Pukul 06.10 aku mulai mengayuh pedal sepedaku. Hari ini adalah hari Kamis. Hari libur nasional dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di hari libur ini aku manfaatkan untuk bersepeda. Setelah memikirkan beberapa opsi, akhirnya aku memutuskan bahwa bersepeda kali ini aku akan membeli kopi giling dan kemudian melewati tanjakan Tanah Putih dalam perjalanan pulang.
Setelah keluar gang, aku mengarahkan stang sepeda menuju Jalan Sisingamangaraja hingga tiba di persimpangan Akademi Kepolisian (AKPOL) yang ada di Jalan Sultan Agung. Tiba di persimpangan ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Jadi aku juga harus berhenti menunggu lampu lalu lintas berwarna hijau. Sebagai pengguna jalan seorang pesepeda juga harus mematuhi aturan yang berlaku di jalan.
Aku menyusuri Jalan Sultan Agung yang sedikit menurun dengan penuh suka cita. Masa SMP aku habiskan di sebuah sekolah negeri yang ada di jalan ini. Ketika melewati jalan ini seringkali ingatanku terbawa ke cerita-cerita masa SMP. Cerita tentang aku dan teman-temanku di masa SMP. Salah satunya adalah tempat kami menunggu kedatangan bus ketika pulang sekolah yang kini telah berganti menjadi sebuah hotel.
Baca Juga: Bersepeda Melintasi Kendal
Dari Jalan Sultan Agung aku akan menuju kawasan Lapangan Pancasila, Simpang Lima melalui Jalan S. Parman. Rute ini memang lebih jauh dan memutar dibandingkan ketika aku melalui Jalan Diponegoro. Kedua rute ini memiliki jalur turunan yang curam. Namun, rute Jalan S. Parman lebih menarik untuk dilewati.
Di Jalan S. Parman aku berpapasan dengan beberapa kelompok pesepeda dengan jalur yang berlawanan. Mereka akan melewati tanjakan Jalan S. Parman yang cukup terjal. Ini salah satu tanjakan yang ada di jalan utama Kota Semarang. Selain itu, banyak pesepeda yang menggunakan turunan Jalan S. Parman untuk menambah kecepatan laju sepeda mereka. Jalan S. Parman berakhir di persimpangan RSUP Dr. Karyadi. Lagi-lagi aku berhenti karena lampu merah.
Kali ini aku akan melewati Jalan Dr. Sutomo atau yang lebih dikenal dengan nama daerah Kalisari. Di jalan ini juga terdapat sebuah pasar kembang dan Kampung Pelangi. Sesuai dengan namanya, atap dan tembok rumah di perkampungan ini dicat dengan warna-warni.
Sekitar tahun 2017 kampung yang digagas oleh pemkot mulai dikenalkan ke masyarakat. Salah satu tujuannya adalah mengubah citra sebuah kampung yang kumuh menjadi sebuah kampung yang lebih bersih, tertata, dan penuh warna. Beberapa warna cat sudah mulai pudar. Sudah saatnya untuk dicat ulang.

Sepanjang daerah Kalisari sangat nyaman untuk dilewati karena ada pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan ini. Dahan dan ranting pohon ini terlihat seperti kanopi yang menjadi peneduh bagi para pengguna jalan. Aku terus melaju hingga tidak terasa sudah sampai di kawasan Tugu Muda. Tugu ini dibangun untuk memperingati Pertempuran Lima Hari di Semarang yang terjadi pada bulan Oktober 1945. Terlihat dengan jelas Tugu Muda, Lawang Sewu, dan Gedung Perdamaian. Sebuah bangunan yang di masa lalu pernah digunakan sebagai rumah dinas petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Di depan gedung Lawang Sewu terlihat beberapa orang tua yang sedang beristirahat setelah bersepeda. Depan Gedung Lawang Sewu memang sering digunakan sebagai titik kumpul para pesepeda sebelum mereka memulai bersepeda secara berkelompok. Lokasinya sangat strategis dan memiliki trotoar yang lebar membuat tempat ini cocok untuk dijadikan titik kumpul. Dari kawasan Tugu Muda aku akan menuju Lapangan Pancasila, Simpang Lima melalui Jalan Pandanaran.

Jalan Pandanaran dikenal sebagai pusat oleh-oleh di Kota Semarang. Selain itu, jalan ini juga dikenal sebagai kawasan segitiga emas Kota Semarang. Aku tinggal melewati jalan lurus yang datar untuk tiba di Lapangan Pancasila, Simpang Lima. Di jalan ini terlihat orang-orang yang sedang berolahraga. Baik itu yang sedang berjalan kaki, lari, maupun bersepeda.
Setibanya di Lapangan Pancasila, Simpang Lima kondisi jalan terlihat lengang. Tidak banyak kendaraan bermotor melintas di kawasan ini. Namun, terlihat beberapa kelompok pesepeda yang sedang berkumpul di sekitar lapangan. Sebagian besar mereka adalah bapak-bapak yang aku perkirakan usianya lebih dari 55 tahun. Aku berhenti di salah sudut taman untuk melihat situasi di Lapangan Pancasila, Simpang Lima.

