuhnya jadi.

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 10:13 am

Smong ini bentuk kesenian dan kearifan lokal. Kemudian dikenalkan dari generasi ke generasi selanjutnya.

Reply
Agus warteg September 2, 2020 - 10:22 am

Wah, biarpun pakai tiket kelas bisnis kenapa bisa beradu mulut dengan para santri yang ikut kapal itu kang? Sepertinya para santri itu duduk saja tidak lihat nomor tiketnya ya? Hanya menduga saja.

Alhamdulillah waktu ada tsunami Aceh warga pulau Sinabang selamat semua ya, mungkin sudah tahu bagaimana menyelamatkan diri karena pulau Sinabang zaman dahulu sering kena tsunami kecil kecilan kali ya.

Reply
Rivai Hidayat September 2, 2020 - 12:50 pm

mereka mikirnya siapa cepat dia dapat mas. Tanpa memperhatikan tempat itu milik siapa. Jadi yaa beberapa tempat kami direbut oleh anak-anak tersebut.
Letaknya yang berada di samudera hindia menyebabkan warga pulau sinabang terbiasa dengan gempa bumi dan tsunami. Pada masa lampau Pulau Sinabang terkena tsunami. sejak saat itu masyarakat belajar dari tanda-tanda alam untuk membuat proses penyelamatan diri ketika terjadi bencana tsunami lagi.

Reply
Agus warteg September 9, 2020 - 2:50 pm

Sepertinya begitu kang, apalagi masih bocah biasanya berdarah panas dan ngotot. Harusnya sih ada petugas yang menjelaskan, bukannya malah mengancam ya. Yang sabar ya kang.
Oh begitu ya kang, karena letaknya di samudera Hindia jadinya dari dulu sering ada tsunami, dan itu buat pelajaran agar bisa menyelamatkan diri saat tsunami Aceh kemarin.

Reply
Rivai Hidayat September 9, 2020 - 11:58 pm

Yaa kami masih mendapatkan hak kami, meski harus beradu mulut dulu dengan mereka. Crew kapal sangat membantu kami.

Dahulu pernah terjadi tsunami dan banyak korban meninggal. Setelah itu masyarakat belajar tentang tanda-tanda alam sebelum tsunami datang. Akhirnya pada tsunami 2004, tidak ada korban meninggal karena tsunami. Meski pulau ini dihantam gelombang tsunami.

Reply
Phebie September 3, 2020 - 12:17 am

Local geniusnya menyelamatkan banyak nyawa ya….luar biasa…
Wah mencing di muara atau di sungai itu mas Rivai? Banyak ikan ya di pulau itu…

Reply
Rivai Hidayat September 3, 2020 - 1:36 am

Di Pulau SInabang pernah terjadi tsunami. Sejak peristiwa itu, warga pulau sinabang mempelajari tanda-tanda alam sebagai upaya menyelamatkan diri ketika tsunami terjadi lalgi.
Iya itu mancing di muara, sekitar 100 meter udah bibir pantai.

Reply
Kartika September 3, 2020 - 6:36 am

Wah aku menunggu2 nih cerita soal Aceh. Untuk mengobati kekecewaan tertunda liburan ke sana. Aku suka baca kisah2nya mas Rivai karena ceritanya dari sudut pandang yang berbeda. Ditunggu kelanjutannya Mas!

Reply
Rivai Hidayat September 3, 2020 - 8:17 am

masih ada beberapa cerita tentang Aceh, cuma belum ditulis dan belum ketemu moodnya. Gatau mau memulai tulisannya dari mana. Salah satu yang jadi penyesalan itu mmc yang digunakan rusak. Sehingga banyak foto tentang aceh yang tidak terselamatkan. Untung saja, temanku punya beberapa foto yang bisa aku gunakan..hehhee
Semangat mbak tika, Aceh ga bakal berpindah kok. Mbak tika hanya perlu melangkahkan kaki menuju ke sana 😀
Terima kasih telah singgah 😀

Reply
ainun September 5, 2020 - 1:10 pm

lama juga ya mas rivai perjalanannya, aku baru denger juga nih pulau sinabang, kalau pulau weh masih sering terdengar di telinga
nggak menyangka juga waktu kejadian tsunami, ternyata masyarakat di pulau ini selamat ya

Reply
Rivai Hidayat September 6, 2020 - 2:42 am

Pulau sinabang malah lebih dikenal wisatawan mancanegara karena ombak disana sangat bagus. Cocok untuk surfing. Bbrapa jasa surfing juga ada di sana.
Pulau weh dengan titik nol kilometer memang lebih dikenal orang indonesia 😀

Reply
bara anggara September 5, 2020 - 1:53 pm

darimana mereka mengenal smong (tsunami) ini ya?? Apakah pernah terjadi di generasi-generasi terdahulu atau pernah ada orang asing yang telah memperingatkan?? Jadi ingat di Mentawai,, kabarnya,, di suatu desa di Mentawai, dulu ada orang dari luar negeri yang menyarankan warga desa itu untuk menanam tanaman pangan di tempat yang tinggi dan juga dikasih tau kalau ada ciri-ciri tsunami (mungkin saat itu tidak dibilang tsunami, tapi gelombang tinggi atau apa) supaya warga sana bergegas naik ke tempat yang ditanami tanaman pangan itu.. Pas ada tsunami mentawai 2012, warga di sana selamat..

Reply
Rivai Hidayat September 6, 2020 - 9:20 am

Berdasarkan cerita mereka, dulu pernah terjadi tsunami di pulau sinabang dan menelan korban yang sangat banyak. Akhirnya setelah mempelajari tanda-tanda alam, para leluhur mereka membuat sebuah peringatan jika akan terjadi sebuah tsunami. seperti ketika merasakan gempa yang diikuti menyurutnya air laut, berarti bakal terjadi tsunami. Warga dianjurkan untuk pindah ke perbukitan dan menjauh dari bibir pantai. Peringatan ini dikenal dengan sebutan smong dan kemudian diwariskan ke generasi-generasi selanjutnya.

Mungkin warga pulau sinabang dan pulau mentawai sudah terbiasa dengan bencana gempa. Posisi kedua pulau itu memang terletak di samudera indonesia dan rawan dengan bencana gempa.
Sepertinya warga juga paham akan tanda-tanda alam sebelum terjadinya bencan tsunami.

Reply
morishige September 10, 2020 - 2:11 pm

Wah, 12 Jam. Lama juga ya perjalanannya, Mas? Ombak Samudra Indonesia bagaimana, Mas? Kayaknya lebih goyang ketimbang perairan pedalaman Indonesia, ya?

Serunya pergi rame-rame begitu ya, Mas. Hehehe… Karena kepalanya banyak, pembawaannya juga beragam juga. Kadang nggak terkontrol juga jadinya. Kalau ada yang belum terbiasa jalan, terus grogi, lidahnya bisa kepleset dan menyinggung perasaan penduduk setempat. Pergi sendirian, kita sendiri yang mengontrol perilaku.

Reply
Rivai Hidayat September 11, 2020 - 10:41 am

perjalanan nyeberang lautan mas. tapi ada pesawat juga. Terbang dari medan ke simeulue. Tapi aku kurang tahu jadwalnya.
Nah itu, karena banyak orang juga. Mungkin salah ngomong yang akhirnya bikin orang lain tersinggung. Tapi yaa cukup berkesan dalam perjalanan itu 😀

Reply

Leave a Comment