Di bagian luar lapangan terlihat warga yang berjalan kaki dan berlari memutari lapangan. Tidak hanya itu, di bagian ini terdapat pedagang yang menjajakan berbagai perlengkapan olahraga. Sedangkan di bagian dalam lapangan terlihat anak-anak yang sedang bermain bola. Selain itu, ada beberapa orang yang sedang latihan basket di lapangan basket. Tak berselang lama, ada yang seorang bapak-bapak yang datang dan kemudian menyalami kami yang sedang berkumpul.
Aku memutari Lapangan Pancasila, Simpang Lima sebanyak dua kali dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kota Lama melalui Jalan Gajah Mada. Setiap hari di Lapangan Pancasila, Simpang Lima dimanfaatkan warga sebagai tempat olahraga. Di hari Minggu lapangan ramai dengan warga yang melakukan aktivitas Car Free Day (CFD).
Baca Juga: Bersepeda ke Batang
Di kawasan Kota Lama suasananya juga lengang dari kendaraan bermotor. Ada beberapa kelompok bersepeda yang sedang beristirahat. Kondisi yang lengang ini dimanfaatkan beberapa pasangan untuk melakukan sesi foto prewedding. Bangunan tua di kawasan Kota Lama sering digunakan sebagai latar dalam sebuah foto.

Aku hanya sebentar di Kota Lama dan melanjutkan perjalanan ke arah timur dengan melewati Jalan Pengapon. Jalan ini berbatasan dengan rawa-rawa yang muncul akibat banjir rob. Aroma khas pesisir pun tercium selama melintas di jalan ini. Terik matahari mulai terasa, meskipun waktu baru menunjukkan pukul 07.00.
Tujuanku selanjutnya adalah beli di kopi di dekat Pasar Mrican. Rute ini sekalian dalam perjalanan pulang. Aku memacu sepeda dengan santai dengan pemilihan jalur yang lebih jauh. Tidak terburu-buru karena tidak ingin menunggu lama jika penjual kopi yang belum buka.
Penjual Kopi Giling
Pukul 08.03 aku tiba di Pasar Mrican. Aku melihat dari kejauhan kalau bapak penjual kopi sudah menggelar dagangannya. Aku segera memarkirkan sepeda dekat gerobak kopinya. Di atas gerobak terdapat beberapa toples kaca yang berisi kopi bubuk, timbangan manual, kaleng bekas biskuit, dan sebuah payung untuk melindungi dari panas matahari. Aku memutuskan untuk membeli kopi arabika yang dijual dengan harga Rp12.000/ons.

Bapak penjual kopi menawarkan ingin bubuk kopi yang ada di toples atau biji kopi yang nanti akan digiling terlebih dahulu. Aku memilih biji kopi karena aku ingin melihat proses penggilingan kopi sekaligus beristirahat sejenak setelah bersepeda.
Baca Juga: Mendaki Gunung via Suwanting
Alat giling kopi yang digunakan adalah alat giling manual yang terbuat dari besi. Bapak itu mulai mengambil biji kopi yang disimpan dalam kaleng bekas biskuit. Kegiatan menggiling pun dimulai. Beberapa kali terlihat dia menggunakan kedua tangannya secara bergantian untuk memutar tuas alat penggiling kopi. Kopi yang sudah selesai digiling kemudian dimasukan dalam plastik kemasan dan ditimbang menggunakan timbangan manual.

Bapak penjual kopi ini sudah berjualan lebih dari 30 tahun. Pada awalnya berjualan di dekat Pasar Mrican. Beberapa kali ditegur oleh Satpol PP untuk pindah ke dalam pasar. Di dalam pasar mengalami penurunan penghasilan. Pada akhirnya berpindah tempat di dekat jembatan yang ada di seberang Pasar Mrican. Penjual kopi ini hanya berjualan mulai dari pukul 08.00 hingga 12.30. Pada hari Jumat tutup lebih awal, yaitu pukul 11.00. Sengaja tutup lebih awal untuk melaksanakan salat Jumat.
Akhirnya kopi pesananku telah selesai dikemas. Aku beli kopi arabika sebanyak 2 ons. Sebetulnya aku ingin membeli kopi robusta, tapi hari itu dia kehabisan stok biji kopi. Beberapa pembeli mulai berdatangan. Aku berpamitan kepada penjual kopi tersebut.

Selama berada di sana aku lupa menanyakan nama bapak penjual kopi tersebut. Mungkin nanti kalau balik lagi akan aku tanyakan namanya. Aku mulai mengayuh pedal sepedaku dan meninggal bapak penjual kopi yang sibuk melayani para pembelinya yang baru datang.
Tanjakan Tanah Putih
Dalam perjalanan pulang aku akan melewati tanjakan Tanah Putih. Dari sekian banyak tanjakan yang di jalan utama Kota Semarang, aku sama sekali belum pernah melewati tanjakan Tanah Putih. Rumahku yang terletak di sebelah selatan Kota Semarang membuatku terbiasa untuk melewati tanjakan ketika bersepeda.

Ketika bersepeda aku sering menghindari tanjakan Tanah Putih dengan melewati tanjakan lainnya yang lebih landai. Tanjakan Tanah Putih memang dikenal dengan tanjakan yang terjal. Panjang tanjakan sekitar 600 meter. Ada ruas tanjakan yang sedikit menikung menjadi kesulitan tersendiri ketika melintas di tanjakan ini.
Dari Jalan Tentara Pelajar aku mulai berbelok menuju Jalan Dr. Wahidin dan bersiap untuk melalui tanjakan Tanah Putih. Aku sudah memindahkan rantai ke posisi yang paling enteng. Kaki terus mengayuh pedal dengan kecepatan yang konsisten. Aku terus mengatur nafas agar tidak mudah ngos-ngosan. Jalanan yang masih sepi ini memudahkanku untuk melewati tanjakan ini.

Aku terus mengayuh dan pada akhirnya bisa tiba di akhir tanjakan dengan selamat dan tanpa berhenti di tengah perjalanan. Setelah berhasil melewati tanjakan ini aku merasa kalau tanjakan Tanah Putih tidak seberat yang aku kira. Bahkan aku merasa kalau aku pernah melewati tanjakan yang lebih berat dibandingkan tanjakan Tanah Putih.
Setelah melewati tanjakan Tanah Putih aku masih melewati satu tanjakan lagi. Aku sudah terbiasa melewati tanjakan ini sehingga tidak ada kesulitan yang berarti. Mungkin hanya panasnya matahari yang membuat perjalanan menanjak menjadi lebih berat. Mungkin suatu saat aku bakal lebih sering melewati tanjakan Tanah Putih dalam perjalanan pulang ke rumah.
Cerita dari Sepeda
Kopi Giling dan Tanjakan Tanah Putih
28 September 2023
26 comments
Menarik tentang pedagang kopinya nya mas…khas banget ya,jarang sekali melihat ada pedagang kopi yg berjualan kopi tapi pembeli masih bisa milih mau kopi yg sudah jadi atau masih biji kopi, biasanya yg di jual selalu bubuk kopi langsung, kasian juga kadang pedagang ” pindah lokasi dan kucing”an dengan petugas, di satu sisi mereka mau cari rejeki.
Proses penggilingan biji kopi ini jadi atraksi yang ditawarkan oleh penjual kopi ini. Oleh sebab itu, dia lebih dikenal dengan kopi giling.
Yaa setiap pedagang memang perlu diatur agar tidak mengganggu pengguna jalan lainnya.
Melewati area jajahan penuh kenanangan masa kecil sedih2 rindu ya, Mas. Ingin
zaman ini kembali seperti dulu lagi.
Kalau mengenang sih oke, tapi ga kepikiran tentang balik ke zaman dulu. Lebih suka menjalani masa kini.
Ya ampun saya baca ini berasa mengenang masa lalu. Obat kangen Semarang, semua jalan diceritakan detail banget. Keren, Mas.
Btw SMP nya yg di Kagok itu bukan ya? Hehehe.
Wah, keren ya ada penjual kopi giling. Asik banget lihat bapaknya menggiling kopi. Saya kira bapaknya jual kopi yg udah digiling ama beliau, udah jadi bubuk gitu. Baru kali ini saya tau ada penjual kopi yg digiling dari bijinya di Semarang. Bapaknya hebat, Mas.
Dulu pas kuliah saya sering lewat Tanah Putih. Duh, tanjakannya tinggi banget lho, yg pasti memang bikin ngos2an kalau naik sepeda. Naik motor aja berasa berat ngegasnya.
Mbak pipit masih ingat dengan jalan-jalan itu? sudah lama ga di semarang takutnya malah lupa..hehhehe
Iyaa, smp yang ada di kagok. Khan itu satu-satunya smp negeri yang ada di sekitar jalan sultan agung 😀
Menggiling kopi ini jadi salah satu atraksi yang ditawarkan oleh bapaknya. Jadi pembeli bisa melihat biji kopi yang ia beli digiling terlebih dahulu dengan menggunakan alat giling manual.
Tanjakan tanah putih memang sangat terkenal bagi orang semarang. 😀
Waaah lama juga si bapak jualannya yaa, 30 THN loooh. Berarti kopinya pasti enak ya mas . Jadi pengen beli kalo kesana. Sbnrnya kalo ditanya soal kopi, aku juga ga paham. Selama ini suka kopi tapi masih sebatas instan kok .
Kopi giling atau biji begini, biasanya aku beli buat oleh2 teman yg aku tau suka kopi. Aku sendiri pernah coba yaa bikin kopi dari yg baru digiling gini, tapi kok ya rasanya ga pas wkwkwkkkwk. Kadang bingung, gimana sih racikannya biar enak hahahahah.
Kopinya enak kok. dicampur dengan susu juga oke. Aku pun juga belajar minum kopi-kopi premium. Jadi sering minum kopi yang berasal daru daerah-daerah.
Di semarang ada coffee shop yang menjual biji kopi dan kasih layanan giling kopi dengan mesin. Tinggal disesuaikan dengan kehalusan kopi yang diinginkan. Mulai dari halus, medium, hingga kasar. Jadi coffee shop dapat pasokan kopi dari berbagai daerah kemudian mereka roasting biji kopi tersebut. Kemudian dikemas sesuai dengan jenis kopi, asal kopi, dan jenis roasting yang digunakan.
Racikan yang enak itu sesuai dengan selera dan pengalaman mbak..wkwkkw
Kalau pengen merasakan citarasa kopi bisa diseduh pakai cara v60. Karena itu cara seduh yang sering dipakai pas lomba kopi.
Aku baru tahu ada penjual kopi giling yang di jalan begini, mas. Ini menarik banget, pasti sudah punya pelanggan tetap.
Jos tenann
Beberapa kali ketemu pelanggan tetap. Jadi mereka datang dan tahu mau beli kopi yang mana. Proses menggiling kopi ini jadi atraksi tersendiri bagi para pelanggannya.
Pernah beberapa kali ke Semarang, sedikit banyak hafal jalur utamanya seperti Jl. Pandanaran, kawasan Simpang Lima dan kota tuanya. Berasa diajak flashback jalan2 😀
Kopi yang baru digiling itu aromanya enak sekali, apalagi beli di tempat yang masih menjual secara tradisional seperti ini.
yang disebutkan itu adalaha jalan-jalan utama yang ada di semarang.
Aroma kopi memang beri kesan tersendiri. Aku selalu suka mencium aroma kopi 😀
Aku kira penjual kopinya jualan minuman kopi. Ternyata bubuk kopi. Melihat bapak penjual kopi menggiling kopinya, aku jadi ingat waktu masih kecil dulu ibukku sering jemur biji kopi sendiri, terus disangrai(?), terus ditumbuk sendiri di alu batu kecil gitu. Sekarang udah nggak pernah lagi karena udah banyak kopi sachet yang beredar, wkwk. Mas Vay Semarang apa kabar panasnya? Ini Malang aja puanas buanget loh akhir-akhir ini.
wah ibu kam keren kalau gitu. Biasa mengolah kopi secara mandiri. Mulai dari jemur, sangrai, hingga penggilingan yang dilakukan secara manual. AKu masih sering ketemu orang yang masih menghaluskan kopi dengan cara ditumbuk. Kalau boleh bilang, kopi sachet yang dijual ga seenak kopi yang dibuat oleh ibumu..hehhee
semarang panasnya lebih dari 36 derajat. Yaa panas banget sih. Tapi sudah mulai terbiasa dengan panasnya semarang…wwkwk
Iya ya, makin asri, adem
enak dilihat, bikin saya salut
wah itu kopi, saya juga mau ah
saya kan pecinta kopi.
kayak saya ya, kadang asek ngobrol sampai lupa salam nama
Saking asyiknya ngobrol terkadang jadi lupa menanyakan namanya. Ternyata sering dialami banyak orang.
Asik bgt sepedaan di hari libur
Bersepeda untuk kesehatan dan kesenangan.
kopi giling ditempat, spertinya layak dicoba, apalagi kita bisa memilih tipe kopi yang ada dan digiling langsung ditempat
Banyak pilihan kopi yang dijual, sehingga bisa disesuaikan dengan selera.
kira2 kalau kita kasihpenjual contoh kopi bubuk. dia bisa tahu apa jenisnya engak ya om? hehehe
Kurang bisa memastikan mas. Rata-rata orang berkecimpung dalam bisnis kopi bisa membedakan jenis-jenis kopi. Namun, kalau sudah detail kopi berasal dari daerah mana bakal lebih sulit.
gimana cuaca disana mas, apa panas juga hehe
Cuaca di semarang panas mas. Seperti biasanya, tapi beberapa minggu yang lalu hujan.
wah ada penjual kopi giling di pinggir jalan , keren 😀 jadi pengen mampir
ayolah mampir kak.